Las Vegas, Nevada, USA.
“Sepuluh ribu dollar.”
“Dua puluh ribu dollar.”
“Lima puluh ribu dollar.”
“Seratus ribu dollar.”
Suara seruan para pria hidung belang memenuhi pelelangan megah di sebuah kota yang terkenal sebagai ‘Sin City’. Kota yang terkenal dengan kota yang dipenuhi dosa. Namun, sayangnya kota yang dipenuhi dosa itu, menjadi kota kesukaan semua orang.
Lampu remang-remang menjadi daya tarik di kala memasuki ruang pelelangan megah yang ada di Las Vegas. Para tamu undangan yang hadir diwajibkan memakai topeng. Lampu yang diperbolehkan menyorot adalah di panggung di mana—seorang gadis cantik berdiri menjadi bahan jual-beli para lelaki hidung belang.
Gadis itu sangat cantik. Dia memakai dress berwarna gold begitu seksi. Bra dan celana dalamnya nyaris terlihat. Bisa dikatakan gadis itu nyaris telanjang. Dia berdiri di dalam sangkar emas dengan kedua tangan yang di borgol, dan mata yang ditutup kencang oleh kain berwarna hitam.
Raut wajah gadis cantik itu sedikit memucat. Bibirnya bahkan sejak tadi bergetar ketakutan. Ruangan itu memiliki suhu yang sangat dingin karena AC central yang besar. Akan tetapi, meski menggunakan AC—nyatanya keringat sedikit membanjiri kening gadis cantik itu. Keringat yang pastinya disebabkan oleh rasa takut yang mendera.
Berdiri menjadi bahan tontonan para lelaki hidung belang, tentu membuat nyali gadis itu menciut. Kain hitam yang ada di matanya sudah basah, akibat air mata yang sejak tadi tak henti berlinang. Pergelangan tangan memerah karena sempat berontak di kala dirinya ingin dimasukan ke dalam sangkar emas.
“Ya, penawaran tertinggi ada dinilai seratus ribu dollar. Siapa lagi yang berani lebih mahal? Saya pastikan pembeli tidak akan kecewa,” seru pembawa acara dengan senyuman licik di wajahnya.
“Seratus lima puluh ribu dollar.” Pria paruh baya yang masih sangat tampan, mengajukan penawaran tertinggi. Meski tak lagi muda, tapi terlihat tubuhnya sangat gagah. Aura ketampanannya begitu menonjol.
Semua orang di sana berdecak kagum pada pria paruh baya itu, yang berani mengajukan penawaran tertinggi. Sang pembawa acara tersenyum licik di kala ada yang menawar lebih tinggi.
“Ah, saya lupa menambahkan. Gadis yang berada di dalam sangkar emas ini masih perawan. Saya pastikan kalian akan puas,” ucap sang pembawa acara itu lagi.
Para pria hidung belang menyeringai sadis mendengar gadis yang berada di dalam sangkar emas itu, ternyata masih dalam keadaan perawan. Mata mereka sudah sejak tadi menatap lapar gadis berparas luar bisa cantik. Kulit putih mulus tanpa noda, berdiri di bawah sinar lampu, membuat gadis itu bagaikan Dewi. Tidak ada yang tak tergoda akan kecantikan gadis itu.
“Dua ratus ribu dollar.” Pria paruh baya itu menambahkan nominal penawaran, agar demi gadis itu jatuh ke dalam pelukannya. Tampak mata pria paruh baya itu menatap lapar tubuh Luna yang sangat indah dan cantik.
Luna—gadis cantik—yang berada di dalam sangkar emas semakin bergetar ketakutan, di kala mendengar ada yang menawar keperawanannya dengan nominal fantastis. Dia tak tahu seperti apa wujud dari pria yang menawarnya. Dalam keadaan mata tertutup, dia hanya bisa menduga-duga dari suara yang dia dengar.
Air mata Luna kembali berlinang. Dia tidak pernah menginginkan ini! Dia tidak pernah mau menjual diri. Luna tak pernah ingin menjadi seorang pelacur yang berada di tengah-tengah pria hidung belang.
Keadaan telah mendesak Luna hingga berada di tempat terkutuk seperti ini. Gadis itu ingin berlari kencang, meninggalkan acara terkutuk ini. Akan tetapi, Luna tidak memiliki tenaga ataupun keberanian. Gadis itu terlalu lemah.
“Wah! Dua ratus ribu dollar! Ada yang lebih tinggi dari angka dua ratus ribu dollar?” seruan pembawa acara memenuhi keheningan ruang pelelangan megah itu.
Hening … Tidak ada suara apa pun di ruang pelelangan megah itu. Menandakan bahwa tidak ada yang bisa menawar lebih tinggi dari angka dua ratus ribu dollar, yang telah ditawar oleh pria paruh baya itu.
Luna semakin takut! Dalam keadaan tangan terborgol dan mata terpejam, membuat gadis itu seakan ingin mati. Sejak tadi dia sudah tidak nyaman dengan pakaian yang dia pakai. Sayangnya, Luna tidak memiliki jalan untuk kembali. Gadis itu hanya bisa pasrah pada keadaan yang sekarang ada di hadapannya.
“Baiklah, saya rasa penawaran yang tertinggi jatuh pada nominal dua ratus ribu dollar. Untuk meresmikan. Saya akan menghitung mundur. Tiga … dua … sa—”
“Satu juta dollar.” Seorang pria bertubuh tinggi tegap dengan topeng hitam di mata, melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Pria berperawakan tampan itu baru saja masuk—dan menjadi pusat perhatian semua orang di sana.
Semua orang terkejut di kala ada yang menawar dengan angka satu juta dollar. Dua ratus ribu dollar saja untuk membeli keperawanan, sudah sangatlah mahal. Namun, ternyata ada yang berani lebih mahal berkali-kali lipat.
Sang pembawa acara terkejut. “Ada penawaran baru! Satu juta dollar. Ada yang berani lebih dari itu?”
Pria paruh baya itu tak terima ada yang mengalahkannya. “Satu juta lima ratus dollar!”
“Dua juta dollar!” Pria bertubuh tinggi gagah, tampak santai di kala menyebutkan nominal itu. Seolah uang hanyalah daun yang mudah sekali dicari olehnya.
“Kau—” Pria paruh baya terpancing emosi. Akan tetapi, dia tidak mungkin mencari keributan di acara pelelangan itu. Sebab, jika sampai dia membuat keributan, maka pasti pihak keamanan akan mengusir paksa dirinya.
“Dua juta lima ratus!” Pria paruh baya itu kembali menambah nominal, agar Luna jatuh ke tangannya. Dia sudah sejak tadi mengincar tubuh cantik dan seksi Luna.
Pria tampan dengan tubuh gagah itu hanya melukiskan senyuman angkuh, di kala ada yang mencoba mengalahkannya. “Tiga juta dollar,” serunya tanpa gentar.
Luna terkejut di kala mendapatkan penawaran sampai tiga juta dollar. Nominal yang fantastis. Apakah dirinya semahal itu? Sungguh penawaran nominal tertinggi membuat bulu kuduknya merinding. Pria macam apa yang mampu membelinya sampai semahal itu?
“Beraninya kau!” Pria paruh baya itu terpancing emosi. Dia menggebrak keras meja tak terima, pada pria tampan yang berani menambah nominal fantastis. Emosinya sudah meledak. Dia yang tadi berusaha menahan amarah dalam dirinya, sekarang sudah tak bisa menahan.
Pria paruh baya itu maju dan hendak melayangkan pukulan pada pria tampan dan yang berhasil mengalahkannya. Namun, belum juga tangannya meninju wajah pria tampan itu—sudah ada seorang pengawal yang menahan pria paruh baya itu.
“Berani sekali kau mencari masalah denganku! Kau belum mengenal siapa aku!” bentak pria paruh baya itu penuh emosi. “Aku bisa menghancurkanmu! Jangan main-main denganku!”
Pria tampan itu tersenyum di balik topengnya yang tertutup rapat. “Simpan ancamanamu. Aku paling benci ada yang berani mengancamku.”
“Kau—” Pria paruh baya itu kembali mencoba menyerang pria tampan itu. Akan tetapi, pengawal sudah langsung menyeret pria paruh baya itu keluar meninggalkan ruang pelelangan itu.
Suara teriakan pria paruh baya terdengar keras akibat berontak. Akan tetapi, dia kalah karena sudah ada tiga pengawal yang menyeretnya keluar dari ruang pelelangan secara paksa.
Ruang pelelangan menjadi hening tak bersuara apa pun. Para tamu undangan sekarang menatap sosok pria yang berani mengajukan penawaran paling mahal. Ya, pria tampan itu menjadi pusat perhatian semua orang di sana tanpa terkecuali.
Sang pembawa acara tersenyum. “Apa ada penawaran yang lebih tinggi?”
Tidak ada yang merespon pertanyaan sang pembawa acara. Pasalnya, pria tampan dan gagah itu mengajukan nominal fantastis. Bukan nominal sembarangan. Tentunya orang lain akan sangat berpikir ribuan kali untuk mengeluarkan nominal sebanyak itu.
“Baiklah, karena tidak ada yang mengajukan nominal lagi, maka pemenangnya adalah pria di ujung sana dengan penawaran tiga juta dollar.” Pembawa acara berseru—seraya menunjuk sopan pria tampan dan gagah yang memakai topeng hitam.
Tampak Luna semakin memucat di kala dirinya jatuh pada pria hidung belang. Bibirnya terus bergetar ketakutan. Dia melepas keperawanannya dengan harga tiga juta dollar. Harga yang fantastis. Namun, hatinya terasa tercabik karena tak pernah mengira bahwa dirinya akan berada di dunia seperti ini.
***
“Tunggulah di sini.” Pengawal mendorong Luna masuk ke dalam kamar hotel megah, yang sudah disiapkan oleh penyelenggara acara. Pengawal berbadan besar itu, memiliki aura bengis yang membuat Luna ketakutan.
Luna menangis sesenggukan. “Aku tidak menjual diriku. Tolong lepaskan aku.”
Gadis itu berusaha menyentuh lengan sang pengawal, tapi sayangnya sang pengawal langsung mendorong kasar Luna—hingga membuatnya tersungkur di lantai kamar hotel yang megah itu.
“Jangan berontak! Bibimu sudah menjualmu pada kami! Jika kau tidak menurut, jangan salahkan kami melemparmu ke rumah pelacuran! Kau mau seperti itu?!” bentak sang pengawal—dan segera pergi meninggalkan Luna.
Luna menangis sesenggukan seraya memeluk lututnya. Rasa takut semakin menyelimuti dirinya. Gadis itu ingin sekali melarikan diri. Namun, cara seperti apa agar dirinya bisa melarikan diri.
Luna dijual oleh adik dari ayah kandungnya sendiri. Setelah kedua orang tuanya sudah pergi, dia dibesarkan oleh bibinya. Tetapi, dia tidak pernah mengira kalau bibinya sampai tega menjual dirinya hingga membuatnya merada di tempat terkutuk seperti ini.
Suara pintu kamar terbuka. Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya—menatap sosok pria bertubuh tinggi tegap—yang melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya. Lampu kamar tak dihidupkan semua, membuat Luna tak terlalu jelas melihat wajah pria yang baru saja masuk. Akan tetapi, meskipun lampu kamar tidak dihidupkan semua, gadis itu mentafsir bahwa pria yang baru saja datang—memiliki paras yang sangat tampan.
Luna menelan salivanya susah payah sambil menangis. “T-Tuan, t-terima kasih sudah membeli saya … T-tapi saya bukan pelacur. S-saya tidak menjual diri saya.”
Pria gagah dan tampan itu melangkah menghampiri Luna. Dia membuka topengnya dan berkata dingin, “Jika kau tidak menjual dirimu, kenapa kau menjadi bahan untuk dijual?”
Luna memberanikan diri menatap sosok pria yang ada di hadapannya. Benar saja, gadis itu terpaku melihat sosok pria di hadapannya. Walau lampu tak sepenuhnya menyala tapi tetap pria itu memiliki paras yang sangat tampan.
“T-Tuan, a-aku mohon lepaskan aku.” Luna bingung untuk menjelaskan. Gadis itu takut kalau dirinya menjelaskan, malah akan menjadi masalah. Lebih baik dia meminta belas kasihan pria di hadapannya ini untuk melepasnya.
“Jika aku melepasmu, maka aku mengalami kerugian tiga juta dollar. Itu bukan uang kecil. Kau pikir aku mau kehilangan uangku?!” Pria itu berdesis tajam di depan Luna.
Air mata Luna tak henti bercucuran. Gadis itu pun tak memiliki uang sebanyak itu. “T-Tuan, a-aku pasti akan mengganti uangmu.”
Pria itu menarik dagu Luna, dan menatap mata gadis itu yang memerah. “Aku tidak ingin uangku kembali. Aku sudah membelimu. Itu artinya, malam ini kau menjadi milikku.”
Luna berusaha berontak dari kungkungan pria itu. Namun, tindakan berontaknya hanyalah percuma. Dia tidak akan pernah bisa pergi. Sekeras apa pun dia berusaha, tetap saja dia akan kalah.
Luna tak bisa melakukan apa pun. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah pasrah. Dia sudah yakin sekeras apa pun dia memohon pada pria yang ada di hadapannya ini, tetap tidak akan pernah bisa membuat dirinya bebas.
Pria itu membelai pipi Luna sedikit keras, menyeka air mata gadis itu. “Simpan air matamu. Aku tidak suka malam ini kau melayaniku dalam keadaan menangis.”
Bibir Luna bergetar di kala jemari pria itu mulai membelai bibirnya. Aroma parfume maskulin menyeruak ke indra penciumannya, membuatnya seakan menjadi mati tak berdaya sedikit pun.
Air mata Luna mulai terhenti. Gadis itu sangat takut pada pria yang membelinya. Di balik wajah tampan pria itu—terdapat aura dingin, bengis, dan kejam. Itu yang membuat Luna tak bisa berkutik.
“Siapa namamu?” bisik pria itu serak.
Luna menggigit bibir bawahnya. “L-Luna … n-namaku Luna.”
Pria tampan itu membenamkan bibirnya ke bibir Luna, dan melumat bibir gadis itu liar. Tampak mata Luna melebar di kala pria itu mencium bibirnya. Ciuman pertamanya telah dirampas oleh pria yang sama sekali tidak pernah dia kenal.
“Apa kau belum pernah berciuman sebelumnya?” bisik pria itu di depan bibir Luna. Dia menebak bahwa Luna belum pernah berciuman. Sebab, terbukti gadis itu masih sangat amatiran—tak mampu membalas ciumannya.
Luna mengangguk bagaikan kucing kecil merespon ucapan pria yang membelinya.
Pria itu menyeringai melihat respon Luna. Detik selanjutnya, dia mendekatkan bibirnya ke telinga Luna, mengecupi daun telinga gadis itu, seraya memberikan jilatan, hingga membuat tubuh Luna bergetar merasakan sengatan.
“Aku berjanji akan melakukannya dengan pelan, Luna.”
***
-To Be Continued
Follow me on I*: abigail_kusuma95 (Info seputar novel ada di I*)
Tubuh Luna meremang merasakan jemari pria itu menelusuri bahu telanjangnya. Bisikan seraknya membuat bulu kuduknya semakin merinding. Berkali-kali Luna menengguk ludahnya berat dan susah payah. Darah seakan berhenti di kepala gadis itu. Tenggorokannya seakan tercekat. Lidahnya kelu, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Sentuhan yang diberikan oleh pria itu membuat seluruh organ dalam dirinya seakan meronta-ronta. Pria mengecupi lembut bahu telanjang Luna. “Relaks, Luna. Aku akan membuat kenangan di pertama kali kau berhubungan seks.” Wajah Luna memucat menegang, menatap pria itu yang tangannya mulai menjamah kedua payudaranya dengan buas. Sentuhan itu memberikan sensasi sengatan listrik di tubuh gadis itu. Dia sedikit meringis bercampur dengan desahan merdu. Pria itu dengan mudah menarik dress yang dipakai Luna, melempar ke sembarangan arah. Mata pria itu berkilat menatap tubuh Luna yang kini hanya memakai g-strings berwarna hitam. Sangat seksi dan menggoda! Luna menutup kedu
Mata Luna mengerjap beberapa kali. Tubuh gadis itu terasa sangat remuk. Perlahan, di kala matanya sudah terbuka lebar—tatapannya mengendar ke sekitar—di mana dirinya berada di sebuah kamar hotel yang megah. Luna termenung diam melihat kamar hotel megah itu. Sebuah kamar yang tak akan pernah mungkin bisa dia datangi seumur hidupnya. Gadis itu dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana. Tidak akan mungkin, dia mampu berada di hotel semegah ini. Dalam hitungan detik, ingatan Luna langsung teringat tentang kejadian tadi malam. Raut wajah gadis itu berubah menegang dan terkejut. Rasa takut menghantamnya menembus hingga ke jantungnya—menimbulkan kesesakan. Bulir air mata Luna berlinang jatuh membasahi pipinya. Dia tidak pernah mengira kalau dirinya akan melepas keperawanannya pada sosok pria asing yang tak pernah dia kenal dalam hidupnya. Luna meremas selimutnya terisak sesenggukan. Perlahan, Luna memberanikan diri untuk menoleh ke samping di kala dia sudah berhasil menenangkan dirinya
Luna tidak bisa tidur pulas. Setiap malam yang dirasakannya adalah perasaan takut yang mengrogotinya. Tidak pernah dia sangka pria yang berhasil membelinya di pelelangan, malah membawanya pergi meninggalkan kota. Padahal kesepakatan yang dia ketahui adalah pria itu hanya Luna temani pada satu malam saja. Namun, kenapa malah pria itu membawanya sampai berpindah kota? Saat pagi menyapa, Luna masih tetap berdiam diri di kamar. Perutnya sudah bunyi akibat merasakan lapar. Gadis itu terlalu takut untuk keluar kamar. Itu yang membuatnya memutuskan tetap berada di dalam kamar, meskipun perut sudah terasa lapar. “Nona?” Pelayan melangkah menghampiri Luna yang duduk di ranjang sambil memeluk lutut. Bahu Luna bergetar ketakutan melihat pelayan muncul di hadapannya. “P-pergilah. Jangan menggangguku.” Sang pelayan menatap Luna cemas, penuh rasa khawatir. “Nona, apa Anda tidak ingin makan?” Luna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin makan. Tolong, kau keluarlah.” “Nona, tapi—” “Aku mohon
Suara berat menyentak membuat terkejut Luna. Bahu gadis itu bergetar ketakutan. Wajahnya memucat akibat rasa takut menyelimuti dirinya. Sang pemilik suara berat itu sangat dia hafal. Membuat debar jantungnya berpacu semakin keras bahkan seolah ingin berhenti berdetak. Napas Luna seakan menjadi sesak. Bulu kuduknya mulai merinding di kala sosok pria itu melangkah mendekat menghampirinya—dan kini berdiri di belakangnya. Beberapa kali Luna meneguk salivanya susah payah. “Kau ingin ke mana, Luna?” bisik pria itu serak di telinga Luna. Luna tidak berani menjawab. Organ dalam tubuhnya seakan ingin mati. Kakinya pun seolah lumpuh tidak bisa berkutik sama sekali. Embusan napas pria itu kini menerpa kulit lehernya—membuat bulu kuduknya menjadi merinding. “Ingin melarikan diri, hm?” bisik pria itu lagi seraya meremas pelan pinggang Luna. “Jawab aku, Luna. Jangan hanya diam!” Dengan sengaja, pria itu menggigit daun telinga Luna—hingga membuat gadis itu merintih kesakitan. “T-Tuan … a-aku ti
Sinar matahari menembus ke sela-sela jendela, menyentuh pipi mulus Luna. Perlahan, mata gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat ketika matanya sudah terbuka sempurna—tatapannya mengendar ke dalam kamarnya.Seketika raut wajah Luna berubah melihat banyak pakaian berserakan sembarangan di atas lantai kamar. Tunggu! Detik di mana Luna melihat pakaiannya berceceran—kepingan ingatannya teringat tentang kejadian tadi malam.Luna menelan salivanya susah payah. Kepingan memori layaknya puzzle yang terpecah yang telah mulai tersusun di otaknya. Gadis itu mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Kejadian panas yang membuatnya gemetar.Luna memberanikan diri menurunkan pandangannya melihat—ke bawah di mana tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Tenggorokan gadis itu seolah tercekat di kala tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.Ingatan Luna masih bekerja sangat baik. Gadis itu mengingat bagaimana Draco menyentuh tubuhnya. Demi Tuhan! Ingin sekali Luna berlari sekencang mungkin, tap
“Katakan di mana keponakanku?!” Delcy menatap garang sosok pria berusia hampir empat puluh tahun. Pria yang berkuasa memiliki pelelangan di pasar gelap. Seperti jual beli manusia ataupun pembelian barang-barang selundupan.Ead mengembuskan napas kasar. “Tuan Draco Riordan tidak mau memberikan keponakanmu. Sudahlah, lagi pula kau juga mendapatkan uang tambahan, kan? Tunggu saja sampai Tuan Riordan bosan pada keponakanmu, baru kau menjual keponakanmu lagi pada pria lain.”Delcy tak terima mendengar ucapan Ead. “Keponakanku itu sangat cantik! Jika dia hanya melayani satu pria saja, penghasilannya tidak akan terlalu banyak! Aku tidak mau tahu, Tuan Riordan harus mengembalikan keponakanku!”Ead tersenyum samar. “Kau tidak mengenal siapa Tuan Riordan.”“Persetan dengan statusnya! Perjanjiannya adalah setelah dia mencicipi keperawanan keponakanku, dia harus menyerahkan keponakanku di hari kedua! Kenapa malah dia mengklaim keponakanku menjadi miliknya?!” seru Delcy tak terima. Wanita itu terk
Luna tidak sama sekali mengira bibinya akan berani mendatangi kantor Draco. Sungguh, membayangkan bibinya mengamuk, membuat jantungnya berpacu semakin cepat akibat rasa takut yang melanda hebat.Luna yang berniat untuk melarikan diri, membuatnya mengurungkan niatnya. Tentu, hal yang dia takutkan adalah bibinya tega menjualnya lagi. Dia tidak pernah ingin menjadi seorang pelacur rendah yang tak memiliki harga diri. Luna sangat takut jika sampai dirinya bertemu dengan bibinya lagi. Ya, sekarang dia menyadari bahwa dirinya akan semakin berada dalam bahaya. Sekarang dia memang berada dalam dua pilihan. Tetap berada di sisi Draco, atau di luar sana tapi tidak aman karena bibinya akan mengincarnya.Hati kecil Luna berkata memintanya untuk tetap tinggal di penthouse Draco. Entah, sampai kapan. Hal yang pasti berada di dalam penthouse Draco masih jauh lebih aman. Di luar sana, Luna pastinya berada dalam bahaya. “Nona Luna?” sapa sang pelayan menghampiri Luna yang duduk melamun di taman b
Aroma makanan tercium di indra penciuman Luna, membuat gadis itu yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali dan terbangun dalam tidurnya.“Selamat pagi, Nona. Maaf membangunkan Anda.” Pelayan menyapa Luna yang baru saja membuka mata.Luna mengerjapkan mata beberapa kali menatap sang pelayan. “Ah, iya tidak apa-apa. Jam berapa sekarang?”“Jam sembilan pagi, Nona,” jawab sang pelayan yang sontak membuat Luna terkejut.“Jam sembilan pagi?” Luna langsung duduk, akibat keterkejutannya.Sang pelayan mengangguk sopan. “Benar, Nona. Ini sudah jam sembilan pagi.” Luna menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Gadis itu terperanjat terkejut mendengar perkataan sang pelayan yang mengatakan ini sudah jam sembilan pagi. Detik itu juga, Luna mengalihkan pandangannya menatap jam dinding—benar bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi. Astaga! Luna kesiangan. Gadis itu tidak mengira kalau akan bangun seterlambat ini. Tapi tunggu … tiba-t
Lima tahun kemudian … “Ayo Dickson! Lenita! Semangat!” Luna bersorak menyemangati anak kembarnya yang sedang lomba renang. Tampak wanita itu menunjukkan kegirangannya di kala anak kembarnya unggul dari yang lain.Draco berdiri di samping Luna, menatap tenang anak kembarnya yang lebih unggul dari yang lain. Luna sejak memiliki anak jauh lebih heboh dan cerewet, sedangkan Draco lebih tenang. Namun, jika Draco sudah bicara tegas, maka pasti semua akan takut pada pria itu. Hingga kemudian, waktu berakhir. Dickson juara satu dan Lenita juara dua. Sontak Luna memekik kegirangan anak kembarnya berhasil menang. Dia memeluk Draco karena terlalu sedang. Ekspresi Draco tersenyum tipis dan penuh bangga pada Dickson dan Lenita.“Sayang, anak kita menang,” seru Luna antusias.Draco mengecup kening Luna. “Kemenangan sudah pasti berada di tangan mereka.”“Daddy! Mommy!” Dickson dan Lenita berlari menghampiri kedua orang tua mereka, memeluk erat kedua orang tua mereka.“Anak Mommy dan Daddy hebat!
“Saya, Draco Riordan, mengambil engkau Luna Granger sebagai istriku untuk saling memiliki dan menjaga, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan kekurangan atau berkelimpahan—dan dalam keadaaan sakit atau sehat. Aku berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi, untuk selalu mengasihi dan menghargai engkau, sampai maut memisahkan kita.”“Saya, Luna Granger, mengambil engkau Draco Riordan sebagai suamiku untuk saling memiliki dan menjaga, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan kekurangan atau berkelimpahan—dan dalam keadaan sakit atau sehat. Aku berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi, untuk selalu mengasihi dan menghargai engkau sampai maut memisahkan kita.”Pastor mensahkan pernikahan Draco dan Luna. Dua insan yang baru saja resmi menjadi sepasang suami istri bertukar cincin, dan mereka langsung berciuman di hadapan ribuan para tamu undangan. Suara tepuk tangan riuh terdengar.Pernikahan Draco dan Luna mengukir sejarah. Pernikahan yang megah dihadiri oleh para pengusaha, art
“Draco, kita mau ke mana? Ini kan bukan arah rumah kita,” ucap Luna di kala Draco mengambil arah ke jalan yang lain. Bukan jalan ke rumah baru mereka. Gadis itu menoleh menatap Draco dengan tatapan bingung.“Nanti kau akan tahu ke mana aku akan membawamu.” Draco membelai rambut panjang Luna. Pria itu menatap ke depan, fokus pada jalanan. Luna ingin bertanya ke mana Draco akan membawanya, tapi karena tatapan Draco sangat serius menatap jalanan, itu membuatnya mengurungkan diri untuk bertanya. Luna memilih diam sampai dia tahu ke mana Draco akan membawanya. Butuh perjalanan sekitar tiga puluh menit. Mobil Draco mulai memasuki halaman parkir pemakaman. Luna sekarang mengerti Draco mengajaknya untuk mengunjungi makam mendiang ibu Draco. Luna tersenyum. “Kau ingin kita mengunjungi makam ibumu, ya?”Draco mengangguk sambil membelai pipi Luna. “Ya, tapi bukan hanya makam ibuku saja.”Kening Luna mengerut dalam. “Makam siapa?”“Nanti kau akan tahu. Kita turun dulu.” Draco mengajak Luna unt
Luna bergerak-gerak gelisah. Peluh membanjiri keningnya. Jeritan kata ‘Tidak’ membuat Draco terbangun lebih dulu. Pria tampan itu mendapati Luna yang seperti tengah mimpi buruk. Refleks, Draco membangunkan Luna.“Luna? Hey, Luna?” panggil Draco lembut.“Jangan bunuh anakku!” teriak Luna bersamaan dengan dia sudah bangun, dan bercampur dengan derai air mata.Draco langsung memeluk Luna erat, dan menciumi puncak kepala gadis itu. Tangis Luna pecah dalam pelukan Draco. “Luna, kau mimpi buruk. Aku di sini. Aku selalu menjagamu.”Tangis Luna mengecil dalam pelukan Draco. “Draco, aku bermimpi Danny dan Mireya ingin membunuh anak kita.”Draco mengeratkan pelukannya mendengar cerita Luna. Pasti trauma kejadian penculikan itu masih ada. Tidak mungkin dalam sekejap bisa sirna begitu saja. Dalam hati Draco mengumpati kebodohannya yang terlalu lama menyelamatkan Luna. “Pria tua itu sudah berada di penjara, sedangkan Mireya berada di rumah sakit jiwa. Mereka tidak akan melukaimu,” ucap Draco sung
Kesehatan Luna berangsur-angsur membaik. Dia mendapatkan perawatan terbaik Selama berada di rumah sakit. Hamil membuat Luna mendapatkan perhatian berlebih dari Draco. Setiap Luna ingin bergerak saja, Draco selalu khawatir hal buruk menimpa Luna. Terdengar sangat berlebihan, tapi memang itulah Draco jika sudah ketakutan kehilangan sosok yang berharga di hidupnya.“Draco, aku sudah makan. Jangan minta aku untuk makan lagi. Aku sudah kenyang. Nanti aku muntah jika kau paksa,” ucap Luna dengan bibir tertekuk dalam. Perutnya sudah kenyang, tapi terus dipaksa untuk makan.Draco meletakan piringnya ke atas meja dan berkata lembut, “Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Yang penting kau sudah kenyang. Aku tenang sekarang.”Luna tersenyum mengerti rasa khawatir Draco. Gadis itu bangkit berdiri dan duduk di pangkuan Draco. “Aku akan baik-baik saja. Aku akan selalu menjaga anak kita. Kau percaya padaku, kan?”Luna mengerti kekhawatiran Draco. Pria itu pernah kehilangan anak. Jadi wajar jika se
“D-Draco?” lirih Luna melihat Draco berada di ambang pintu. Matanya sembab akibat tangis, sekarang berubah menjadi tatapan penuh harap. Dia percaya Draco akan datang menyelamatkannya. Tubuh Mireya membeku di tempatnya melihat Draco berdiri di ambang pintu. Berbagai umpatan lolos di bibirnya. Dia tak mengira Draco akan secepat ini menemukan keberadaan Luna.Tatapan Danny menyalang tajam menatap Draco. “Sejak awal Luna adalah wanitaku! Jangan pernah kau mengaku-aku dia sebagai wanitamu!”Draco tersenyum sinis melihat Mireya juga terlibat. Dalam hati dia bersyukur datang tepat waktu. Dia mendengar jeritan Luna. Dia sudah menduga apa yang terjadi sebelum dirinya datang. Sekarang kebenciannya pada Danny dan Mireya semakin bertambah.“Kalian ingin membunuh anakku yang ada di kandungan Luna?” Draco melangkah mendekat, menatap tajam Danny dan Mireya. “Luna adalah milikku!” desis Danny menekankan.Draco tersenyum sinis. “Kau ingin tahu kenapa aku bertekad mengalahkanmu di pelelangan waktu i
Draco melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh membelah kota. Pria itu menginjak pedal gas kuat-kuat. Alamat keberadaan Luna sudah berhasil ditemukan. Hacker membobol CCTV jalanan. Draco siap mengeluarkan banyak uang demi agar bisa mengetahui keberadaan Luna. Nigel yang duduk di samping Draco memegang kuat seat belt-nya. Draco tidak mau disopiri. Pria tampan itu lebih percaya menyetir sendiri di kala keadaan mendesak. Tentu Draco mengemudikan mobil di atas kecepatan rata-rata. Nigel saja sampai shock bahkan hampir muntah. Namun Nigel tidak bisa berkomentar apa pun. Nigel hanya bisa patuh pada tuannya.“Nigel, kau sudah yakin alamat yang kau dapatkan?” seru Draco dengan sorot mata tajam.Nigel mengangguk seraya menelan salivanya susah payah. “S-sudah, Tuan. S-saya yakin dengan alamat yang saya dapatkan.”Draco menambah laju kecepatan mobilnya. Sontak tubuh Nigel tercondong ke depan akibat Draco melajukan mobil tanpa perhitungan. Beruntung Nigel sudah kuat-kuat memegang seat belt-nya.
Saat pertama kali tiba di penthouse, Draco menatap tiga pelayannya sudah berlumuran darah. Dua lagi berhasil selamat kini menangisi teman mereka yang tewas. Aroma anyir darah begitu semerbak memenuhi ruang tengah. Nigel yang ada di samping Draco terkejut melihat keadaan penthouse Draco yang berantakan. “Tuan.” Dua pelayan yang masih hidup bergetar ketakutan di kala mereka menatap Draco.Tatapan Draco menyalang tajam bagaikan singa hutan yang murka. “Ceritakan padaku apa yang terjadi!” semburnya penuh amarah tertahan. Dia sudah meminta orangnya mencari titik keberadaan Luna, tapi sampai detik ini belum juga ditemukan.Dua pelayan itu gelagapan menjawab pertanyaan Draco. Mereka tidak akan mungkin diam saja, jika sudah mendapatkan cercaan pertanyaan seperti ini. Mereka harus menjawab kebenaran yang ada.“T-tuan, m-maafkan kami. Lampu tiba-tiba saja mati. Kami berusaha menghubungi pihak keamanan, tapi seluruh telepon di penthouse tidak berfungsi. Saat salah satu di antara kami ingin meng
Mireya duduk di pangkuan Draco di kala tunangannya itu sudah tiba di tempat yang sudah dijanjikan mereka akan bertemu. Dia membelai rahang tegas Draco, menatap penuh damba sang tunangan yang sangat tampan dan rupawan.“Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi padamu, Draco,” ucap Mireya hendak memberikan ciuman di bibir Draco, tapi pria itu membuang wajahnya seolah tak sudi dicium oleh Mireya.Draco mendorong tubuh Mireya, hingga membuat wanita itu tersungkur di lantai. “Aw! Draco kenapa kau kasar padaku?” serunya kesal.Draco menatap dingin Mireya yang tersungkur ke lantai. “Asistenku mengatakan kau tidak bisa diajak negosiasi karena keadaan perusahaan cabangku yang mengalami musibah. Sekarang aku datang untuk mengajakmu bernegosiasi, jadi jangan membuang-buang waktuku!”Mireya bangkit berdiri menahan sakit di bokongnya. “Kau bisa bersikap lembut pada seorang pelacur, tapi kau malah bersikap kasar pada tunanganmu sendiri!”“Berhenti mengatakan Luna seorang pelacur!” bentak Draco su