Erland mengulurkan tangannya dengan yakin. "Genggam tanganku, maka kau akan selalu baik-baik saja."Nazwa terkesiap. Ia merasa terharu dengan kata-kata dari Erland baru saja. Namun ia tidak segera menanggapi pernyataan dari lelaki tampan itu."Kamu masih meragukan aku?" tanya Erland kemudian.Nazwa segera menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar sudah yakin akan keputusannya untuk menikah dengan lelaki di dekatnya itu.Dengan tersenyum Nazwa menyambut uluran tangan dari Erland. Mereka berjalan beriringan memasuki tempat itu."Ya ampun, calon pengantin baru lama sekali masuknya. Mama sudah menunggu sejak tadi," ujar Monica.Nazwa refleks menatap ke arah Erland. Ia merasa bersalah.Namun justru lelaki itu tertawa dan meminta maaf kepada sang mama. Mengaku bahwa dia yang salah.Padahal niat Monica hanya menggoda mereka berdua agar tidak terlihat kaku."Ya sudah. Tidak masalah."Mereka segera memilih gaya dan model gaun pengantin sesuai kehendak Nazwa dan Monica. Sedangkan Erland hanya men
"Aku belum masak, Sayang. Ini sudah siang," balas Nazwa gelisah."Pagi ini kita makan di luar. Nggak usah masak," jelas Erland masih mendekap istrinya dengan erat.Nazwa mulai merasa geli saat lelaki yang sejak kemarin telah resmi menjadi suaminya tersebut mulai menggodanya kembali."Kamu sudah sangat lapar?" tangan Erland kemudian.Nazwa menggeleng pelan. Sebenarnya ia lebih suka terus-terusan di samping Erland seperti itu. Namun wanita itu masih malu untuk mengakuinya."Baiklah. Nanti kita mandi terus bersiap-siap untuk sarapan di luar. Tetapi olahraga pagi dulu," bisik Erland nakal.Seketika Nazwa menyatukan kedua alisnya. Seolah bertanya apa maksud dari olahraga pagi seperti yang dikatakan Erland baru saja."Olahraga di ranjang. Sepertinya aku kecanduan sama semua yang ada pada tubuh kamu. Aku menyukainya, Sayang.""Apapun untukmu, Sayang." Nazwa bergerak terlebih dahulu. Ia segera menyatukan bibirnya dengan bibir suaminya. Kali ini Nazwa yang mengendalikan permainan.***Erland s
"Pak Zainal, sepertinya Mila sedang tidak enak badan. Bagaimana jika saya mengantarkannya pulang?" jawab Nazwa sekenanya. Ia bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Tidak mungkin jika mengatakan hal yang sebenarnya kepada lelaki itu.Zainal melihat Nazwa dan Mila secara bergantian. Ia ragu-ragu untuk menyetujui permintaan Nazwa."Tidak mungkin saya membiarkan kalian berdua meninggalkan tempat ini. Setidaknya salah satu dari kalian tetap berada di sini."Mila berusaha untuk menghentikan tangisannya. Kemudian ia mendongakkan kepalanya."Ijinkan saya istirahat di klinik perusahaan ya, Pak?" lirihnya."Oh, tentu saja. Biar saya saja yang mengantarkan kamu." Lelaki itu melihat ke arah Nazwa dan berkata, "Nazwa, kamu tetapi di sini. Jangan kemana-mana."Nazwa hanya bisa mengangguk. Sebenarnya ia khawatir dengan Mila. Apalagi setelah mendengar semua ceritanya."Aku tidak pernah menyangka jika Mas Raka tega melakukan hal itu kepada Mila. Apakah Mila sungguh-sungguh dengan ucapannya?" T
Nazwa tersenyum miring. Ia memang sengaja menggoda Erland dengan panggilan mesra itu. Sebagai seorang istri ia harus hormat dan patuh terhadap suami."Kenapa, Sayang tidak suka aku panggil Mas?" lirih Nazwa sambil mengalungkan kedua tangannya pada leher Erland."Sayang, justru aku sangat senang." Erland mengecup bibir mungil Nazwa penuh kelembutan. "Kalau begitu sebaiknya kita kembali ke kamar. Aku akan segera mengompresmu." Nazwa meraih tangan Erland. Lalu meletakkan tangan itu pada keningnya."Coba rasakan. Aku sudah sembuh 'kan?" ungkap Nazwa kemudian.Erland terkesiap. Benar saja. Nazwa sudah terlihat membaik. Panasnya pun turun. Sepertinya suhu tubuh istrinya telah normal kembali."Sayang, kamu serius? Beneran sudah sembuh?" Erland masih terlihat khawatir."Sepertinya aku sakit karena merindukan kamu, Mas. Kamu lama banget perginya. Aku jadi khawatir terjadi sesuatu denganmu," ujar Nazwa berpura-pura ngambek kepada suaminya."Maaf, ya .... Kalau begitu sebagai permintaan maaf ak
"Tadi Mila sengaja memperlihatkan tanda merah pada lehernya. Dan dia bilang kemarin Mas sangat baik kepadanya."Tanpa terasa Nazwa sudah terisak di dalam dekapan Erland. Ia tidak mengerti mengapa rasanya begitu sesak melihat tingkah Mila yang seolah sengaja memanas-manasi dirinya."Aku hanya mencintaimu, Nazwa. Aku tidak habis pikir kenapa Mila segila itu. Mungkin sebaiknya aku segera memecatnya."Erland hendak pergi, tapi Nazwa menahannya. "Jangan Mas," ucap Nazwa sambil menggelengkan kepalanya.Erland menghentikan langkahnya. Ia terdiam di depan Nazwa."Aku percaya sama kamu. Aku akan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Walau bagaimanapun juga, selama ini Mila sudah baik kepadaku.""Kamu tidak boleh dekat-dekat lagi dengan dia. Kamu harus menjaga jarak darinya."Nazwa menganggukkan pelan. Ia segera meminta maaf kepada Erland karena telah sangka sangka terhadap lelaki itu."Sekarang sebaiknya kita makan siang." Erland menggenggam tangan istrinya. Mereka berjalan beriringan menuju mob
"Ada apa, Bu? Ada yang bisa saya bantu lagi untuk Ibu?" Nazwa terlihat sangat perhatian dengan wanita itu. Sesungguhnya Rohimah mengingatkan Nazwa kepada ibunya yang telah meninggal dunia."Bolehkah Bibi bekerja di sini? Sebenarnya Bibi butuh pekerjaan. Tolong saya, Non. Nama saya Rohimah. Biasa dipanggil Imah.""Em, nama saya Nazwa." Wanita itu mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman."Jadi bagaimana, Non Nazwa. Boleh saya bekerja di sini? Sepertinya Ibu Nazwa kesepian di rumah sebesar ini." Rohimah memperhatikan keliling rumah Nazwa yang memang sangat besar baginya.Nazwa terdiam sejenak. Tentu ia tidak mau gegabah. Sembarangan memasukkan orang baru ke rumahnya. Bisa saja Erland akan marah kepadanya."Saya harus bertanya kepada suami saya dulu ya, Bi. Saya tidak bisa memutuskan begitu saja. Apalagi ini rumah pemberian suami saya." Nazwa menjawab dengan jujur."Baiklah. Saya pulang saja."Wanita paruh baya itu berdiri dari duduknya. Namun tiba-tiba ia memegangi kepalanya. Badannya h
"Aku juga tidak tahu, Mas. Pasti aku gemuk sekarang." Nazwa melangkah menuju tepi ranjang dan segera duduk.Jelas guratan kesedihan tampak dalam wajahnya. Ia takut Erland tak lagi mencintainya sebab tubuhnya yang mulai membengkak.Niatnya mencoba sepatu kerja malam-malam karena ia ingin sekali pergi ke kantor Erland untuk menemani sang suami. Namun kenyataannya, semua sepatu sudah tidak muat di kaki wanita itu.Erland yang menyadarinya mulai kebingungan. Ia sampai tahan nafas jika haru menghadapi sikap Nazwa yang seperti itu."Apa yang harus aku lakukan?" batin Erland gelisah.Lelaki tampan itu menghampiri istrinya dan ikut duduk di samping Nazwa."Jangan sedih, Sayang. Kamu tetap yang tercantik. Kamu tambah seksi kalau begini," bisik Erland menggoda.Nazwa masih terdiam. Ia hanya melirik sekilas ke arah suaminya tanpa memberikan komentar apapun."Lagian kenapa sih, kamu ngotot banget mau ke kantor. Kamu itu harus banyak-banyak istirahat, Sayang." Erland mengusap kepala Nazwa beberapa
Nazwa beranjak dari tempat duduknya. Ia penasaran siapa yang menelepon Bi Imah. Tidak menyangka jika Rohimah punya handphone yang bagus. Padahal kemarin bilang kelaparan karena belum makan."Siapa yang telepon pagi-pagi begini?" ucap Nazwa.Baru saja ia hendak melihat siapa yang menelepon, tiba-tiba Bi Imah datang dari dapur dengan tergesa-gesa."Non Nazwa, maaf. Handphone saya ada di sini ya?" ucapnya gelisah seraya mengambil ponsel yang masih berdering tersebut."Itu beneran ponsel milik Bu Imah?" tanya Nazwa penasaran."I—iya, Non. Ini handphone peninggalan suami saya yang sudah meninggal dunia. Kemarin saya posting di sosmed. Rencananya mau saja jual. Mungkin yang telepon orang yang mau beli ponselnya.""Oh, begitu. Ya sudah diangkat dulu, Bi. Siapa tahu penting."Bi Imah mengangguk cepat. Kemudian kembali ke belakang menuju dapur.Nazwa kembali duduk di samping Erland. Ia masih belum puas dengan penjelasan Bi Imah tadi."Kenapa, Sayang?" tanya Erland lembut. Ia sudah menyelesaika
Melihat Erland datang, Nazwa segera menegakkan tubuhnya dan menjauh dari Raka."Mas Erland, ini tidak seperti yang kamu pikirkan?" terang Nazwa bernada sendu."Iya, Erland. Tadi Nazwa hampir terjatuh. Dan aku hanya berusaha untuk menolongnya." Terpaksa Raka mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak ingin dianggap sebagai lelaki yang memanfaatkan keadaan.Seketika raut wajah Erland berubah menjadi khawatir."Kamu tidak apa-apa 'kan, Sayang. Maafkan aku baru bisa pulang." Erland mengecup kening Nazwa dan segera mendekapnya dengan erat. Tidak peduli jika ada Raka di sana."Nazwa baik-baik saja, Mas."Wanita itu melirik ke arah Raka. Merasa tidak enak hati atas sikap Erland yang seolah sengaja memanas-manasinya.Di saat Erland masih memeluk Nazwa, bayi kembar kembali menangis kencang."Oh, iya, Mas. Sejak tadi Dafa dan Devano menangis. Mereka sudah haus."Nazwa segera berjalan ke arah Dafa dan menggendongnya. Sementara Erland mengambil alih botol susu yang hendak diambil oleh Raka."Biar aku s
Seperti dugaannya Nazwa bahwa yang mengirim pesan adalah Bi Nanik. Wanita paruh baya itu mengatakan jika tidak bisa datang karena anaknya sedang sakit dan tidak mau ditinggal.Seketika raut wajah Nazwa berubah menjadi sedih. Ia tahu bagaimana perasaan seorang Ibu jika anak mendadak sakit."Semoga anaknya cepat sembuh ya, Bi. Bibi fokus saja sama anak Bibi. Nazwa tidak masalah kok."Setelah mengirimkan pesan itu Nazwa mengabari Erland. Lelaki tampan itu berjanji akan segera pulang jika pekerjaan di kantor telah selesai dan bisa dilimpahkan kepada sang sekretaris.Nazwa merasa lega. Ia meletakkan ponselnya. Namun kali ini handphone itu berbunyi lagi. Sebuah telepon dari nomor baru."Hallo, dengan siapa di sana?" sapa Nazwa ramah.Namun beberapa detik lamanya hanya sebuah kesenyapan yang ada."Maaf, kalau begitu saya tutup teleponnya.""Nazwa tunggu. Ini aku. Maaf ....""Mas Raka?" lirih Nazwa kemudian. Sudah lama ia tidak bercakap-cakap dengan mantan suaminya tersebut."Hari ini aku dan
"Sebenarnya Nazwa tidak masalah, Mas. Tapi Nazwa sibuk mengurus Dafa dengan Devano." Mendengar apa yang dikatakan Nazwa, Rosalia justru merasa semakin antusias. Ia ingin menemui wanita itu di rumahnya sekaligus menjenguk bayi kembar Nazwa dan Erland. Karena Rosalia memang belum sempat mengucapkan selamat kepada Nazwa. Begitupun dengan Raka. Betapa dirinya sangat merindukan seorang anak. Tetapi sayangnya ia tidak bisa memberikan keturunan kepada mamanya. "Nazwa, Tante ingin bertemu dengan baby kembar kamu. Boleh ‘kan, Sayang? Siapa nama mereka?" tanya Rosalia berterus terang. "Boleh, Tante. Kalau mau bertemu dengan Dafa dan Devano, Tante boleh ke sini kapanpun Tante mau." Rosalia melihat ke arah Raka dan Erland secara bergantian. Niatnya untuk pergi ke luar negeri sepertinya akan ia urungkan. "Apakah boleh Nak Erland?" tanyanya kepada Erland kemudian. "Jika Nazwa sudah mengizinkan, saya juga tidak bisa membantahnya." Rosalia tersenyum senang. Kemudian mereka mengakhiri percakapa
'Seila?' batin Erland kemudian. Erland melihat wanita itu datang bersama anaknya yang merengek meminta kue donat. "Sebentar Alin, kamu harus sabar." Seila mencoba menenangkan anaknya. Gadis kecil itu terdiam sejenak. Kemudian memandangi Erland. Alin yakin jika lelaki tampan yang ia lihat adalah papanya. Karena sang mama pernah memperlihatkan fotonya. "Papa? Dia Papa 'kan, Ma?" ucap Alin dengan wajah yang berseri. Seila tidak tahu harus menjawab apa. Ia berharap jika Erland mau berkata bohong demi seorang anak kecil yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Erland yang tidak paham pun terlihat kebingungan. Bagaimana bisa gadis kecil itu menganggapnya sebagai papa. Sungguh sangat tidak masuk akal baginya. "Kenapa Papa diam saja, Ma? Kenapa tidak menyapaku?" Alin menarik-narik baju mamanya. Seila pun ikut kebingungan. Selama ini ia membohongi putrinya dengan mengatakan bahwa Erland adalah papa dari anaknya tersebut. Sedangkan yang sebenarnya adalah papa kandung Alin sudah pergi e
"Baby twins pup lagi Sayang," jawab Erland dengan memasang wajah kesal. Niatnya ingin bercanda agar mengundang tawa. Sedangkan bayi di depannya tersenyum-senyum setelah sisa kotorannya berhasil dibersihkan oleh papanya. "Lihatlah, dia mengejekku." Erland merasa gemas dengan putrinya. "Iya, Bu Nazwa. Yang ini juga. Hehehe. Mereka selalu sehati." Bi Nanik terkekeh. Ia ikut merasa gemas dengan tingkah si baby kembar yang belum memiliki nama tersebut. Nazwa pun tertawa. Namun lirih dan pelan. Ia merasakan perutnya masih sakit. Rasanya seperti ingin terbelah saja saat ia refleks tertawa. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Erland khawatir karena melihat istrinya meringis menahan rasa sakitnya. "Aku baik-baik saja. Aku mau ke toilet sebentar." "Aku akan mengantarkan kamu." "Tidak perlu, Mas. Kamu harus menjaga anak kita. Kasihan Bi Nanik nanti pasti kerepotan." Dengan berat hati Erland harus mengalah. Sejujurnya ia tidak tega kepada Nazwa. Tetapi baby kecil yang lucu itu juga
Erland merasa kikuk. Ia tidak ada niat sama sekali untuk berhubungan dengan Cintya. Baginya, wanita itu sangat berani."Kok diam aja? Come on, Erland. Saya hanya meminta tolong saja. Tidak lebih," ujar Cintya yang nada bicaranya terdengar lain di telinga Erland.Lelaki itu tidak ingin mengecewakan Cintya. Ia takut jika wanita itu akan membatalkan kerjasamanya jika Erland tidak mau membantunya."Ba–baiklah."Erland beranjak dari duduknya. Ia berharap jika Ridwan segera datang dari arah toilet.Benar saja. Sahabat Erland tersebut telah kembali dari toilet."Erland mau ngapain?"Pandangan mata Erland beralih ke Ridwan. Ia memberikan sebuah kode agar lelaki itu segera menghampiri mereka."Em, Cintya. Maaf. Tiba-tiba perut saya terasa sakit. Itu Ridwan telah kembali. Kamu bisa meminta tolong kepadanya."Dengan cepat Erland meninggalkan tempat itu. Ia segera berjalan menuju toilet."Cintya, apa yang kamu lakukan kepada Erland? Kamu mencoba untuk menggodanya?""Kenapa kamu harus kembali secep
Nazwa masih mencari keberadaan perempuan itu, tetapi ia gagal menemukannya."Sepertinya ia sudah pergi. Apakah aku harus menceritakan tentang hal ini kepada Mas Erland. Apakah mungkin ada hubungannya dengan ya?"Dengan berat hati Nazwa mengurungkan niatnya untuk membuntuti perempuan itu. Ia memilih untuk ke ruangan suaminya. Niatnya dari semalam adalah ingin cepat-cepat bertemu Erland. Giliran sekarang sudah berada di rumah sakit, ia justru menginginkan hal lain.Nazwa berjalan santai ke ruangan yang tafi sempat ditunjukkan oleh Ridwan. Dengan perlahan wanita itu membuka pintu ruangan Erland.Seketika Ridwan dan Erland melihat ke arah pintu secara bersamaan."Em, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!" ujar Ridwan menyindir.Nazwa terlihat kikuk. Ia terlalu lama jika tadi beralasan ke toilet. Wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Em, kalian belum makan?" tanyanya ragu-ragu."Maaf, saya sudah makan duluan. Hehehe. Habisnya Pak Erland tidak mau makan kalau bukan Ibu Na
"Tunggu!" teriak seseorang kepada Nazwa.Nazwa, Raka, dan Rosalia menoleh ke arah sumber suara."Ridwan?" lirih Nazwa."Ma, kenapa dia bisa ada di sini? Jadi dia juga belum mati?" ujar Raka kepada mamanya.Lelaki itu menganggap bahwa Ridwan ikut meninggal bersama pesawat yang kecelakaan waktu itu. Karena memang Ridwan dan Erland sempat terpisah di perjalanan."Ibu Nazwa. Aku hanya ingin mengatakan jika Raka lah penyebab Pak Erland kalah tender. Dia yang telah berbuat curang. Mencuri semua ide Pak Erland dengan cara yang licik. Dia bertaruh dengan Pak Erland.""Mas Erland taruhan?" Nazwa tampak kecewa. Tetapi semua sudah terlanjur."Nanti saya akan jelaskan semuanya. Tolong Ibu Nazwa jangan menandatangani surat perjanjian itu."Rosalia berjalan mendekati Ridwan. "Kamu tidak perlu ikut campur Ridwan.""Cukup, Tante! Pergi dari sini saya tidak butuh ini." Nazwa melemparkan surat perjanjian berserta bolpoin itu kepada Rosalia."Awas saja kalian. Aku tidak akan tinggal diam."Raka dan Rosa
"Kenapa Mas Raka ke sini? Kita sudah tidak ada urusan lagi."Nazwa merasa geram. Ingin sekali ia mengusir Raka dengan cara kekerasan. Namun lelaki itu justru menunjukkan wajah yang penuh kesedihan."Nazwa, kamu sekarang tinggal di sini?" tanya Raka kemudian. Ia melihat ke arah atas sejenak agar air matanya tidak menetes."Iya, Nazwa tinggal di sini. Mas Raka senang 'kan? Mas Raka puas 'kan? Sebaiknya Mas Raka segera pulang."Nazwa memutar tubuhnya. Ia akan meninggalkan Raka seorang diri."Nazwa, aku rindu kamu!" Tiba-tiba tangan Raka menahan pergelangan tangan Nazwa.Nazwa mencoba melepaskan genggaman tangan Raka, tetapi lelaki itu justru mendorong kedua bahu mantan istrinya hingga tubuh Nazwa menyentuh dinding rumahnya.Raka mendekatkan bibirnya. Ia sangat merindukan momen bersama Nazwa dulu saat awal-awal menikah."Cukup, Mas Raka. Jangan seperti ini." Nazwa mengalihkan wajahnya."Aku masih mencintaimu, Nazwa. Mengertilah. Kamu sebenarnya juga masih cinta kepadaku 'kan? Katakan, Naz