Dua hari sebelum perlombaan dimulai, seluruh murid Fredrick Senior High School diminta untuk masuk ke sekolah. Mulai dari dekor aula yang digunakan untuk tampil, membersihkan lapangan basket dan futsal, serta menyiapkan stan-stan untuk berjualan pernak-pernik kerajinan tangan, dan beberapa makanan. Ternyata, sekolah menjadikan acara lomba besok sebagai acara pentas seni, yang akan dihadiri oleh setiap orangtua murid, dan donatur sekolah.
Rio menghela napas panjang, sangat malas jika ia harus bertemu ayahnya di sekolah. Selain itu, pasti beliau juga akan bertemu dengan orangtua Dea. Pasti semua murid dan guru yang ada di sini akan mengetahui statusnya dan juga Dea.
"Kenapa, kak? Kok, kusut gitu mukanya?" tanya Ri yang baru saja selesai membuang sampah.
"Besok ayah pasti datang, dan gue males ketemu dia. Apalagi ada orangtua Dea, mereka pasti akan bahas status gue yang udah tunangan sama Dea dan semua orang bakal tahu."
"Oh iya, besok orangtua bakal hadir. Berarti gue juga bakal ketemu ayah, dong?" Ri menatap Rio.
"Iya, Ri. Ayah juga belum tahu 'kan, kalau lo udah pulang? Lo tenang aja, gue sama yang lain nggak akan biarin ayah ganggu lo." Ri tersenyum berterima kasih.
"Iya," ucap Ri. Kemudian mereka pun kembali bekerja.
“Ri!” panggil Alvin dari kejauhan. Ri menoleh dan mendapati pemuda itu sedang berlari kecil ke arahnya.
“Iya, ada apa?” tanya Ri saat pemuda itu sudah berdiri di sampingnya.
“Habis ini kita latihan nyanyi dipanggung, yuk? Kak Rio juga ikutan, kuy?” ajak Alvin.
“Gue selesain ini dulu, Ify suruh siap-siap aja nanti. Lo berdua ke sana duluan,” jawab Rio.
“Oke!” Alvin dan Ri meninggalkan Rio sendiri. Keduanya berjalan ke samping panggung, terlihat ada Deva yang sedang bernyanyi bersama kekasihnya, Acha.
Tiba-tiba, satu orang gadis duduk di sebelah mereka. Alvin menoleh, tatapan keduanya beradu beberapa detik. Alvin sedikit terpana melihat senyuman gadis itu, tatapannya pun terasa menenangkan hatinya.
“Alvin, yuk? Sekarang giliran kita,” ucap Ri tiba-tiba.
“Eh? Oke, ayo.” Alvin menggandeng Ri ke arah panggung, sejenak ia menggelengkan kepalanya samar saat wajah gadis tadi memenuhi benaknya.
“Siap, Ri?” tanya Alvin seraya berdiri di depan piano. Ri mengangguk, gadis itu berdiri di samping Alvin. Pemuda itu mulai memainkan intro lagunya, kemudian memberi kode Ri untuk mengambil part pertama.
[RI]
Awalnya ku merasa
Cinta kita tak bisa
Tapi apa daya
Ingin hati mencoba hm yeah
[ALVIN]
Kau dan aku berbeda
Itu kata mereka
Kututup telinga
Denganmu akan kuhadapi segalanya
[ALVIN+RI]
Meski badai datang
Dan kau merasa
Dunia tak restukan kita semua
Kita hadapi berdua oh-oh
Selama bintang menari
Bulan mentari beri cahaya
Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh
Selama kita berdua
[ALVIN]
Kau dan aku berbeda (oh berbeda)
Itu kata mereka uh
Kututup telinga
Denganmu akan kuhadapi segalanya oh
[RI]
Meski badai datang
Dan kau merasa
Dunia tak restukan kita semua
Kita hadapi berdua oh-oh
[ALVIN]
Selama bintang menari
Bulan mentari beri cahaya (ku yakin takkan ada)
Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh
Selama kita berdua
Tak ada yang bisa kalahkan cinta kita
Selama semua dihadapi berdua (wo-wo-wo-ho)
[ALVIN+RI]
Pipi langit jingga merona
Melihat kita bersama bersama
[RI]
Meski badai datang
Dan kau merasa
Dunia tak restukan kita
Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita
[ALVIN+RI]
Meskipun badai datang
Dan kau merasa
Dunia tak restukan kita semua
Kita hadapi berdua ho-oh
Selama bintang menari
Bulan mentari beri cahaya (ku yakin takkan ada)
Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh
Selama kita berdua
[RI]
Takkan ada yang bisa kalahkan cinta kita ho-oh (ho-oh-wo)
Selama semua dihadapi berdua (oh-oh-ho-ho)
Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita
Selama kita berdua
“Wuiihhh … kereeeen!!!” seru Anov. Alvin dan Ri senyum kecil, keduanya turun dari panggung dan menghampiri pemuda itu.
“Lo mau latihan juga, Nov? tanya Ri. Anov mengangguk seraya menatap ponselnya yang menampilkan lirik lagu.
“Solo?” Kini giliran Alvin yang bertanya.
“Gue itu mau lomba, Vin, bukan mau ke Solo.” Refleks Alvin menggeplak keras kepala Anov hingga si empunya meringis kesakitan.
“Lo nyanyi sendiri apa duet?” sewot Alvin. Anov cengengesan sambil mengusap kepalanya yang panas. Ri geleng-geleng saja melihat kelakuan kedua pemuda di hadapannya.
“Berdua, dong,” ucap Anov bangga.
“Widih, sama siapa?” tanya Rio yang baru saja datang bersama Ify.
“Karin,” jawab Anov sembari meraih tangan gadis yang sejak tadi diam di sampingnya. Gadis itu refleks tersenyum canggung.
“Ahh … lo anak baru yang ikut lomba dance juga, ya?” tanya Ri yang baru ingat siapa gadis itu.
“Hehe … iya,” jawabnya seadanya.
“Wah … keren, lo ikut apa aja emang?” tanya Alvin.
“Dance sama musik aja.” Alvin dan Ri mengangguk kompak.
“Kenapa mau diajak duet sama Anov? Dia rese, lho,” celetuk Ray tiba-tiba, membuat semuanya terkejut.
“Ngagetin aja lo,” ketus Ri.
“Eh? Hehehe iya nggak papa, sih, kebetulan juga gue lagi nyari partner duet dan dia nawarin.” Ri tertawa canggung menjawabnya, takut-takut salah bicara nantinya.
“Ya udah, yuk, Rin? Kita latihan dulu, yee,” kata Anov sembari merangkul Karin ke panggung.
“Mereka cocok, ya?” Rio menatap Karin dan Anov yang tengah bersiap-siap.
“Iya, Yo,” sahut Ify. Ri dan yang lainnya turut mengangguk menyetujui.
Anov mengambil gitarnya dan duduk di samping Karin, Kini mereka akan bernyanyi dengan iringan gitar akustik dari Anov. Anov mulai memetik senar gitarnya, dan Karin mulai bernyanyi dengan suara lembutnya.
[KARIN]
Terakhir
Kutatap mata indahmu
Di bawah bintang-bintang
Terbelah hatiku
Antara cinta dan rahasia
‘DEGH!’
‘Suara ini … kenapa suara ini nggak asing buat gue? Dia … di sini?’ batin seseorang bertanya-tanya.
[ANOV]
Kucinta padamu
Namun kau milik sahabatku
Dilema hatiku
Andai ku bisa
Berkata sejujurnya
[KARIN]
Jangan kau pilih dia
Pilihlah aku
Yang mampu mencintamu
Lebih dari dia
[KARIN]
Bukan kuingin merebutmu
Dari sahabatku
Namun kau tahu
Cinta tak bisa
Tak bisa kau salahkan
[ANOV]
Kucinta padamu
Namun kau milik sahabatku
Dilema hatiku
Andai ku bisa
Berkata sejujurnya
[ANOV]
Jangan kau pilih dia
Pilihlah aku
Yang mampu mencintamu
Lebih dari dia
Bukan kuingin merebutmu
Dari sahabatku
Namun kau tahu
Cinta tak bisa
Tak bisa kau salahkan
[KARIN+ANOV]
Jangan kau pilih dia
Pilihlah aku
Yang mampu mencintamu
Lebih dari dia
Bukan kuingin merebutmu
Dari sahabatku
Namun kau tahu
Cinta tak bisa
Tak bisa kau salahkan
Tak bisa kau salahkan
“Gila, suaranya lembut banget,” gumam Ray dengan wajah terpana.
“Iya. Suara mereka nyatu dan feel-nya ngena banget,” sambung Rio.
Karin turun terlebih dahulu dari panggung untuk menghampiri Angeline setelah berbicara sebentar dengan Anov. Sedangkan pemuda itu memilih untuk merapikan gitarnya yang ia pakai tadi. Setelah itu, ia menghampiri keempaat saudaranya dan sahabatnya, lalu mereka beranjak ke kantin.
“Habis ini free kan?” tanya Anov saat mereka sudah ada di kantin dan memakan pesanan mereka.
“Iya, kenapa?” tanya Rio.
“Gue mau balik duluan sama Karin, ada urusan terkait persiapan lomba besok. Gue udah izin sama guru,” jelas Anov.
“Lo sekarang deket, ya, sama dia?” tanya Ri sembari tersenyum.
“Biasa aja, sih, kita cuma temen.” Anov menjawab seadanya. Entah kenapa dia tak nyaman saat Ri menanyakan hal itu kepadanya.
“Oooh ….”
“Ya udah, gue balik dulu. Karin udah nunggu gue di kelas,” pamit Anov. Setelah mendapat persetujuan mereka, pemuda itu segera pergi menghampiri Karin yang menunggunya bersama Angeline. Setelah itu mereka pergi ke suatu tempat.
“Ri, habis ini mau latihan lagi atau mau nyantai?” Alvin menatap Ri lembut.
“Nyantai dulu aja, Vin. Badan gue udah mulai nggak karuan soalnya,” jawab Ri.
“Lo kambuh?” tanya Ray khawatir.
“Cuma pusing dikit, kalian tenang aja.”
“Ya udah, kita istirahat dulu di sini. Lo kalau nggak kuat bilang, biar nanti kita izin pulang atau bawa lo ke UKS.” Ri mengangguk mendengar petuah Rio.
“Oh ya, kak, persiapan basket kalian gimana?” Ri menatap Rio, Agni dan Cakka yang mengikuti ekskul basket.
“Aman, semuanya lancar. Lo wajib nonton kita pokoknya,” kata Rio. Ri tertawa kecil sambil mengangguk.
Mereka pun memilih berkumpul di sana hingga hari mulai sore, lalu mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Ri, gadis itu baru saja tiba di rumah dan ia segera membersihkan diri. Setelah mandi, ia memilih menunggu Anov di ruang tengah sembari menonton tv.
Namun, hingga waktu menunjukkan pukul 12 malam, pemuda itu belum juga terlihat batang hidungnya dan itu membuat Ri khawatir. Gadis itu mencoba menghubungi pemuda itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudian, ia mencoba mencari kontak Karin di grup chat kelasnya, setelah itu ia menghubungi gadis itu.
“Semoga lo belum tidur,” gumamnya sembari menunggu panggilan tersambung.
‘Halo, ini siapa?’
“Ah … halo, Karin. Ini gue Ri, sepupu Anov. Lo masih sama Anov nggak? Soalnya dia belum pulang dari tadi,” tanya Ri khawatir.
‘Lho? Gue kira dia udah pulang, Ri. Tadi kita pergi urus kostum buat besok sampai jam 5 sore, habis itu dia pamit pulang. Gini, deh, gue coba bantu hubungi dia oke?’ ucap gadis itu mencoba menenangkan Ri.
“Oke, Rin. Makasih sebelumnya, maaf udah ganggu lo malam-malam.”
‘Sama-sama, Ri.’ Ri mematikan panggilan tersebut, kemudian kembali menghubungi Anov.
“Nov, lo ke mana sih …?” Ri mematikan televisinya lalu berjalan menuju ruang tamu.
Tak lama suara mobil terdengar dari luar. Ri yang menyadari hal itu pun segera keluar rumah. Helaan napas lega terdengar dari mulutnya, ia segera menghampiri Anov.
“Nov, lo dari-- Anov!” pekik Ri. Ia menahan tubuh Anov yang limbung, kemudian gadis itu memapah pemuda itu ke dalam rumah dan mendudukkannya ke sofa ruang tamu.
“Nov, lo kenapa?” tanya Ri khawatir. Ia belum pernah melihat Anov dalam kondisi seperti ini. Pemuda itu tampak kacau, lemas, dan terlihat pucat.
“Gue nggak papa, Ri. Maaf udah bikin lo khawatir,” jawab Anov pelan. Ri membawa Anov ke dalam pelukannya. Berharap ia bisa membuat pemuda itu tenang, karena yang dia lihat Anov seperti tertekan dan takut.
Anov memejamkan matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi dengan pemuda itu, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Ri tak berani memaksa pemuda itu untuk bercerita, karena pemuda itu memang sulit untuk terbuka jika bukan keinginannya.
“Kita ke kamar, yuk? Lo harus istirahat,” kata Ri dengan nada lembut.
“Iya, Ri. Lo mau temenin gue?”
“Iya, ayo.” Keduanya pun melangkah ke kamar Anov. Tak lupa Ri menyuruh Anov untuk mengganti pakaiannya.
Tak lama, Anov selesai membersihkan diri, lalu ia membaringkan tubuhnya di samping Ri dan memeluknya. Ri mengusap lembut surai Anov, memperhatikan wajah pemuda yang tampak gelisah itu. Ri pun beralih mengusap punggungnya, kemudian menyusul Anov yang perlahan mulai tenang dalam tidurnya.
‘Siapapun dapat berbuat jahat, maka dari itu kita harus berhati-hati. Mereka ada di mana-mana, bahkan orang-orang terdekat kita salah satunya.’
Keesokan harinya, Ri memilih untuk menemani Anov di rumah. Pemuda itu mengatakan jika ia sedang tak enak badan. Beruntungnya sehari sebelum perlombaan mereka diliburkan, sehingga Ri dapat bersantai seraya merawat Anov.
Seperti saat ini, ia sedang membantu Anov menghancurkan obatnya untuk diminum setelah sarapan. Pemuda itu sulit untuk menelan pil ataupun kapsul. Setelah itu, ia meninggalkan Anov ke dapur untuk mencuci alat makan yang digunakan tadi.
“Ada yang mau lo ceritain ke gue? Semalam lo ke mana dan kenapa?” tanya Ri saat ia sudah kembali ke kamar Anov.
“Gue belum bisa cerita sekarang … nggak papa, kan?” Anov menatap Ri penuh harap. Ri mengangguk paham.
“Iya, nggak papa. Apapun masalahnya, lo harus kuat dan coba selesaikan dengan kepala dingin. Lo nggak sendiri, karena gue dan lainnya pasti akan bantu lo.”
Anov tersenyum pedih, ia memeluk Ri dan membenamkan wajahnya. Rasa takut, marah, dan kecewa semua berkecamuk dalam hatinya. Ri membalas pelukannya, ia mencoba menenangkan Anov saat merasakan tubuh pemuda itu bergetar.
“Nangis aja, jangan ditahan biar hati lo tenang. Luapin apapun itu yang mengganggu hati dan pikiran lo.” Benar saja, setelah Ri berkata demikian, suara isakkan mulai terdengar dari bibir Anov. Sebenarnya apa yang membuat pemuda itu menangis? Apa yang sebenarnya terjadi? Kata-kata itu terus berputar dalam pikiran Ri sejak semalam.
Tiba-tiba, ponsel Ri berdering dan tertera nama Alvin di sana. Ia pun menjauh dan mengangkat panggilan tersebut. Anov memperhatikan Ri yang sedang berbicara dengan Alvin, tak lama Ri kembali dengan raut bingung.
“Kenapa, Ri?” tanya Anov pelan.
“Gue harus pergi sama Alvin, dia mau ajak gue studio musik buat latihan.” Ri menjawab dengan nada tak enak.
“Ya udah, lo pergi aja sama Alvin. Gue nggak papa, kok, nanti gue juga harus ke rumah Karin.”
“Lo di rumah aja, ya? Lo masih sakit, lho,” tegur Ri.
“Gue udah mendingan, Ri. Lo nggak usah khawatir,” balas Anov dengan nada meyakinkan. Ri mengangguk pasrah, lantas ia pamit untuk bersiap-siap.
“Huft ….” Helaan napas gusar kembali terdengar dari bibir pemuda itu.
Hari ini adalah hari perlombaan ekstrakurikuler di Fredrick Senior High School. Seluruh siswa-siswi yang berpartisipasi pun telah siap menunjukkan bakatnya, para guru juga telah siap untuk menjadi juri. Pertandingan basket dilaksanakan pada siang hari saat jam istirahat, hal ini dapat di manfaatkan supaya peserta lain untuk turut menyaksikan pertandingan tersebut. Saat ini Ri, Alvin, Anov, Oliv, Ray, Karin sedang duduk di bangku penonton sembari menunggu giliran mereka. Kondisi Anov sendiri sudah pulih, hal itu membuat Ri merasa lega. Tak lama, Ri dan Alvin dipanggil untuk tampil. “Semangat!!” seru Rio dan lainnya. Alvin dan Ri tersenyum mendengarnya, kemudian mereka mulai menyanyikan lagu milik Tiara Andini yang berjudul Hadapi Berdua. Siswa-siswi lainnya sangat menikma
Kini beberapa muda-mudi sedang berkumpul di sebuah kamar rawat. Tampak seorang pemuda tengah terbaring, dan berusaha meyakinkan kepada semua orang yang ada di situ bahwa ia tidak apa-apa. Mereka menghela pelan, tak mengerti dengan jalan pikiran pemuda itu yang baru saja sadar dan langsung meminta pulang. “Yo, nanti dulu pulangnya. Lo belum pulih, biarin dokter periksa kaki lo dulu dan pantau kondisi lo. Nanti, kalau kondisi lo udah membaik pasti boleh pulang, kok. Oke?” ucap Ify dengan lembut. ‘BRAKK!’ “RIO!” Tiba-tiba terdengar suara gebrakan pintu, kemudian disusul dengan teriakan seorang pria membuat mereka terkejut bukan main.
Setelah rangkaian acara dan lomba selesai, kini tiba saatnya para juri mengumumkan pemenang di setiap perlombaan yang telah diselenggarakan. Baik peserta maupun siswa-siswi yang menonton telah duduk di tempatnya masing-masing. "Kakak yakin kamu menang," bisik Iyel kepada Karin. Gadis itu menoleh sembari tersenyum kecil dan mengaminkan ucapan pemuda itu. "Selamat siang menjelang sore! Oke, agar tidak membuang-buang waktu, bapak akan mulai mengumumkan pemenang lomba pada ekskul band atau musik. Ada 3 pemenang yang dipilih oleh juri, yang menjadi juara ketiga ialah …." Semua mata tertuju kepada Pak Duta, apalagi para peserta yang sudah terlihat gugup di tempat duduknya masing-masing. "Selamat k
“Gimana caranya dia bisa pergi dari sini? Sialan, jangan sampai dia merusak semua rencana gue. Gue harus cari dia. Sampai kapan pun, gue nggak akan biarkan dia bahagia!” geram seseorang sembari menatap sebuah foto di tangannya. “Udahlah, lo tenang aja. Kayaknya gue tau dia di mana,” ucap sosok lain yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua saling tatap dengan seulas senyum sinis terpatri di wajah mereka. “Tikus lemah kayak dia, nggak akan bisa kabur dari kita.” “Hahahaha … bener banget!” Keduanya pun tertawa bersama. Sementara di tempat lain, tampak seorang pemuda tengah melamun di sebuah taman. Tak ada raut kebahagiaan di sana, helaan napas pun berulang kali keluar dari mulutnya. Tiba-tiba, matanya menatap seorang gadis sedang diganggu oleh beberapa pria berbadan ke
Keesokan harinya, lapangan sekolah tampak ramai karena kelas 10 dan 11 digabung saat pelajaran olahraga. Pelajaran hanya berlangsung selama 20 menit, selebihnya mereka diperbolehkan untuk berkegiatan bebas. Maka dari itu, Rio mengajak teman-temannya pergi ke basecamp. "Karin, gimana keadaan lo? Lo sebenarnya sakit apa, sih? Kok, gue sering liat lo ke UKS karena sesak napas." Ray menatap Karin yang tampak canggung duduk di antara Anov dan Steve. "Gue belum lama ini divonis sakit lemah jantung, kak. Jadi, maklum aja kalo lo sering atau denger gue masuk UKS bahkan rumah sakit," jawab Karin sembari tersenyum kecil. “Hmm … semangat, ya? Gue yakin, lo pasti sembuh. Gue bisa lihat, kalo lo itu gadis yang kuat." Ray tersenyum tipis. "Iya, kak." Karin membalas senyuman Ray.
Keesokan harinya, terlihat Anov dan ketiga sepupunya tengah berkumpul di ruang tamu, dan kebetulan hari ini hari Sabtu yang berarti sekolah libur. Mereka sedang menunggu kabar dari Karin yang katanya ingin menghubungi Anov. Tak lama, ponsel Anov berdering dan pemuda itu langsung menerima telepon dari sahabatnya itu serta tak lupa untuk me-loudspeaker panggilan itu. “Halo, Karin, lo di mana? Gue nyari lo di rumah kenapa nggak ada?” Terdengar suara helaan napas di seberang sana. Agni merangkul Anov yang terlihat kacau sekali. “Maaf, gue nggak kabarin lo. Gue sekarang di Korea, ada beberapa hal yang harus gue urus. Gue udah izin, lo nggak perlu nunggu gue balik. “Lo ngapain di sana? Ada masalah? Kenapa nggak bilang sama gue?” Anov berkata dengan nada tinggi.“Gue nggak mau lo terlibat dalam masalah gue, karena gue tahu lo juga ada masalah di rumah lo. Gue nggak mau nyusahin lo, lagian gue nggak sendirian, Nov. Gue sama Bang Steve di sini,” jelas Karin pelan-pelan. Berusaha untuk menena
PLAKK!"JANGAN PERNAH PANGGIL KAMI DENGAN SEBUTAN AYAH DAN BUNDA! KAMI TIDAK PERNAH PUNYA ANAK SEPERTI KAMU!""Saya sudah menyiapkan tiket untuk kamu ke Jerman. Besok pagi, saya ingin kamu angkat kaki dari rumah ini!""Menurut gue, keluarga adalah tempat untuk kita bisa saling berbagi kisah, lalu menyemangati satu sama lain. Satu lagi, keluarga itu tempat kita pulang, ketika tidak ada lagi orang yang mau menerima kehadiran kita. Namun, semua itu nggak berlaku di hidup gue. Kenapa? Karena bagi gue, keluarga adalah neraka." -Clarine Saufika-"Hiks ... gu-gue mau bahagia. Hiks hiks tolong ... bawa gue pergi dari sini.""Maafin keegoisan gue, sekarang kebahagiaan lo akan kembali. Gue yang akan pergi, terima kasih."
Di sebuah ruangan, tampak beberapa pria memakai baju hitam, dan beberapa muda-mudi yang tengah berkumpul untuk membahas sesuatu. Mereka menatap pada seorang gadis yang terlihat tenang dengan wajah datarnya sedang membaca sebuah berkas yang ada di tangannya. Perlahan, seulas senyum sinis terpatri di wajah cantiknya."Nona, apakah Anda sudah siap menjalankan tugas ini?" tanya salah satu pria bertubuh kekar di sana."Kapan saya berangkat?" Gadis itu berbalik tanya, menunjukkan bahwa ia siap dengan tugas yang diberikan kepadanya."Besok pagi, Anda harus bersiap-siap malam ini.""Oke, saya akan berangkat sendiri besok.""Baiklah, kami akan membantu Anda dari sini," tutur pria itu. Kemudian menutup pertemuan mereka.Gadis tadi langsung beranjak dari sana, diikuti oleh seorang pemuda yang kini merangkul tubuhnya. Gadis itu menoleh sejenak, dengan tatapan yang lebih bersahabat. Mereka berdua tengah berjalan menuju parkiran."Kamu yakin, mau m
Keesokan harinya, terlihat Anov dan ketiga sepupunya tengah berkumpul di ruang tamu, dan kebetulan hari ini hari Sabtu yang berarti sekolah libur. Mereka sedang menunggu kabar dari Karin yang katanya ingin menghubungi Anov. Tak lama, ponsel Anov berdering dan pemuda itu langsung menerima telepon dari sahabatnya itu serta tak lupa untuk me-loudspeaker panggilan itu. “Halo, Karin, lo di mana? Gue nyari lo di rumah kenapa nggak ada?” Terdengar suara helaan napas di seberang sana. Agni merangkul Anov yang terlihat kacau sekali. “Maaf, gue nggak kabarin lo. Gue sekarang di Korea, ada beberapa hal yang harus gue urus. Gue udah izin, lo nggak perlu nunggu gue balik. “Lo ngapain di sana? Ada masalah? Kenapa nggak bilang sama gue?” Anov berkata dengan nada tinggi.“Gue nggak mau lo terlibat dalam masalah gue, karena gue tahu lo juga ada masalah di rumah lo. Gue nggak mau nyusahin lo, lagian gue nggak sendirian, Nov. Gue sama Bang Steve di sini,” jelas Karin pelan-pelan. Berusaha untuk menena
Keesokan harinya, lapangan sekolah tampak ramai karena kelas 10 dan 11 digabung saat pelajaran olahraga. Pelajaran hanya berlangsung selama 20 menit, selebihnya mereka diperbolehkan untuk berkegiatan bebas. Maka dari itu, Rio mengajak teman-temannya pergi ke basecamp. "Karin, gimana keadaan lo? Lo sebenarnya sakit apa, sih? Kok, gue sering liat lo ke UKS karena sesak napas." Ray menatap Karin yang tampak canggung duduk di antara Anov dan Steve. "Gue belum lama ini divonis sakit lemah jantung, kak. Jadi, maklum aja kalo lo sering atau denger gue masuk UKS bahkan rumah sakit," jawab Karin sembari tersenyum kecil. “Hmm … semangat, ya? Gue yakin, lo pasti sembuh. Gue bisa lihat, kalo lo itu gadis yang kuat." Ray tersenyum tipis. "Iya, kak." Karin membalas senyuman Ray.
“Gimana caranya dia bisa pergi dari sini? Sialan, jangan sampai dia merusak semua rencana gue. Gue harus cari dia. Sampai kapan pun, gue nggak akan biarkan dia bahagia!” geram seseorang sembari menatap sebuah foto di tangannya. “Udahlah, lo tenang aja. Kayaknya gue tau dia di mana,” ucap sosok lain yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua saling tatap dengan seulas senyum sinis terpatri di wajah mereka. “Tikus lemah kayak dia, nggak akan bisa kabur dari kita.” “Hahahaha … bener banget!” Keduanya pun tertawa bersama. Sementara di tempat lain, tampak seorang pemuda tengah melamun di sebuah taman. Tak ada raut kebahagiaan di sana, helaan napas pun berulang kali keluar dari mulutnya. Tiba-tiba, matanya menatap seorang gadis sedang diganggu oleh beberapa pria berbadan ke
Setelah rangkaian acara dan lomba selesai, kini tiba saatnya para juri mengumumkan pemenang di setiap perlombaan yang telah diselenggarakan. Baik peserta maupun siswa-siswi yang menonton telah duduk di tempatnya masing-masing. "Kakak yakin kamu menang," bisik Iyel kepada Karin. Gadis itu menoleh sembari tersenyum kecil dan mengaminkan ucapan pemuda itu. "Selamat siang menjelang sore! Oke, agar tidak membuang-buang waktu, bapak akan mulai mengumumkan pemenang lomba pada ekskul band atau musik. Ada 3 pemenang yang dipilih oleh juri, yang menjadi juara ketiga ialah …." Semua mata tertuju kepada Pak Duta, apalagi para peserta yang sudah terlihat gugup di tempat duduknya masing-masing. "Selamat k
Kini beberapa muda-mudi sedang berkumpul di sebuah kamar rawat. Tampak seorang pemuda tengah terbaring, dan berusaha meyakinkan kepada semua orang yang ada di situ bahwa ia tidak apa-apa. Mereka menghela pelan, tak mengerti dengan jalan pikiran pemuda itu yang baru saja sadar dan langsung meminta pulang. “Yo, nanti dulu pulangnya. Lo belum pulih, biarin dokter periksa kaki lo dulu dan pantau kondisi lo. Nanti, kalau kondisi lo udah membaik pasti boleh pulang, kok. Oke?” ucap Ify dengan lembut. ‘BRAKK!’ “RIO!” Tiba-tiba terdengar suara gebrakan pintu, kemudian disusul dengan teriakan seorang pria membuat mereka terkejut bukan main.
Hari ini adalah hari perlombaan ekstrakurikuler di Fredrick Senior High School. Seluruh siswa-siswi yang berpartisipasi pun telah siap menunjukkan bakatnya, para guru juga telah siap untuk menjadi juri. Pertandingan basket dilaksanakan pada siang hari saat jam istirahat, hal ini dapat di manfaatkan supaya peserta lain untuk turut menyaksikan pertandingan tersebut. Saat ini Ri, Alvin, Anov, Oliv, Ray, Karin sedang duduk di bangku penonton sembari menunggu giliran mereka. Kondisi Anov sendiri sudah pulih, hal itu membuat Ri merasa lega. Tak lama, Ri dan Alvin dipanggil untuk tampil. “Semangat!!” seru Rio dan lainnya. Alvin dan Ri tersenyum mendengarnya, kemudian mereka mulai menyanyikan lagu milik Tiara Andini yang berjudul Hadapi Berdua. Siswa-siswi lainnya sangat menikma
Dua hari sebelum perlombaan dimulai, seluruh murid Fredrick Senior High School diminta untuk masuk ke sekolah. Mulai dari dekor aula yang digunakan untuk tampil, membersihkan lapangan basket dan futsal, serta menyiapkan stan-stan untuk berjualan pernak-pernik kerajinan tangan, dan beberapa makanan. Ternyata, sekolah menjadikan acara lomba besok sebagai acara pentas seni, yang akan dihadiri oleh setiap orangtua murid, dan donatur sekolah.Rio menghela napas panjang, sangat malas jika ia harus bertemu ayahnya di sekolah. Selain itu, pasti beliau juga akan bertemu dengan orangtua Dea. Pasti semua murid dan guru yang ada di sini akan mengetahui statusnya dan juga Dea."Kenapa, kak? Kok, kusut gitu mukanya?" tanya Ri yang baru saja selesai membuang sampah."Besok ayah pasti datang, dan gue males ketemu dia. Apalagi ada o
Keesokan harinya, kondisi Rio sudah membaik dan mereka berangkat ke sekolah bersama. Sikap Ri pagi ini terlihat berbeda, ia sangat dingin, bahkan saat disapa teman-temannya dia tak membalasnya. Entahlah, mungkin moodnya sedang buruk."Lo kenapa?" tanya Alvin saat mereka sedang di kantin. Mereka baru saja menyelesaikan pelajaran olahraga."Nggak papa," jawab Ri seadanya."Gue ke toilet dulu." Ri pun melangkah keluar kantin, diiringi tatapan heran Alvin."Kok, gue ngerasa Caristy beda, ya?" Rio menggeplak kepalanya sadis."Lo kira adik gue apaan berubah? Sama aja, kok!" Rio berkata pelan."Ya maaf," cibir Alvin seraya mengusap kepalanya."Perasaan lo aja kali," ucap Ify. Alvin terdiam, sibuk dengan pikirannya lagi.Sementara di toilet, Ri tampak berbicara dengan seseorang. Nada bicaranya terdengar malas, seakan apa yang dibicarakan oleh orang itu tidak penting. Setelah itu ia memutuskan panggilan secara sepihak."Bawel ban
Di sebuah ruangan, tampak beberapa pria memakai baju hitam, dan beberapa muda-mudi yang tengah berkumpul untuk membahas sesuatu. Mereka menatap pada seorang gadis yang terlihat tenang dengan wajah datarnya sedang membaca sebuah berkas yang ada di tangannya. Perlahan, seulas senyum sinis terpatri di wajah cantiknya."Nona, apakah Anda sudah siap menjalankan tugas ini?" tanya salah satu pria bertubuh kekar di sana."Kapan saya berangkat?" Gadis itu berbalik tanya, menunjukkan bahwa ia siap dengan tugas yang diberikan kepadanya."Besok pagi, Anda harus bersiap-siap malam ini.""Oke, saya akan berangkat sendiri besok.""Baiklah, kami akan membantu Anda dari sini," tutur pria itu. Kemudian menutup pertemuan mereka.Gadis tadi langsung beranjak dari sana, diikuti oleh seorang pemuda yang kini merangkul tubuhnya. Gadis itu menoleh sejenak, dengan tatapan yang lebih bersahabat. Mereka berdua tengah berjalan menuju parkiran."Kamu yakin, mau m