Damien masuk ke kamar dengan langkah berat, bahunya sedikit tegang. Napasnya terdengar lebih berat dari biasanya, seolah menahan sesuatu yang sulit diungkapkan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi sesekali alisnya bertaut, menandakan pikirannya yang dipenuhi kecemasan. Di tangannya tergenggam sebuah surat berwarna emas, berlambang matahari yang bersinar di tengah gulungan lilin merah. Ia berdiri di ambang pintu sejenak sebelum melangkah lebih dekat dan duduk di tepi ranjang Elian.
Elian, yang sedang membaca buku di mejanya, menoleh dan mengangkat alis melihat ekspresi serius kakaknya. "Ada apa, Kak?" Damien menyerahkan surat itu kepadanya tanpa berkata-kata selama beberapa detik. Lalu, ia menghela napas lagi dan berkata, "Entah apa yang sedang terjadi. Biasanya, jika seorang pangeran berulang tahun, setiap keluarga bangsawan hanya perlu mengirim satu perwakilan untuk hadir. Tapi kali ini... Pangeran Ketiga malah mengundang semua bangsawan muda tanpa terkecuali."Dua hari berlalu dengan cepat. Di pagi yang masih diselimuti kabut tipis, suara derap kuda menggema di halaman Akademi Eldoria. Ronan turun dari kudanya dengan gerakan anggun, mantel panjangnya berkibar tertiup angin saat ia melangkah menuju bangunan utama. Begitu tiba di depan kamar adik-adiknya, Ronan mengetuk pintu dua kali sebelum membukanya. “Elian, Damien,” panggilnya. Damien, yang sedang merapikan gulungan kertas di mejanya, menoleh. “Kau akhirnya datang.” Elian, yang tengah duduk di sofa dengan secangkir teh, hanya melirik sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. Ronan menaruh sebuah kotak panjang di atas meja, membuka tutupnya dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat dua set pakaian resmi yang megah namun tetap mencerminkan keanggunan keluarga mereka. Jubah biru tua yang dihiasi bordiran perak di tepinya, serta mantel hitam yang memberikan kesan gagah. “Aku membawakan pakaian resmi untuk kalian,” kata Ronan. “Bes
Elian, Damien, dan Ronan melangkah masuk ke koridor utama istana, mengikuti jejak pelayan-pelayan yang sibuk berlalu-lalang. Cahaya lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit memancarkan kilauan keemasan, memantulkan bayangan tamu-tamu yang sudah lebih dulu datang. Suasana pesta begitu megah dengan deretan meja panjang yang dipenuhi hidangan lezat serta tumpukan hadiah yang menggunung di sudut ruangan. Dengan penuh wibawa, Ronan memimpin langkah mereka menuju pintu aula utama. Begitu tiba di ambang pintu, ia menyerahkan kartu undangan kepada penjaga yang berjaga di sana. Suara baritonnya terdengar tegas namun sopan, menandakan kedatangan mereka. “Perwakilan keluarga Silvercrest, Ronan Silvercrest, Damien Silvercrest dan Elian Silvercrest telah tiba.” Seruan penjaga itu menggema di seluruh aula, menarik perhatian para tamu yang sedang berbincang dan menikmati anggur mereka. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh gemerincing
Pesta malam itu berjalan dengan lancar. Lampu-lampu kristal yang menggantung indah di langit-langit ruang utama memancarkan cahaya lembut, sementara suara musik yang dimainkan oleh orkestra menciptakan suasana elegan yang mengisi setiap sudut ruangan. Para tamu, dengan pakaian mewah dan raut wajah penuh kegembiraan, berbincang ringan dan menikmati hidangan lezat yang disajikan. Namun di balik kemewahan dan kebahagiaan yang tampak, ada banyak ketegangan yang tersembunyi, dan Elian merasa semakin terperangkap di dalamnya. Pangeran Caelum, Pangeran Ketiga yang menjadi pusat perhatian malam itu, akhirnya turun dari singgasana tinggi yang selama ini ia tempati. Dengan langkah elegan, ia mulai mendekati kelompok bangsawan yang tengah berbincang. Senyum penuh kepercayaan diri terpancar di wajahnya, menarik perhatian banyak orang, terutama para gadis muda yang berusaha mendekati sang pangeran. Mereka berdiri dengan malu-malu, namun terlihat jelas bahwa niat mereka hanya satu untuk
Alunan musik menggema di ruangan pesta, memenuhi udara dengan nada yang merdu. Cahaya lilin dan lampu kristal berpadu sempurna, menciptakan suasana megah yang memanjakan mata. Para bangsawan berbincang, tertawa, dan bersulang, merayakan ulang tahun Pangeran Ketiga dengan penuh suka cita. Di tengah keramaian, Adipati Vaught, pemimpin wilayah barat, melangkah dengan percaya diri ke arah Elian dan Damien. Senyum khasnya menghiasi wajahnya yang berwibawa, sementara di tangannya tergenggam dua gelas wine berwarna merah rubi yang menggoda. “Apakah Anda berdua menikmati pestanya, Tuan Muda Silvercrest?” tanyanya sambil menyodorkan gelas-gelas tersebut. Elian dan Damien menunduk hormat sebelum menerima gelas masing-masing. “Selamat malam, Tuan Vaught. Menyenangkan dapat berjumpa dengan Anda,” ujar Damien dengan sopan. Adipati Vaught tertawa ringan. “Aku melihat kalian berdua hanya berdiri di sini sambil menikmati camilan. Kuharap kalian juga mencicipi
Angin malam masih berembus lembut ketika Damien membawa Elian kembali ke kamar mereka di istana. Wajah adiknya yang merah karena alkohol membuatnya menghela napas panjang. Meski sudah berulang kali memperingatkan Elian untuk tidak minum, anak itu tetap saja mengabaikannya. "Kau ini benar-benar merepotkan," gumam Damien sembari membaringkan Elian di tempat tidur. Damien merebahkan tubuh Elian dengan hati-hati. Wajah adiknya terlihat damai, tetapi alisnya sesekali berkerut, seolah sedang memimpikan sesuatu yang buruk. Tidak lama, bibir Elian bergerak, bergumam dengan suara pelan, "Jangan ambil mereka lagi dariku..." Damien yang tengah duduk di sampingnya menoleh, mendekatkan wajahnya ke arah Elian. "Apa maksudmu?" bisiknya pelan, namun tak ada jawaban selain desahan napas yang teratur. "Apa kau bermimpi buruk?" lanjutnya sambil bersandar di kursi. "Seharusnya kau lebih takut membayangkan hari esok. Bagaimana kau akan bertemu dengan Pangeran Ketiga setelah
Elian menatap bayangannya di cermin dengan wajah penuh kecemasan. Pakaian yang dikenakannya rapi seperti biasanya, tetapi ketegangan di matanya tidak bisa disembunyikan. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap itu bisa meredakan kegelisahannya. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, bayangan samar dari ingatan semalam terus menghantui pikirannya. Pangeran Ketiga tertawa. Kenapa? Apa yang telah ia lakukan? Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha mengingat, hanya potongan-potongan kecil yang muncul cahaya temaram, suara tawa rendah, dan perasaan canggung yang luar biasa. Semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat rasa takutnya. Apa dia telah mengatakan sesuatu yang tidak sopan? Atau lebih buruk, melakukan sesuatu yang tidak pantas? “Elian, kau sudah siap?” Suara Damien membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat kakaknya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai. Di belakangnya, Ronan menyeringai, tampak menikmati si
Elian tidak bisa menikmati sarapannya. Meskipun berbagai hidangan lezat tersaji di hadapannya, setiap suapan terasa hambar. Wajahnya masih terasa panas, dan ia terus menunduk, berusaha menghindari tatapan Pangeran Ketiga yang jelas-jelas masih menikmati situasi ini. Ronan yang duduk di sebelahnya tampak menikmati makanannya tanpa beban, tetapi sesekali ia melirik Elian dengan senyum geli yang sama sekali tidak membantu. Sementara itu, Damien hanya menghela napas pelan, meski ada kilatan hiburan di matanya. "Kau tidak makan, Elian?" Suara Pangeran Ketiga membuatnya tersentak. “Apa kau perlu aku menyuapimu juga?” goda Pangeran Caelum, suaranya terdengar begitu santai, seolah benar-benar mempertimbangkan tawarannya. Telinga Elian terasa panas, dan ia merasakan tatapan orang-orang di meja makan seakan menekan tubuhnya. Jari-jarinya menggenggam garpu erat, mencoba mengabaikan detak jantungnya yang berdebar tak wajar. Apa orang ini tidak punya malu?
Elian masih duduk di tempatnya, memperhatikan Pangeran Caelum yang berbicara dengannya. Elian menangkap gerakan canggung itu lagi. Tangan kiri Caelum sedikit berkedut sebelum ia buru-buru meremasnya, seolah menahan sesuatu. Apakah itu rasa sakit? Atau ada hal lain yang ia sembunyikan? Tapi Caelum tidak menunjukkan ekspresi yang mencurigakan, jadi Elian hanya bisa menyimpan rasa ingin tahunya untuk nanti. Tangan itu tertutup sarung tangan, jadi jika ada yang salah, Elian tidak bisa melihatnya secara langsung. "Jadi, kau tidak terlalu menyukai keramaian?" tanya Caelum, membelokkan percakapan mereka ke arah yang lebih ringan. Elian mengangkat bahunya sedikit. "Aku tidak keberatan dengan keramaian, hanya saja aku lebih suka tempat yang tenang." Caelum tertawa kecil, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip di dalamnya. "Kurasa kita mirip dalam hal itu. Terkadang aku juga ingin menjauh dari tuntutan istana. Tapi, sayangnya, aku tidak memiliki kemewahan
Tiga hari telah berlalu, namun tak ada tanda-tanda Caelum menemui keluarga Silvercrest. Entah dia masih bingung atau ada halangan lain yang menghambatnya. Elian duduk di taman rumahnya, menyeruput teh hangat dengan tenang. Mata merahnya menatap kosong ke arah langit yang cerah, sementara angin sepoi-sepoi menerpa rambut hitamnya. "Caine, apakah ada pergerakan dari Azrael yang kau ketahui?" tanya Elian tanpa menoleh. Caine, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah mendekat lalu mengecilkan suaranya, "Saat ini tidak ada, Tuan. Saya dengar dia selalu berada di ruang kerjanya, mengurus wilayahnya. Tidak ada kabar tentang tindakan mencurigakan yang dilakukannya." Elian meletakkan cangkirnya dengan anggun di atas meja kecil di sampingnya. "Benarkah? Apakah kau masih menemuinya?" Caine menegakkan badannya. "Tidak, saya hanya selalu mengirim surat untuk melaporkan tentang Anda." Elian tersenyum kecil, namun tak ada keceriaan dalam senyum itu
Caelum menghela napas frustrasi di dalam kamarnya. Tangannya mengepal di atas meja, jemarinya sedikit bergetar menahan emosi yang membuncah di dadanya. Rahangnya mengatup rapat, seakan menahan sesuatu yang ingin ia teriakkan. Matanya menatap tajam ke arah Gavier yang masih berdiri di dekat pintu, menjaga dirinya dengan penuh kewaspadaan. Sekalipun ruangan itu luas, ia merasa seolah terkurung dalam tekanan yang semakin menghimpit. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detak jam yang seakan mempermainkan pikirannya yang kalut. "Apa aku membuat kesalahan?" tanyanya akhirnya, suaranya bergetar tipis, seolah tak yakin pada dirinya sendiri. Rahangnya mengatup, dan dadanya naik turun dalam ritme napas yang berat. Ada kepanikan yang berusaha ia tekan, tetapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin jelas rasa frustrasi itu terasa. Gavier, yang sedari tadi memperhatikan sikap Caelum, menghela napas panjang sebelum akhirnya mengambil sikap yang lebih santai.
Setelah keributan yang terjadi di aula utama, Caelum mengajak mereka untuk berdiskusi di kamar pribadinya. Udara malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membawa serta keheningan yang mencekam setelah insiden yang baru saja terjadi. Sisa aroma darah samar masih terasa, bercampur dengan hawa lembap yang menyusup hingga ke tulang. Di luar, suara burung malam sesekali terdengar, tetapi di dalam ruangan ini, tidak ada yang berbicara lebih dulu. "Silakan duduk di mana pun kalian merasa nyaman," ujar Caelum santai. "Mari kita lupakan status kita sejenak." Tanpa ragu, ia merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di tengah ruangan. Gerakannya tampak santai, namun sorot matanya tajam, memperlihatkan bahwa pikirannya tengah bekerja. "Apa kau merekamnya, Gavier?" tanyanya, melirik ajudannya yang berdiri di dekat pintu. Gavier mengangguk, mendekat, dan menyerahkan sebuah bola perekam kepada Caelum. Sang pangeran menerimanya d
Rotherham menatap terkejut, matanya tertuju pada tangan Caelum yang tampak normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, keterkejutan itu segera tergantikan oleh seringai licik yang perlahan muncul di wajahnya. "Menarik," gumamnya, sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung membentuk seringai tipis, tetapi di baliknya ada jejak ketegangan halus seperti binatang yang sadar dirinya sedang diawasi oleh pemangsa lain. Rotherham melangkah mendekat, seolah ingin memastikan sesuatu, tetapi Caelum tidak bergerak mundur sedikit pun. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, ada ketegangan yang tak kasat mata, seperti dua binatang buas yang saling menilai lawan. Caelum menurunkan tangannya, ekspresinya tetap dingin, tetapi matanya berkilat tajam. Ia tidak suka permainan ini, tetapi jika Rotherham ingin bermain, maka ia akan memastikan permainan itu berakhir dengan kekalahan lawannya. "Mari kita lihat sampai kapan Anda bisa menyembunyikannya, P
Ruang pesta yang sebelumnya dipenuhi oleh kemewahan kini telah berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Permadani merah tua yang biasanya membentang dengan megah di lantai kini terkoyak, seperti luka menganga di tubuh yang tak bisa dijahit kembali. Noda anggur yang mengering menciptakan semburat gelap, bercampur dengan pecahan kaca dari gelas-gelas kristal yang terlempar dalam kekacauan. Bau alkohol menyengat, bercampur dengan aroma darah samar yang entah berasal dari siapa. Meja-meja besar yang seharusnya dipenuhi dengan hidangan lezat kini berserakan, beberapa terbalik dengan makanan yang berceceran, menciptakan aroma yang bercampur antara harum daging panggang dan bau anyir dari sesuatu yang tidak seharusnya ada di perjamuan kerajaan. Lilin-lilin yang seharusnya menerangi ruangan dengan cahaya temaram, kini bergoyang-goyang, beberapa di antaranya telah padam akibat hantaman atau angin yang masuk dari jendela yang pecah. Tirai sutra yang tergantung di pilar
Gavier melompat ke samping, menghindari cakar tajam monster itu yang menghantam lantai hingga retak. Serangan makhluk itu brutal dan tak terduga, setiap gerakannya dipenuhi dengan kekuatan liar yang mengerikan. Dengan kecepatan luar biasa, ia kembali menerjang, tetapi Gavier sudah lebih dulu bergerak, menghindar ke belakang sembari menebaskan pedangnya ke sisi tubuh makhluk itu. Namun, seperti sebelumnya, luka yang ia buat segera menutup. Monster itu hanya menggeram marah dan berbalik dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari yang seharusnya bisa dilakukan makhluk sebesar itu. "Tidak ada gunanya menyerang secara biasa!" seru Gavier sambil melompat mundur. Ronan mengangguk, tangannya menggenggam pedang erat-erat. Cahaya merah semakin terang di bilah pedangnya, energi sihir mengalir dengan intensitas yang terus meningkat. Api mulai merambat dari gagang ke ujung bilahnya, berkobar dengan ganas, seolah merespons niat membunuh yang mulai tumbuh dalam dirinya
Gavier dengan sigap meraih pedang Caelum yang terselip di sarungnya, lalu melemparkannya ke arah sang pangeran. Caelum menangkapnya dengan mudah, menggenggam gagang pedang dengan mantap, seolah sudah siap menghadapi apa pun yang akan datang. Di sisi lain, Ronan mengamati seorang prajurit yang tergeletak dengan luka di bahunya. Ia menunduk, meraih pedang prajurit itu, lalu berdiri tegak. Napasnya sedikit berat, tetapi sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. "Kau jangan jauh-jauh dariku," ujar Ronan kepada Elian. Suaranya tegas, tak terbantahkan. Elian hanya bisa mengangguk. Ia tahu betapa serius situasinya. Namun sebelum ada yang sempat bergerak lebih jauh, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke ruangan dengan langkah tergesa. Tangannya gemetar saat mengacungkan belati di udara. Mata Elian membelalak. Itu pelayan yang ia lihat sebelumnya! Yang membawa belati di antara kerumunan. "Ma… maafkan saya…" suara pelayan itu terdengar bergetar, pe
Elian masih berada di dekat Caelum, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Perlahan, Gavier mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Caelum. Senyum menyeringai muncul di wajahnya, seolah menyimpan sesuatu yang hanya ia dan Gavier ketahui. Caelum mendekatkan wajahnya ke arah Elian, menatapnya dengan intens. Matanya yang tajam seolah menyelami pikirannya, mencoba membaca ekspresi Elian yang tetap tenang di permukaan. "Nampaknya pesta akan segera dimulai, Tuan Elian. Saya harap Anda berkenan tetap berada di sisi saya," ucapnya dengan senyum yang sulit diartikan. Nada suaranya terdengar santai, tetapi ada sesuatu yang ganjil di sana. Bukan sekadar undangan biasa, melainkan peringatan terselubung. Elian merasakan bulu kuduknya meremang. Elian menoleh, hendak bertanya maksud perkataan itu, tetapi ekspresi marah di wajah Caelum membuatnya terkejut. Sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan melihat Pangeran Kedua yang juga tengah menyeringai menata
Elian menukar gelas anggurnya dengan jus jeruk, mengangkatnya perlahan sebelum meneguknya. Rasa asam manis menyegarkan tenggorokannya, berbeda dengan rasa anggur yang sering kali membuat kepalanya sedikit pening. Ia melangkah menjauh dari Ronan dan Damien yang masih sibuk bercakap-cakap dengan para bangsawan lain. Pembicaraan mereka terdengar penuh pujian di permukaan, namun Elian tahu betul bahwa di balik senyuman itu, masing-masing dari mereka menyimpan pisau tajam yang siap ditusukkan ke punggung satu sama lain. Ia berjalan ke meja hidangan, mengambil sepotong kue dan menggigitnya perlahan. Matanya menyapu ruangan dengan penuh kehati-hatian, mengamati setiap orang yang hadir. Pesta ini adalah tempat yang tepat bagi para bangsawan untuk mempertontonkan kepalsuan mereka, mempererat aliansi sementara, dan menyusun strategi baru untuk menjatuhkan lawan. Elian mengganti gelas kosongnya dengan gelas jus jeruk yang baru sebelum melangkah ke arah balkon. Angin malam yang berhem