Keesokan paginya, saat keluarga Arvendra berkumpul di ruang makan untuk sarapan, Olivia turun dengan tampilan yang segar dan senyum mengembang di wajahnya. Ia menyapa semua orang dengan hangat, terutama ibu Arjun yang duduk di sisi kepala meja. "Selamat pagi, Tante, semuanya," Olivia menyapa dengan ramah, seolah sudah bagian dari keluarga. Ibu Arjun tersenyum dan mempersilakannya duduk. "Pagi, Olivia. Bagaimana tidurmu semalam? Semoga kamarnya nyaman," tanya ibu Arjun dengan perhatian. "Nyaman sekali, Tante. Terima kasih sudah menjamu saya dengan baik," jawab Olivia sopan, sesekali melirik Elvira yang duduk di seberang meja dengan ekspresi kaku. Elvira, yang sudah tak tahan melihat Olivia merasa begitu betah, meletakkan sendoknya agak keras ke piring dan tersenyum kecil namun penuh sindiran. "Ya, untungnya kamar tamu di sini memang disiapkan untuk tamu-tamu khusus, kan?" Nada Elvira terdengar halus, tapi siapa pun bisa menangkap sarkasme di baliknya. Arjun yang duduk di samp
Ketika Arjun bersiap mengantar Olivia pulang, Elvira muncul dari balik pintu dengan wajah penasaran, matanya menyipit seolah berusaha membaca suasana. "Aku ikut," ujar Elvira sambil meraih tasnya. Namun, langkah Elvira tiba-tiba terhenti ketika suara mertua terdengar di belakangnya. "Elvira, bukannya kamu bilang ingin berbicara denganku tentang acara amal nanti?" Nada suara ibu Arjun lembut namun tegas, seperti sengaja menahan Elvira agar tetap tinggal di mansion. Elvira menoleh, sedikit enggan, namun ia tak bisa menolak permintaan mertuanya. "Baiklah, Bu. Kita bisa membahasnya sekarang," balasnya dengan senyum yang dipaksakan, meski sorot matanya masih menatap Olivia dengan tajam. Olivia yang berdiri di samping Arjun hanya mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas di balik wajah polosnya. "Saya akan segera pulang, Tante. Terima kasih atas keramahan keluarganya hari ini." Ibu Arjun mengangguk ramah. "Kamu selalu diterima di sini, Olivia." Elvira hanya menghela napas kesal,
Keesokan harinya, Arjun dan Olivia kembali pada rutinitas mereka, tetap menjaga rahasia hubungan mereka. Arjun tiba di kantor lebih awal dari biasanya, sementara Olivia menyusul tak lama kemudian, masuk dengan senyum penuh percaya diri. Namun, ketegangan terasa saat mereka bertemu pandang di tengah lobi kantor. Meski harus berpura-pura profesional, ada ketertarikan yang sulit disembunyikan. Saat jam makan siang, Arjun mendekati Olivia dengan ekspresi tenang. “Ada yang perlu kubicarakan denganmu di ruanganku. Bisa datang sebentar?” katanya dengan nada datar, seolah sedang mengatur urusan pekerjaan. Olivia mengangguk, kemudian bergegas menuju ruangan Arjun beberapa menit kemudian. Setelah pintu tertutup rapat, senyum di wajah Arjun perlahan berubah menjadi senyuman nakal, menunjukkan sisi yang hanya Olivia yang tahu. “Apa kau siap dengan rencana kita akhir pekan ini?” tanyanya sambil mendekat, pandangan matanya hangat namun penuh tekad. “Tentu saja,” jawab Olivia, mendekatkan diri
Saat malam sudah larut, Arjun akhirnya kembali ke mansion. Langkahnya pelan namun mantap, berusaha tidak menimbulkan suara saat melewati ruang tengah menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat Elvira sudah berdiri di ujung lorong dengan tatapan penuh curiga. “Kau pulang tengah malam lagi, Arjun?” Elvira menyapa dengan nada dingin, alisnya terangkat, memperlihatkan ekspresi yang penuh tanda tanya. Arjun tersenyum tenang, tanpa tergesa-gesa menghampiri istrinya. “Ada urusan pekerjaan yang harus kuselesaikan, Elvira. Kau tahu, proyek besar ini memerlukan waktu dan tenaga ekstra,” jawabnya dengan nada santai, berusaha terdengar meyakinkan. Elvira mendekat, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi suaminya. “Urusan pekerjaan? Kenapa selalu seperti ini, Arjun? Tengah malam, berulang kali. Jangan-jangan…” ia menggantungkan kalimatnya, berharap Arjun akan menanggapi dengan jujur atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda kebohongan. Arjun terkekeh ringan, t
Keesokan harinya, Arjun bangun dengan perasaan hampa. Setelah semalam penuh memikirkan Olivia, hatinya semakin gelisah. Tanpa pikir panjang, ia segera bersiap, meraih jasnya dan meninggalkan mansion sebelum Elvira sempat menahannya. Sampai di kantornya, Arjun langsung melangkah menuju ruangan pribadinya, berharap bisa segera melihat Olivia. Ia tak sabar ingin merasakan kembali senyum hangat dan perhatian dari wanita yang telah berhasil merebut hatinya sepenuhnya. Saat pintu ruangannya terbuka, Olivia sudah ada di sana, berdiri sambil menyusun beberapa dokumen. "Pagi, Arjun," sapanya lembut, tersenyum kecil. Arjun melangkah mendekat, dan tanpa ragu, ia meraih tangan Olivia, menggenggamnya erat. "Aku ingin kau tahu, aku hanya punya kau, Olivia. Kau yang selalu mengisi hari-hariku. Aku ingin ini… bukan sekadar rahasia lagi," ucapnya dengan suara pelan tapi tegas. Olivia terdiam, menatap wajah Arjun yang tampak begitu serius. Ada keraguan di matanya, tapi ia tak bisa membohongi di
Elvira mencoba meredakan napasnya, menenangkan diri dari pertemuan tak terduga ini. Namun, tatapan Raka yang penuh arti membuatnya terpojok. Perlahan, dia mengangkat cangkir kopinya, seolah-olah mencoba menyembunyikan kegugupan di balik tindakan sederhana. “Aku tidak ingin mengungkit masa lalu, Raka,” katanya pelan tapi tegas. “Semua sudah berubah, aku sudah menikah dan menjalani hidup yang berbeda sekarang.” Raka tersenyum, seolah tidak terpengaruh. “Menikah, ya? Dengan pria kaya yang kau anggap bisa melindungimu dari semua ini?” ujarnya sinis, sambil menggeleng pelan. “Kau tahu, Elvira, rahasia yang kita punya terlalu besar untuk dilupakan begitu saja. Tidak semudah itu.” Elvira merasa dadanya semakin sesak. “Aku mohon, Raka, jangan buat ini semakin sulit,” katanya lirih, hampir memohon. Dia tahu bahwa Raka memegang sesuatu yang bisa menghancurkan hidupnya, dan itu bukan hanya soal masa lalu mereka, tapi juga sesuatu yang bisa membuka rahasia yang selama ini ia tutupi dari Arj
Malam itu, setelah percakapan mereka yang penuh ketulusan, Elvira tetap merasa cemas. Meski Arjun sudah meyakinkannya dengan kata-kata hangat, perasaan takut dan bersalah masih membayanginya. Dia merasa ada banyak hal yang ia sembunyikan dari Arjun, dan perlahan-lahan, semua itu terasa semakin menyesakkan. Ketika Arjun akhirnya tertidur, Elvira terbangun dengan pikiran yang berkecamuk. Ia berjalan pelan-pelan keluar dari kamar, tak ingin membangunkan suaminya. Saat mencapai ruang tengah, ia terduduk di sofa sambil memandangi layar ponselnya. Dalam pikirannya, ada ketakutan bahwa rahasia masa lalunya bisa terungkap kapan saja. Elvira bergumam, mencoba menenangkan diri, “Aku tidak bisa terus seperti ini... aku harus menemukan cara agar semua ini tidak pernah terungkap.” Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang namanya membuat jantung Elvira berdetak lebih cepat. Itu adalah pesan dari mantan kekasihnya. Ia langsung merasa was-was, tetapi ra
Hari berikutnya, Olivia datang ke kantor dengan semangat baru, bertekad untuk memfokuskan diri pada pekerjaan dan mengesampingkan semua drama yang terjadi sebelumnya. Dia duduk di mejanya, menyusun laporan yang perlu diselesaikan, namun pandangannya tidak bisa tidak tertuju pada pintu ruangan Arjun. Saat dia melirik ke arah pintu itu, dia melihat Elvira berjalan dengan langkah percaya diri, menuju ruangan suaminya. Dengan senyuman nakal di wajahnya, Olivia memutuskan untuk menghampiri Elvira. Dia melangkah cepat, mengikuti jejak Elvira yang tampak tidak menyadari kehadirannya. Ketika Elvira membuka pintu dan hendak masuk ke dalam, Olivia menghentikannya dengan menaruh tangannya di pintu, memaksa Elvira untuk berhenti. “Elvira, tunggu!” seru Olivia, suaranya terkesan ceria namun ada nada menantang di dalamnya. Elvira menoleh dengan raut wajah bingung. “Ada apa, Olivia? Aku sedang terburu-buru,” jawabnya, mencoba menjaga kesan tenang meskipun dalam hatinya ia merasa tidak nyaman.
Nayla menundukkan kepala, mendengarkan ibunya bicara dengan suara lembut namun penuh ketegasan. "Nayla, Ibu tahu kamu sudah melalui banyak hal. Perceraian itu bukan hal mudah, apalagi dengan segala yang Darren lakukan padamu," ujar ibunya sambil menggenggam tangan putrinya. "Tapi Ibu nggak mau kamu terjebak dalam kebingungan. Kamu harus benar-benar berpikir sebelum mengambil keputusan lagi." Nayla menggigit bibir, menatap jemari mereka yang saling menggenggam. "Ibu, aku juga nggak mau gegabah. Aku cuma..." Ibunya menatapnya lekat. "Kamu takut, kan?" Nayla terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu itu benar. "Regan memang baik, Ibu nggak menyangkal itu. Tapi apakah kamu benar-benar yakin dengan perasaanmu? Apakah dia benar-benar yang kamu inginkan, atau hanya karena kamu merasa kesepian?" Nayla menelan ludah, mencoba mencari jawaban di hatinya. Ibunya melanjutkan dengan suara lebih lembut, "Ibu cuma nggak mau kamu terluka lagi, Nak. Kamu berhak bahagia, tapi pastika
Beberapa bulan setelah resmi bercerai, Nayla mulai terbiasa dengan kehidupannya sebagai seorang janda. Meski awalnya berat, ia mulai menikmati kebebasan yang kini dimilikinya. Tak ada lagi tekanan, tak ada lagi tuduhan menyakitkan dari Darren, dan yang terpenting, ia tak lagi merasa sendirian. Pagi ini, seperti biasa, Nayla duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat sambil membaca novel. Matahari pagi menyinari wajahnya dengan lembut, dan angin sepoi-sepoi mengelus rambutnya yang tergerai. "Akhirnya, hidupku terasa damai," gumamnya pelan. Ponselnya bergetar di atas meja. Nama Regan muncul di layar. Nayla tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. "Pagi, Regan." "Pagi, Nayla. Apa rencanamu hari ini?" suara pria itu terdengar santai, seperti biasa. Nayla menghela napas kecil. "Belum ada rencana. Mungkin ke butik, mencari beberapa baju baru. Aku butuh suasana baru." Regan terkekeh. "Bagus, kamu mulai menikmati waktumu sendiri. Tapi… bagaimana kalau aku menemanimu?
Setelah berbincang dengan Olivia, Nayla merasa lebih tenang. Namun, begitu ia berbalik untuk pergi ke kamarnya, langkahnya terhenti saat melihat sosok Regan berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Tatapan pria itu begitu lembut, penuh ketulusan yang membuat Nayla hampir kehilangan kata-kata. Regan melangkah mendekat, lalu menyentuh pipi Nayla dengan jemarinya. "Aku mendengar semuanya," ucapnya pelan. "Apa yang kamu katakan pada Mom tadi… itu benar-benar berarti untukku, Nayla." Nayla menundukkan kepala, wajahnya memanas. "Aku hanya mengatakan yang sejujurnya." Regan tersenyum, lalu meraih kedua tangan Nayla dan menggenggamnya erat. "Kalau begitu, aku ingin kamu juga mendengar sesuatu dariku." Nayla mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu dengan rasa penasaran. "Aku mencintaimu, Nayla. Dari dulu, sejak pertama kali aku melihatmu dalam kesedihanmu, aku tahu aku ingin melindungi dan membahagiakanmu. Aku tidak peduli dengan masa lalu atau siapa pun yang mencoba menghalangi
Regan menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Nama sang ibu, Olivia, tertera di sana. Ia tahu, cepat atau lambat, pembicaraan ini akan terjadi. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat panggilan itu. "Regan, Nak. Bisakah kamu datang ke mansion sekarang?" Suara Olivia terdengar lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Regan melirik sekilas ke arah Nayla, yang duduk di sebelahnya di dalam mobil. Wanita itu masih tampak lelah setelah sidang, tetapi tetap tenang. "Ada apa, Mom?" tanya Regan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Kamu tahu ini tentang apa," jawab Olivia. "Ayahmu juga ingin bicara denganmu. Dan bawalah Nayla bersamamu." Regan menghela napas dalam. "Baiklah. Kami akan segera ke sana." Setelah menutup panggilan, ia menoleh pada Nayla. "Mom dan Dad ingin kita datang ke mansion." Nayla menegang sejenak. "Aku sudah bisa menebak," katanya lirih. "Mereka pasti ingin membahas semuanya, terutama soal kita." Regan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kita ha
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Nayla melangkah memasuki ruang sidang dengan kepala tegak, meskipun dadanya berdebar kencang. Regan berdiri di belakangnya, memberikan dukungan tanpa suara. Ia tahu betapa pentingnya hari ini bagi Nayla. Darren sudah duduk di kursi penggugat, wajahnya dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka. Ia menatap Nayla dengan sorot mata tajam, seolah menantang wanita itu untuk mundur. Namun, Nayla tidak goyah. Ia sudah siap. Hakim mengetuk palunya, membuka sidang perceraian mereka. "Saudari Nayla, Anda mengajukan gugatan cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga dan perselingkuhan dari pihak suami. Apakah benar demikian?" Nayla mengangguk mantap. "Benar, Yang Mulia." Darren mendengus sinis. "Itu semua kebohongan. Dia hanya ingin meninggalkanku demi pria lain!" Hakim menatap Darren tajam. "Saudara Darren, harap jaga sikap Anda di persidangan." Nayla menghela napas panjang sebelum berbicara, suaranya jernih dan mantap. "Selama bertahun-tahun saya
Darren Bersiap Menyerang, Regan Tidak Tinggal Diam Di vila rahasia, Regan duduk di depan layar komputer besar dengan ekspresi tegang. Seorang pengawalnya baru saja memberi laporan tentang Darren yang mulai bergerak. Melalui kamera pengintai dan beberapa informan, ia bisa melihat Darren sedang mengumpulkan anak buahnya. "Dia sudah menemukan lokasi kita," kata Regan dengan suara dingin, matanya tajam menatap layar. Nayla yang duduk di sofa menegang mendengar itu. "Apa? Bagaimana bisa?" Regan menutup laptopnya dengan tenang, lalu bangkit dan menghampiri Nayla. "Darren memang licik, tapi aku sudah mengantisipasi ini. Aku sengaja membiarkan sedikit petunjuk agar dia berpikir dia lebih unggul. Tapi sebenarnya, ini jebakan." Nayla menatap Regan dengan bingung. "Jebakan?" Regan tersenyum tipis. "Ya. Aku ingin memastikan dia membuat kesalahan fatal kali ini. Jika dia datang dengan niat buruk, aku akan memastikan dia tidak bisa lolos dari hukum lagi." Tiba-tiba, salah satu pengawa
Regan Tak Tinggal Diam Regan menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Berita tentang dirinya menyebar seperti api, dan media terus menggiring opini bahwa ia telah menculik Nayla. Tak ingin tinggal diam, Regan segera menghubungi kepala tim PR-nya. "Aku ingin konferensi pers. Segera." Suara di ujung telepon terdengar ragu. "Tuan Regan, situasinya cukup sensitif. Jika Anda bicara sekarang tanpa bukti kuat, justru bisa memperburuk keadaan." Regan mengepalkan tangan. "Aku tidak peduli. Siapkan semuanya. Aku akan membalikkan keadaan." Sementara itu, Nayla duduk di sofa dengan tatapan kosong. Ia merasa bersalah karena Regan harus menghadapi semua ini gara-gara dirinya. Regan mendekatinya, lalu duduk di sampingnya. "Jangan khawatir. Aku akan membuat dunia tahu siapa yang sebenarnya bersalah." Nayla menghela napas dalam. "Tapi Regan… jika Darren semakin marah, dia bisa melakukan hal yang lebih buruk." Regan menatapnya tajam. "Dia boleh mencoba, tapi aku tidak akan memb
Kemurkaan Darren dan Kesiapan Regan Di kediaman keluarga Anderson, Darren menggebrak meja dengan keras, matanya memerah penuh amarah. "Di mana dia menyembunyikan istriku?!" bentaknya tajam ke arah Olivia dan Arjun. Olivia yang duduk di sofa tampak berusaha mempertahankan ketenangannya meski jelas ia sangat syok dengan tindakan putranya. "Darren, aku tahu kau marah, tapi menggebrak meja di rumah orang lain bukan tindakan yang pantas." "Jangan bicara soal pantas atau tidak, Nyonya Olivia," dengus Darren sinis. "Aku tahu putramu yang membawa kabur Nayla! Dia pikir siapa dia bisa mencampuri rumah tanggaku?! Aku mau dia mengembalikan istriku sekarang juga!" Arjun yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalau Nayla benar-benar ingin kembali padamu, Darren, dia pasti sudah melakukannya. Nyatanya, dia tidak ingin kembali padamu, kan?" Darren mengertakkan gigi, wajahnya merah padam. "Itu karena Regan yang menculiknya!" Olivia menatap Darren tajam. "Sebut itu penculikan atau a
Ketegangan di Vila Setelah panggilan dengan orang tuanya berakhir, Regan bersandar di kursinya, menghembuskan napas panjang. Ia tahu keluarganya tidak akan tinggal diam, tetapi saat ini yang paling penting baginya adalah menjaga Nayla tetap aman. Di sisi lain, Nayla duduk di ruang tamu vila, menatap kosong ke arah camilan yang disajikan pelayan. Pikirannya kacau. Sejak tiba di tempat ini, ia terus memikirkan perbedaan sikap antara Regan dan Darren. Darren selalu memperlakukannya dengan dingin, penuh tuntutan, dan sering menyalahkannya. Sementara Regan... pria itu selalu ada untuknya. Memberikan perlindungan tanpa meminta balasan, membuatnya merasa berharga meskipun ia sendiri masih bingung dengan perasaannya. "Kenapa kau melamun?" Suara Regan membuyarkan pikirannya. Nayla menoleh dan melihat pria itu sudah berdiri di belakang sofa, menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku hanya..." Nayla menggigit bibirnya, ragu untuk jujur. "Aku memikirkan semuanya." Regan duduk di sofa seberan