Naya mencuri pandang ke belakang punggung penjual daging. Memastikan kini pukul berapa karena ia tak bisa berlama-lama di pasar. Pekerjaan di ladang Kardi masih banyak sedangkan waktu yang tersisa hanya beberapa hari saja.“Setengah delapan. Aku lanjut besok saja,” gumam Naya begitu melihat dengan jelas jam yang menggantung di dinding.Tidak ingin terlambat, Naya langsung pulang dan tidak lupa mampir untuk membeli dua kilogram beras dan setengah kilo ikan tongkol kesukaan sang ibu.Meskipun upah mengangkat barang dan membantu pedagang menggelar dagangannya tidak banyak, tapi cukup untuk makan sang ibu. Jika sang ibu sudah terjamin, maka Naya pun akan tenang menjalani hidupnya yang berat.Selama perjalanan pulang Naya tidak berhenti bersenandung. Sesekali mengangkat dua kantong plastik hasil kerja kerasnya dan semua itu akan dipersembahkan untuk sang ibu. Hanya untuk ibu, karena hanya ibunya yang menjadi alasan bagi Naya untuk hidup dan bertahan hingga detik ini.Tidak peduli dengan ma
Naya tidak diizinkan untuk ikut duduk di ruang tamu. Ia diminta Rendi untuk langsung pergi ke gudang, sedangkan pria itu duduk di ruang tamu. Menunggu kedatangan anggota keluarganya yang tak tahu kini entah di mana.Senja sudah menjelang seharusnya mereka semua sudah berkumpul di rumah seperti biasa. Tapi, nyatanya Rendi tak menemukan keberadaan mereka. Kecuali Lisa, ya, ia berdiam diri di kamar untuk belajar. Meskipun otaknya rada geser sedikit, tapi ia tetap mengutamakan nilai demi kelulusannya.“Akhirnya kalian datang juga. Darimana?” tanya Rendi, tanpa menoleh ke arah Aira dan Kendra yang baru saja datang. Disusul Herni yang wajahnya tampak semakin masam saja.“Baru tutup,Yah.” Aira menyahut. Dan demi terlihat seperti menantu idaman, ia duduk di sofa yang ada di depan Rendi. “Ayah sudah makan belum? Aku ambilkan makan atau minum, ya?”Rendi menggeleng. “Tidak perlu.” Bangkit dari tempatnya duduk. “Katakan pada suamimu, ceraikan Naya sekarang juga.”“A-apa!” Aira tersentak. Tidak t
"Naya ….! Keluar sebentar!" ajak Kendra, langsung saja meminta Naya keluar dari gudang tanpa berbasa-basi. Padahal Naya sedang meringkuk, menangis di atas kasur tipis yang digelar di lantai.Mata Naya terpejam kuat. Menyesali dirinya yang mau saja percaya dengan ucapan Rendi, yang memintanya agar tak mengunci pintu.Tadi kata Rendi sih, begini, "Naya, nanti saya akan mengajakmu ke luar seperti waktu itu. Jadi pintunya jangan dikunci agar saya bisa membangunkanmu tanpa mengetuk pintu dan malah mengusik tidur yang lain."Namun, nyatanya apa? Rendi tidak datang, yang datang justru Kendra yang tiba-tiba saja memintanya untuk keluar. Apa salahnya pria itu sedikit berempati padanya? Setelah semua luka dan duka yang didapatkannya. Tidakkah Kendra merasa iba dengan kisah hidup yang ia jalani?Naya tersenyum tipis. Berusaha membawa tubuhnya yang telah mati rasa untuk bangkit. Duduk dan menatap Kendra yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan pongahnya menatap Naya yang kini tak
"Mau menikahi Naya, kenapa nggak cerai dulu kalau memang begitu ceritanya," tutur pak kades begitu Rendi selesai dengan segala keluh kesah dan menyampaikan niat kedatangannya ke kantor balai desa. Dengan membawa beberapa foto copy, syarat untuk pengajuan pernikahan secara resmi."Lagipula, Naya itu anak yang sangat baik. Tapi sayangnya takdir yang tertulis untuknya sangatlah buruk. Dan kata orang, jika seorang anak gadis gagal dengan ayahnya, maka dia akan mendapatkan lebih dari sosok suami. Saya rasa pernikahanmu dengannya bisa membawa kebaikan," sambung pria paruh baya tersebut seraya memilah dokumen yang diberikan Rendi.Rendi menghela nafas panjang. "Saya pernah mendengar kalimat seperti itu. Tapi, saya tidak yakin menjadi orang yang dimaksud untuk Naya. Karena umur kami yang terpaut jauh dan saya pun tidak mau mengambil langkah yang membuatnya masuk ke dalam masalah yang lebih pelik daripada ini.""Maksudmu? Pernikahan ini hanyalah sebuah status?"Rendi mengangguk. "Saya ingin me
Sudahlah lelah pulang dari toko, sampai di rumah Herni malah dikejutkan dengan suasana rumah. Tadi pagi ditinggal dalam keadaan sepi, pulang-pulang sudah ada beberapa orang yang tengah mendirikan tenda di halaman rumah. Beberapa orang di dalam rumah, mendekor dengan khas pernikahan."I-ini apa-apaan? Siapa yang meminta kalian melakukan ini pada rumahku?!" hardik Herni. Menarik kain yang menghalangi jalannya. "Kalian salah alamat kali, ya? Bisa-bisanya mendirikan tenda dan pelaminan di rumah orang tanpa izin begini!" sambungnya. Masih dengan tangan yang berusaha merusak dekorasi yang telah terpasang."Bu, eh, kok malah ditarik-tarik begini? Bisa rusak semua alat-alat kami ini," tegur seorang pria separuh matang dengan kutek di jari jemarinya. "Lagipula kami semua nggak mungkin kerja tanpa izin dari yang punya rumah. Kami nggak gila seperti Ibu yang tiba-tiba saja datang dan ngamuk, padahal suaminya sendiri yang memberikan perintah.""Suami saya?" Herni menunjuk dirinya sendiri."Iya. B
Sebelum pulang, Naya pergi ke pasar sesuai dengan keinginannya.Dan tentu saja Rendi sabar menunggu di mobil karena Naya tidak mengizinkannya untuk ikut. Katanya, sih, sekali rahasia maka selamanya akan menjadi rahasia. Rendi boleh tahu ketika mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri.Meskipun penasaran setengah mati, tapi Rendi tetap menahan diri agar tak iseng mencari tahu apa yang sedang dibeli Naya ke dalam pasar. Katanya sangat penting dan rahasia, tapi Naya pergi hanya sepuluh menit saja.Setelah sepuluh menit berlalu, Naya sudah datang dengan sebuah kotak yang dibungkus kantong kresek hitam. Naya memeluk sebelum masuk ke mobil dan mengajak Rendi untuk pulang.“Nanti sampai rumah kamu langsung masuk ke kamar lewat pintu samping. Jangan banyak tanya karena semua yang ada saya persembahkan untukmu, Nay,” ungkap Rendi sebelum menyalakan mobil dan mulai bergerak meninggalkan pasar.“Iya, Pak,” sahut Naya cepat. “Terserah mau gimana. Mau resepsi atau tidak, aku nggak peduli. M
"Sah."Satu kata yang menggema di ruangan yang telah disulap sedemikian rupa tersebut. Satu kata yang juga diiringi dengan untaian doa untuk sepasang anak manusia yang kini telah resmi menjadi sepasang suami istri.Sah di mata agama, begitupun di mata negara. Naya dan Rendi, kini diminta untuk menandatangani buku nikah mereka yang telah dipersiapkan. Dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari bibir mereka berdua.Begitupun dengan Tio, yang sumringah. Mendapatkan tambang emas baru yang siap menanggung hidupnya. Kalau sudah begini, Tio tak lagi perlu memohon dan meminta kepada Herni. Ia cukup menagih janji Rendi seperti janji yang ditinggalkan pria itu di tempat judi.Lima juta perminggu. Dan uang tunai sepuluh juta setelah resepsi pernikahan dilangsungkan. Sudut bibir Tio terangkat, tak sabar menunggu hari esok usai demi uang sepuluh juta yang telah dijanjikan.Sehingga hidangan sederhana yang kini tersaji, tak membuatnya tergoda sama sekali. Meskipun ada sup daging kesukaannya, yan
"Kamu tidak akan mengerti," balas Rendi. Terpaksa menjepit jagoannya diantara kedua pahanya agar tak lagi menyembul keluar. "Lihat, dia hanya menggertak saja." Sedikit terkekeh agar Naya tak lagi banyak bicara.Naya mengangguk. Paham nggak paham tetap memasang wajah serius, seakan mengerti apa yang dikatakan Rendi. Padahal ia tidak tahu Rendi tengah terasa ngilu karena terjepit di kedua pahanya."Pak …." Seru Naya seraya menusuk lengan padat Rendi dengan jari telunjuknya.Rendi yang telah aman bersembunyi dibalik selimut tebal, terpaksa menoleh. Mati-matian menahan diri agar tak memakan Naya yang kini menatap padanya. Tali spaghetti gadis itu juga sudah jatuh ke lengannya. Semakin membebaskan Rendi menikmati bagian atas tubuh Naya.Namun, Naya memasang wajah polos agar Rendi tak tahu ia sengaja melakukan hal gila tersebut."I-iya, kenapa?"Rahang Rendi mengeras. Seiring dengan geliat tak terbendung pada jagoannya."Aku dingin. Boleh peluk?""Kan ada selimut, Nay."Naya menggeleng. "Ka