"Kakak, ini bunga. Dari orang itu," ucap seorang anak laki-laki penjual tissu menyerahkan sebuah mawar merah kepadaku dengan menunjuk seorang lelaki di seberang sana.Aku memicingkan mata, berusaha mencari sosok lelaki yang di tunjuk oleh anak itu dengan jelas. Dan betapa terkejutnya Irvan duduk kursi taman seberang sana dengan membawa sebucket mawar merah yang sangat cantik. Dia tersenyum, lalu menghampiriku.Tubuhku masih saja membeku, rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Sebuah bucket bunga mawar merah dengan beberapa hiasan cantik dipinggirnya."Bunga yang cantik untuk wanita yang cantik dan kuat," ucap Irvan ketika sampai di hadapanku."Maksud kamu?""Ya terima aja dulu, nanti juga paham." Dia kembali berujar, membuatku mau tak mau menerima bunga yang telah disodorkan padaku."Aku tahu kamu sedang banyak masalah, itulah sebabnya aku kasih bunga biar kamu semangat lagi," tuturnya membuatku tersentuh."Sudah, nggak usah dipikirin dari mana aku tahu semua tentangm
[Bukan aku yang menginginkanmu miskin, Mas. Tapi kamu sendiri dengan segala kelakuanmu itu.]Rasanya aku sangat puas ketika bisa melihat Mas Darma seperti ini. Setidaknya kini dia bisa menerima pembalasan atas apa yang sudah dilakukannya padaku.Dengan segenap hati aku membantunya dengan ikut bekerja, tapi ternyata apa yang kulakukan hanyalah sebuah kesalahan. Andai saja waktu dapat diputar, aku tidak ingin kejadian ini terjadi padaku.[Persetan dengan semua itu. Bagiku siapa yang bisa membahagiakanku itu lah yang pantas bersanding denganku]Jantungku berdetak sangat cepat ketika kubaca pesan balasan darinya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu?[Baiklah ... Jalani hidupmu dengan BabySitter itu meski tanpa uang disakumu]Kulempar ponselku asal, lalu kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang kamar. Satu-satunya hal yang mampu membuatku bersemangat hanya satu, Arkan.Saat ini aku hanya ingin melihat Mas Darma hancur dan bisa kembali kejalan yang benar. Atau setidaknya aku ingin meliha
"Kamu sudah benar-benar mengikhlaskan Darma?" tanya Satya ditengah-tengah kesunyian yang terjadi diantara kami ketika tengah menikmati hidangan di restoran ini.Sejenak aku terdiam, memikirkan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya apakah benar bahwa aku telah mengikhlaskan Mas Darma atau belum. Namun, yang kurasakan kini hatiku memang telah benar-benar tak ada Mas Darma lagi."Iya, sudah.""Kamu tidak menyesal memberikan lelakimu kepada seorang BabySitter?"Aku tertawa setelah temanku itu mengatakan demikian. "Kenapa harus menyesal? Biarkan saja, mungkin memang itu yang dia inginkan, Satya."Satya ikut tertawa, lalu kami melanjutkan makan dengan topik pembicaraan yang lain. Bagiku Satya adalah teman yang sangat setia kepadaku karena dia mau tetap berada di sampingku ketika kondisiku benar-benar sedang terpuruk. Hanya Satya yang membantuku kala itu, ketika Mas Darma tengah terpergok bersama Nadia."Besok aku mau ke rumahmu, ada waktu?" tanya Satya ketika kami telah selesai makan."Ada
Pertemuanku dengan Irvan benar-benar membuat pikiranku tak bisa kukendalikan. Benar, pikiranku jadi kacau. Bagaimana tidak? Secara terang-terangan dia melamarku setelah perpisahanku dengan Mas Darma baru terjadi.Kuhembuskan nafas dalam, lalu menutup kembali kaca mobil yang sempat kubuka sebelumnya. Hari ini aktivitasku tak terlalu padat, sehingga aku lebih bisa menikmati hari dengan santai.Rencananya setelah ini aku ingin menjalani hariku dengan sangat bahagia. Mengenai Mas Darma dan Nadia aku sudah benar-benar melupakannya dan mengikhlaskan semuanya. Aku yakin di balik ini akan ada balasan yang jauh lebih baik dari apapun.Semua kejadian yang baru saja menimpaku ini memang terasa sangat sakit. Dikhianati oleh orang-orang terdekat seakan aku jatuh ke lembah yang sangat dalam. Orang-orang yang seharusnya menjadi penopang di saat hatiku gundah dan sakit nyatanya hanya bisa menjadi boomerang bagiku. Dengan teganya mereka memporak-porandakan hatiku sedalam ini.Ah, betapa adilnya Tuhan
"Em ... Tapi tidak ada salahnya kan kamu membuka hati lagi? Mana mungkin kamu akan sendiri terus seperti ini?" tandas Satya dengan menatapku dalam.Aku hanya menghela nafas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Eh, lihat. Besok kalau ada waktu luang lagi ajak aku ke sana, ya," kataku dengan menunjuk sebuah restoran yang baru saja buka dan mengadakan diskon besar-besaran untuk makanan utamanya.Sejujurnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri pun bisa pergi ke sana tanpa Satya. Pembicaraan Satya rasanya sangat menusukku, itulah sebabnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.Awalnya Satya terdiam, mungkin dia juga merasa jika sebetulnya aku hanya mengalihkan pembicaraan saja. Namun pada akhirnya dia lantas menyahut perkataanku. "Oh, restoran baru itu, ya? Baik lah, besok kita coba. Kebetulan makanan jepang adalah makanan kesukaanku," tuturnya dengan ikut melihat restoran di depan sana.Lewat ekor mataku, kulihat Satya menatap lekat restoran yang baru
Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak bisa fokus, karena masih memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Satya. Ya, perbuatan Satya yang mengakuiku sebagai kekasihnya di depan mantan pacarnya membuatku sangat tidak nyaman.Selain aku tidak suka kebohongan, aku juga tidak nyaman dengan sandiwara yang dia mainkan. Bagaimana bisa, dia membawakan sandiwara itu seperti dengan menggunakan hati? Jika tak sengaja aku menggunakan hati juga, apa yang akan dia lakukan?Astaga ... Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin semua itu terjadi karena persahabatanku dengannya sudah terjalin sangat lama. Mana mungkin Satya memiliki perasaan itu padaku, dan juga denganku, aku juga tidak mungkin memiliki rasa itu.Saat ini saja aku tengah gundah dengan perasaan yang baru saja diutarakan oleh Irvan, bagaimana mungkin aku justru menambah beban di dalam hatiku? Rasanya hidupku baru saja tenang selepas dari Mas Darma, lalu apa sekarang aku akan memperkeruhnya lagi dengan perasaan yang mungkin tak nyata in
Tak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama dua jam bersama Almira. Memang, jika sudah bertemu seperti ini membuat lupa waktu. Perbincangan demi perbincangan hangat kami benar-benar membuat lupa waktu.Almira adalah pribadi yang menyenangkan, dia tidak sombong dan sangat asik ketika diajak berbincang seperti ini. Hanya saja kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, terlebih semenjak aku berusaha menyibukkan diri setelah perpisahanku dengan Mas Darma."Alia, makasih ya. Aku seneng banget bisa ngobrol banyak sama kamu," tutur Almira ketika kami hendak berpisah."Nggak usah berterimakasih, aku juga seneng banget bisa ketemu kamu. Setidaknya pertemuan kita kali ini membuatku bisa tertawa lepas," ucapku menimpali.Kami sama-sama tersenyum, lalu bangkit dan hendak meninggalkan meja yang telah kami duduki sejak dua jam yang lalu. Namun perhatianku teralihkan oleh dompet Almira yang terbuka karena jatuh dari tasnya."Al, dompetmu jatuh," ucapku dengan lantas menunduk hendak menga
"Duduklah dulu, mari kita nikmati malam ini dengan sangat santai. Jangan terburu-buru, lagipula kamu juga baru sampai, kan?" tuturku ketika melihatnya sedikit tergesa-gesa dengan perasaannya.Irvan terlihat menggaruk kepalanya, lalu duduk di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja bundar dan penuh dengan lilin serta bunga. Tak kupungkiri, ini terlihat sangat manis dan romantis. Hanya saja lagi-lagi aku seperti tak bisa menikmatinya karena seluruh pikiranku masih tertuju pada Almira. Mungkin aku tak akan tenang sampai aku menanyakan hal itu kepadanya.Semoga saja semua yang kupikirkan mengenai Irvan tak benar, dan semua itu hanya pikiran burukku semata. Bukankah di dunia ini ada banyak orang yang berwajah mirip?"Terimakasih kamu sudah mau datang, Alia," ujar Irvan ketika ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas kursinya.Aku tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Lagipula aku tak mungkin tidak datang, karena memang ada sesuatu hal juga yang ingin kusampaikan pada
Dua tahun kemudian ...."Selamat Alia atas pernikahanmu," ucap Almira dengan memberiku pelukan hangat.Aku tersenyum, dan membalas pelukannya sedang pengantin lelaki yang ada di sampingku pun ikut tersenyum. Kami sedang menjadi raja dan ratu sehari hari ini, dan harapan kami semoga pernikahan ini akan langgeng hingga tua nanti.Ya, hari ini aku menikah. Menikah untuk kedua kalinya setelah pernikahanku yang pertama gagal karena suamiku lebih memilih babysitter anak kami sendiri. Pernikahan keduaku ini pun tak semudah yang dibayangkan, aku sudah melalui banyak sekali hal yang membuatku jatuh bangun hingga akhirnya aku memantapkan hati untuk menikah dengannya."Satya, selamat ya. Semoga kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Alia dan menjadi ayah yang baik untuk Arkan." Lagi, Almira memberi selamat pada kami, terutama pada Satya.Pada akhirnya aku menikah dengan Satya, lelaki yang sudah menemaniku sejak beberapa tahun terakhir ini. Suka duka sudah kami lalui bersama hingga akhirnya kami
"Sudah kubilang, jangan mengumbar cerita masalalu kita kepada oranglain. Aku tidak suka. Lagipula untuk apa kamu menceritakan kisah kita pada Alia? Kita sudah menjadi masalalu, dan aku berhak bahagia juga," tandas Irvan ketus.Aku yang berdiri tak jauh dari mereka bisa mendengar percakapannya dengan sangat jelas. Sengaja, aku ingin mendengar percakapan mereka yang mungkin tak akan diceritakan padaku. Almira adalah sabahat yang baik, Irvan pun demikian. Tak kupungkiri aku pun tidak bisa memihak pada salah satu diantara mereka.Keduanya kuanggap sangat baik meski pada kenyataannya Irvan menyatakan perasaannya padaku. Kupikir ini adalah jalan yang dipilih Tuhan untukku, sebagai pengganti Mas Darma tentunya. Namun jika sekarang kuketahui kenyataan yang seperti ini, apa aku tega untuk bersama Irvan? Sedang tangis Almira saja masih terngiang jelas di kepalaku.Lagipula aku tidak suka dengan sikap Irvan yang seakan menutupi apa yang tengah terjadi di antara kami. Dia sudah membohongi Almira
"Duduklah dulu, mari kita nikmati malam ini dengan sangat santai. Jangan terburu-buru, lagipula kamu juga baru sampai, kan?" tuturku ketika melihatnya sedikit tergesa-gesa dengan perasaannya.Irvan terlihat menggaruk kepalanya, lalu duduk di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja bundar dan penuh dengan lilin serta bunga. Tak kupungkiri, ini terlihat sangat manis dan romantis. Hanya saja lagi-lagi aku seperti tak bisa menikmatinya karena seluruh pikiranku masih tertuju pada Almira. Mungkin aku tak akan tenang sampai aku menanyakan hal itu kepadanya.Semoga saja semua yang kupikirkan mengenai Irvan tak benar, dan semua itu hanya pikiran burukku semata. Bukankah di dunia ini ada banyak orang yang berwajah mirip?"Terimakasih kamu sudah mau datang, Alia," ujar Irvan ketika ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas kursinya.Aku tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Lagipula aku tak mungkin tidak datang, karena memang ada sesuatu hal juga yang ingin kusampaikan pada
Tak terasa aku sudah menghabiskan waktu selama dua jam bersama Almira. Memang, jika sudah bertemu seperti ini membuat lupa waktu. Perbincangan demi perbincangan hangat kami benar-benar membuat lupa waktu.Almira adalah pribadi yang menyenangkan, dia tidak sombong dan sangat asik ketika diajak berbincang seperti ini. Hanya saja kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, terlebih semenjak aku berusaha menyibukkan diri setelah perpisahanku dengan Mas Darma."Alia, makasih ya. Aku seneng banget bisa ngobrol banyak sama kamu," tutur Almira ketika kami hendak berpisah."Nggak usah berterimakasih, aku juga seneng banget bisa ketemu kamu. Setidaknya pertemuan kita kali ini membuatku bisa tertawa lepas," ucapku menimpali.Kami sama-sama tersenyum, lalu bangkit dan hendak meninggalkan meja yang telah kami duduki sejak dua jam yang lalu. Namun perhatianku teralihkan oleh dompet Almira yang terbuka karena jatuh dari tasnya."Al, dompetmu jatuh," ucapku dengan lantas menunduk hendak menga
Sepanjang perjalanan aku sama sekali tidak bisa fokus, karena masih memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Satya. Ya, perbuatan Satya yang mengakuiku sebagai kekasihnya di depan mantan pacarnya membuatku sangat tidak nyaman.Selain aku tidak suka kebohongan, aku juga tidak nyaman dengan sandiwara yang dia mainkan. Bagaimana bisa, dia membawakan sandiwara itu seperti dengan menggunakan hati? Jika tak sengaja aku menggunakan hati juga, apa yang akan dia lakukan?Astaga ... Apa yang aku pikirkan? Tidak mungkin semua itu terjadi karena persahabatanku dengannya sudah terjalin sangat lama. Mana mungkin Satya memiliki perasaan itu padaku, dan juga denganku, aku juga tidak mungkin memiliki rasa itu.Saat ini saja aku tengah gundah dengan perasaan yang baru saja diutarakan oleh Irvan, bagaimana mungkin aku justru menambah beban di dalam hatiku? Rasanya hidupku baru saja tenang selepas dari Mas Darma, lalu apa sekarang aku akan memperkeruhnya lagi dengan perasaan yang mungkin tak nyata in
"Em ... Tapi tidak ada salahnya kan kamu membuka hati lagi? Mana mungkin kamu akan sendiri terus seperti ini?" tandas Satya dengan menatapku dalam.Aku hanya menghela nafas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Eh, lihat. Besok kalau ada waktu luang lagi ajak aku ke sana, ya," kataku dengan menunjuk sebuah restoran yang baru saja buka dan mengadakan diskon besar-besaran untuk makanan utamanya.Sejujurnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri pun bisa pergi ke sana tanpa Satya. Pembicaraan Satya rasanya sangat menusukku, itulah sebabnya aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.Awalnya Satya terdiam, mungkin dia juga merasa jika sebetulnya aku hanya mengalihkan pembicaraan saja. Namun pada akhirnya dia lantas menyahut perkataanku. "Oh, restoran baru itu, ya? Baik lah, besok kita coba. Kebetulan makanan jepang adalah makanan kesukaanku," tuturnya dengan ikut melihat restoran di depan sana.Lewat ekor mataku, kulihat Satya menatap lekat restoran yang baru
Pertemuanku dengan Irvan benar-benar membuat pikiranku tak bisa kukendalikan. Benar, pikiranku jadi kacau. Bagaimana tidak? Secara terang-terangan dia melamarku setelah perpisahanku dengan Mas Darma baru terjadi.Kuhembuskan nafas dalam, lalu menutup kembali kaca mobil yang sempat kubuka sebelumnya. Hari ini aktivitasku tak terlalu padat, sehingga aku lebih bisa menikmati hari dengan santai.Rencananya setelah ini aku ingin menjalani hariku dengan sangat bahagia. Mengenai Mas Darma dan Nadia aku sudah benar-benar melupakannya dan mengikhlaskan semuanya. Aku yakin di balik ini akan ada balasan yang jauh lebih baik dari apapun.Semua kejadian yang baru saja menimpaku ini memang terasa sangat sakit. Dikhianati oleh orang-orang terdekat seakan aku jatuh ke lembah yang sangat dalam. Orang-orang yang seharusnya menjadi penopang di saat hatiku gundah dan sakit nyatanya hanya bisa menjadi boomerang bagiku. Dengan teganya mereka memporak-porandakan hatiku sedalam ini.Ah, betapa adilnya Tuhan
"Kamu sudah benar-benar mengikhlaskan Darma?" tanya Satya ditengah-tengah kesunyian yang terjadi diantara kami ketika tengah menikmati hidangan di restoran ini.Sejenak aku terdiam, memikirkan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya apakah benar bahwa aku telah mengikhlaskan Mas Darma atau belum. Namun, yang kurasakan kini hatiku memang telah benar-benar tak ada Mas Darma lagi."Iya, sudah.""Kamu tidak menyesal memberikan lelakimu kepada seorang BabySitter?"Aku tertawa setelah temanku itu mengatakan demikian. "Kenapa harus menyesal? Biarkan saja, mungkin memang itu yang dia inginkan, Satya."Satya ikut tertawa, lalu kami melanjutkan makan dengan topik pembicaraan yang lain. Bagiku Satya adalah teman yang sangat setia kepadaku karena dia mau tetap berada di sampingku ketika kondisiku benar-benar sedang terpuruk. Hanya Satya yang membantuku kala itu, ketika Mas Darma tengah terpergok bersama Nadia."Besok aku mau ke rumahmu, ada waktu?" tanya Satya ketika kami telah selesai makan."Ada
[Bukan aku yang menginginkanmu miskin, Mas. Tapi kamu sendiri dengan segala kelakuanmu itu.]Rasanya aku sangat puas ketika bisa melihat Mas Darma seperti ini. Setidaknya kini dia bisa menerima pembalasan atas apa yang sudah dilakukannya padaku.Dengan segenap hati aku membantunya dengan ikut bekerja, tapi ternyata apa yang kulakukan hanyalah sebuah kesalahan. Andai saja waktu dapat diputar, aku tidak ingin kejadian ini terjadi padaku.[Persetan dengan semua itu. Bagiku siapa yang bisa membahagiakanku itu lah yang pantas bersanding denganku]Jantungku berdetak sangat cepat ketika kubaca pesan balasan darinya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu?[Baiklah ... Jalani hidupmu dengan BabySitter itu meski tanpa uang disakumu]Kulempar ponselku asal, lalu kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang kamar. Satu-satunya hal yang mampu membuatku bersemangat hanya satu, Arkan.Saat ini aku hanya ingin melihat Mas Darma hancur dan bisa kembali kejalan yang benar. Atau setidaknya aku ingin meliha