Luna tidak bisa tenang. Matanya sudah sembab akibat tangis yang sejak tadi mendera. Air matanya memang sekarang sudah mengering, tapi hatinya tetaplah hancur berkeping-keping. Otaknya terngiang mengingat suara wanita yang memanggil Draco di kala dirinya tengah melakukan panggilan telepon pada Draco.Jika saja Luna bisa, dia ingin sekali menyusul Draco. Namun, itu adalah hal yang tak mungkin. Dia tidak bisa pergi ke luar rumah, tanpa izin dari Draco. Pelayan sudah pasti akan melarang Luna pergi.Luna menatap ke luar jendela, tatapannya kosong dengan raut wajah yang menunjukkan kesedihannya. Dia belum pernah merasakan sesakit ini. Sejak dulu, tidak pernah sedikitpun Luna dekat dengan seorang pria seperti dia dekat dengan Draco.Luna menyadari bahwa memang Draco membelinya di pelelangan. Bisa saja kalau suatu saat Draco bosan dan membuangnya. Tidak ada yang tidak mungkin. Dia menyadari tempat posisinya saat ini. Namun, tak memungkiri bahwa Luna memiliki harapan di mana dia berharap Draco
Hati Luna seperti tertikam belati tajam mendengar apa yang Draco katakan. Tenggorokannya seperti menelan ribuan jarum. Yang sakit bukan hanya hatinya saja! Tapi sekujur tubuh gadis itu. Mata sudah berembun penuh menyimpan air mata yang pastinya akan tumpah lagi dalam hitungan detik.Tubuh Luna terguncang akibat sakit yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Gadis itu ingin menjerit sekencang mungkin akibat rasa sakit yang dia dapatkan setelah mendengar pengakuan Draco. Luna belum pernah sama sekali merasakan luka seperti ini dalam hidupnya. Dia kerap ditampar oleh bibinya. Dia kerap menahan lapar di kala bibinya tak memberikannya makan.Akan tetapi rasa sakit penderitaan yang bibinya berikan padanya, tetap tidak sebanding dengan luka yang dia rasakan sekarang. Tubuhnya layaknya piring yang sudah hancur berkeping-keping. Kaki Luna melemah. Dia nyaris tersungkur. Untungnya sosok pria yang melukainya itu masih memegangnya. Jika tidak, sudah pasti dia akan terjatuh tersungkur di lan
“Di mana Draco?” Mireya baru bangun tidur, langsung menanyakan keberadaan Draco. Yang dia inginkan adalah selama berada di rumah sakit, Draco selalu ada di sisinya. Namun, malah apa yang dia inginkan tidaklah menjadi nyata. Tunangannya itu tidak ada di ruang rawatnya.“Tuan Draco sudah pulang, Nona. Beliau sedang istirahat. Selama Tuan Draco Riordan tidak ada, Anda akan dijaga oleh pengawal dan pelayan.” Nigel menjawab sopan. Dia masih berada di ruang rawat Mireya, karena menunggu sampai Mireya membuka mata.Mireya berdecak. “Beri tahu aku di mana alamat Draco tinggal dengan pelacur itu!”Draco memiliki banyak mansion dan penthouse. Mireya tidak tahu tinggal di mana tunangannya itu bersama dengan pelacur itu. Dia sudah tak bisa menahan diri. Dia ingin sekali menemui pelacur itu dan menghajarnya.“Nona, untuk hal itu Anda lebih baik bertanya langsung pada Tuan Draco Riordan. Saya tidak memiliki hak untuk menjawab pertanyaan Anda.” Nigel tak berani memberi tahu di mana tuannya itu tingg
Mata Luna mengerjap beberapa kali. Rasa sakit di kepalanya sedikit membuatnya kesulitan membuka mata—akibat dia meloloskan rintihan sakit. Gadis itu memijat pelipisnya demi mengurangi rasa sakit. Namun, detik di mana dia memijat keningnya—ada handuk terjatuh.Luna sedikit terkejut handuk kecil khusus kompresan demam ada di hadapannya. Raut wajahnya berubah menjadi bingung. Dia tak tahu ada apa dengan dirinya sampai dikompres. Apa dia sakit? Jika iya, kenapa dia tidak sadar?“Selamat pagi, Nona Luna.” Seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar sambil membawakan nampan yang berisikan soup dan juga obat.Luna menatap sang pelayan yang sudah ada di hadapannya, menatap sang pelayan mengantarkan semangkuk soup hangat dan juga obat. “Itu obat apa?” tanyanya pelan dan bingung.“Ini adalah obat untuk menguatkan stamina Anda yang sempat menurun.” Pelayan meletakan obat itu ke atas meja. “Namun sebelumnya, saya sarankan Anda untuk memakan soup lebih dulu, selagi soup masih hangat.” Luna mas
Mireya sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Dokter memberikan izin padanya untuk keluar dari rumah sakit, karena kondisi Mireya sudah membaik. Pun luka di pergelangan tangan Mireya sudah memulih. Beruntung, memang Mireya tidak sampai benar-benar memotong urat nadinya. Jika saja urat nadinya putus, maka tak akan mungkin wanita itu bisa secepatnya pulih.Selama berada di rumah sakit, Draco hanya datang beberapa kali saja. Pria itu selalu beralasan sibuk dengan pekerjaan. Yang menjaga Mireya hanyalah pengawal dan pelayan. Padahal yang diinginkan wanita itu adalah sang tunangan selalu ada di sisinya. Apalagi kondisinya tengah sakit seperti ini. “Di mana Draco?” tanya Mireya pada Nigel yang baru saja datang. Dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, dan dia menunggu Draco menjemputnya. Nigel menunduk. “Maaf, Nona. Kebetulan hari ini Tuan Draco Riodan sangat sibuk. Beliau tidak bisa—”“Sibuk apa dia, hah?! Sibuk dengan pelacur itu!” bentak Mireya keras.Mireya bukan orang
“Mireya sudah keluar dari rumah sakit?” Draco duduk di kursi kebesarannya seraya menatap Nigel yang berdiri di hadapannya. Tatapan dingin dan tersirat tegas. Pria itu kini tengah berada di ruang kerja yang ada di penthouse pribadinya. Nigel mengangguk. “Sudah, Tuan. Nona Mireya sudah keluar dari rumah sakit. Tadi saya ingin mengantar beliau, tapi beliau menolak. Beliau memilih untuk pulang dengan asisten pribadinya sendiri.”Draco menyesap wine perlahan. “Biarkan saja. Paling tidak, dia sudah keluar dari rumah sakit.” Nigel terdiam sebentar. “Tuan, Nona Mireya sudah berani untuk berbuat nekat. Tidak menutup kemungkinan, jika ke depannya Mireya akan berbuat nekat lagi.”Draco mencengkram gelas yang ada di tangannya. Tak dipungkiri bahwa apa yang dikatakan Nigel adalah benar. Besar kemungkinan Mireya akan lebih berbuat nekat. Dia sudah memikirkan akan hal ini. Namun sayang, dia belum bisa bertindak lebih.“Aku belum bisa mengambil keputusan apa-apa. Tunggulah, Nigel. Aku masih membutu
Luna sama sekali tidak menyangka kalau Draco akan membawanya ke makam mendiang ibu pria itu. Hatinya tersentuh tak menentu. Jutaan pertanyaan menelusup masuk ke dalam pikirannya. Luna butuh jawaban pasti. Akan tetapi, lidahnya terlalu kelu untuk merangkai banyak pertanyaan. Yang dia bisa tangkap dari matanya adalah sosok Draco Riordan sangatlah mencintai ibunya.Seseorang pria yang mencintai ibunya, maka pasti pria itu sangatlah menghargai seorang wanita. Namun kenapa malah Draco tega memberikan harapan palsu padanya? Draco tega menjadikannya nomor dua. Membuat Luna sangatlah berharap. Padahal jelas pria itu telah dimiliki oleh wanita lain.Sepulang dari pemakaman, Luna melangkah menghampiri Draco yang menyendiri di kamar sambil menatap foto mendiang ibu pria itu. Luna belum pernah melihat sisi Draco yang seperti ini.“Ibumu sangat cantik, Draco,” puji Luna. “Wajahmu mirip sekali ibumu.”Draco mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Luna. “Ya, kau benar. Wajahku memang mirip dengan
Draco menatap dingin asistennya yang ada di hadapannya. Aura wajah dingin dan tegas, menyimpan jutaan hal di sana. Napasnya memburu. Rahangnya mengetat. Kemarahan menyelimuti dirinya.“Untuk apa tua bangka itu mencariku?!” seru Draco dengan kemarahan yang tak bisa tertahankan. Nigel sudah menduga ini. Dia melaporkan tentang sosok yang paling dibenci tuannya akan datang menemui Tuannya itu—dan detik itu juga kemarahan menyelimuti jelas Tuannya. “Tuan Danny Fergie hanya mengatakan ingin bertemu dengan Anda. Tidak ada alasan apa pun. Apakah Anda ingin menolak? Jika Anda ingin menolak, maka saya akan menolak keinginan beliau yang ingin bertemu Anda.” Nigel memberi tahu.Draco terdiam dengan sorot mata tajam mendengar apa yang dikatakan oleh sang asisten. ‘Danny Fergie’, nama yang tak pernah ingin Draco dengar. Nama yang menumbuhkan rasa benci yang menggebu-gebu dalam dirinya. Aura kebencian, dendam, dan emosi telah melebur menjadi satu. Dia mengingat kejadian menyakitkan dalam dirinya.