Hari ini adalah jadwal persidangan terakhir. Raka akan mengucapkan ikrar talak. Maka setelahnya, hubungan Nazwa dengan lelaki itu benar-benar berakhir.Nazwa merasakan kesedihan yang teramat dalam. Semua yang terjadi bagaikan sebuah mimpi buruk untuknya. Terlebih karena campur tangan sang mertua.Nazwa berjalan lambat menuju pengadilan agama. Entah kebetulan atau tidak di tengah perjalanan ia bertemu dengan Erland."Nazwa, kamu mau ke mana?" tanya Erland berpura-pura tidak tahu."Aku sudah meminta izin untuk tidak bekerja hari ini. Hubunganku dengan Mas Raka akan segera berakhir."Tanpa menjelaskan secara terang-terangan, Erland sudah paham dan mengerti tujuan Nazwa ke mana."Izinkan aku untuk menemanimu, ya? Tenang saja. Hanya sampai halaman pengadilan. Aku mohon," ucap Erland tulus memohon.Nazwa mengangguk pelan. "Mari, Pak."Setelah tiba di halaman pengadilan, Nazwa melihat Raka yang berjalan menghampirinya. Hati Nazwa masih merasakan sakit saat mengingat malam itu. Malam di mana
"Erland?" Nazwa terlihat kaget. Bagaimana bisa lelaki itu muncul di depannya setelah ia membayangkannya. Wanita itu merasa bersalah dan berdosa telah membayangkan lelaki lain selain Raka. Meski kenyataannya ia telah berpisah dengan suaminya."Maaf?" Erland pun merasa bersalah. Tidak seharusnya ke rumah Nazwa malam-malam seperti itu. Oleh karenanya, ia memutuskan untuk pulang saja."Sebaiknya aku pergi dari sini." Erland melangkah pergi."Tunggu!" tahan Nazwa.Erland menghentikan langkahnya. Ia senang karena Nazwa menahannya untuk pergi. Meski sebenarnya ia merasa tidak enak hati. CEO tampan itu sengaja belum berbalik badan."Jangan pergi!" ucap Nazwa kemudian.Akhirnya Erland memutar tubuhnya. Ia menghampiri Nazwa yang masih betah duduk di tempatnya.Erland melirik ke arah barang-barang yang telah dibakar Nazwa. Paling atas adalah foto romantis Raka dan Nazwa yang baru terbakar sebagian."Kenapa kamu membakarnya?" tanya Erland hati-hati. Meski terkesan tidak sopan, tetapi ia memang
Satu tahun telah berlalu, Nazwa terlihat semakin dekat dengan Erland. Tetapi lelaki itu masih belum berani mengungkapkan perasaannya kepada Nazwa.Sementara Raka telah lama menikahi Mia. Dan wanita itu tak kunjung hamil anaknya.Pagi itu Rosalia pergi ke rumah Raka. Ia ingin mendengar kabar baik tentang Mia. Namun untuk ke sekian kalinya ia harus kembali kecewa."Apa? Kamu belum juga hamil? Bagaimana mungkin?" tanya Rosalia."Aku sudah capek, Ma. Kita harus pergi ke rumah sakit. Dan kita lihat siapa yang sebenernya bermasalah di sini," jawab Mia tidak mau disalahkan."Jadi kamu menuduh saya?" tanya Raka yang mendengar pembicaraan mereka. Ia tidak terima jika dianggap mandul oleh istri barunya itu."Mama setuju," potong Rosalia sebelum Mia menjawab pertanyaan dari Raka.Wanita paruh baya itu berjalan menghampiri putranya. Meyakinkan Raka agar mau ikut ke rumah sakit."Sejak dulu kamu selalu menolak, Raka. Mama hanya ingin tahu yang sebenarnya. Mama sudah sangat merindukan seorang cucu."
Kedua mata Nazwa sudah berkaca-kaca. Ia mulai yakin jika Erland memang tidak main-main dengan semua ucapannya.Dengan perlahan wanita itu mengangguk dan tersenyum."Aku bersedia, Erland."Sekejap saja cincin itu sudah terpatri indah dan menawan di jari manis milik Nazwa.Erland sangat bahagia. Ia kecup punggung tangan Nazwa cukup lama."Pak Erland, jangan seperti ini. Nazwa malu," kilah wanita itu sengaja menyebut nama Erland dengan panggilan Pak lagi."Terima kasih, Nazwa. Aku mencintaimu." Erland tidak peduli lagi akan panggilan yang diucapkan oleh Nazwa.Duda keren itu melirik ke arah wadah bekal yang masih tertutup di dekat tempat duduk Nazwa tadi. Lalu ia sengaja mengalihkan fokus Nazwa pada wadah bekal tersebut."Ehem! Ngomong-ngomong apakah bekal yang masih utuh itu untuk aku?" tanya Erland malu-malu. Sesungguhnya ia merasa lapar sejak tadi, namun hanya mampu untuk menahannya.Perut Erland berbunyi di depan Nazwa. Membuat wanita itu tertawa cukup keras."Bapak lapar?" tanya Nazw
"Tidak boleh menolak. Akan saya catat sebagai lembur buat kamu."Nazwa hanya bisa menurut saja. Lagipula ia juga belum tahu hendak dibawa ke mana oleh lelaki yang telah melamarnya beberapa waktu yang lalu.Rupanya Erland membawa Nazwa ke pantai. Menyaksikan sunset bersama. Membuat wanita itu tampak terkagum-kagum."Indah sekali, Erland. Aku sangat menyukainya.""Hm, kalau kamu tadi tidak mau ikut dengan saya. Pasti kamu akan menyesal. Hahaha."Mereka berdua tertawa bersamaan. Tiba-tiba Erland menarik tangan Nazwa dan membawanya lari-lari kecil di tepi pantai.Semilir angin membuat rambut Nazwa menari dengan indah.Tanpa berkedip Erland menatap keindahan rambut serta wajah Nazwa yang tetap awet muda. Baginya wanita itu masih seperti gadis SMA."Erland, jangan melihatku seperti itu. Aku malu," lirih Nazwa. Ia mulai menyelipkan rambutnya ke belakang."Bagaimana aku bisa mengalihkan pandanganku, jika di depanku ada seorang bidadari yang harus selalu bahagia. Aku senang melihatmu tertawa se
Menyadari ada yang salah, Erland membalikkan tubuhnya. Ia tidak mau dianggap lelaki berotak nakal oleh calon istrinya."Oh, maaf Nazwa. Saya benar-benar tidak menyadari akan hal itu tadi."Nazwa masih gugup. Ia yakin Erland bukan lelaki mata keranjang. Dan kedatangannya punya maksud lain."Aku ke kamar dulu Erland," pamit Nazwa setelah mematikan kompor. Ia sedikit berlari agar secepatnya bisa masuk ke dalam kamar lalu menguncinya.Erland menyadari hal itu. Kepalanya tiba-tiba pusing mengingat pemandangan indah yang baru saja ia nikmati.Bagaimana tidak. Nazwa memang perempuan satu-satunya yang bisa membuat jantungnya berdebar dan selalu tidak baik-baik saja ketika berada di dekatnya. Dan kali ini wanita itu begitu menggoda dengan gaun tidurnya."Ya Tuhan, aku sangat menyukainya." Erland mengusap dadanya berkali-kali. Sungguh ia tidak ingin dirasuki pikiran kotor seperti itu.Tak ingin terus terbayang-bayang, Erland memilih untuk melanjutkan pekerjaan dapur Nazwa yang belum selesai."Em
"Nazwa, dengarkan aku. Erland bukan lelaki baik-baik. Ia tidak pantas untukmu," ucap lelaki itu seraya membelai wajah Nazwa.Nazwa berusaha untuk menghindar dari belaian tangan lelaki itu. Ia tidak mau tertipu lagi oleh kata-katanya."Apa maksud kamu berbicara seperti itu, Mas Raka?" tanya Nazwa penuh penekanan pada setiap kata yang diucapkan olehnya."Hanya aku yang pantas mendampingi kamu, Sayang. Kembalilah kepadaku, Nazwa. Aku sudah bercerai dengan Mia. Aku masih sangat mencintaimu." Raka mendekatkan wajahnya. Bibirnya seakan tahu apa yang harus ia lakukan kepada wanita di depannya itu."Stop!" Berkali-kali Nazwa menggelengkan kepalanya. Ia sudah muak dengan Raka dan semua yang berkaitan dengannya."Kamu tidak perlu menghindar seperti ini, Nazwa. Aku tahu kamu juga masih mencintaiku. Kita akan bersama kembali." Raka semakin keras kepala.Sementara Erland sejak tadi mencari keberadaan Nazwa. Ia merasa heran kenapa calon istrinya tersebut tak juga muncul dari arah toilet."Jangan-jan
Mila mencoba menghubungi Nazwa. Ia menanti dengan was-was. Namun ia segera mematikan panggilannya sebelum sahabatnya itu mengangkat teleponnya."Tidak. Aku tidak boleh gegabah. Bagaimana jika Raka benar-benar mengetahui rahasia besarku. Aku bisa masuk penjara. Aku tidak mau hal itu terjadi kepadaku."Mila mengurungkan niatnya untuk menelepon Nazwa. Setelah masuk ke dalam rumahnya, ia segera menuju kamar untuk menenangkan diri."Semoga Raka tidak benar-benar ingin merebut Nazwa kembali. Harusnya ia sadar diri jadi lelaki. Ia sendiri yang telah membuat Nazwa membencinya."Mila memilih untuk mematikan ponselnya. Ia tidak ingin diganggu lagi oleh mantan suami Nazwa.Meski malam itu ia kesulitan memejamkan kedua matanya, tetapi ia tetap berusaha untuk segera tertidur dengan lelap. Hingga akhirnya ia memutuskan minum obat tidur.***Keesokan harinya, Mila berangkat bekerja seperti biasa. Ia mulai melupakan keinginan Raka karena sejak semalam pesannya tidak dibalas.Wanita itu berjalan menuju
Melihat Erland datang, Nazwa segera menegakkan tubuhnya dan menjauh dari Raka."Mas Erland, ini tidak seperti yang kamu pikirkan?" terang Nazwa bernada sendu."Iya, Erland. Tadi Nazwa hampir terjatuh. Dan aku hanya berusaha untuk menolongnya." Terpaksa Raka mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak ingin dianggap sebagai lelaki yang memanfaatkan keadaan.Seketika raut wajah Erland berubah menjadi khawatir."Kamu tidak apa-apa 'kan, Sayang. Maafkan aku baru bisa pulang." Erland mengecup kening Nazwa dan segera mendekapnya dengan erat. Tidak peduli jika ada Raka di sana."Nazwa baik-baik saja, Mas."Wanita itu melirik ke arah Raka. Merasa tidak enak hati atas sikap Erland yang seolah sengaja memanas-manasinya.Di saat Erland masih memeluk Nazwa, bayi kembar kembali menangis kencang."Oh, iya, Mas. Sejak tadi Dafa dan Devano menangis. Mereka sudah haus."Nazwa segera berjalan ke arah Dafa dan menggendongnya. Sementara Erland mengambil alih botol susu yang hendak diambil oleh Raka."Biar aku s
Seperti dugaannya Nazwa bahwa yang mengirim pesan adalah Bi Nanik. Wanita paruh baya itu mengatakan jika tidak bisa datang karena anaknya sedang sakit dan tidak mau ditinggal.Seketika raut wajah Nazwa berubah menjadi sedih. Ia tahu bagaimana perasaan seorang Ibu jika anak mendadak sakit."Semoga anaknya cepat sembuh ya, Bi. Bibi fokus saja sama anak Bibi. Nazwa tidak masalah kok."Setelah mengirimkan pesan itu Nazwa mengabari Erland. Lelaki tampan itu berjanji akan segera pulang jika pekerjaan di kantor telah selesai dan bisa dilimpahkan kepada sang sekretaris.Nazwa merasa lega. Ia meletakkan ponselnya. Namun kali ini handphone itu berbunyi lagi. Sebuah telepon dari nomor baru."Hallo, dengan siapa di sana?" sapa Nazwa ramah.Namun beberapa detik lamanya hanya sebuah kesenyapan yang ada."Maaf, kalau begitu saya tutup teleponnya.""Nazwa tunggu. Ini aku. Maaf ....""Mas Raka?" lirih Nazwa kemudian. Sudah lama ia tidak bercakap-cakap dengan mantan suaminya tersebut."Hari ini aku dan
"Sebenarnya Nazwa tidak masalah, Mas. Tapi Nazwa sibuk mengurus Dafa dengan Devano." Mendengar apa yang dikatakan Nazwa, Rosalia justru merasa semakin antusias. Ia ingin menemui wanita itu di rumahnya sekaligus menjenguk bayi kembar Nazwa dan Erland. Karena Rosalia memang belum sempat mengucapkan selamat kepada Nazwa. Begitupun dengan Raka. Betapa dirinya sangat merindukan seorang anak. Tetapi sayangnya ia tidak bisa memberikan keturunan kepada mamanya. "Nazwa, Tante ingin bertemu dengan baby kembar kamu. Boleh ‘kan, Sayang? Siapa nama mereka?" tanya Rosalia berterus terang. "Boleh, Tante. Kalau mau bertemu dengan Dafa dan Devano, Tante boleh ke sini kapanpun Tante mau." Rosalia melihat ke arah Raka dan Erland secara bergantian. Niatnya untuk pergi ke luar negeri sepertinya akan ia urungkan. "Apakah boleh Nak Erland?" tanyanya kepada Erland kemudian. "Jika Nazwa sudah mengizinkan, saya juga tidak bisa membantahnya." Rosalia tersenyum senang. Kemudian mereka mengakhiri percakapa
'Seila?' batin Erland kemudian. Erland melihat wanita itu datang bersama anaknya yang merengek meminta kue donat. "Sebentar Alin, kamu harus sabar." Seila mencoba menenangkan anaknya. Gadis kecil itu terdiam sejenak. Kemudian memandangi Erland. Alin yakin jika lelaki tampan yang ia lihat adalah papanya. Karena sang mama pernah memperlihatkan fotonya. "Papa? Dia Papa 'kan, Ma?" ucap Alin dengan wajah yang berseri. Seila tidak tahu harus menjawab apa. Ia berharap jika Erland mau berkata bohong demi seorang anak kecil yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Erland yang tidak paham pun terlihat kebingungan. Bagaimana bisa gadis kecil itu menganggapnya sebagai papa. Sungguh sangat tidak masuk akal baginya. "Kenapa Papa diam saja, Ma? Kenapa tidak menyapaku?" Alin menarik-narik baju mamanya. Seila pun ikut kebingungan. Selama ini ia membohongi putrinya dengan mengatakan bahwa Erland adalah papa dari anaknya tersebut. Sedangkan yang sebenarnya adalah papa kandung Alin sudah pergi e
"Baby twins pup lagi Sayang," jawab Erland dengan memasang wajah kesal. Niatnya ingin bercanda agar mengundang tawa. Sedangkan bayi di depannya tersenyum-senyum setelah sisa kotorannya berhasil dibersihkan oleh papanya. "Lihatlah, dia mengejekku." Erland merasa gemas dengan putrinya. "Iya, Bu Nazwa. Yang ini juga. Hehehe. Mereka selalu sehati." Bi Nanik terkekeh. Ia ikut merasa gemas dengan tingkah si baby kembar yang belum memiliki nama tersebut. Nazwa pun tertawa. Namun lirih dan pelan. Ia merasakan perutnya masih sakit. Rasanya seperti ingin terbelah saja saat ia refleks tertawa. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Erland khawatir karena melihat istrinya meringis menahan rasa sakitnya. "Aku baik-baik saja. Aku mau ke toilet sebentar." "Aku akan mengantarkan kamu." "Tidak perlu, Mas. Kamu harus menjaga anak kita. Kasihan Bi Nanik nanti pasti kerepotan." Dengan berat hati Erland harus mengalah. Sejujurnya ia tidak tega kepada Nazwa. Tetapi baby kecil yang lucu itu juga
Erland merasa kikuk. Ia tidak ada niat sama sekali untuk berhubungan dengan Cintya. Baginya, wanita itu sangat berani."Kok diam aja? Come on, Erland. Saya hanya meminta tolong saja. Tidak lebih," ujar Cintya yang nada bicaranya terdengar lain di telinga Erland.Lelaki itu tidak ingin mengecewakan Cintya. Ia takut jika wanita itu akan membatalkan kerjasamanya jika Erland tidak mau membantunya."Ba–baiklah."Erland beranjak dari duduknya. Ia berharap jika Ridwan segera datang dari arah toilet.Benar saja. Sahabat Erland tersebut telah kembali dari toilet."Erland mau ngapain?"Pandangan mata Erland beralih ke Ridwan. Ia memberikan sebuah kode agar lelaki itu segera menghampiri mereka."Em, Cintya. Maaf. Tiba-tiba perut saya terasa sakit. Itu Ridwan telah kembali. Kamu bisa meminta tolong kepadanya."Dengan cepat Erland meninggalkan tempat itu. Ia segera berjalan menuju toilet."Cintya, apa yang kamu lakukan kepada Erland? Kamu mencoba untuk menggodanya?""Kenapa kamu harus kembali secep
Nazwa masih mencari keberadaan perempuan itu, tetapi ia gagal menemukannya."Sepertinya ia sudah pergi. Apakah aku harus menceritakan tentang hal ini kepada Mas Erland. Apakah mungkin ada hubungannya dengan ya?"Dengan berat hati Nazwa mengurungkan niatnya untuk membuntuti perempuan itu. Ia memilih untuk ke ruangan suaminya. Niatnya dari semalam adalah ingin cepat-cepat bertemu Erland. Giliran sekarang sudah berada di rumah sakit, ia justru menginginkan hal lain.Nazwa berjalan santai ke ruangan yang tafi sempat ditunjukkan oleh Ridwan. Dengan perlahan wanita itu membuka pintu ruangan Erland.Seketika Ridwan dan Erland melihat ke arah pintu secara bersamaan."Em, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!" ujar Ridwan menyindir.Nazwa terlihat kikuk. Ia terlalu lama jika tadi beralasan ke toilet. Wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Em, kalian belum makan?" tanyanya ragu-ragu."Maaf, saya sudah makan duluan. Hehehe. Habisnya Pak Erland tidak mau makan kalau bukan Ibu Na
"Tunggu!" teriak seseorang kepada Nazwa.Nazwa, Raka, dan Rosalia menoleh ke arah sumber suara."Ridwan?" lirih Nazwa."Ma, kenapa dia bisa ada di sini? Jadi dia juga belum mati?" ujar Raka kepada mamanya.Lelaki itu menganggap bahwa Ridwan ikut meninggal bersama pesawat yang kecelakaan waktu itu. Karena memang Ridwan dan Erland sempat terpisah di perjalanan."Ibu Nazwa. Aku hanya ingin mengatakan jika Raka lah penyebab Pak Erland kalah tender. Dia yang telah berbuat curang. Mencuri semua ide Pak Erland dengan cara yang licik. Dia bertaruh dengan Pak Erland.""Mas Erland taruhan?" Nazwa tampak kecewa. Tetapi semua sudah terlanjur."Nanti saya akan jelaskan semuanya. Tolong Ibu Nazwa jangan menandatangani surat perjanjian itu."Rosalia berjalan mendekati Ridwan. "Kamu tidak perlu ikut campur Ridwan.""Cukup, Tante! Pergi dari sini saya tidak butuh ini." Nazwa melemparkan surat perjanjian berserta bolpoin itu kepada Rosalia."Awas saja kalian. Aku tidak akan tinggal diam."Raka dan Rosa
"Kenapa Mas Raka ke sini? Kita sudah tidak ada urusan lagi."Nazwa merasa geram. Ingin sekali ia mengusir Raka dengan cara kekerasan. Namun lelaki itu justru menunjukkan wajah yang penuh kesedihan."Nazwa, kamu sekarang tinggal di sini?" tanya Raka kemudian. Ia melihat ke arah atas sejenak agar air matanya tidak menetes."Iya, Nazwa tinggal di sini. Mas Raka senang 'kan? Mas Raka puas 'kan? Sebaiknya Mas Raka segera pulang."Nazwa memutar tubuhnya. Ia akan meninggalkan Raka seorang diri."Nazwa, aku rindu kamu!" Tiba-tiba tangan Raka menahan pergelangan tangan Nazwa.Nazwa mencoba melepaskan genggaman tangan Raka, tetapi lelaki itu justru mendorong kedua bahu mantan istrinya hingga tubuh Nazwa menyentuh dinding rumahnya.Raka mendekatkan bibirnya. Ia sangat merindukan momen bersama Nazwa dulu saat awal-awal menikah."Cukup, Mas Raka. Jangan seperti ini." Nazwa mengalihkan wajahnya."Aku masih mencintaimu, Nazwa. Mengertilah. Kamu sebenarnya juga masih cinta kepadaku 'kan? Katakan, Naz