Tubuh Luna meremang merasakan jemari pria itu menelusuri bahu telanjangnya. Bisikan seraknya membuat bulu kuduknya semakin merinding. Berkali-kali Luna menengguk ludahnya berat dan susah payah.
Darah seakan berhenti di kepala gadis itu. Tenggorokannya seakan tercekat. Lidahnya kelu, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Sentuhan yang diberikan oleh pria itu membuat seluruh organ dalam dirinya seakan meronta-ronta.
Pria mengecupi lembut bahu telanjang Luna. “Relaks, Luna. Aku akan membuat kenangan di pertama kali kau berhubungan seks.”
Wajah Luna memucat menegang, menatap pria itu yang tangannya mulai menjamah kedua payudaranya dengan buas. Sentuhan itu memberikan sensasi sengatan listrik di tubuh gadis itu. Dia sedikit meringis bercampur dengan desahan merdu.
Pria itu dengan mudah menarik dress yang dipakai Luna, melempar ke sembarangan arah. Mata pria itu berkilat menatap tubuh Luna yang kini hanya memakai g-strings berwarna hitam. Sangat seksi dan menggoda!
Luna menutup kedua payudaranya yang kini menatap pusat perhatian pria itu. Tubuhnya bergetar ketakutan. Dia ingin menangis. Namun, sekuat mungkin dia menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Singkirkan tanganmu. Tubuhmu ini milikku, Luna.” Pria itu menyingkirkan kedua tangan Luna yang menutupi payudara gadis itu.
Luna pasrah. Dia hanya membuang wajahnya di kala pria itu menatap lapar dua payudara yang berukuran padat dan menantang. Dada sintalnya serta putingnya yang berwarna merah mud aitu, membuat pria itu tak bisa menahan.
“Fuck, hargamu sangat pantas. Kau memiliki tubuh yang indah, Luna.” Pria itu membelai puting payudara Luna.
“Ah!” Desahan lembut lolos di bibir Luna. Gadis itu kini menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desahan.
Pria itu menundukkan kepalanya, memasukan puting payudara Luna ke dalam mulutnya, mengisap sedikit kasar seperti bayi yang kelaparan. Tampak dada gadis itu tercondong ke depan di kala pria itu mengisap putingnyanya dengan buas.
Lidahnya membelai ujung puting payudara Luna hingga membuat sekujur tubuh Luna merasakan sengatan kuat. Pria itu menyukai bermain-main sebelum pada puncaknya. Dia kini memberikan gigitan kecil di ujung puting payudara Luna.
“Ah!” Erang Luna meringis kesakitan.
Luna mendesah tak karuan, tak bisa lagi menahan, dia menatap dari cermin pria yang membelinya itu mencumbu kedua payudaranya dengan liar. Kewanitaannya berkedut akibat cumbuan dahsyat pria itu. Erangan bercampur rintihan yang lolos di bibirnya membuat pria itu mencumbu payudaranya dengan semakin liar dan penuh nafsu.
Pria itu melepaskan cumbuannya, dan menatap wajah Luna yang memerah. “Kau menyukainya, hm?” bisiknya.
Pipi Luna bersemu merah mendengar ucapan pria itu. Sialnya, tubuhnya malah merespon setiap sentuhan yang diberikan oleh pria itu. Pun dia sadar bahwa dia tidak bisa sama sekali berontak.
Pria itu mulai menanggalkan pakaiannya di depan Luna, melempar kemejanya ke sembarangan arah. Tampak Luna menjadi salah tingkah ketakutan. Gadis itu melihat jelas tubuh gagah pria yang membelinya. Tato yang ada di tubuh pria itu menyempurnakan fisik yang dimiliki pria itu.
Pria itu mengangkat tubuh Luna, membaringkan ke ranjang. Dia mulai melepaskan ikat pinggangnya, dan melepaskan kancing celana—menanggalkan celananya. Tepat di kala celana terlepas—raut wajah Luna semakin memucat panik—melihat kejantanan pria itu yang berada di balik celana dalamnya begitu besar dan keras.
Meskipun celana dalam pria itu belum terlepas, tapi imajinasi Luna sudah membayangkan bahwa kejantanan pria itu pasti sangat besar, panjang, dan keras. Astaga! Luna semakin ketakutan!
Luna memundurkan tubuhnya hingga terbentur di kepala ranjang. Matanya kini menatap pria itu dengan tatapan penuh permohonan dan berharap bahwa pria itu iba padanya.
“T-Tuan … a-aku mohon jangan.” Luna mengiba penuh permohonan.
Pria itu tak memedulikan permintaan Luna. Dia menarik kasar kedua kaki gadis itu, melucuti g-strings yang dipakainya dan melumat liar bibir Luna dan memainkan jarinya ke titik sensitive gadis itu. Tubuh Luna bergetar merasakan jemari pria itu bermain di titik sensitive-nya.
“Ah….” Luna mengerang nikat seraya memejamkan mata di kala merasakan nikmatnya jemari pria itu membelai titik sensitive-nya.
“See? Kau merasakan kenikmatan. I know you it, you will like it,” bisik pria itu serak di depan bibir Luna.
Luna menggeleng menatap iba pria itu agar melepaskannya. Tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga apa pun untuk berontak.
Pria itu melucuti celana dalamnya, lalu Luna memejamkan mata di kala pria itu melucuti celana dalamnya. Ya, Luna melihat kejantanan pria itu berdiri tegak dan besar—membuatnya merinding ketakutan.
Pria itu menindih tubuh Luna melumat liar bibir gadis itu sambil berbisik, “Tutuplah matamu. Tapi setelah ini aku akan membuatmu membuka mata bahkan menjerit.”
Pria itu membuka lebar kedua paha Luna—dan menyatukan miliknya ke dalam liang sempit gadis itu dengan satu kali hentakan keras. Terlihat mata Luna melebar bersamaan dengan bibir yang melebar akibat meloloskan jeritan.
“Ah!” Luna menjerit di kala pria itu memasukinya dengan kasar. Dia merasakan tubuh bagian bawahnya seakan dirobek secara paksa. Rintihan perih bercampur di sela-sela jeritan itu.
Pria itu menyeringai melihat Luna yang menjerit kesakitan. Tanpa belas kasih, pria itu menghunjam Luna dengan tempo yang keras dan liar. Dia sama sekali tidak memedulikan teriakan Luna yang meringis kesakitan.
Sudut mata Luna mengeluarkan air mata. Gadis itu memeluk erat punggung kekar pria itu. Dia sudah tidak lagi bisa berontak. Dia pasrah di bawah jerat oleh pria yang membeli keperawanannya.
“Ah—” Luna semakin memeluk erat punggung kekar pria itu di kala merasakan hunjaman yang diberikan pria itu mulai terasa nikmat. Meskipun rasa sakitnya masih ada, tapi tidak memungkiri bahwa Luna merasakan kenikmatan tiada tara.
“Fuck, Luna! Kau sempit sekali!” Pria itu menggeram merasakan nikmatnya miliknya dijepit oleh milik Luna. Dia terus menghunjam dengan tempo pelan, sedang, dan berakhir dengan keras—hingga membuat Luna semakin meloloskan jeritan.
***
Draco menyesap wine di tangannya. Pria itu berdiri di area balkon kamar. Tatapannya sedikit melihat Luna yang terbaring di ranjang. Dia yakin pasti Luna merasakan kelelahan luar biasa akibat ulahnya.
Suara dering ponsel terdengar. Draco mengambil ponselnya dan melihat ke layar terpampang nma asistennya. Pria itu malas menjawab telepon dari sang asisten, namun dia menyadari ada misi yang belum diselesaikan. Akhrinya, dia memutuskan untuk menjawab panggilan telepon itu.
“Ada apa?” tanya Draco dingin dan tegas kala panggilan terhubung.
“Tuan Draco, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin mengingatkan, besok jam sepuluh pagi, Anda harus menyerahkan gadis yang Anda beli. Karena waktu yang diberikan sampai jam sepuluh pagi,” ujar sang asisten dari seberang sana.
“Aku menolak keinginan mereka. Gadis itu akan bersamaku sampai aku merasa bosan.”
“T-Tuan, A-Anda tidak bisa seperti itu. Penyelenggara acara—”
“Persetan dengan segala aturan! Kau urus semuanya! Aku tidak suka diatur! Tambahkan uang pada mereka satu juta dollar! Jika mereka menolak, maka mereka akan berurusan denganku!”
“T-Tapi, Tuan … bukankah misi Anda sudah selesai?”
“Belum sepenuhnya selesai! Misiku masih akan terus berjalan sampai aku benar-benar mengalahkan tua bangka itu! Sudahlah, kau jangan banyak bicara! Cukup kau patuhi saja apa yang aku perintahkan!”
Draco menutup panggilan telepon secara sepihak. Lantas, pria itu melangkah menuju Luna yang masih terlelap. Draco Riordan—pria tampan itu memiliki misi khusus kenapa mengikuti acara pelelangan—yang sampai membuatnya berakhir bertemu dengan sosok gadis polos dan lugu.
Draco duduk di tepi ranjang, melihat Luna menggeliat seperti tengah bermimpi. Selimut yang turun menunjukan dua payudara sintal gadis itu—membuat Draco tak sabar ingin mencicipi payudara gadis itu lagi.
Draco menunduk dan mengisap bergantian puting payudara Luna dan sontak membuat Luna terbangun akibat rangsangan itu. Gadis itu nampak terkejut dan berusaha menghindar di kala melihat pria yang membelinya kembali mencumbunya untuk kesekian kalinya.
“T-Tuan—” Dengan mata yang sembab, Luna menatap Draco dengan tatapan penuh permohonan.
Draco tak peduli dengan wajah memelas Luna. Pria itu menyibak selimut, menindih tubuh gadis itu—dan melumat bibirnya. “Aku menginginkanmu. Buka lebar pahamu, Luna,” titahnya tanpa ingin dibantahkan.
Luna menggeleng tegas dengan mata yang memerah akibat air mata terbendung di sana. Tapi semua itu percuma! Draco tidak memikirkan tentang Luna yang menatap penuh permohonan pada dirinya.
“Kau gadis nakal, Luna. Kau berani tidak patuh padaku,” bisik Draco mulai kesal.
Luna terisak. “T-Tuan, a-ku mohon, akh—”
Luna menjerit di kala Draco langsung memasuki kejantanannya ke dalam liang sempit gadis itu. Tanpa memiliki belas kasih sedikit pun, Draco menghunjam dengan tempo keras dan liar.
“Sakit?” bisik Draco di depan bibir Luna.
Luna mengangguk dan terisak. “S-sakit…”
Draco terkekeh rendah. “Kau ingin aku pelan, hm?”
Luna kembali mengangguk dengan air mata yang masih berlinang.
“Memohonlah padaku,” bisik Draco lagi.
Luna menggigit bibir bawahnya dan berkata. “A-aku mohon lakukan dengan pelan.”
Draco tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan Luna. Detik selanjutnya, pria itu melumat lembut bibir Luna—dan menghunjam gadis itu dengan pelan sesuai yang dinginkan gadis itu.
Rasa sakit mulai tergantikan dengan kenikmatan. Air mata Luna telah mengering. Gadis itu memeluk erat punggung Draco—pasrah di kala pria itu menghunjamnya. Sekeras apa pun berontak tetap saja Luna sadar bahwa dia telah kalah.
***
-To Be Continued
Mata Luna mengerjap beberapa kali. Tubuh gadis itu terasa sangat remuk. Perlahan, di kala matanya sudah terbuka lebar—tatapannya mengendar ke sekitar—di mana dirinya berada di sebuah kamar hotel yang megah. Luna termenung diam melihat kamar hotel megah itu. Sebuah kamar yang tak akan pernah mungkin bisa dia datangi seumur hidupnya. Gadis itu dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana. Tidak akan mungkin, dia mampu berada di hotel semegah ini. Dalam hitungan detik, ingatan Luna langsung teringat tentang kejadian tadi malam. Raut wajah gadis itu berubah menegang dan terkejut. Rasa takut menghantamnya menembus hingga ke jantungnya—menimbulkan kesesakan. Bulir air mata Luna berlinang jatuh membasahi pipinya. Dia tidak pernah mengira kalau dirinya akan melepas keperawanannya pada sosok pria asing yang tak pernah dia kenal dalam hidupnya. Luna meremas selimutnya terisak sesenggukan. Perlahan, Luna memberanikan diri untuk menoleh ke samping di kala dia sudah berhasil menenangkan dirinya
Luna tidak bisa tidur pulas. Setiap malam yang dirasakannya adalah perasaan takut yang mengrogotinya. Tidak pernah dia sangka pria yang berhasil membelinya di pelelangan, malah membawanya pergi meninggalkan kota. Padahal kesepakatan yang dia ketahui adalah pria itu hanya Luna temani pada satu malam saja. Namun, kenapa malah pria itu membawanya sampai berpindah kota? Saat pagi menyapa, Luna masih tetap berdiam diri di kamar. Perutnya sudah bunyi akibat merasakan lapar. Gadis itu terlalu takut untuk keluar kamar. Itu yang membuatnya memutuskan tetap berada di dalam kamar, meskipun perut sudah terasa lapar. “Nona?” Pelayan melangkah menghampiri Luna yang duduk di ranjang sambil memeluk lutut. Bahu Luna bergetar ketakutan melihat pelayan muncul di hadapannya. “P-pergilah. Jangan menggangguku.” Sang pelayan menatap Luna cemas, penuh rasa khawatir. “Nona, apa Anda tidak ingin makan?” Luna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin makan. Tolong, kau keluarlah.” “Nona, tapi—” “Aku mohon
Suara berat menyentak membuat terkejut Luna. Bahu gadis itu bergetar ketakutan. Wajahnya memucat akibat rasa takut menyelimuti dirinya. Sang pemilik suara berat itu sangat dia hafal. Membuat debar jantungnya berpacu semakin keras bahkan seolah ingin berhenti berdetak. Napas Luna seakan menjadi sesak. Bulu kuduknya mulai merinding di kala sosok pria itu melangkah mendekat menghampirinya—dan kini berdiri di belakangnya. Beberapa kali Luna meneguk salivanya susah payah. “Kau ingin ke mana, Luna?” bisik pria itu serak di telinga Luna. Luna tidak berani menjawab. Organ dalam tubuhnya seakan ingin mati. Kakinya pun seolah lumpuh tidak bisa berkutik sama sekali. Embusan napas pria itu kini menerpa kulit lehernya—membuat bulu kuduknya menjadi merinding. “Ingin melarikan diri, hm?” bisik pria itu lagi seraya meremas pelan pinggang Luna. “Jawab aku, Luna. Jangan hanya diam!” Dengan sengaja, pria itu menggigit daun telinga Luna—hingga membuat gadis itu merintih kesakitan. “T-Tuan … a-aku ti
Sinar matahari menembus ke sela-sela jendela, menyentuh pipi mulus Luna. Perlahan, mata gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat ketika matanya sudah terbuka sempurna—tatapannya mengendar ke dalam kamarnya.Seketika raut wajah Luna berubah melihat banyak pakaian berserakan sembarangan di atas lantai kamar. Tunggu! Detik di mana Luna melihat pakaiannya berceceran—kepingan ingatannya teringat tentang kejadian tadi malam.Luna menelan salivanya susah payah. Kepingan memori layaknya puzzle yang terpecah yang telah mulai tersusun di otaknya. Gadis itu mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Kejadian panas yang membuatnya gemetar.Luna memberanikan diri menurunkan pandangannya melihat—ke bawah di mana tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Tenggorokan gadis itu seolah tercekat di kala tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.Ingatan Luna masih bekerja sangat baik. Gadis itu mengingat bagaimana Draco menyentuh tubuhnya. Demi Tuhan! Ingin sekali Luna berlari sekencang mungkin, tap
“Katakan di mana keponakanku?!” Delcy menatap garang sosok pria berusia hampir empat puluh tahun. Pria yang berkuasa memiliki pelelangan di pasar gelap. Seperti jual beli manusia ataupun pembelian barang-barang selundupan.Ead mengembuskan napas kasar. “Tuan Draco Riordan tidak mau memberikan keponakanmu. Sudahlah, lagi pula kau juga mendapatkan uang tambahan, kan? Tunggu saja sampai Tuan Riordan bosan pada keponakanmu, baru kau menjual keponakanmu lagi pada pria lain.”Delcy tak terima mendengar ucapan Ead. “Keponakanku itu sangat cantik! Jika dia hanya melayani satu pria saja, penghasilannya tidak akan terlalu banyak! Aku tidak mau tahu, Tuan Riordan harus mengembalikan keponakanku!”Ead tersenyum samar. “Kau tidak mengenal siapa Tuan Riordan.”“Persetan dengan statusnya! Perjanjiannya adalah setelah dia mencicipi keperawanan keponakanku, dia harus menyerahkan keponakanku di hari kedua! Kenapa malah dia mengklaim keponakanku menjadi miliknya?!” seru Delcy tak terima. Wanita itu terk
Luna tidak sama sekali mengira bibinya akan berani mendatangi kantor Draco. Sungguh, membayangkan bibinya mengamuk, membuat jantungnya berpacu semakin cepat akibat rasa takut yang melanda hebat.Luna yang berniat untuk melarikan diri, membuatnya mengurungkan niatnya. Tentu, hal yang dia takutkan adalah bibinya tega menjualnya lagi. Dia tidak pernah ingin menjadi seorang pelacur rendah yang tak memiliki harga diri. Luna sangat takut jika sampai dirinya bertemu dengan bibinya lagi. Ya, sekarang dia menyadari bahwa dirinya akan semakin berada dalam bahaya. Sekarang dia memang berada dalam dua pilihan. Tetap berada di sisi Draco, atau di luar sana tapi tidak aman karena bibinya akan mengincarnya.Hati kecil Luna berkata memintanya untuk tetap tinggal di penthouse Draco. Entah, sampai kapan. Hal yang pasti berada di dalam penthouse Draco masih jauh lebih aman. Di luar sana, Luna pastinya berada dalam bahaya. “Nona Luna?” sapa sang pelayan menghampiri Luna yang duduk melamun di taman b
Aroma makanan tercium di indra penciuman Luna, membuat gadis itu yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali dan terbangun dalam tidurnya.“Selamat pagi, Nona. Maaf membangunkan Anda.” Pelayan menyapa Luna yang baru saja membuka mata.Luna mengerjapkan mata beberapa kali menatap sang pelayan. “Ah, iya tidak apa-apa. Jam berapa sekarang?”“Jam sembilan pagi, Nona,” jawab sang pelayan yang sontak membuat Luna terkejut.“Jam sembilan pagi?” Luna langsung duduk, akibat keterkejutannya.Sang pelayan mengangguk sopan. “Benar, Nona. Ini sudah jam sembilan pagi.” Luna menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Gadis itu terperanjat terkejut mendengar perkataan sang pelayan yang mengatakan ini sudah jam sembilan pagi. Detik itu juga, Luna mengalihkan pandangannya menatap jam dinding—benar bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi. Astaga! Luna kesiangan. Gadis itu tidak mengira kalau akan bangun seterlambat ini. Tapi tunggu … tiba-t
Dua minggu sudah Luna tinggal di penthouse megah milik Draco Riordan. Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepala Luna, ingin dia ajukan pada Draco. Akan tetapi, dia tidak bisa memberi tahu pada Draco tentang apa yang ada di dalam isi kepalanya.Rasa takut Luna membuatnya mengurungkan niatnya, mengajukan pertanyaan pada Draco. Sosok Luna yang sekarang hanya bisa patuh akan apa yang diinginkan dan dikatakan oleh Draco.Sekarang Luna sudah jarang mendapatkan amukan dari Draco. Gadis itu bagaikan kucing kecil yang patuh dan penurut. Ini cara yang ampuh agar terbebas dari amukan Draco. Karena memang sekarang Luna telah terpenjara di sangkar emas—yang tak akan mungkin bisa membebaskan dirinya.“Luna.” Draco melangkah menghampiri Luna yang tengah duduk di ruang kolam renang. Gadis itu sedikit jenuh. Dia memutuskan untuk duduk bersantai di ruang kolam renang. “Ya?” Luna mengalihkan pandangannya, menatap Draco yang menghampirinya.Draco mendekat menghampiri Luna. “Gantilah pakaianmu, aku in
Lima tahun kemudian … “Ayo Dickson! Lenita! Semangat!” Luna bersorak menyemangati anak kembarnya yang sedang lomba renang. Tampak wanita itu menunjukkan kegirangannya di kala anak kembarnya unggul dari yang lain.Draco berdiri di samping Luna, menatap tenang anak kembarnya yang lebih unggul dari yang lain. Luna sejak memiliki anak jauh lebih heboh dan cerewet, sedangkan Draco lebih tenang. Namun, jika Draco sudah bicara tegas, maka pasti semua akan takut pada pria itu. Hingga kemudian, waktu berakhir. Dickson juara satu dan Lenita juara dua. Sontak Luna memekik kegirangan anak kembarnya berhasil menang. Dia memeluk Draco karena terlalu sedang. Ekspresi Draco tersenyum tipis dan penuh bangga pada Dickson dan Lenita.“Sayang, anak kita menang,” seru Luna antusias.Draco mengecup kening Luna. “Kemenangan sudah pasti berada di tangan mereka.”“Daddy! Mommy!” Dickson dan Lenita berlari menghampiri kedua orang tua mereka, memeluk erat kedua orang tua mereka.“Anak Mommy dan Daddy hebat!
“Saya, Draco Riordan, mengambil engkau Luna Granger sebagai istriku untuk saling memiliki dan menjaga, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan kekurangan atau berkelimpahan—dan dalam keadaaan sakit atau sehat. Aku berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi, untuk selalu mengasihi dan menghargai engkau, sampai maut memisahkan kita.”“Saya, Luna Granger, mengambil engkau Draco Riordan sebagai suamiku untuk saling memiliki dan menjaga, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan kekurangan atau berkelimpahan—dan dalam keadaan sakit atau sehat. Aku berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi, untuk selalu mengasihi dan menghargai engkau sampai maut memisahkan kita.”Pastor mensahkan pernikahan Draco dan Luna. Dua insan yang baru saja resmi menjadi sepasang suami istri bertukar cincin, dan mereka langsung berciuman di hadapan ribuan para tamu undangan. Suara tepuk tangan riuh terdengar.Pernikahan Draco dan Luna mengukir sejarah. Pernikahan yang megah dihadiri oleh para pengusaha, art
“Draco, kita mau ke mana? Ini kan bukan arah rumah kita,” ucap Luna di kala Draco mengambil arah ke jalan yang lain. Bukan jalan ke rumah baru mereka. Gadis itu menoleh menatap Draco dengan tatapan bingung.“Nanti kau akan tahu ke mana aku akan membawamu.” Draco membelai rambut panjang Luna. Pria itu menatap ke depan, fokus pada jalanan. Luna ingin bertanya ke mana Draco akan membawanya, tapi karena tatapan Draco sangat serius menatap jalanan, itu membuatnya mengurungkan diri untuk bertanya. Luna memilih diam sampai dia tahu ke mana Draco akan membawanya. Butuh perjalanan sekitar tiga puluh menit. Mobil Draco mulai memasuki halaman parkir pemakaman. Luna sekarang mengerti Draco mengajaknya untuk mengunjungi makam mendiang ibu Draco. Luna tersenyum. “Kau ingin kita mengunjungi makam ibumu, ya?”Draco mengangguk sambil membelai pipi Luna. “Ya, tapi bukan hanya makam ibuku saja.”Kening Luna mengerut dalam. “Makam siapa?”“Nanti kau akan tahu. Kita turun dulu.” Draco mengajak Luna unt
Luna bergerak-gerak gelisah. Peluh membanjiri keningnya. Jeritan kata ‘Tidak’ membuat Draco terbangun lebih dulu. Pria tampan itu mendapati Luna yang seperti tengah mimpi buruk. Refleks, Draco membangunkan Luna.“Luna? Hey, Luna?” panggil Draco lembut.“Jangan bunuh anakku!” teriak Luna bersamaan dengan dia sudah bangun, dan bercampur dengan derai air mata.Draco langsung memeluk Luna erat, dan menciumi puncak kepala gadis itu. Tangis Luna pecah dalam pelukan Draco. “Luna, kau mimpi buruk. Aku di sini. Aku selalu menjagamu.”Tangis Luna mengecil dalam pelukan Draco. “Draco, aku bermimpi Danny dan Mireya ingin membunuh anak kita.”Draco mengeratkan pelukannya mendengar cerita Luna. Pasti trauma kejadian penculikan itu masih ada. Tidak mungkin dalam sekejap bisa sirna begitu saja. Dalam hati Draco mengumpati kebodohannya yang terlalu lama menyelamatkan Luna. “Pria tua itu sudah berada di penjara, sedangkan Mireya berada di rumah sakit jiwa. Mereka tidak akan melukaimu,” ucap Draco sung
Kesehatan Luna berangsur-angsur membaik. Dia mendapatkan perawatan terbaik Selama berada di rumah sakit. Hamil membuat Luna mendapatkan perhatian berlebih dari Draco. Setiap Luna ingin bergerak saja, Draco selalu khawatir hal buruk menimpa Luna. Terdengar sangat berlebihan, tapi memang itulah Draco jika sudah ketakutan kehilangan sosok yang berharga di hidupnya.“Draco, aku sudah makan. Jangan minta aku untuk makan lagi. Aku sudah kenyang. Nanti aku muntah jika kau paksa,” ucap Luna dengan bibir tertekuk dalam. Perutnya sudah kenyang, tapi terus dipaksa untuk makan.Draco meletakan piringnya ke atas meja dan berkata lembut, “Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Yang penting kau sudah kenyang. Aku tenang sekarang.”Luna tersenyum mengerti rasa khawatir Draco. Gadis itu bangkit berdiri dan duduk di pangkuan Draco. “Aku akan baik-baik saja. Aku akan selalu menjaga anak kita. Kau percaya padaku, kan?”Luna mengerti kekhawatiran Draco. Pria itu pernah kehilangan anak. Jadi wajar jika se
“D-Draco?” lirih Luna melihat Draco berada di ambang pintu. Matanya sembab akibat tangis, sekarang berubah menjadi tatapan penuh harap. Dia percaya Draco akan datang menyelamatkannya. Tubuh Mireya membeku di tempatnya melihat Draco berdiri di ambang pintu. Berbagai umpatan lolos di bibirnya. Dia tak mengira Draco akan secepat ini menemukan keberadaan Luna.Tatapan Danny menyalang tajam menatap Draco. “Sejak awal Luna adalah wanitaku! Jangan pernah kau mengaku-aku dia sebagai wanitamu!”Draco tersenyum sinis melihat Mireya juga terlibat. Dalam hati dia bersyukur datang tepat waktu. Dia mendengar jeritan Luna. Dia sudah menduga apa yang terjadi sebelum dirinya datang. Sekarang kebenciannya pada Danny dan Mireya semakin bertambah.“Kalian ingin membunuh anakku yang ada di kandungan Luna?” Draco melangkah mendekat, menatap tajam Danny dan Mireya. “Luna adalah milikku!” desis Danny menekankan.Draco tersenyum sinis. “Kau ingin tahu kenapa aku bertekad mengalahkanmu di pelelangan waktu i
Draco melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh membelah kota. Pria itu menginjak pedal gas kuat-kuat. Alamat keberadaan Luna sudah berhasil ditemukan. Hacker membobol CCTV jalanan. Draco siap mengeluarkan banyak uang demi agar bisa mengetahui keberadaan Luna. Nigel yang duduk di samping Draco memegang kuat seat belt-nya. Draco tidak mau disopiri. Pria tampan itu lebih percaya menyetir sendiri di kala keadaan mendesak. Tentu Draco mengemudikan mobil di atas kecepatan rata-rata. Nigel saja sampai shock bahkan hampir muntah. Namun Nigel tidak bisa berkomentar apa pun. Nigel hanya bisa patuh pada tuannya.“Nigel, kau sudah yakin alamat yang kau dapatkan?” seru Draco dengan sorot mata tajam.Nigel mengangguk seraya menelan salivanya susah payah. “S-sudah, Tuan. S-saya yakin dengan alamat yang saya dapatkan.”Draco menambah laju kecepatan mobilnya. Sontak tubuh Nigel tercondong ke depan akibat Draco melajukan mobil tanpa perhitungan. Beruntung Nigel sudah kuat-kuat memegang seat belt-nya.
Saat pertama kali tiba di penthouse, Draco menatap tiga pelayannya sudah berlumuran darah. Dua lagi berhasil selamat kini menangisi teman mereka yang tewas. Aroma anyir darah begitu semerbak memenuhi ruang tengah. Nigel yang ada di samping Draco terkejut melihat keadaan penthouse Draco yang berantakan. “Tuan.” Dua pelayan yang masih hidup bergetar ketakutan di kala mereka menatap Draco.Tatapan Draco menyalang tajam bagaikan singa hutan yang murka. “Ceritakan padaku apa yang terjadi!” semburnya penuh amarah tertahan. Dia sudah meminta orangnya mencari titik keberadaan Luna, tapi sampai detik ini belum juga ditemukan.Dua pelayan itu gelagapan menjawab pertanyaan Draco. Mereka tidak akan mungkin diam saja, jika sudah mendapatkan cercaan pertanyaan seperti ini. Mereka harus menjawab kebenaran yang ada.“T-tuan, m-maafkan kami. Lampu tiba-tiba saja mati. Kami berusaha menghubungi pihak keamanan, tapi seluruh telepon di penthouse tidak berfungsi. Saat salah satu di antara kami ingin meng
Mireya duduk di pangkuan Draco di kala tunangannya itu sudah tiba di tempat yang sudah dijanjikan mereka akan bertemu. Dia membelai rahang tegas Draco, menatap penuh damba sang tunangan yang sangat tampan dan rupawan.“Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi padamu, Draco,” ucap Mireya hendak memberikan ciuman di bibir Draco, tapi pria itu membuang wajahnya seolah tak sudi dicium oleh Mireya.Draco mendorong tubuh Mireya, hingga membuat wanita itu tersungkur di lantai. “Aw! Draco kenapa kau kasar padaku?” serunya kesal.Draco menatap dingin Mireya yang tersungkur ke lantai. “Asistenku mengatakan kau tidak bisa diajak negosiasi karena keadaan perusahaan cabangku yang mengalami musibah. Sekarang aku datang untuk mengajakmu bernegosiasi, jadi jangan membuang-buang waktuku!”Mireya bangkit berdiri menahan sakit di bokongnya. “Kau bisa bersikap lembut pada seorang pelacur, tapi kau malah bersikap kasar pada tunanganmu sendiri!”“Berhenti mengatakan Luna seorang pelacur!” bentak Draco su