Dengan tergagap, Sanaya mengiyakan permintaan ayahnya, "Nay ... Ma-mau, Yah." Maniknya melirik sekilas ke Dilan yang mungkin merasa terkejut. 'Maaf, Dilan. Maafin aku ...' Dalam hati Sanaya memohon maaf pada lelaki baik itu, yang pasti merasa sangat kecewa padanya. Dia tidak punya pilihan lain, bukan? Selain menyetujui permintaan ayah. Berada di posisi seperti sekarang juga bukan keinginan Sanaya. Ketika dia harus dihadapkan dengan sebuah pilihan terberat, dan hal itu membuatnya membenci keadaan ini. Kenapa harus ada pilihan? Kenapa dia harus memilih antara ayah dan Dilan? "Terima kasih, Nay. Kamu memang anak ayah yang paling berbakti." Perasaan ayah Wili tentu sangat lega dan bahagia, akhirnya dia bisa menyaksikan puteri satu-satunya menikah dengan laki-laki pilihannya..Namun, di antara kebahagiaan yang menyelimuti hati ayah Wili, ada dua hati yang patah dan terluka. Beliau tidak tahu, jika senyum yang terukir di bibir Sanaya hanyalah sebuah topeng demi menutupi rasa pedih yang
"Dilan, kenapa mesti ke hotel, sih? Kan, kita bisa bicara di kantin rumah sakit atau gak di parkiran." Sanaya protes tak terima karena Dilan malah membawanya ke hotel hanya sekadar untuk bicara empat mata. Seharusnya, tidak perlu sampai ke tempat ini. Toh, masih banyak tempat lain yang lebih nyaman, yang bisa dijadikan tempat untuk mengobrol. Alasan lainnya adalah, Sanaya hanya takut jika Dilan akan bertanya-tanya perihal persetujuannya untuk menikah besok. Dan, soal mengapa dia langsung mengambil keputusan sepihak tanpa berpikir atau berdiskusi terlebih dahulu."Kamu makan dulu, Nay. Baru protes ke aku." Dengan lembut tangan Dilan menarik tangan Sanaya yang berdiri menghadap jendela, membawa perempuan itu duduk di sofa tunggal yang kebetulan ada di kamar hotel.Dia sebenarnya juga merasa marah dan kesal, tetapi sebisa mungkin menahan diri agar tidak melampiaskannya secara berlebihan. Dilan sayang dan tidak mau sampai Sanaya merasa ketakutan. "... Makan dulu habis itu mandi terus k
Detik itu juga jantung Dilan rasanya seperti diremas paksa. Jawaban Sanaya seakan menamparnya hingga menciptakan rasa sakit yang tidak hanya menghancurkan impiannya dalam sekejap mata. Namun, harapannya merajut masa depan bersama Sanaya luluh lantah tak bersisa. Setiap kalimat yang lolos dari bibir manis itu bak belati yang menusuk dan meninggalkan luka menganga.Dia yang bodoh atau memang Sanaya yang pandai menorehkan luka? Begitu mudahnya perempuan itu menganggapnya seperti sampah, yang bisa dibuang seenaknya kapan pun Sanaya mau.Namun, entah mengapa Dilan merasa ada yang tidak beres dengan raut Sanaya ketika melontarkan kalimatnya. Semacam ada tekanan dari sorot matanya yang memancarkan kebohongan.'Apa Sanaya lagi di bawah kendali seseorang? Kenapa gue ngerasa kalo dia gak rela mengakhiri hubungan ini?'Dugaan tersebut terbersit di benak lelaki yang sama sekali tidak berkedip dan hanya menatap lawan bicaranya. Sanaya pun belum lepas menatapnya, maniknya bergerak gelisah menunggu
Harusnya Sanaya menolak. Harusnya hal ini tidak bisa terjadi untuk yang ke sekian kali. Harusnya dia bisa menahan diri untuk tidak terjerat ke pusaran gairah yang Dilan tawarkan. Bukankah ini akan semakin mempersulit? "Argh ..." Sanaya bangkit, terduduk di ranjang, lalu mengacak rambutnya asal. Frustrasi karena merasa lemah iman juga minim penolakan. "Dilan ngeselin!""Ngeselin apa ngangenin?" Yang diumpat baru saja keluar dari kamar mandi, langsung menimpali tanpa merasa kesal sama sekali. Dilan mengusak rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang dikalungkan di leher, berjalan mendekati Sanaya yang tanpa sadar sudah menggodanya.Bayangkan, pemandangan indah yang disuguhkan Sanaya tentu akan memancing siapa saja yang memandang. Dua bukit indah yang ukurannya cukup lumayan di telapak tangan, menggantung sempurna, dihiasi jejak kissmark yang bertebaran. Semakin menambah kesan seksi.Sanaya melirik sinis ke arah Dilan yang duduk di tepi ranjang. "Kamu ngeselin! Aku 'kan udah bilang,
Saat ini Sanaya tengah bersiap-siap untuk akad nikah yang akan dilaksanakan secara dadakan dan beberapa jam lagi. Para asisten yang dibawa mami Anne tengah sibuk sedari tadi membantu sang calon pengantin di ruangan lain yang disediakan oleh pihak Rumah Sakit.Kabar pernikahan dadakan tersebut rupanya sudah terdengar di telinga para staf Rumah Sakit termasuk Direktur yang kebetulan teman dari papinya Leo. Oleh karena itu, keluarga besar Wiratama diberikan pelayanan khusus agar acara tersebut bisa terlaksana dengan baik dan lancar.Sementara itu, ayah Wili menunggu di ruang perawatan dengan ditemani papinya Leo, dan dokter Danu sebagai saksi dari pihak perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki, papinya Leo menunjuk asistennya untuk menjadi saksi.Dilan yang diminta ayah Wili untuk mencari penghulu pun baru saja tiba dan langsung masuk ke ruang perawatan bersama pria paruh baya. Dia nampak tenang walaupun dadanya merasa sangat sesak.Maniknya berpendar mengelilingi seluruh ruangan, menca
"Kenapa dia ada di sini?" Leo bertanya dengan raut datar dan dingin, tatapannya seakan hendak menelan Sanaya hidup-hidup saat ini juga. Melihat Dilan berada di ruangan rawat ayah Wili tentu dia tidak suka. Apalagi ketika mengingat jika calon istrinya ada hubungan dengan manager kere itu.Ya, Leo selalu menganggap Dilan hanya seorang Manager kere yang tidak sebanding dengan dirinya. Sanaya menelan ludah susah payah, meremas ke sepuluh jarinya dengan perasaan takut. "A-ayah yang minta Dilan buat bantu pernikahan kita." Tergagap dia menjawabnya, maniknya bahkan tak berani menatap Leo yang berdiri dengan angkuh sambil bersedekap. Kenapa juga laki-laki brengsek ini membawanya ke tempat yang sepi seperti ini? Jauh dari orang-orang yang tengah menunggu mereka di ruangan rawat ayah. "Ayah atau kamu?" cecar Leo semakin menyudutkan Sanaya yang sontak menggeleng cepat. "Bukan! Bu-bukan aku! A-aku gak nyuruh dia." Perempuan yang siang ini terlihat sangat cantik itu mengibas-ngibaskan tangan
Mendengar kata kambuh, lutut Sanaya rasanya lemas, seperti tidak bertulang. Sejurus kemudian tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu dengan sigap mami Anne menahannya."Nay!""Mbak!""Sanaya!"Semua orang yang berada di sana tentu panik bukan main, pasalnya Sanaya terlihat sangat terpukul dan lemah. Perempuan itu seperti orang linglung, menatap kosong ke sekitarnya dengan pikiran yang tidak-tidak.'Ayah. Ayah gak boleh pergi ninggalin, Nay. Ayah gak boleh pergi.'Dalam hatinya Sanaya terus mencemaskan kondisi sang ayah yang sedang berjuang di dalam sana. Tak peduli riasan di wajahnya rusak akibat air mata yang luruh dengan deras.Leo pastinya tak menyia-nyiakan kesempatan, dia bersikap seolah-olah peduli dengan sang calon istri. "Sayang, kamu yang tenang, ya. Kamu yang tabah. Ayah pasti bisa melewati semua ini," ucapnya yang menopang tubuh Sanaya dari belakang.Papi menimpali, "Iya, Nak. Kamu tenang dulu. Ayah kamu pasti baik-baik aja. Dokter Danu lagi berusaha menangani."Dilan tidak bi
"Benar. Dilan memang sudah gelapin uang restoran."Semua orang terperangah, mendengar pernyataan Sanaya yang sangat-sangat mengejutkan. Tak terkecuali Dilan yang berdiri tidak jauh dari perempuan yang terlihat datar itu. Sanaya sama sekali tidak berani menatapnya, malah menunduk dan sibuk mengusap lelehan air mata di pipi.'Kenapa Sanaya ngomongnya gitu? Apa maksudnya?' Rahang Dilan mengeras seketika, dia tak habis pikir dengan penuturan Sanaya barusan.Apa ini ada kaitannya dengan Leo, pikir Dilan."Oh, jadi dia beneran korupsi?" Mami Anne mencibir ketus, memicik tajam seakan Dilan adalah penjahat yang harus disingkirkan. "Laporin aja ke polisi! Biar dipenjara sekalian!" usulnya bersungut-sungut kesal."Ya, benar! Laporkan saja ke polisi," timpal papi, yang juga menyoroti Dilan dengan sinis. "Biar dia jera." Sebagai teman sekaligus calon besan, Andi merasa tidak terima jika ada yang mencoba mengkhianati Wili. Terlebih, kondisi ayah dari Sanaya itu sedang tidak baik-baik saja."Jangan
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak