Ivanka sudah sadar, tetapi kondisinya masih buruk. Bisa dikatakan terus memburuk seiring berjalannya waktu. Naka masih setia menemani Ivanka, bahkan dia rela tidur di sofa untuk terus berada di sisi istrinya itu. Takut kalau hal buruk itu terjadi di saat dia tidak ada di sana. Bagaimanapun juga status mereka adalah suami—istri."Babe, kamu tidur di sini?" Suara parau milik Ivanka membuat Naka membuka matanya, dia melihat Ivanka sudah duduk dengan senyum manisnya walau terlihat lemah.Ivanka mengusap wajahnya dan mendekat."Aku nggak mungkin pulang. Gimana keadaan kamu?" tanya Naka.Ivanka memberi anggukan sambil merentangkan tangannya yang masih terpasang selang infus. Ivanka hanya tak ingin kalau Naka khawatir. Dia baik-baik saja, walau sebenarnya tidak, kondisinya memang akan selalu seperti ini.“Mama..” lirihnya.“Sudah jangan diingat lagi. Sekarang kamu aman di sini. Maaf, maaf karena aku tidak bisa menjagamu,” ucap Naka dengan suara parau. Menjadi suami yang gagal menjaga istriny
"Ini semua gara-gara Mama, kalau Mama gak ngasih ide murahan itu kita gak akan berakhir di sini. Kalau mau masuk penjara sendiri aja, kenapa harus ngajak-ngajak aku!" gerutu Sarah yang mulai kehabisan kesabaran.Naka benar-benar menjebloskan mereka berdua ke penjara. Papa Elvan tidak bisa berbuat apa-apa, Naka orang berpengaruh yang bisa dengan mudah membuat siapa pun masuk dan keluar di tempat mengerikan itu. Apalagi hanya Sarah dan Adela, yang bahkan sudah memiliki bukti kuat.Pengadilan sudah mengantongi kejahatan mereka, termasuk soal keadaan Ivanka yang saat itu semakin memburuk. Naka menjadikan itu sebagai kerugian yang harus Sarah dan Adela pertanggungjawabkan. Naka memerangi mertuanya sendiri demi keadilan Ivanka. Nyawa bukan sesuatu yang bisa dipermainkan."Tutup mulutmu, Sarah. Daripada menyalahkan Mama, mendingan kamu mikir gimana caranya biar kita keluar dari sini," ujar Adela yang membalas ucapan Sarah.“Dengan apa mama? Teman-temanku saja sudah menjauh sejak tahu Perusah
Bukannya menurut, Naka malah tersenyum seolah mengejek larangan Lika. Tentu saja dia sudah memikirkannya dengan matang-matang. Naka tidak akan pergi saat itu juga, melainkan dia akan mengulur waktu."Aku harus ikut ke sana!" ucap Lika sambil melipat kedua tangannya di dada.Ucapan Lika membuat Naka memicingkan matanya dan dengan cepat menggeleng secara tegas. "Tidak! Mana ada orang hamil kunjungan ke penjara. Nggak bisa, aku nggak mau anakku terkontaminasi dengan hal-hal buruk," tolak Naka secara tegas.Jangan bercanda, istrinya sedang hamil besar. Mengandung bayi kembar juga membuat perut Lika membesar dua kali lipat."Kalau gitu kamu nggak boleh pergi juga. Gimana, adil 'kan?" Keduanya malah terlibat negosiasi alot, yang akhirnya Naka menyerah dan mengizinkan Lika untuk ikut bersamanya.Dengan catatan dan kesepakatan kalau Lika tidak akan berbicara sepatah kata pun, dia hanya bertugas menemani Naka saja. Dengan cepat Lika setuju, dia memang hanya harus menemani Naka tak lebih dari i
Naka terdiam, mencerna maksud dari Adela. Jujur dia ingin tahu maksud dari Adela, namun penawaran cabut gugatan juga membuatnya harus berpikir keras.“Mas,” lirih Lika..Lika sendiri berusaha menyadarkan suaminya untuk tidak terkecoh akan penawaran Adela“Apa maksudmu dengan mencari ibuku, Adela Daarwish?” tanya Naka sarat akan penekanan.Adela tersenyum merasa jika Naka sudah masuk perangkapnya, mulai tertarik dengan pancingannya.“Ya ibumu,” sahutnya masih dengan teka-teki.“Sudahlah, terlalu banyak omong kosong,” ucap Naka, sudah mau beranjak. Namun ucapan selanjutnya dari Adela berhasil menghentikannya.“Karena kamu bukan anak Nyra!”Deg!Naka langsung menoleh dan bertemu pandang dengan Adelan, terlihat jika wanita itu serius dengan ucapannya.“Maksudmu?”"Kamu bukan anak kandungnya!" ungkap Adela, dengan senyum sinis di bibirnya.Mata Naka terbelalak, dia tentu saja tidak percaya, tetapi orang semacam Adela tak akan mengungkapkan sesuatu yang salah.“Jangan mempermainkanku, Adela
Lika ingin mendekati suaminya, namun sepertinya Naka butuh waktu untuk sendiri. Lika membiarkan Naka di dalam ruang kerja, sibuk dengan pikiran yang entah kemana saja.“Di mana Naka?” tanya Mama Elise pada putrinya.Lika menoleh, tersenyum melihat mamanya yang baru kembali dari rumah sakit menjenguk Ivanka kembali.“Di ruang kerja, Ma.” Mama Elise menasehati Lika, agar menemani suaminya Naka yang sedih. Karena tahu dia bukan anak kandung mamanya. "Temani Naka, hibur dia," Kata Mama Elise. Lika mengangguk, lalu mendekati suaminya.Walau bingung harus bagaimana, dia menuruti nasehat sang mama. Suaminya butuh dia di sini, mungkin jika ada Ivanka, maka wanita itu yang akan menghibur Naka.Di ruang kerja yang sepi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang menambah kesan sunyi. Lika menghampiri Naka yang terduduk lesu di sofa, matanya sayu menatap ke luar jendela. Lika duduk di sampingnya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.“Mas,” panggilnya dengan suara yang mendayu, Naka ha
v“Tante,” sapa Lika, melihat kedatangan mama mertua di rumah. Nyra melirik, ah gadis ini, sedang hamil besar, mengandung cucu yang bukan cucu kandungnya.Betapa Naka mencintai gadis ini, sampai rela menikahinya. Bukan hanya karena tengah mengandung buah hatinya, namun karena Naka benar-benar mencintainya.“Di mana Naka?” tanya Nyra, masih dengan nada pongah berbicara dengan Lika.“Mas Naka ada di kamar, Tante.”“Panggilkan!” serunya.Mama Elise yang kebetulan lewat, langsung tersentak mendengar nada perintah dari besannya ini.“Lagaknya seperti bos saja,” sindirnya, Lika langsung menggandeng tangan mamanya, untuk menghentikan sindiran itu. “Ma, sudah,” bisiknya. Tidak perlu cari ribut, suasana sedang tidak kondusif.Nyra yang melihat kedatangan besannya, enggan menanggapi juga. Dia bisa kalah, karena posisinya sedang terjepit juga. Jangan sampai Naka melihat dia bertengkar dengan mama mertuanya, sadar diri jika dia yang akan kalah.“Sebentar, Lika panggilkan Mas Naka.” Lika kemudian
Ivanka terbaring lemah di ranjang rumah sakit, infus masih menancap di tangannya. Rambutnya yang sudah rontok sebagian menambah kesan pucat pada wajahnya. Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui jendela, memberi sedikit kehangatan di ruangan steril itu. Elvan Daarwish memasuki ruangan dengan langkah gontai, membawa buket bunga mawar kuning yang melambangkan persahabatan dan dukungan. Warna kesukaan Ivanka, entahlah dia ingin membawa saja.Ceklek!Elvan membuka pintu, sudah di izinkan Suster Mirna di luar. Karena Elvan membawa perdamaian, tidak mengajak ribut."Papa akhirnya menjengukku," sapa Ivanka dengan suara serak, matanya berbinar sejenak melihat sosok ayahnya.Elvan meletakkan bunga di meja samping tempat tidur dan duduk di kursi yang telah disediakan. Dia menghela napas panjang, matanya menatap Ivanka dengan perasaan campur aduk. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Elvan meragu.Ivanka tersenyum, baru kali ini papanya bertanya keadaannya.“Aku baik Pa, jangan khawatir.”Elvan men
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya
Suara musik makin menggema, padahal hari sudah sangat larut malam. Naka yang merasakan sedikit pusing, memutuskan untuk berdiam dulu. Mencoba menghilangkan rasa pusing di kepala, mungkin karena lampu kelap kelip dan musik yang begitu kencang. Membuat kepalanya menjadi pening.Sementara itu, Martha terus berbicara tentang peluang bisnis yang bisa mereka eksplorasi, sesekali tertawa dan menepuk bahu Naka. Naka hanya bisa mengangguk, sambil terus mencari strategi untuk bisa keluar dari situasi yang semakin membuatnya tidak nyaman ini.Naka merasa kepalanya berputar, tubuhnya tidak stabil seolah melayang. Dia memegangi dinding berusaha menjaga keseimbangan. Rendi tertawa kecil saat melihat Naka mengambil gelas itu, "Hanya sekali, Naka. Nikmati malam ini," katanya penuh arti.Sesudah minum, Naka langsung merasakan sesuatu yang aneh. Dia merasa panas dan dingin secara bersamaan, dan kepalanya seperti dipukul dengan palu.“Aku ke belakang dulu.” Naka berdiri dan pergi. Lebih baik dia kabur s
Dug!Dug!Huaaaaaaa… “Mamiiiii…” jerit Galaxy saat galen menggetuk kepalanya dengan mainan.Lika menghela napas penuh kesabaran, si kembar berantem lagi. Namanya anak laki-laki, bermainnya selalu adu fisik memang.Merasa jantungnya berhenti sejenak melihat Gala dan Galen, anak kembarnya yang berusia dua tahun, saling dorong dan terjatuh bersamaan. Dari kejauhan, tangis mereka menggema, memecah kesunyian sore itu. Mama Nyra, yang baru tiba langsung mendengar keributan itu. Dari pintu masuk ia bergegas mencari sumber suara."Kenapa ini?" tanya Mama Nyra seraya memisahkan kedua cucunya yang masih saling tarik.Gala, dengan mata berkaca-kaca, menunjuk ke arah mainan truk kecil yang tergeletak di antara mereka. "Galen ambil mainan Gala, Oma!" ujarnya dengan suara terisak.Sementara Galen, yang juga tidak kalah sedihnya, menggenggam erat mainan itu. "Tapi Gala yang mulai, dia yang dorong Galen dulu!" sahutnya, mencoba membela diri.Mama Nyra menghela napas, hatinya terasa berat melihat cucu
Degh!Lika menggenggam lengan kemeja Naka dengan erat, matanya menyala seakan bisa membakar apa saja yang dilihatnya. Noda lipstik merah di kain putih itu seperti bukti pengkhianatan yang tidak bisa dipungkiri.“Mas…!” teriaknya memanggil sang suami yang sudah merebahkan diri di ranjang. Habis pulang bekerja, main dengan anak lalu masuk kamar.Naka kaget, ia kira istrinya jatuh di kamar mandi. Dengan berlari Naka menemui sang istri yang ternyata sudah ada di hadapannya.“Kenapa sayang, kamu kenapa?” desah Naka khawatir.Lika manyun, kesal sekali hati ini."Mas selingkuh ya? Siapa ini? Kenapa ada lipstik di kemeja kamu?" suaranya meninggi, penuh tuduhan.Naka terpaku, kebingungan menyelimuti wajahnya. Dia memandangi kemeja yang ditunjuk Lika, sama terkejutnya.Hah!Kenapa ada noda merah di bagian lengan kemejanya.“i-ini..”“Nggak ngaku? Tega kamu, mas!” pekik Lika.Naka menarik kemeja itu, melihat dengan seksama. "Sayang, aku nggak tahu noda ini darimana," katanya, suaranya mencoba me
Naka melingkarkan tangannya di pinggang sang istri, kemudian mengecupi leher jenjang Lika yang terekpose sempurna. Karena wanita itu hanya mengenakan dress hamil model kemben.“Senang kan?” tanya Naka memeluk istrinya dari belakang.Lika yang sedang mengeluarkan pakaian dari koper hanya bisa mengangguk dan melenguh dengan mesra.“Mandu dulu sana,” kata Lika lembut.Namun Naka menolak, dia hanya mau mandi Bersama istrinya. “Mandinya sama kamu,” bisiknya dan mengulum daun telinga Lika dengan penuh perasaan.“Mas ih, katanya dinas. Kok malah mesum sama aku sih,” ketus Lika berpura-pura. Naka tertawa, dia memang sengaja mengajak istrinya ke Bandung menemaninya dinas.Lika akan di dalam hotel, sedangkan Naka dengan pekerjaannya. Tidak begitu sibuk, makanya dia bisa mengajak Lika. Naka diminta jadi pembicara di sebuah seminar dan Naka juga akan melakukan pertemuan dengan klien bisnis di Bandung.“Mesum sama istri sendiri boleh banget,” kata Naka lagi, dekat sekali sampai Lika bisa merasakan
Ternyata wanita kalau sedang cemburu, terus saja cemberut. Dari Bali sampai Jakarta, rasa cemburu itu tetap dibawa Anulika. Meski Naka sudah berulang kali menjelaskan siapa Martha.Naka mencoba menggenggam tangan Lika yang terlipat di atas meja makan, namun Lika segera menariknya kembali. Wajahnya masih memendam amarah, bibirnya menggigit erat tanpa berkata-kata. "Sayang, cemburu itu wajar, tapi kita harus berbicara," ucap Naka dengan lembut, mencoba mencairkan suasana.“Habis klien kamu cantik,” ketus Lika.Naka menghela napasnya, namun terselip senyum tipis di bibirnya. Dicemburui, artinya kita dicintai. Dan Naka menyukai itu, ia selalu suka ketika Lika cemburu padanya. Menandakan bukan hanya dia yang cinta, tapi istrinya juga.“Tetap saja, tidak ada yang mengalahkan istri aku,” puji Naka.Dipuji malah makin manyun, “Kenapa lagi?”“Kalau kamu tergoda gimana, mas?” Suaranya bergetar, rasa cemburu dan ketakutan bercampur menjadi satu. Naka menghela napas, menatap istrinya yang sedang
Lika membuka pintu kamarnya yang mengarah ke balkon cottage, ia hendak keluar untuk makan pagi. Namun, ia menjadi kaget melihat sekian banyak bunga yang menghiasi. Sisi kiri kanan dihias bung-bunga indah yang hidup, aromanya terasa menyegarkan di hidung Lika.Lika memindai kesegala arah, kenapa jadi sepi. Kemarin banyak pelayan, karena ia tahu mama mertuanya tidak bisa hidup tanpa pelayan.Deg!Lika menunduk, dia melihat banyaknya kelopak bunga mawar merah di lantai, seperti tertarah ke suatu tempat.‘Ini ada apa sih?’ tanya hatinya, sedikit cemas.Lika terus berjalan, tujuannya malah pintu keluar. “Halo,” panggilnya pada siapa pun yang ada di dalam cottage.Jantungnya berdegup kencang, bertanya-tanya siapa yang mungkin melakukan ini. Dia berjalan menuju ruang tamu, dan napasnya tertahan. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma mawar putih, bunga kesukaannya, dan banner besar bertuliskan "Selamat Ulang Tahun, Istriku.. Anulia!" tergantung di dinding.Lika mengusap matanya, tidak percaya den
Lika bimbang, dia diajak pergi mertu ke Bali. Senang sekali, memang maunya jalan-jalan. Tapi Naka tidak bisa ikut, kata Mama Nyra, Naka akan ada pekerjaan di luar kota.“Tidak apa, sayang. Nanti kalau sudah selesai aku bisa nyusul,” kata Naka meredakan ketegangan antara mereka.“Kalau nggak bisa?” tanya balik Lika.“Yaa, kita ketemu di rumah,” kekehnya merasa geli dengan pertanyaan Lika.“Aku di Bali palingan tiga hari, mas. Masa enggak bisa nyusul sih?”Naka menghela napasnya, istri sudah mulai merajuk minta jalan-jalan. Naka tahu ini keinginan si baby. Karena baby ketiga ini, sering kali membuat maminya menjadi absurd.“Kamu tahu aku ingin sekali. Bersenang-senanglah sayang, ada mama dan si kembar.”Lika manyun, Naka tertawa geli dan menarik istrinya ke dalam pelukannya. “Jangan begini, belum pisah aja aku udah rindu,” kekeh Naka.“Aku maunya sama mas Naka.” Naka suka lemah kalau istrinya sudah merajuk manja seperti ini. Berasa sang istri tidak bisa berpisah jauh dengannya saja.Nak
Bumil ngidam maunya jalan-jalan terus, tapi bagaimana. Naka sedang sibuk-sibuknya di kantor, banyak pekerjaan. Apalagi beberapa bulan lalu, Naka sempat On-Off bekerjanya. Maklum sedang sindrom kehamilan, jadi selalu mual yang membuatnya tidak nyaman.Kalau meeting dengan beberapa klien yang menggunakan parfum segala rupa, makin-makin terasa mual perutnya. Daripada tidak enak, yang berujung sikap tidak sopan. Naka memutuskan cuti dua minggu, digantikan oleh Papa Ben yang merengut karena harus kembali bekerja.Tapi ketika Naka menjanjikan jika si kembar boleh diajak ke Belanda, Papa Ben langsung semangat. Mau mengenalkan beberapa Sejarah keluarga pada si kembar, Papa Ben. Tapi belum dapat izin dari putranya, karena merasa Gala dan Galen masih terlalu kecil untuk terbang jauh.“Mas kerja lagi?” tanya Lika dengan wajah sendunya.“Iya sayang, banyak banget lagi meetingnya.”“Kapan jalan-jalannya?”“Bukannya kemarin sudah jalan sama Mama Nyra ke mall?” Lika memang izin jalan sama Naka, tapi
Hari itu, ruangan klinik kandungan dipenuhi dengan rasa harap dan cemas. Naka memegang tangan Lika dengan erat saat mereka menunggu hasil USG. Cahaya lembut dari layar monitor memantulkan bayangan kecil yang bergerak-gerak, sebuah tanda kehidupan baru yang sedang tumbuh. Mata Lika berbinar, senyumnya merekah saat dokter mengonfirmasi bahwa ia hamil empat minggu."Kembar lagi tidak, Dok?" tanya Naka penuh harap, mengingat kenangan manis saat mereka dikaruniai anak kembar sebelumnya.Sayangnya, dokter menggeleng, "Untuk saat ini hanya satu, Pak Naka."Kekecewaan sejenak terlukis di wajah Naka, namun segera digantikan oleh senyum tulus. Satu atau dua, setiap kehadiran anak adalah berkah yang tak terhingga.Namun, ada hal lain yang mengusik Naka. Belakangan ini, ia sering merasa mual dan bahkan muntah. Ia mencurahkan perasaannya pada dokter yang memeriksanya dengan seksama."Ah, ini wajar, Pak Naka. Anda terkena sindrom kehamilan, sering terjadi pada suami yang sangat mencemaskan istrinya