“Kau cacat. Kau tidak sempurna.”Pandangan matanya yang berkabut hanya bisa menatap nanar saat sorot mata penuh hina itu memandangnya seakan ia penyakit menular yang berbahaya.“Kau tidak mungkin serius.”“Apa ini alasanmu menahan diri selama ini? Kau hanya ingin menutupi cacatmu?”Ia ingin berlari, menghilang untuk menghilangkan rasa sakit ini, tapi kakinya lumpuh. Ia tidak bisa bergerak bahkan jika ia ingin. Kenapa udara serasa mencekiknya? Mimpinya hancur lebur dalam sekejap. Dadanya sesak mendengar kata-kata kejam yang menusuk itu. Seolah sebilah pisau ditancapkan tepat di jantungnya. Sumber kehidupannya.“Aku tidak menginginkanmu lagi. Kau bukan yang kuinginkan.”“Kau tidak mungkin serius.”“Tidak ada pria yang mau menerima wanita cacat sepertimu. Kau tahu itu.”“Kau mengatakan menerimaku apa adanya.”“Jangan bodoh dan sentimental. Tidak akan ada yang mau menerima wanita cacat sepertimu!”Ia membeku. Mati rasa. Rasa sakit yang menghujamnya seolah menelan habis seluruh napasnya. S
Bagaimana rasanya tidur nyenyak tanpa diiringi mimpi buruk? Well, mungkin senyum mengembang saat kau membuka mata cukup menyenangkan untuk memulai hari. Sinar matahari pagi menelisik melalui kisi-kisi kamarnya. Kamar ini dikelilingi dinding kaca yang membuatnya bisa memandang dari luar seandainya tidak ada tirai panjang yang membatasi penglihatannya.Hannah meregangkan otot-ototnya yang kaku dan bangun dari ranjangnya. Kenangan malam itu kembali melintas di kepalanya. Sebastian menciumnya. Tangannya terangkat menyentuh bibirnya. Ciuman lembut yang membuatnya melupakan segalanya, mengusir kabut gelap yang menyelimutinya.Pandangannya tanpa sengaja menatap dinding di kamarnya dan ia langsung terkesiap saat menyadari kalau ia sudah terlambat.Sial.Hannah meloncat dari ranjangnya dan berlari ke kamar mandi kemudian mandi secepat kilat. Ia membuat rekor mandi tercepat dalam hidupnya. Hannah membalut tubuhnya dengan handuk dan buru-buru meraih setelan kerja yang cocok dikenakan di musim pa
Terlambat.Ia tidak bisa menarik apa yang sudah ia katakan. Saat melihat ekspresi Tina ia yakin kalau pertanyaan itu mengungkapkan banyak hal. Hannah sungguh berharap mereka bisa keluar dari lift ini agar bisa menghindar dari pertanyaan Tina.“Aku sudah bertanya-tanya, Hannah.” Kini Tina mengamati wajah Hannah. “Meski baru mengenalmu satu tahun terakhir aku bisa memastikan kalau kau tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada asmara dan tiba-tiba saja seluruh kota mengumumkan pernikahanmu dengan miliuner itu. Apa yang terjadi? Pernikahan itu terkesan tiba-tiba.”Nah. Seharusnya mulutnya ini memiliki semacam filter. Sekarang bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu?Bunyi ping dari lift membebaskan Hannah dari keharusan menjawab.“Sebaiknya kita bergegas,” ujar Hannah cepat.“Kau tidak bisa lari setelah membuatku penasaran,” pekik Tina heboh, mengintimidasinya dengan tinggi badannya. Meski mengenakan boots dengan tumit 10cm, tetap saja Tina lebih tinggi darinya.“Aku akan menceritakann
Terakhir kali ia naik jet pribadi, Sebastian sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya atau seperti itulah yang ia pikirkan. Dan sekarang, kembali duduk di pesawat mewah Sebastian dengan kursi empuk yang membuat seluruh sel syarafnya merasa dimanjakan Hannah harus kembali berhadapan dengan kebisuan Sebastian.Sejak masuk pria itu sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop dan Hannah berencana merubah hal itu sekarang.“Apa kau tidak bosan?” tanyanya membuka pembicaraan.Sebastian menarik pandangannya dari tumpukan kertas berserakan menjadi ke arah Hannah.“Bosan? Kenapa aku harus bosan?”“Karena yang kau lakukan sejak kita masuk ke pesawat ini hanya mengamati dokumen-dokumen itu. Pernahkah kau menikmati waktu untuk dirimu sendiri Sebastian?” tanya Hannah sekarang benar-benar penasaran bagaimana sebenarnya pria itu menghabiskan harinya. Meski sudah mengenalnya selama satu bulan terakhir, tetap saja Sebastian terasa asing untuknya. Mereka p
Bisakah ia lebih kagum lagi pada pria itu? Sebastian menguasai keadaan. Tatapannya yang tajam dan penuh percaya diri seakan membius setiap pasang mata yang hadir. Lampu blitz yang menyilaukan terus menerus menerpa wajah rupawan Sebastian. Tepuk tangan meriah dan juga senyum kepuasan tampak menghiasi setiap wajah.Hannah berusaha keras menahan gejolak yang membuncah dalam dadanya. Di sini. Saat ini. Untuk pertama kalinya ia melihat wajah Sebastian begitu bersemangat. Penuh energi dan juga ambisi. Pria itu tahu apa yang dia inginkan dan tahu bagaimana mewujudkannya. Dan ini sukses mengirimkan aliran rasa hangat yang terasa asing dalam dadanya.Bisakah ia mengagumi pria ini? Yang mendorongnya melewati batas kemampuannya demi mewujudkan mimpinya.“… Hannah.”Hannah terkesiap saat mendengar namanya disebut. Ia memasang wajah dengan senyum lebarnya dan berjalan mendekati Sebastian yang berdiri di tengah-tengah lapangan dengan setelan resmi 3 lapisnya. Hannah berusaha menekan perasaan gugupn
“Sialan Alexa. Apa yang kau katakan padanya sampai dia pingsan!”“Tidak ada. Aku hanya mengatakan kebenaran mengenai kau dan Tara.”“Kau tahu itu bukan urusanmu ‘kan?”“Tara sahabatku!”“Tapi aku bukan dan sejauh yang kuingat aku tidak suka jika ada yang campur tangan dengan kehidupan pribadiku!”“Apa yang kau lihat darinya Sebastian? Dia tidak ada apa-apanya dibanding Tara bahkan denganku!”“Apa kau baru saja menghinanya?”Hannah mengerang. Percakapan samar itu membuat kepalanya berdengung. Apa itu suara Sebastian? Ia mengerjap, memaksa kelopak matanya terbuka dan langsung memejamkannya saat cahaya lampu menyilaukan mengganggu indra penglihatannya.Di mana ini? Hannah mengedarkan pandangan. Ia berada di sebuah kamar luas dengan perabotan mahal dan juga mengagumkan. Suara teriakan itu masih bisa ia dengar. Hannah bangkit dari ranjang ingin tahu dengan siapa Sebastian berteriak.Ia melangkah perlahan, membuka pintu dan langsung tertegun.“Hannah.”Sebastian berjalan mendekati Hannah.
“Apa maksud pertanyaanmu, Hannah?” lengkungan alis Sebastian melebar saat pertanyaan itu terucap. Jelas pria itu tersinggung mendengarnya dan Hannah harus merutuki kebodohannya nanti.“Bukan apa-apa. Hanya penasaran, jangan memarahiku,” tegurnya.“Aku tidak akan marah kalau kau tidak mengajukan pertanyaan bodoh!” bentak Sebastian.Dikatakan bodoh tentu saja Hanah tidak terima. Ia berdiri dengan wajah menantang. “Jangan mengatakan aku bodoh! Itu hanya pertanyaan iseng kalau kau tidak mau menjawabnya kau hanya tinggal bilang!” balasnya ketus.Udara membeku hanya dalam sekejap. Kemarahan berputar-putar diantara mereka seolah menunggu salah satu diantara mereka meledak.Satu hal yang pasti, jika ia mengatakan pada Sebastian tujuan wanita itu kembali padanya, ia hanya akan berakhir dengan dibenci. Sebastian jelas tidak akan memercayainya. Hanya dengan mengajukan pertanyaan sederhana itu saja sudah cukup membuat kemarahan pria itu meledak.“Kalau hal itu benar-benar membuatmu penasaran,” ge
Bajingan.Persis seperti itulah yang ia rasakan sekarang. Ia merasa dunianya jungkir balik dalam sekejap. Bagaimana mungkin ia bertindak kurang ajar seperti ini? Saat ini, ia benar-benar ingin menghancurkan sesuatu sampai tangannya berdarah untuk menghilangkan perasaan jijik pada dirinya sendiri.Ya Tuhan!Perawan.Hannah masih perawan. Atau setidaknya sebelum ia kehilangan kendali.“Jangan berpura-pura polos Hannah. Wanita seusiamu pastinya sudah tidak perawan. Jangan takut, meski kau menginginkannya aku tidak akan menyentuhmu.”Kata-kata itu berputar-putar dikepalanya seperti gasing yang diputar dalam kecepatan tinggi. Mengejeknya, menertawakannya dan menghinanya. Tidak pernah ia merasa seburuk ini pada dirinya sendiri. Wanita mana yang masih perawan di usia dua puluh empat?Sebastian berpaling, menatap punggung Hannah yang tenang. Napas wanita itu terdengar teratur. Sebastian merasa buruk. Amat sangat buruk. Sekarang bagaimana mereka akan mengatasi ini? Tindakan ini meski tidak ada