แชร์

BAB 92

ผู้เขียน: Rayna Velyse
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-06 22:33:18

Keesokan harinya, cahaya matahari pagi menyelimuti kota dengan sinar hangatnya. Elian dan Damien menaiki kereta menuju kediaman Pangeran Ketiga. Di sepanjang perjalanan, Damien tidak berhenti berbicara, membuat telinga Elian hampir pecah.

"Aku masih tidak setuju dengan ini," kata Damien dengan nada khawatir. "Kau terlalu memaksakan diri, Elian. Kemampuanmu memang luar biasa, tapi menyembuhkan seseorang bukanlah hal yang sepele. Apa kau yakin bisa melakukannya tanpa efek samping?"

Elian menghela napas panjang, mencoba menahan kesabarannya. "Aku sudah memikirkannya, Kak. Ini bagian dari perjanjianku dengan Caelum. Aku tidak bisa mengingkari kata-kataku."

Damien mengerutkan kening dan melipat tangannya. "Itu bukan masalahnya. Masalahnya adalah kau selalu mengorbankan dirimu tanpa berpikir panjang! Seharusnya kau lebih memikirkan kondisi tubuhmu sendiri!"

Elian menoleh ke arah kakaknya dan menatapnya lekat-lekat. "Kak, kau lebih banyak bicara dari
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Sisa Takdir   BAB 93

    Elian memejamkan matanya di dalam kereta, membiarkan tubuhnya bersandar pada sandaran kursi yang empuk. Namun, meskipun ia berusaha untuk beristirahat, tatapan tajam Damien yang duduk di depannya tetap terasa menusuk kulitnya. Ia tahu bahwa kakaknya masih belum bisa menerima keadaan ini sepenuhnya. Elian tersenyum kecil tanpa membuka mata. "Aku baik-baik saja, Kak Damien. Jangan memandangku seperti itu. Aku hanya ingin tidur sebentar." Damien menghela napas panjang sebelum akhirnya melemparkan selimut ke pangkuan Elian. "Kalau kau memang ingin tidur, gunakan ini. Aku tidak ingin kau jatuh sakit karena kecerobohanmu." Elian menerima selimut itu dengan senyum tipis. Tanpa berkata-kata lagi, ia menariknya hingga ke bahunya dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kegelapan yang nyaman. *** Di sisi lain, di dalam ruangannya yang luas dan remang-remang, Azrael mondar-mandir dengan wajah penuh kecemasan. Tangannya mengepal erat, pikirannya t

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-07
  • Sisa Takdir   BAB 94

    Caine berdiri di tengah hutan yang mulai gelap. Tubuh monster yang baru saja ia kalahkan tergeletak di hadapannya, darahnya mulai mengering di tanah yang lembab. Napasnya masih terengah, namun pikirannya sudah memikirkan langkah selanjutnya. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menebas kepala monster itu, memisahkannya dari tubuhnya. Jika makhluk ini bisa dijadikan bukti, maka dia akan membawanya kembali ke Silvercrest. Dengan sedikit kesulitan, ia mengangkat tubuh monster itu dan mulai berjalan menuju kediaman keluarga Silvercrest. Langkahnya mantap, pikirannya berputar tentang desa yang ia lihat sebelumnya sunyi, sepi, tanpa tanda kehidupan. Ia tidak tahu apakah itu karena ancaman monster ini atau ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia ketahui. Yang jelas, ia harus melaporkan temuannya. *** Di kediaman Silvercrest, Elian baru saja kembali dari kerajaan bersama Damien. Perjalanan panjang membuat tubuhnya sedikit lelah, namun ia tidak bisa beristi

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-08
  • Sisa Takdir   BAB 95

    Dua hari telah berlalu sejak Caine kembali ke desa untuk melanjutkan penyelidikannya. Tim dari Pangeran Pertama pun telah dikirim untuk membantu. Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda pergerakan mencurigakan, dan hari-hari berlalu dengan damai di kediaman Silvercrest. Namun, ketenangan itu berakhir ketika sebuah kereta kuda berhenti di depan gerbang rumah keluarga Silvercrest. Kereta itu sangat familiar bagi para penghuni rumah. Tanpa perlu bertanya, mereka tahu pemiliknya adalah Azrael. Lucien menyambut adiknya dengan ekspresi netral, menyembunyikan kecurigaannya dengan sangat baik. Azrael pun tidak berbeda. Jika Elian yang mendeskripsikannya, maka dia adalah manusia berparas seribu topeng, mampu memutarbalikkan fakta dengan mudah setiap kali berbicara. “Aku kebetulan akan pergi ke kerajaan besok, jadi kupikir aku akan singgah dan menginap di sini malam ini,” kata Azrael dengan senyum ramah yang dibuat-buat. “Tentu saja. Rumah ini selalu terbuka

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-09
  • Sisa Takdir   BAB 96

    Pagi tiba, cahaya matahari yang lembut menelusup melalui jendela dapur, menciptakan semburat kehangatan di dalam ruangan. Elsya, dengan tenang, memutuskan untuk ikut serta dalam persiapan sarapan hari ini. Tangannya cekatan membantu para pelayan menata hidangan di meja panjang. Meskipun pikirannya dipenuhi kecemasan tentang masalahnya dengan Azrael, ia tetap berusaha terlihat tenang. Di kamar Elian, suasana berbeda. Aroma teh melati menguar dari cangkir porselen yang dipegang oleh seseorang yang tengah duduk santai di kursi kayu berukir. Azrael, dengan senyum tipis, menyeruput tehnya perlahan sebelum akhirnya berbicara. "Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk berada di pihak Pangeran Kedua?" Suaranya terdengar tenang, namun ada nada peringatan yang jelas. Elian duduk di tepi ranjangnya, berusaha menjaga ekspresi datarnya. Ia tahu, setiap kata yang keluar dari bibirnya harus dipilih dengan hati-hati. "Maaf, Paman," jawabnya dengan suara lembut. "Ini k

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-10
  • Sisa Takdir   BAB 97

    Ethan masih berusaha menenangkan Elian. Tangannya tetap berada di bahu tuannya, memberikan kehangatan yang menenangkan. Napas Elian kini sudah teratur, meski matanya masih menyiratkan emosi yang belum sepenuhnya mereda. Perlahan, Ethan membantunya duduk di kursi dekat perapian, lalu dengan sigap menuangkan secangkir teh hangat. “Minumlah. Ini akan membuatmu lebih baik,” kata Ethan lembut. Elian mengambil cangkir itu, menghangatkannya di antara kedua telapak tangannya. Uapnya naik perlahan, menyentuh wajahnya, tetapi dia tetap diam. Jari-jarinya sedikit mengencang di sekitar cangkir, seakan mencoba mencari pegangan di tengah pikirannya yang kacau. Namun, dia hanya menatap permukaan teh itu tanpa benar-benar meminumnya, seolah mencari jawaban yang tidak bisa ditemukan di dalam cangkir tersebut. Ethan tidak ingin memaksanya, jadi dia hanya berdiri di seberangnya, menunggu. “Apa yang terjadi?” Ethan akhirnya bertanya, suaranya penuh perhatian. Eli

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-11
  • Sisa Takdir   BAB 98

    Ronan mengetuk jarinya di atas meja, ekspresinya serius. “Jangan lupa untuk melaporkan ini pada Ayah, Damien. Biar Ayah yang melaporkan pada Pangeran. Sekarang kita tidak bisa bergerak sendiri.” Damien melepas jubahnya dan meletakkannya di kursi dekat meja penuh dengan peralatan penelitian. Dia menghela napas, lalu menatap Ronan dengan mata penuh pertimbangan. “Aku tahu, Kak. Tapi sejujurnya aku sedikit bingung bagaimana cara melaporkannya.” Elian dan Ronan menunggu kelanjutannya. Damien menatap batu sihir hitam yang masih berdenyut pelan di dalam cairan, seolah hidup. Korban seperti ini pasti akan terus bertambah,” lanjut Damien, suaranya sedikit lebih berat. “Penyelidikan juga pasti akan berbahaya. Aku yakin pelaku tidak akan pilih-pilih dalam memilih kelinci percobaan.” Tangannya mencengkeram lengan bajunya sendiri, jemarinya menegang. Batu sihir hitam di hadapannya masih berdenyut pelan dalam cairan, seolah memiliki nyawa sendiri. Cahaya h

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-12
  • Sisa Takdir   BAB 99

    Caine melangkah dengan hati-hati di antara reruntuhan desa yang sunyi. Angin dingin berembus melewati jalanan berbatu, membawa serta bau tanah lembab dan sesuatu yang samar-samar seperti besi berkarat. Beberapa prajurit Silvercrest yang ia bawa bersamanya juga tampak waspada, tangan mereka erat menggenggam senjata. “Tempat ini… seperti sudah lama ditinggalkan,” gumam salah satu prajurit, suaranya bergetar pelan. “Tidak.” Caine menggeleng, tatapannya menyapu bangunan-bangunan kayu yang masih berdiri meski dalam keadaan usang. Udara di sekeliling terasa berat, seakan menyimpan jejak langkah yang belum lama pergi. “Tidak ada debu yang menumpuk di jalanan. Api di perapian beberapa rumah masih tersisa sedikit arang hangat. Jendela beberapa rumah masih terbuka, seolah pemiliknya pergi tanpa sempat menutupnya. Ini bukan desa mati… ini desa yang ditinggalkan secara mendadak.” Angin bertiup lebih kencang, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. Seora

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-13
  • Sisa Takdir   BAB 100

    Caine berdiri tegak, jari-jarinya mencengkeram gagang pedang di pinggangnya. Tatapannya terkunci pada Azrael yang berdiri di ambang pintu batu, senyum sinisnya tak berubah sedikit pun. Udara di dalam ruangan itu semakin menyesakkan, dipenuhi tekanan sihir yang hampir menekan napas para prajurit Silvercrest. "Kau seharusnya tidak berada di sini, Caine," suara Azrael terdengar pelan, tetapi mengandung ancaman yang jelas. "Menggali rahasia yang bukan milikmu... sungguh kebiasaan buruk." Caine tidak menjawab. Ia tahu tak ada gunanya berbasa-basi dengan pria itu. Tangannya sedikit mengendur dari gagang pedangnya, seolah menunjukkan ketenangan, padahal pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar. Beberapa prajurit di belakangnya tampak tegang, sebagian bahkan mundur selangkah, tetapi mereka tetap memegang senjata mereka erat-erat. Azrael melangkah masuk, menelusuri ruangan dengan tatapan puas. "Jadi, kau sudah melihat semuanya," gumamnya, matanya menyapu t

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-14

บทล่าสุด

  • Sisa Takdir   BAB 146

    Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E

  • Sisa Takdir   BAB 145

    Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah

  • Sisa Takdir   BAB 144

    Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb

  • Sisa Takdir   BAB 143

    Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.

  • Sisa Takdir   BAB 142

    Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng

  • Sisa Takdir   BAB 141

    Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D

  • Sisa Takdir   BAB 140

    Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam

  • Sisa Takdir   BAB 139

    Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj

  • Sisa Takdir   BAB 138

    Darah mengering di pahanya, meninggalkan bekas lengket dan dingin. Elian menggeliat pelan, mencoba duduk dengan menyandarkan tubuh pada dinding batu yang kasar. Udara di ruangan itu begitu lembap dan pengap, membuat paru-parunya terasa sempit setiap kali ia menarik napas. Rasa nyeri di dada kadang datang dan pergi seperti tamu tak diundang. Tapi untuk saat ini, ia masih bisa menahannya. Rasa sakit di pahanyalah yang justru lebih menyiksa. Luka yang menganga itu belum tertutup, dan setiap kali ia bergerak sedikit saja, denyutnya seperti ribuan jarum menusuk bersamaan. Terbatuk. Napasnya pendek dan terputus. Ada rasa logam yang menempel di lidahnya, darah. Ia tahu tubuhnya sedang melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Tapi satu-satunya keberuntungannya, racun itu bekerja perlahan. Masih ada waktu… meski ia tak tahu seberapa lama. "Bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini…" pikirnya sambil mengamati sekeliling. Tak ada jendela, hanya pintu be

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status