“Kau hanya wanita yang disewa dengan imbalan setumpuk uang.”“Kau tahu bagian yang paling menyedihkan, Hannah? Karena Sebastian bahkan tidak pernah menganggap kehadiranmu di rumah ini.”“Untuk seseorang yang sedang sakit ucapanmu terdengar tidak masuk akal, Tara. Kau tahu itu?”“Aku? Sakit? Jangan bodoh! Aku cukup sehat untuk melihatmu ditendang dari rumah ini.”Hannah berusaha meraup udara untuk paru-parunya yang mulai menunjukkan protes. Ia menumpu kedua tangan di atas lutut dengan napas ngos-ngosan. Peluh membasahi wajahnya tapi Hannah tidak terlalu memedulikannya.Suasana hatinya sedang kacau. Hannah mengambil tempat duduk dan merentangkan kakinya. Kata-kata Tara sukses membuatnya terkejut setengah mati. Pembicaraan itu berakhir dengan kacau. Kalimat yang diucapkan wanita itu masih terngiang di telinganya seperti radio rusak.“Kau baik-baik saja?”Hannah mendongak, sedikit mengernyit karena sinar matahari sedikit menghalangi pandangannya. “Aku baik,” ucapnya sambil lalu.“Sepertin
“Kau cacat. Kau tidak sempurna.”Pandangan matanya yang berkabut hanya bisa menatap nanar saat sorot mata penuh hina itu memandangnya seakan ia penyakit menular yang berbahaya.“Kau tidak mungkin serius.”“Apa ini alasanmu menahan diri selama ini? Kau hanya ingin menutupi cacatmu?”Ia ingin berlari, menghilang untuk menghilangkan rasa sakit ini, tapi kakinya lumpuh. Ia tidak bisa bergerak bahkan jika ia ingin. Kenapa udara serasa mencekiknya? Mimpinya hancur lebur dalam sekejap. Dadanya sesak mendengar kata-kata kejam yang menusuk itu. Seolah sebilah pisau ditancapkan tepat di jantungnya. Sumber kehidupannya.“Aku tidak menginginkanmu lagi. Kau bukan yang kuinginkan.”“Kau tidak mungkin serius.”“Tidak ada pria yang mau menerima wanita cacat sepertimu. Kau tahu itu.”“Kau mengatakan menerimaku apa adanya.”“Jangan bodoh dan sentimental. Tidak akan ada yang mau menerima wanita cacat sepertimu!”Ia membeku. Mati rasa. Rasa sakit yang menghujamnya seolah menelan habis seluruh napasnya. S
Bagaimana rasanya tidur nyenyak tanpa diiringi mimpi buruk? Well, mungkin senyum mengembang saat kau membuka mata cukup menyenangkan untuk memulai hari. Sinar matahari pagi menelisik melalui kisi-kisi kamarnya. Kamar ini dikelilingi dinding kaca yang membuatnya bisa memandang dari luar seandainya tidak ada tirai panjang yang membatasi penglihatannya.Hannah meregangkan otot-ototnya yang kaku dan bangun dari ranjangnya. Kenangan malam itu kembali melintas di kepalanya. Sebastian menciumnya. Tangannya terangkat menyentuh bibirnya. Ciuman lembut yang membuatnya melupakan segalanya, mengusir kabut gelap yang menyelimutinya.Pandangannya tanpa sengaja menatap dinding di kamarnya dan ia langsung terkesiap saat menyadari kalau ia sudah terlambat.Sial.Hannah meloncat dari ranjangnya dan berlari ke kamar mandi kemudian mandi secepat kilat. Ia membuat rekor mandi tercepat dalam hidupnya. Hannah membalut tubuhnya dengan handuk dan buru-buru meraih setelan kerja yang cocok dikenakan di musim pa
Terlambat.Ia tidak bisa menarik apa yang sudah ia katakan. Saat melihat ekspresi Tina ia yakin kalau pertanyaan itu mengungkapkan banyak hal. Hannah sungguh berharap mereka bisa keluar dari lift ini agar bisa menghindar dari pertanyaan Tina.“Aku sudah bertanya-tanya, Hannah.” Kini Tina mengamati wajah Hannah. “Meski baru mengenalmu satu tahun terakhir aku bisa memastikan kalau kau tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada asmara dan tiba-tiba saja seluruh kota mengumumkan pernikahanmu dengan miliuner itu. Apa yang terjadi? Pernikahan itu terkesan tiba-tiba.”Nah. Seharusnya mulutnya ini memiliki semacam filter. Sekarang bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu?Bunyi ping dari lift membebaskan Hannah dari keharusan menjawab.“Sebaiknya kita bergegas,” ujar Hannah cepat.“Kau tidak bisa lari setelah membuatku penasaran,” pekik Tina heboh, mengintimidasinya dengan tinggi badannya. Meski mengenakan boots dengan tumit 10cm, tetap saja Tina lebih tinggi darinya.“Aku akan menceritakann
Terakhir kali ia naik jet pribadi, Sebastian sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya atau seperti itulah yang ia pikirkan. Dan sekarang, kembali duduk di pesawat mewah Sebastian dengan kursi empuk yang membuat seluruh sel syarafnya merasa dimanjakan Hannah harus kembali berhadapan dengan kebisuan Sebastian.Sejak masuk pria itu sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop dan Hannah berencana merubah hal itu sekarang.“Apa kau tidak bosan?” tanyanya membuka pembicaraan.Sebastian menarik pandangannya dari tumpukan kertas berserakan menjadi ke arah Hannah.“Bosan? Kenapa aku harus bosan?”“Karena yang kau lakukan sejak kita masuk ke pesawat ini hanya mengamati dokumen-dokumen itu. Pernahkah kau menikmati waktu untuk dirimu sendiri Sebastian?” tanya Hannah sekarang benar-benar penasaran bagaimana sebenarnya pria itu menghabiskan harinya. Meski sudah mengenalnya selama satu bulan terakhir, tetap saja Sebastian terasa asing untuknya. Mereka p
Bisakah ia lebih kagum lagi pada pria itu? Sebastian menguasai keadaan. Tatapannya yang tajam dan penuh percaya diri seakan membius setiap pasang mata yang hadir. Lampu blitz yang menyilaukan terus menerus menerpa wajah rupawan Sebastian. Tepuk tangan meriah dan juga senyum kepuasan tampak menghiasi setiap wajah.Hannah berusaha keras menahan gejolak yang membuncah dalam dadanya. Di sini. Saat ini. Untuk pertama kalinya ia melihat wajah Sebastian begitu bersemangat. Penuh energi dan juga ambisi. Pria itu tahu apa yang dia inginkan dan tahu bagaimana mewujudkannya. Dan ini sukses mengirimkan aliran rasa hangat yang terasa asing dalam dadanya.Bisakah ia mengagumi pria ini? Yang mendorongnya melewati batas kemampuannya demi mewujudkan mimpinya.“… Hannah.”Hannah terkesiap saat mendengar namanya disebut. Ia memasang wajah dengan senyum lebarnya dan berjalan mendekati Sebastian yang berdiri di tengah-tengah lapangan dengan setelan resmi 3 lapisnya. Hannah berusaha menekan perasaan gugupn
“Sialan Alexa. Apa yang kau katakan padanya sampai dia pingsan!”“Tidak ada. Aku hanya mengatakan kebenaran mengenai kau dan Tara.”“Kau tahu itu bukan urusanmu ‘kan?”“Tara sahabatku!”“Tapi aku bukan dan sejauh yang kuingat aku tidak suka jika ada yang campur tangan dengan kehidupan pribadiku!”“Apa yang kau lihat darinya Sebastian? Dia tidak ada apa-apanya dibanding Tara bahkan denganku!”“Apa kau baru saja menghinanya?”Hannah mengerang. Percakapan samar itu membuat kepalanya berdengung. Apa itu suara Sebastian? Ia mengerjap, memaksa kelopak matanya terbuka dan langsung memejamkannya saat cahaya lampu menyilaukan mengganggu indra penglihatannya.Di mana ini? Hannah mengedarkan pandangan. Ia berada di sebuah kamar luas dengan perabotan mahal dan juga mengagumkan. Suara teriakan itu masih bisa ia dengar. Hannah bangkit dari ranjang ingin tahu dengan siapa Sebastian berteriak.Ia melangkah perlahan, membuka pintu dan langsung tertegun.“Hannah.”Sebastian berjalan mendekati Hannah.
“Apa maksud pertanyaanmu, Hannah?” lengkungan alis Sebastian melebar saat pertanyaan itu terucap. Jelas pria itu tersinggung mendengarnya dan Hannah harus merutuki kebodohannya nanti.“Bukan apa-apa. Hanya penasaran, jangan memarahiku,” tegurnya.“Aku tidak akan marah kalau kau tidak mengajukan pertanyaan bodoh!” bentak Sebastian.Dikatakan bodoh tentu saja Hanah tidak terima. Ia berdiri dengan wajah menantang. “Jangan mengatakan aku bodoh! Itu hanya pertanyaan iseng kalau kau tidak mau menjawabnya kau hanya tinggal bilang!” balasnya ketus.Udara membeku hanya dalam sekejap. Kemarahan berputar-putar diantara mereka seolah menunggu salah satu diantara mereka meledak.Satu hal yang pasti, jika ia mengatakan pada Sebastian tujuan wanita itu kembali padanya, ia hanya akan berakhir dengan dibenci. Sebastian jelas tidak akan memercayainya. Hanya dengan mengajukan pertanyaan sederhana itu saja sudah cukup membuat kemarahan pria itu meledak.“Kalau hal itu benar-benar membuatmu penasaran,” ge
Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“
Sebastian bertolak ke rumah sakit begitu urusannya dengan Carla selesai.“Apa kita akan membiarkannya seperti itu, Sir?”Sebastian merenungkan pertanyaan itu beberapa saat. Kemudian kepalanya bergerak sedikit. “Biarkan tetap seperti itu. Ketakutan akan membuatnya menderita.”Sebastian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi staf keuangan perusahaannya.“Bill, berikan dana pinjaman pada Benedict Corporation. Berapapun yang mereka inginkan aku tidak peduli bahkan semakin besar jumlahnya semakin bagus. Sebagai gantinya aku menginginkan seluruh asset Charles benedict sebagai jaminan. Ya, lakukan bersama Bean, pengacara kita.”Sebastian tersenyum sinis begitu menutup panggilan.Kit melirik Sebastian. “Apa Anda ingin membuat perusahaan tersebut hancur, Sir?”“Semakin banyak utang perusahaan kinerja perusahaan tersebut akan dipertanyakan dan harga saham mereka akan turun. Jika mereka tidak sanggup membayar utang…”Maka asset mereka akan disita sebagai gantinya.“Mereka main-main dengan nyawa
Ia mulai membenci rumah sakit.Rasanya ingin memaki semua orang yang ada di sini.Menyalahkan mereka atas apa yang terjadi pada dirinya. Pada Hannah. Pada kehidupan mereka.Sudah berapa kali mereka terjebak di tempat sialan ini?Rasanya seolah seluruh tulangnya dilolosi satu persatu saat mengingat kengerian yang menyambutnya begitu melihat tubuh Hannah tergeletak di tanah bersimbah darah. Keinginan membunuh nyaris mengambil seluruh akal sehatnya. Jika saja Kit tidak menghentikannya …“Sir.”Sebastian mengangkat kepalanya dengan enggan. Kemarahan yang terpancar dari tubuhnya pastilah sangat jelas karena Kit yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.“Kami sudah mengamankan Carla, Sir.”Kalimat itu berhasil mengirimkan denyut menyakitkan pada tubuhnya. Ketegangan mengancam menghancurkan pengendalian dirinya, tapi Sebastian berusaha dengan susah payah agar tidak kehilangan kendali. Sudut mulutnya terangkat menunjukkan seringai keji yang menghiasi wajahnya. Sesaat pandangannya terpaku pa
Aku mencintaimu.Apa permintaannya terlalu mustahil?Ia hanya ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sebastian tapi sampai sekarang ia tidak pernah mendengarnya. Ia sudah melakukan segalanya, menunjukkan perasaannya, menelanjangi harga dirinya tapi tetap tidak ada apa pun.Meski Sebastian bersikap lembut dan penuh perhatian, ia tidak merasa itu cukup. Ia membutuhkan kepastian bukannya benak yang dipenuhi dengan tanda tanya.“Apa yang kau pikirkan?”Hannah menoleh, menatap Sebastian yang sedang sibuk dengan komputer tabletnya.“Tidak ada, hanya menikmati pemandangan.”Udara musim gugur kini mulai terasa dingin menusuk kulit. Meski mereka berada di ruangan yang memiliki perapian modern tetap saja saat memandang keluar melalui jendela besar setinggi atap rumah ini ia bisa melihat kalau cuaca diluar cukup dingin.“Kau kedinginan?”Hannah menatap kain panjang yang membalut tubuhnya. “Tidak. Apa akan badai?” tanyanya saat melihat awan gelap yang menyelimuti langit Glosaria.Sebasti