Plak!Suara tamparan yang begitu kencan menggema di ruang tamu yang tidak seberapa luas itu. Tangan yang menyentuh pipi itu, bergetar, tanda kekecewaan tengah meliputi.Elise menampar keras pipi Naka, saat pria itu mengakui jika dia telah memiliki istri.Elise adalah seorang ibu yang mendidik putrinya, Lika, dengan harapan besar agar sukses di masa depan. Lika, yang berangkat ke Jakarta untuk mengejar karir, telah kembali dengan kabar yang mengecewakan hati Elise. Elise merasa gagal sebagai ibu ketika Lika pulang dalam keadaan hamil, lebih parah lagi, anak yang dikandung adalah hasil dari hubungan dengan suami orang lain.Elise merasakan hancurnya nilai-nilai yang telah dia tanamkan sepanjang hidupnya. Dia selalu mengajarkan tentang pentingnya integritas dan moral, namun kenyataan yang dihadapi kini seakan menjadi tamparan keras baginya.Elise beralih pada Naka dengan tatapan menyala, "Dan kamu, sudah memiliki istri tapi berani menggoda anak saya?" ucapnya dengan nada tinggi, menunjuk
“Saya salah apa Bik, sampai Lika seperti ini,” isak Elise di pelukan Bik Nani yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri itu.“Bu Elise tidak salah. Non Lika hanya salah sajaln, sayang jalan yang dia pilih begitu terjal dan curam. Sebagai orang tua, tugas Bu Elise adalah meluruskan kembali jalannya.”“Bagaimana bisa Bik, dia sudah hamil. Dan laki-laki itu sudah punya istri,” sendu Elise menangis di dalam kamarnya ditemani pelayan yang sudah setia dengannya selama puluhan tahun itu.“Diluar sana masih banyak, perempuan yang hamil, tapi laki-lakinya tidak tanggungjawab. Bukan menomalisir, tapi Non Lika beruntung prianya mau tanggung jawab. Tolong lihat semua dari sisi positif, jangan hancurkan hati Non Lika yang saat ini sudah hancur Bu Elise,” jelas Bik Nani.Majikannya ini memang perlu teman bicara, jangan hanya mengedepankan emosi dan masalah tidak selesai. Pikirkan dengan kepala dingin, sama-sama dicari solusinya.“Saya malu bik, saya malus ama almarhum papanya Lika. Saya sudah g
Elise memikirkan semuanya, mau marah namun sudah terjadi. Rasa sakit di hati dan kecewa melebur, dengan permintaan maaf yang tulus dari sang buah hati. Seperti nasehat Bik Nani, nasi sudah jadi bubur. Terpenting Lika mendapat pertanggung jawaban dari pria yang telah menghamilinya.Meski berat, Elise memutuskan untuk merestui mereka berdua. Bukan demi dirinya, namun demi putri dan calon cucu kembarnya.Mama Lika menghampiri mereka berdua, menghela mereka ke dalam pelukannya yang hangat. "Mama restui kalian,” lirihnya.Deg!Anulika dan Naka saling pandang, menangis dalam bahagia. Restu sang mama yang mereka nanti, kini telah mereka dapatkan.“Mama,” kejar Lika menangis dalam pelukan sang mama.Naka dan Bik Nani berdiri dengan senyum kegembiraan, akhirnya setelah drama penjelasan hubungan mereka. elise menyetujui hubungan mereka.Usainya, ganti Naka menghampiri mertuanya. Kembali meminta maaf dan berjanji satu hal, jika dia akan membahagiakan putri Elise dalam keadaan suka dan duka.“Aku
Benedito dan Nyra memulai perjalanan mereka ke Bandung dengan suasana yang tegang. Di dalam mobil, Nyra memandang jendela dengan pikiran yang kacau, sementara Ben fokus dengan ponsel ditangan. Mengecek beberapa pekerjaan yang ditinggalkan sang putra yang menginap di Bandung.Supir mengemudi dengan kecepatan sedang, di samping asisten Papa Ben juga ikut, karena dia yang menyiapkan semua barang untuk lamaran Lika. Ben sesekali melirik ke arah Nyra, mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusannya adalah yang terbaik untuk Naka, anak mereka.Nyra memalingkan wajahnya, air mata mulai menggenang di matanya, namun dia menahan agar tidak jatuh. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak dia inginkan, dipaksa untuk mendukung sesuatu yang jelas-jelas melawan keinginan hatinya.Perjalanan ke Bandung berlangsung dalam diam, dengan hanya suara mesin mobil yang memecah keheningan. Sesekali Benedito mencoba untuk mengatakan sesuatu, namun Nyra hanya memberikan jawaban yang pendek. Hatinya terasa ber
Naka merasa gelisah meninggalkan Lika yang sedang hamil dan tidak enak badan di rumah sendirian. Wajahnya pucat dan dia berulang kali memeriksa ponselnya, berharap tidak ada panggilan darurat dari Lika. Di sisi lain, Ivanka, dengan wajah cemas menunggu giliran kontrol.Setiap beberapa menit, Naka mencoba mengalihkan perhatiannya dari kekhawatirannya terhadap Lika dengan berbicara ringan, mencoba menghibur Ivanka yang tampaknya juga tegang menanti hasil pemeriksaan. "Kamu tenang saja, semuanya akan baik-baik saja," ucap Naka mencoba menenangkan. Ivanka hanya mengangguk, menatap layar nomor antrian yang terus berubah.Kedua hati Naka terbagi, satu di rumah sakit dan satu lagi di rumah, ah memang pusing punya istri dua.“Lika akan baik-baik saja, mas.” Ivanka mengelus lembut tangan Naka. Tahu jika suaminya sangat mengkhawatirkan istrinya yang lain.Naka tersenyum tidak enak, apa ia terlalu terlihat sangat mengkhawatirkan Lika.“Ah iya.. Aku yakin dia juga baik-baik saja.” Naka mencoba se
Nyra meminta Suster Mirna untuk keluar, namun suster itu menolak. Karena arahan Naka adalah, tetap berada disana siapapun yang menemui istrinya.Namun ketika Ivanka pun memintanya keluar, mau tidak mau Suster Mirna keluar. Hanya memastikan nyonyanya dalam keadaan baik, sebelum dia tinggal.“Mama apa kabar?” tanya Ivanka perhatian.Nyra berdecak, sok bertanya kabarnya. Lebih baik Ivanka tanyakan saja kabarnya sendiri.“Kacau!” ketus Nyra angkuh. Kemudian dia melanjutkan lagi, masih dengan nada suara yang sama. “Dan itu karena ulah keluargamu!”Ivanka mendesah, ini lagi. Keluarganya memang menyusahkan. Bukan hanya pada dirinya, tetapi juga mama mertuanya.“Kau tahu Ivanka, aku amat sangat terpaksa menjodohkanmu dengan putraku satu-satunya dulu. Kau tahu karena apa? Karena mamamu merengek padaku,” hardiknya kesal akan kisah lalu.Ivanka menduduk, dia sangat tahu cerita itu.“Dan yang membuatku semakin geram adalah, kamu tidak bisa memanfaatkan statusmu sebagai istri Naka dengan baik!”“M
Keluar dari kamar, Naka menuju kamar Ivanka. Ada suara, sepertinya Ivanka belum tidur. Dengan santai Naka berjalan, ketika tangan sudah mencapai gagang pintu. Suara itu semakin terdengar dengan jelas.“Mama, aku sudah berusaha membuat Naka mencintaiku. Tapi Naka memang tidak pernah mencintaiku,” isak Ivanka menangis.Naka mengerutkan keningnya, istrinya berbicara dengan siapa. Sedikit mengintip celah pintu, ternyata Ivanka sedang melakukan panggilan.Naka menduga itu keluarga Ivanka. Sudah Naka bilang berkali-kali, tidak perlu berhubungan dengan mereka jika dirasa sudah menganggu Kesehatan mental.Tapi masih saja Ivanka tidak menggubrisnya, ini juga yang membuat pintu hati Naka tertutup. Ivanka tidak pernah mendengar atau menurutinya, selalu menurut pada keluarga toxic-nya. berbeda dengan Lika, dia membangkang namun selalu punya cara untuk mengambil hati Naka.Meski usia Lika lebih muda dari Ivanka, tapi kadang Lika menurut pada suaminya. Menggeram Naka mendengar pembicaraan antara Iv
“Makan di luar yuk. Mas mau makanan Jepang nih.”Lika mendengar yang namanya makan, langsung mengangguk setuju.“Sayang mau makan apa.”“Jepang aja mas, nggak apa-apa.”“Beneran?”“Iya, aku mau.”Sejak hamil ini, Lika memang banyak mau makan yang aneh-aneh. Bawaan bayi sekali, tidak suka makanan tradisional malah, aneh. Karena Lika lebih suka masakan sunda.“Bayinya bule ya sayang.”“Mas keturunan bule kan?”“Iya, papa kan ada Belandanya.”“Kalau mama Nyra?”“Asli sini,” jawab Naka mengemudikan mobilnya dengan sangat hati-hati. Karena dia membawa tiga orang yang paling dia sayangi.“Kapan sih sayang, boleh beli perlengkapan si kembar?” tanya Naka, memang sudah tidak sabar beli ini itu.“Kapan ya mas, kayanya sudah boleh deh.”“Apa habis makan, kita belanja.”Lika mencibir, tidak ada capeknya ini laki.“Nggak mau ah. Habis makan aku mau tidur lagi.”“Masih ngantuk yah?”“Masih!” seru Lika dengan galak.“Galak banget,” goda Naka.“Habis kamu, pagi malam ini jatah.”Naka tertawa, dia jug
Elvan Daarwish memandang mantan menantunya dengan tatapan tidak terbaca.sebuah kunci rumah dalam genggamannya, ya, Naka memenuhi janji terakhirnya pada Ivanka.“Itu janjiku pada Ivanka,” kata Naka tegas.Elvan mendesah, “Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini.”“Aku adalah pria yang menepati janji,” cetusnya cepat.“Terima kasih, Naka.” Elvan hanya bisa mengucapkan terima kasih, tidak menyangka Naka akan memenuhi keinginan terakhir putrinya itu.“Tiap bulan aku akan mengirimu uang bulanan. Akan ada toko, dan kau bisa mengurusnya.” Naka memang memberikan usaha, tidak besar. Hanya mini market saja, untuk kesibukan Elvan yang sudah tua itu.“Aku senang bisa bekerja kembali,” ungkap Elvan, daripada dia diam saja di rumah.“Adela dan Sarah, urusanku. Jangan ikut campur, mereka hanya akan menyusahkanmu. Lagipula Sarah juga bukan putrimu, tidak ada kewajibanmu untuk memberikannya nafkah,” kata Naka dengan kejamnya.Elvan menghela napasnya panjang, Naka sudah menceritakan semua keburukan ke
Dua pekan sudah usai kepergian Ivanka, semua berusaha untuk berjalan seperti semula. Anulika dan Naka yang disibukkan dengan dua bayi kembar mereka, beruntung bantuan datang. Mama Elise yang masih di sana membantu Lika, Mama Nyra yang sudah berhubungan baik dengan menantunya, juga Papa Ben yang siap membantu.Huaaaa.. Hoek hoek hoek..Suara tangis si kembar memecah keheningan siang, Lika yang baru memejamkan mata sepuluh menit saja, langsung ditarik kesadarannya untuk bangun.Dengan cepat dia beranjak ke boks bayi di kamar si kembar, “Sayang mami kenapa?” tanya Lika dengan penuh kasih.Seketika kepalanya terasa pusing, efek kurang tidur dan dibangunkan dengan paksa.“Aduh kepala mami pusing, sayang.” Lika memegang kepalanya yang terasa sangat berat.Ceklek..Pintu dibuka, Mama Nyra yang sedang berkunjung masuk begitu mendengar suara tangis cucunya. Tadinya hanya satu yang menangis, kini menjadi dua bagi sekaligus yang menangis.“Bangun yah,” kata Mama Nyra dengan ramah.Lika menoleh,
Pemakaman Ivanka disiapkan dengan penuh penghormatan. Naka memastikan segala sesuatunya sempurna, dari bunga-bunga yang Ivanka sukai hingga foto-foto Ivanka yang menghiasi sisi-sisi peti mati. Saat prosesi pemakaman, Naka berdiri dengan kepala tertunduk, merenungi semua kenangan yang pernah mereka bagi, berharap dia bisa memberikan lebih banyak lagi untuk Ivanka, berharap ada lebih banyak waktu. Namun, semua hanya tinggal kenangan yang terpahat dalam hatinya, sebuah luka yang akan selalu dia bawa.“Kuatlah son, papa yakin Ivanka sudah tenang di sana,” kata Papa Ben menenangkan dan menguatkan putranya.Pemakaman itu terletak di sebuah bukit yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan rindang. Udara dingin berhembus perlahan, membawa aroma tanah yang baru digali dan bunga-bunga segar yang diletakkan di atas kuburan. Bebatuan nisan berdiri tegak, seolah-olah menjadi penjaga bagi mereka yang telah pergi.Sejumlah besar orang berkumpul, wajah-wajah mereka penuh dengan kesedihan
Kamar rumah sakit yang sunyi itu hanya terdengar desah napas yang berat dari Ivanka, istri pertama Naka yang sudah lama berjuang melawan kanker. Lika, istri kedua Naka, yang baru saja melahirkan anak kembar, terpaku di depan pintu, menatap lemahnya sosok wanita yang telah banyak berbagi cerita dengannya selama penyakit itu menggerogoti tubuhnya.Dengan langkah gontai, Lika mendekati tempat tidur Ivanka. "Kak Iva," suaranya serak, penuh emosi. Ivanka, mendengar suara Lika, perlahan membuka mata yang sudah sangat sayu, dan dengan sisa kekuatan yang ada, dia mencoba mengedipkan mata sebagai isyarat bahwa dia mendengar.“Kak Iva.. Ini Lika,” lirihnya. Ivanka bahkan menganggap Lika sebagai adiknya, karena memang Lika masih sangat muda.Dalam detik-detik terakhir, keinginan terbesar Ivanka adalah bertemu dengan Lika sekali lagi. Dia ingin memeluk Lika, memberikan seluruh cinta dan restunya, sebuah pelukan terakhir yang penuh dengan harapan dan doa untuk kebahagiaan keluarga yang akan diting
Benedito dan Nyra segera ke ruang rawat Ivanka, mereka menjenguk menantu pertama mereka itu.“Ivanka,” panggil Papa Ben dengan lembut.Ivanka hanya memberi tatapan sayunya, papa Ben memegang tangan menantunya dengan lembut, memberi usapan tanda penyemangat darinya.“Sembuh sayang, sehat..”“Papa..” lirih Ivanka mengedipkan matanya pelan.Nyra menatap menantunya, demi apapun sejak dulu dia tidak pernah menyukai Ivanka. Karena putri dari Adela, dia terpaksa menikahkannya dengan Naka, agar tidak lagi diancam Adela perihal jati diri Naka. Namun kini semua sudah terungkap, dan lagi Ivanka sedang terbaring lemah karena penyakitnya.“Ma,” panggil Papa Ben, meminta istrinya mendekat.Dengan mata berkaca-kaca, Nyra mendekat ke arah ranjang.“Mama,” lirih Ivanka, tangannya bergerak dan reflek Nyra mengenggamnya.“Ma..” Ivanka memanggil lagi.Nyra mengangguk pelan, “Maafkan mama ya,” gumam Nyra pelan sekali. Ivanka membalas dengan senyuman tipisnya.Dia sudah sangat siap untuk pergi, dulu dia pe
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya