"Nay, bangun. Udah pagi. Ayo, aku anter pulang." Dilan menepuk pelan pipi Sanaya yang masih terlelap di kasurnya. Sebelumnya, dia sudah bangun lebih dulu dan mandi. Kemudian membuat sarapan instan yaitu sereal dicampur susu. Dia kembali ke kamar setelah urusan di pantry selesai, dan mendapati perempuan yang semalaman bergumul dengannya masih pulas. Menggeliat, seraya bergumam, Sanaya membuka perlahan maniknya lalu mengerjap lambat. Pemandangan pagi ini sungguh sangat indah, dapat memandangi wajah tampan lelaki yang dia cintai dengan puas, merupakan keinginannya sejak lama. "Morning, Dilan …." Senyum Sanaya mengembang, mengulurkan tangan menyentuh wajah Dilan yang nampak segar juga penampilannya yang sudah rapi. "Morning, Nay." Dilan membungkuk, menyingkirkan helaian rambut Sanaya yang berantakan, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening, hidung dan terakhir di bibir. "Ayo, bangun. Sebelum pulang, sarapan dulu." Maniknya melirik nampan yang ada di atas nakas. Manik Sanaya i
Di lorong Rumah Sakit, Sanaya berlari seperti orang yang dikejar-kejar hantu. Tak peduli dengan tatapan aneh dari beberapa orang yang dia lewati, Sanaya tetap berlari sekuat mungkin. Bahkan, Dilan yang mengikutinya dari belakang tidak Sanaya pedulikan, yang terpenting saat ini ialah dia ingin segera bertemu sang ayah. Kabar dari Mbok Mina, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ayah Sanaya memberikan kabar yang amat sangat mengejutkan. Ayahnya sempat mengeluh dadanya sakit dan tiba-tiba pingsan. Anak mana yang tidak akan khawatir dan cemas jika mendengar kabar tersebut. Sanaya takut bila terjadi hal-hal buruk pada ayahnya setelah ini. "Nay!" Dilan berteriak, berkali-kali memanggil Sanaya yang semakin menjauh dari pandangannya. Hal itu tentu hanya sia-sia saja, sebab Sanaya tidak mendengar teriakannya. Dilan pun semakin mempercepat langkahnya untuk mengejar Sanaya yang sudah berbelok, menuju ruang perawatan ayah Wili."Mbok!" Ketika baru tiba, Sanaya memanggil seorang wanita pa
Setelah keluar dari ruangan dokter Danu, Sanaya pergi menemui ayah yang sudah dipindahkan ke ruang perawatan dengan Dilan yang masih setia di sisinya. Keduanya masuk, melihat ayah yang masih belum sadarkan diri. Hati Sanaya seperti disayat, ketika melihat kondisi ayahnya yang memprihatinkan, berbagai macam alat medis menempel di seluruh tubuh renta-nya. Dari balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, bibir Sanaya bergetar, menggumam memanggil, "Ayah ..." Kakinya melangkah mendekat, pandangannya mengabur karena cairan bening yang lagi-lagi mengembun di maniknya. Dia sentuh punggung tangan ayah Wili, sambil menatap iba raga tak berdaya itu."Kenapa jadi begini, Yah?" Sanaya menyayangkan kondisi ayah yang mendadak kambuh. Sebagai anak tentu dia merasa sangat bersalah lantaran tak pernah ada waktu untuk menjaga dan merawat ayahnya.Dilan merangkul pundak Sanaya, mengelus lembut lengan berlapis baju steril rumah sakit, sembari berkata, "Om Wili pasti kuat, Nay. Aku yakin beliau bisa s
"Nay!"Merasa ada yang memanggil, Sanaya menoleh, "Mom?" Dia pun berdiri, lantas menghambur ke pelukan calon mertuanya. "Ayah, Mom."Sanaya menangis lagi di pelukan mami Anne. "Yang sabar, Sayang. Yang sabar. Ayahmu pasti bisa sembuh," ucap mami Anne menenangkan sang calon menantu.Papinya Leo juga turut menenangkan Sanaya. "Ayahmu laki-laki yang kuat, Nay. Dia pasti bisa melewati masa kritisnya. Nanti, kalau perlu, papi akan bawa ayah kamu berobat ke Singapura." Sanaya mengurai pelukan, mengusap jejak basah di pipi kemudian menanggapi, "Singapura?" Kernyitan di kening menandakan jika dia cukup terkejut dengan penuturan papinya Leo."Iya, Singapura." Papinya Leo mengangguk mengiyakan. "Di sana alat-alat medisnya lebih lengkap." Sepengetahuannya seperti itu."Iya, Nay. Kita bisa membawa ayah kamu ke sana. Kalau dokter di sini udah gak bisa mengatasi." Mami Anne menambahkan, sambil mengelus rambut Sanaya dengan sayang. Dia terkejut ketika Sanaya menelponnya tadi, mengabarkan bahwa aya
"Leo, sakit!"Sanaya tertatih menyamai langkah Leo yang lebar-lebar sambil meringis menahan nyeri di pergelangan tangan. Lelaki itu menyamakan Sanaya seperti hewan yang bisa dia seret seenaknya. Menulikan telinga tak acuh dengan rengekan sang tunangan. Kaki panjangnya terus melangkah dengan raut geram menahan marah.Menyusuri lorong Rumah Sakit yang nampak sepi, dan langkahnya baru berhenti ketika sampai di lorong paling ujung. Tak ada manusia satupun yang lewat di sana. Kesempatan baginya untuk memberi pelajaran untuk perempuan murahan ini."Ka-kamu kenapa bawa aku ke sini? Kita mau ngapain di sini?" Sanaya bertanya dengan tergagap dan manik yang bergerak gelisah. Memindai sekitar dengan waspada, terlebih saat ini dia sedang bersama Leo.Alarm peringatan dalam dirinya seolah memberi pertanda jika semua ini tidak akan berakhir dengan baik. Apalagi, sorot menyeramkan terpancar dari manik Leo yang memicing ke arahnya."Kamu takut, Nay?" Satu sudut bibirnya terangkat tinggi, seakan dia m
"A-apa maksud kamu, Leo? Jangan bilang kalau kamu mau ceritain ini ke Ayah?"Raut Sanaya seketika memucat, mendengar perkataan Leo yang lebih mengarah pada sebuah ancaman. 'Nggak! Leo nggak boleh kasih tau ini ke Ayah!' Batin Sanaya sudah waspada dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada ayah Wili, saat hubungannya dengan Dilan dibongkar Leo.Pasalnya, dokter Danu sudah mengingatkan Sanaya untuk menjaga dan menjauhkan ayah dari kabar buruk atau semacamnya. Terlebih, hubungan gelapnya bersama Dilan bukan hanya berita buruk yang akan mengejutkan ayah Wili, tetapi suatu aib yang akan sangat menghancurkan hati ayah. Leo menyeringai licik, sudut bibirnya berkedut pertanda dia benar-benar puas melihat Sanaya sudah ketakutan mendengar ancamannya. "Kenapa, Sayang? Apa kamu takut?" tanyanya sambil membelai pipi Sanaya dengan punggung tangan. Namun, segera ditepis oleh tunangannya itu. "Jangan gila kamu, Leo! Aku gak akan biarin kamu bongkar hubungan aku sama Dilan ke Ayah! Gak akan
Hampir satu jam lebih, Sanaya duduk di pinggir ranjang rumah sakit, sambil tak lelah berdoa dalam hati agar sang ayah lekas sadarkan diri. Menghela berkali-kali, sesekali mengecek saluran infus yang terdapat di tangan kiri ayah Wili, Sanaya mengalihkan pandangan ke wajah yang mulai menua itu dengan iba."Bangun, Ayah. Nay pengen liat Ayah senyum lagi. Please ..." Dia bermonolog, memohon dan berharap sang ayah mau membuka mata. Mengusap punggung tangan yang kulitnya mulai mengeriput dengan rasa sayang tak terkira.Selain ayah, Sanaya tak memiliki siapa-siapa lagi. Selama ini dia hanya punya ayah di hidupnya semenjak sang ibu memilih pergi dengan laki-laki lain. Melihat ayahnya tak berdaya seperti ini tentu hatinya terasa sakit, dan tak dapat menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang terus saja menghantui.Ditambah dengan ancaman Leo dan pilihan yang sangat berat untuk Sanaya ambil. Pilihan yang sulit lantaran dia harus memecat Dilan dari restoran, sedangkan ayahnya begitu mempercayai le
Dengan tergagap, Sanaya mengiyakan permintaan ayahnya, "Nay ... Ma-mau, Yah." Maniknya melirik sekilas ke Dilan yang mungkin merasa terkejut. 'Maaf, Dilan. Maafin aku ...' Dalam hati Sanaya memohon maaf pada lelaki baik itu, yang pasti merasa sangat kecewa padanya. Dia tidak punya pilihan lain, bukan? Selain menyetujui permintaan ayah. Berada di posisi seperti sekarang juga bukan keinginan Sanaya. Ketika dia harus dihadapkan dengan sebuah pilihan terberat, dan hal itu membuatnya membenci keadaan ini. Kenapa harus ada pilihan? Kenapa dia harus memilih antara ayah dan Dilan? "Terima kasih, Nay. Kamu memang anak ayah yang paling berbakti." Perasaan ayah Wili tentu sangat lega dan bahagia, akhirnya dia bisa menyaksikan puteri satu-satunya menikah dengan laki-laki pilihannya..Namun, di antara kebahagiaan yang menyelimuti hati ayah Wili, ada dua hati yang patah dan terluka. Beliau tidak tahu, jika senyum yang terukir di bibir Sanaya hanyalah sebuah topeng demi menutupi rasa pedih yang
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak