Regan duduk di depan layar laptopnya dengan ekspresi serius. Ia telah menghubungi pengacara terbaik yang bisa menangani perceraian Nayla dengan Darren tanpa menimbulkan kecurigaan. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan mulai diproses, dan Regan memastikan semuanya berjalan cepat dan efisien.
Ia mengetik pesan singkat kepada pengacaranya: "Pastikan Nayla mendapatkan perceraian ini secepat mungkin. Aku ingin semua berjalan lancar tanpa celah bagi Darren untuk melawan." Tak lama, balasan datang. "Kami akan mengurusnya, Tuan Regan. Tapi akan lebih baik jika Nyonya Nayla bisa menandatangani beberapa dokumen untuk mempercepat prosesnya." Regan melirik ke arah pintu kamar Nayla. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk wanita itu. Namun, ia juga sadar bahwa semakin lama Nayla terikat dengan Darren, semakin besar risiko yang mereka hadapi. Sementara itu, ia juga memperNayla berjalan keluar dari kamar dan mendapati Regan tengah duduk di ruang kerja, matanya serius menatap layar laptop. Ia tahu pria itu sedang berusaha memastikan keamanannya. "Regan…" panggil Nayla pelan. Regan segera mengalihkan perhatiannya, menatap Nayla dengan sorot lembut. "Ada apa? Kau butuh sesuatu?" Nayla ragu sejenak, lalu menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau nekat membawaku ke sini? Aku masih istri Darren… meskipun aku tahu dia tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai istrinya." Regan menghela napas panjang, menutup laptopnya lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati Nayla, berdiri tepat di hadapannya. "Karena aku tidak bisa melihatmu terus menderita. Nayla, aku tahu kau terluka… Aku tahu kau butuh seseorang yang benar-benar peduli padamu, dan aku ingin menjadi orang itu." Nayla terdiam, hatinya bergetar mendengar ketulusan Regan. "Tapi, Regan… Jika Darren tahu, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan
Olivia Lauren duduk di meja kerjanya yang terletak di sudut kantor, dikelilingi oleh tumpukan berkas yang belum terurus dan layar komputer yang berkilau, menciptakan suasana kontras antara kesibukan yang menuntut dan pikirannya yang melayang jauh. Sambil mengetik email, dia teringat pada pertemuan tak terduga yang mengubah hidupnya—pertemuan dengan Arjun, CEO tampan yang terkenal berkarisma, yang kini menjadi bagian dari hidupnya yang paling gelap dan penuh risiko. “Olivia, bisa kamu kirimkan laporan itu ke meja saya sebelum rapat?” suara baritone yang dikenal dengan baik itu memecah konsentrasi Olivia. Dia menoleh, menemukan Arjun berdiri di pintu kantornya, wajahnya tampak serius namun ada kilau tajam di matanya yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Tentu, Arjun. Saya akan mengirimkannya sekarang juga,” jawab Olivia dengan senyuman yang sedikit dipaksakan, berusaha menutupi kegugupan yang menghimpit dadanya. Dalam hati, ia merasa bingung—apakah dia harus terus terjebak dal
Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya. “Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya te
Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali. Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakan
Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Nayla berjalan keluar dari kamar dan mendapati Regan tengah duduk di ruang kerja, matanya serius menatap layar laptop. Ia tahu pria itu sedang berusaha memastikan keamanannya. "Regan…" panggil Nayla pelan. Regan segera mengalihkan perhatiannya, menatap Nayla dengan sorot lembut. "Ada apa? Kau butuh sesuatu?" Nayla ragu sejenak, lalu menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau nekat membawaku ke sini? Aku masih istri Darren… meskipun aku tahu dia tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai istrinya." Regan menghela napas panjang, menutup laptopnya lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati Nayla, berdiri tepat di hadapannya. "Karena aku tidak bisa melihatmu terus menderita. Nayla, aku tahu kau terluka… Aku tahu kau butuh seseorang yang benar-benar peduli padamu, dan aku ingin menjadi orang itu." Nayla terdiam, hatinya bergetar mendengar ketulusan Regan. "Tapi, Regan… Jika Darren tahu, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan
Regan duduk di depan layar laptopnya dengan ekspresi serius. Ia telah menghubungi pengacara terbaik yang bisa menangani perceraian Nayla dengan Darren tanpa menimbulkan kecurigaan. Dokumen-dokumen yang dibutuhkan mulai diproses, dan Regan memastikan semuanya berjalan cepat dan efisien. Ia mengetik pesan singkat kepada pengacaranya: "Pastikan Nayla mendapatkan perceraian ini secepat mungkin. Aku ingin semua berjalan lancar tanpa celah bagi Darren untuk melawan." Tak lama, balasan datang. "Kami akan mengurusnya, Tuan Regan. Tapi akan lebih baik jika Nyonya Nayla bisa menandatangani beberapa dokumen untuk mempercepat prosesnya." Regan melirik ke arah pintu kamar Nayla. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk wanita itu. Namun, ia juga sadar bahwa semakin lama Nayla terikat dengan Darren, semakin besar risiko yang mereka hadapi. Sementara itu, ia juga memper
Hujan rintik-rintik mengguyur ketika mobil Regan melaju cepat melewati jalanan sepi menuju sebuah villa terpencil di pinggir kota. Tangannya erat menggenggam kemudi, sementara di kursi penumpang, Nayla duduk dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke belakang seolah takut seseorang mengejar mereka. "Kita sudah cukup jauh dari kota. Tidak ada yang akan menemukan kita di sini," ujar Regan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Nayla menggigit bibirnya, hatinya masih berdebar kencang setelah kejadian tadi siang—saat Regan dengan berani menerobos masuk ke rumahnya dan membawanya pergi. Ia sendiri masih belum tahu apakah harus merasa lega atau justru ketakutan. Sesampainya di villa, Regan segera turun dan membukakan pintu untuk Nayla. "Ayo masuk, hujan mulai deras." Nayla ragu sejenak sebelum akhirnya mengikutinya ke dalam. Villa itu luas dan hangat, dengan perapian yang menyala di sudut ruangan. Namun, alih-alih merasa nyaman, Nayla justru merasa semakin gelisah. Ia berbalik m
Regan duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan ekspresi tegas. Pesan dari Nayla barusan membuat dadanya bergemuruh. "Regan, aku butuh bantuanmu." Hanya lima kata, tapi cukup untuk membuatnya mengambil keputusan besar. Ia menggenggam ponsel itu erat, lalu bersandar di kursinya, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia tahu bahwa Nayla masih terikat pernikahan dengan Daren, tapi ia juga tahu satu hal—Nayla tidak bahagia. Dan ia tidak akan tinggal diam. Regan menekan tombol interkom dan memanggil asistennya. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk. "Selidiki Daren lebih dalam. Aku ingin tahu semua tentang dia, terutama kelemahannya," perintah Regan dengan nada dingin. Asistennya mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." Setelah pria itu keluar, Regan mengusap wajahnya dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak peduli dengan norma atau status sosial saat ini. Yang ia tahu, Nayla pantas mendapatkan kebahagiaan—dan kebahagiaan itu
Keesokan harinya, Nayla bangun dengan mata sembab. Sepanjang malam, ia tak bisa tidur memikirkan semua yang terjadi. Ancaman Daren masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya merasa semakin terperangkap. Namun, di sisi lain, ingatan tentang Regan dan bagaimana pria itu berusaha membelanya terus menghantui pikirannya. Saat ia turun ke ruang makan, Daren sudah duduk di meja dengan sikap santai seolah tidak terjadi apa-apa. Pria itu menyesap kopinya sambil menatap Nayla yang berjalan mendekat. “Kamu tidur nyenyak?” tanyanya dengan nada sinis. Nayla tidak menjawab, hanya duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri karena kembali ke rumah ini, ke dalam pernikahan yang membuatnya tersiksa. Daren menaruh cangkirnya dan menyandarkan tubuh ke kursi. “Aku sudah bilang, Nayla. Jangan coba-coba menentang aku. Kalau kamu nurut, kita nggak perlu ada masalah.” Nayla mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan amarah dan ketakutan yang berkecamuk
Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana di rumah orang tua Nayla kembali tenang, meskipun kecemasan masih menyelimuti hati Nayla. Ia merasa terperangkap dalam rasa takut dan kebingungannya. Namun, Regan tak pernah berhenti memberikan dukungan penuh kepadanya. Ia bahkan sering datang menjemput Nayla, memastikan dia tidak sendirian. Suatu sore, setelah makan malam, Regan duduk berhadapan dengan Nayla di ruang tamu. Wajah Nayla terlihat murung, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Regan bisa merasakan betapa berat perasaan Nayla. “Nayla, aku tahu ini bukan hal yang mudah. Aku juga tahu kamu merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit, tapi kamu harus tahu, kamu tidak harus menghadapi ini sendirian. Aku akan selalu ada di sini untuk kamu,” kata Regan dengan penuh perhatian. Nayla mengangkat wajahnya, mata mereka saling bertemu. Ada kekuatan dan ketulusan dalam pandangan Regan yang membuat hatinya terasa lebih ringan. “Regan… aku merasa bingung. Aku tidak tahu
Setelah beberapa saat berbincang dengan Regan, Nayla memutuskan untuk pulang. Regan menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Nayla menolak dengan halus. “Aku nggak mau kamu terlibat lebih jauh, Regan. Aku akan baik-baik saja.” “Kalau kamu butuh apa pun, jangan ragu menghubungiku,” ujar Regan dengan nada penuh perhatian. Nayla tersenyum tipis dan mengangguk sebelum melangkah keluar kafe. Namun, saat Nayla berjalan menuju mobilnya, pria yang diperintahkan Daren untuk mengawasi langsung bergerak mendekatinya. Dia menyentuh earphone kecil di telinganya, memberikan laporan singkat kepada atasannya. “Tuan, Nyonya baru saja keluar dari kafe. Haruskah saya mengambil tindakan?” “Ikuti dia, tapi jangan bertindak gegabah,” jawab Daren tegas. “Aku ingin tahu ke mana dia pergi. Jangan sampai kehilangan jejak.” Pria itu segera memasuki mobilnya dan mulai mengikuti Nayla dari kejauhan. Ia memastikan jaraknya cukup jauh agar tak menimbulkan kecurigaan. --- Di sisi lain, Daren terus menatap
Keesokan harinya, setelah pertemuan panjang dengan orang tuanya, Nayla memutuskan untuk menghadapi suaminya. Dengan penuh tekad, ia kembali ke apartemen mereka. Sesampainya di sana, suasana terasa sepi. Namun, baru beberapa langkah masuk, ia dikejutkan oleh suara berat suaminya yang muncul dari ruang tengah. “Kamu dari mana saja?” tanya pria itu dengan nada tajam, tanpa menoleh. Nayla menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Aku dari rumah orang tua. Aku butuh waktu berpikir.” Suaminya, Daren, berdiri dan berjalan mendekat. Matanya menatap tajam ke arah Nayla, penuh dengan amarah. “Berpikir apa? Tentang bagaimana kabur dari pernikahan ini, begitu?” Nayla tetap tenang, meski hatinya berdebar keras. “Aku sudah cukup lama berpikir. Dan aku sudah mengambil keputusan, Daren. Aku ingin kita bercerai.” Daren terkejut mendengar ucapan Nayla yang begitu tegas. “Apa kamu serius, Nayla? Hanya karena kamu melihat aku bersama teman wanita kemarin? Itu bukan urusa
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Ia merasa butuh dukungan, sekaligus ingin menjernihkan pikirannya setelah pertemuan dengan Regan semalam. Namun, tak disangka di perjalanan, ia melihat suaminya bersama seorang wanita lain di sebuah kafe. Jantung Nayla berdegup kencang, tangannya gemetar. "Jadi selama ini... dia selingkuh?" gumamnya pelan, merasa semua yang ia perjuangkan selama bertahun-tahun hancur begitu saja. Nayla segera mengambil ponselnya dan menghubungi Regan. “Regan, aku butuh bicara. Bisa ketemu sekarang?” Di sisi lain, Regan langsung merespons dengan nada khawatir. “Tentu, Nayla. Kamu di mana? Aku jemput.” Tak sampai setengah jam kemudian, Regan tiba di tempat Nayla berdiri. Melihat wajah Nayla yang pucat dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, Regan segera turun dan menghampirinya. “Kamu baik-baik saja?” Nayla menggeleng pelan, menahan tangis. “Aku… aku baru saja melihat suamiku bersama wanita lain. Selama ini aku ya