Sindiran Pedas Istri Kedua Part 55 Obi hanya tersenyum, seperti tidak sedang berada pada situasi yang serius. "Iya, maaf. Kalau bilang-bilang jadinya nggak surprise, dong!" Aku tidak merasa puas dengan jawaban Obi. Ini bukanlah perihal yang patut untuk dijadikan ajang kejutan menurutku. "Tapi nggak gini juga, dong, Bi!" "Jadi gini, ya, Kak Tiara yang orangnya nggak tegaan dan banyak rasa nggak enaknya. Kalau aku mau ngajak ngobrol tentang hal ini, bakal panjang kali lebar kali tinggi jadinya. Lamaaa banget, susah ketemu ujungnya." "Ini bagaimana, itu bagaimana? Banyak banget pertimbangannya dan kebanyakan yang dipikirin perasaan orang," sambung Obi lagi. "Tapi, Bi---" Obi langsung memotong ucapanku. "Mulai sekarang, stop untuk terlalu mempertimbangkan orang lain. Fokus ke kita aja. Kita tidak harus bertanggung jawab untuk menjaga perasaan semua orang. Empati memang perlu tapi, sekadarnya." "Misalnya, nih, Hakim dia sekarang tidak baik-baik saja, apakah salah kita? Salah aku,
Sindiran Pedas Istri Kedua "Mama, Syira nggak jadi pakai kerudung yang ini. Yang samaan sama kakak Rara aja." Aku sedikit terperanjak karena Syira sudah ada di belakangku. Aku menghela napas, akhirnya anak ini menyerah juga. Sedari tadi dia keukeuh ingin memakai kerudung warna abu-abu yang baru dibeli kemarin. Padahal kerudung yang senada dengan bajunya sudah disiapkan. "Yakin?" tanyaku sembari memindai wajah manisnya. Syira mengangguk. Menaklukkan Syira memang susah-susah gampang. Dia tidak mudah ditebak. Dia juga tidak secekatan Rara pada saat usia yang sama. Status sebagai anak bungsu cukup berpengaruh pada kepribadiannya. Untunglah kedua kakaknya sudah bisa paham bagaimana mereka harus bersikap sebagai kakak. Aku mengambil kerudungnya yang masih tergeletak di atas kasur yang tadi ditolaknya mentah-mentah. Segera aku memasangkannya. "Cantik banget, sayangnya Mama. Kita foto, ya," pintaku karena belakangan Syira sangat moody diajak berfoto. Untunglah kali ini dia langsung setu
Sindiran Pedas Istri Kedua "Saya terima nikah dan kawinnya, Tiaranika Ayu Binti Hasim Sholeh dengan maskawin tersebut di atas, dibayar tunai!" Dengan suara lantang dan dalam satu tarikan napas, Obi menjawab kalimat ijab yang telah terlebih dahulu dilafazkan Bapak, juga lugas dalam satu tarikan napas. Dan akhirnya, datang juga waktu yang ditunggu. Hanya berselang belasan minggu semenjak acara lamaran diadakan. Penantian yang panjang bagi Obi, berpuluh purnama lamanya semenjak pengakuan cintanya padaku. Sekarang barulah berlabuh di sini. Disaksikan oleh segenap keluarga, Obi menjabat tangan Bapak, mengucapkan kalimat sakral di depan penghulu. Di awali dengan menyebut nama Allah, mengambil tanggung jawab Bapak atasku, dunia hingga akhirat. Berjanji dengan sadar akan membawaku meniti jalan yang diridhoi-Nya. Merangkai bahagia bersama. Hingga akhir usia, semoga saja. Kata sah pun terucap dari dua orang saksi yang duduk di sisi kiri dan kanan, saling berhadapan. Tanpa dikomandoi, sere
Sindiran Pedas Istri Kedua Kurasakan tepukan lembut di pipi diikuti dengan bisikan yang antara terdengar dan tidak. "Sayang, udah mau Subuh." Aku menggeliat. Rasa enggan sangat besar menguasai, terlebih aku merasakan dingin yang lebih dari biasanya. Kutarik lagi selimut dengan paksa hingga hampir menutup keseluruhan kepala. Selimut itu disibak dengan perlahan. Hingga mataku kembali merasakan silau. Mau tidak mau, kesadaranku ditarik perlahan. Aku insaf sekarang. Pantaslah dingin ini terasa menjadi-jadi, Aku sedang tidak berpakaian utuh sekarang. Aku melirik ke samping. Separas wajah dengan senyum hangat menjadi pandangan pembuka bagiku pagi ini. Binar bahagia seperti sedang bertahta di sana. Dia pun merubah posisi menjadi setengah berbaring. "Sudah pagi." Ucapan lembut itu menjalar hingga ke relung hati. Menggetarkan jiwa yang telah lama kaku akan kata-kata lembut penuh kasih sayang. "Hmm," balasku sambil mengerjap. "Capek banget, ya?" Senyum menggoda ia sunggingkan dengan sen
Sindiran Pedas Istri Kedua "Assalamualaikum, Manten baru, congratulation!" seru Pak RT yang tahu-tahu sudah menyembul dari balik pagar. Aku dan Obi sama-sama terkejut atas kehadiran lelaki lima puluh tahunan itu. "Waalaikumussalam, Bapak pejabat. Yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya. Dari luar kota , Pak?" balas Obi sambil menyambut jabat tangan dari pucuk pimpinan tertinggi di kompleks ini. "Iya, biasalah. Oh, iya, ini ada titipan dari istri saya." Dia menyerahkan sebuah paper bag yang lumayan besar padaku. "Terima kasih banyak, Pak. Ibu kok nggak diajak ke sini juga, Pak?" balasku. "Sebenar mau ke sini, cuma begitulah lagi repot sama barang bawaan. Itu kadonya jangan dilihat isinya, ya, tapi niat memberikannya. Besar harapan saya, dengan memberikan kado ini pinangan saya bakal diterima oleh Mas Obi," ujarnya lalu tergelak. "Bukan buat nikahin saya tapi buat gabung di instansi," ralatnya cepat diikuti dengan tawa. " Gimana Mas Obi, deal kan sama penawaran dari kami?" Obi
Sindiran Pedas Istri Kedua [Kak Tiara nanti datang ya ke pernikahan Nena. Nena sangat menunggu kehadiran Kakak.] Sejenak aku tertegun setelah membaca pesan yang dikirim Nena, adik Hendi satu-satunya. "Ngelamunin apa?" Tiba-tiba Obi sudah duduk di sebelahku. "Ni," Aku menyodorkan ponselku pada Obi. "Oh," komentar Obi singkat lalu melanjutkan berselancar di ponselku. "Emang Nena kapan nikahannya?" "Dua minggu lagi." Obi pun menaruh HP-ku di atas meja. "Kalau nggak mau datang, ya, nggak apa-apa. Kalau mau datang, ya, ayo. Kan ada aku. Tapi, masak sih dari segitu banyaknya orang ntar aku sendiri yang jomblo di sana. Udah punya istri cantik nggak digandeng ke mana-mana, mubazir banget." Obi melirik padaku dengan tatapan menggoda. Aku hanya menanggapi dengan sedikit menyunggingkan senyum. Aku memang dilanda dilema. Di satu sisi, aku menyayangi Nena selayaknya adik sendiri. Dulu kami begitu dekat. Dia yang tidak punya saudara perempuan, sedangkan aku anak tunggal. Kami sangat cepat
Sindiran Pedas Istri Kedua Waktu terus berjalan. Hidup bergulir bagaikan alunan musik yang bersimfoni dengan lirik dan gerak. Iramanya kadang mendayu, kadang cepat, bahkan kadang menghentak tetapi tetap dalam koridor tangga nada. Tetap indah didengar. Hampir satu tahun mahligai pernikahan kami arungi. Semua terasa bagai pengobat luka yang pernah menganga. Segala perhatian, kasih sayang, dan kebaikan Obi seakan menjadi penebus atas segala kekurangan yang sebelumnya ada. Hingga satu kesimpulan kutarik, alasan kenapa sebelumnya aku diberi perjalanan yang suram karena ternyata di depannya telah disiapkan kisah yang jauh lebih benderang. Untuk kesekian kalinya aku berucap, Tuhan sungguh Maha Baik, memberi lebih dari yang kuminta. Hanya satu hal yang masih menjadi pembicaraan ngambang bagi kami. Perihal kekhawatiran Obi pada ibunya. Pekerjaan Obi yang akhir-akhir ini banyak menyita waktu membuat intensitas mengunjungi ibunya semakin berkurang. Tak jarang di hari libur pun Obi masih ber
Sindiran Pedas Istri Kedua "Ibu lagi ke rumah tetangga sebelah. Paling bentar lagi pulang. Aku tinggal dulu, ya!" ujar Obi yang terlihat tidak enak hati. Walaupun begitu dia tetap mengikutiku yang sudah terlebih dahulu melangkah. "Pakai motor aja?" Obi meminta persetujuanku. Aku tanggapi dengan anggukan. Dalam hitungan detik berikutnya, kami bergerak meninggalkan rumah Bu Mai. Sementara Salma terlihat menyibukkan diri dengan ponselnya. "Kamu tadi kok gitu, sih, yang? Aku shock banget, loh sama sikap kamu barusan." Obi sengaja menghentikan motor di tepi jalan, beberapa ratus meter dari rumah yang pernah kuhuni waktu masih bersama Hendi dulu. Pemandangan dari sini memang sangat menakjubkan. Menghabiskan sore di sini akan disuguhi oleh detik-detik matahari turun bersembunyi ke balik bukit. Menyisakan mega-mega jingga yang seakan tengah memayungi tiga bukit yang saling menyambung. Dulu, aku senantiasa mengisi sore dengan duduk di teras samping sambil menyuapi anak-anak makan. Di mas
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,