Baru juga Kendra sampai di toko, ia harus putar balik pulang ke rumah karena Aira sudah menutup toko mereka. Dengan perasaan kesal ia kembali karena menganggap Aira malas. Belum pukul enam sore toko sudah ditutup, bagaimana caranya bisa mendapatkan pembeli kalau buka lambat tutup cepat, pikirnya.Dan ketika rasa kesal Kendra belum hilang, ia sudah dikejutkan dengan keadaan rumah. Kedua orang tuanya duduk bersisian di sofa, Aira di sofa tunggal, Naya duduk bersimpuh di lantai. Dan Lisa berdiri bersandar di dekat Aira. Mereka semua memasang wajah tegang sehingga Kendra ikut duduk dengan tanda tanya besar di kepalanya.“Ada apa ini?” tanyanya setelah sepersekian detik diam memperhatikan.“Itu, istrimu memberikan obat perangsang kepada Naya sampai dia gila dan menggoda ayahmu!” sahut Herni ketus. Menyalahkan Aira tapi tatapan kebenciannya tertuju kepada Naya.Kendra menahan diri agar tak terpancing emosi. Karena ia masih bingung emosi yang tercipta entah untuk Naya atau Aira.Sehingga dis
Suasana hening di rumah sakit terasa semakin mencengkam. Ketika dokter mengatakan darah Kendra cocok dan bisa melakukan transfusi darah untuk Randi.Shock dan tak terima. Rendi merasakan dua perasaan tersebut mengaduk hatinya. Seakan menegaskan ucapan sang ibu beberapa tahun silam, itu benar.Tepatnya saat Kendra terserang DBD. Ia membutuhkan dua kantong darah tapi, Rendi tidak bisa melakukannya. Hari itu Herni mengatakan darah Kendra sama dengannya, tapi ia takut melakukan donor. Alhasil, Rendi mati-matian mencari kesana kemari mencari golongan darah O untuk Kendra.Dan ketika petugas sensus penduduk datang mendata mereka, Rendi ingat betul golongan darah Herni B. Sama seperti Lily, sedangkan dirinya A+. Dulu tak diambil pusing sampai sang ibu mengatakan, “Kamu masih terlalu muda untuk menikah. Dua puluh dua tahun, tapi ada satu hal yang harus kamu tanggung sehingga kami terpaksa memberi restu.”Tidak dalam keadaan sadar. Sang ibu berbisik kepadanya ketika ia tidur. Dikala melepas ri
Mau memeluk, tapi Naya sadar dirinya dan Rendi tidak memiliki ikatan yang halal. Tapi, ia tetap ingin menyentuh pria yang telah mengalihkan cintanya. Sehingga ia tidak pernah lagi merasakan sakit hati, meskipun melihat Kendra bersama Aira dan Lisa.Rasa cintanya terhadap Kendra sudah tertutup rapat. Tak ada lagi tersisa, meskipun hanya puing-puingnya saja. Terlalu berlebihan? Tidak, justru rasa sakit ditorehkan Kendra lah yang membuatnya mudah melupakan pria itu.Sehingga kepedulian dan perhatian Rendi, telah membuatnya bertekuk lutut. Menuntunnya untuk menyentuh pipi Rendi yang kini ditumbuhi rambut halus. Perlahan Naya mengusap. Sudut bibirnya terangkat, senang pagi ini terbangun di dalam dekapan Rendi.Entah bagaimana caranya Naya sudah lupa. Yang jelas tiba-tiba saja Rendi merangkul dan menuntunnya untuk berbaring. Sehingga mereka berdua tidur seraya berpelukan, sama-sama merasakan kehangatan dan kenyamanan. Terutama Rendi yang sedang merasakan patah hati terbesar dalam hidupnya.
“Saya pernah kutuk Bapak nggak bisa bangun lagi kalau sama dia!”Rendi menarik nafas dalam-dalam. Menghembuskan secara perlahan, menatap Herni yang masih tidur di ranjang. Istrinya itu tampak terlelap dalam tidurnya meskipun masalah tengah menyapa rumah tangga mereka berdua. Herni juga membiarkan saja pakaiannya berserakan di lantai dan berbaring dengan tubuh polos. Hanya selimut saja yang menjadi penutup tubuhnya.Rendi perlahan mendekat. Duduk di tepi ranjang dengan tatapan yang Terarah kepada Herni. Secara perlahan pula ia membuka selimut dan menyentuh satu bola kenyal yang menggantung. Mata Rendi terpejam. Mencoba membayangkan betapa nikmatnya sebuah percintaan.“Mas?” Herni menangkap pergelangan tangan Rendi yang berani mengusik tidurnya. Ingin rasanya Herni marah, tapi ingat Randi tak lagi bisa diandalkan maka amarah itu segera hilang.“Aku ingin memastikan sesuatu.” Mendekatkan wajahnya dan memagut bibir Herni, pelan tapi menuntut. Berharap ucapan Naya tadi hanyalah bualan sema
Naya mencuri pandang ke belakang punggung penjual daging. Memastikan kini pukul berapa karena ia tak bisa berlama-lama di pasar. Pekerjaan di ladang Kardi masih banyak sedangkan waktu yang tersisa hanya beberapa hari saja.“Setengah delapan. Aku lanjut besok saja,” gumam Naya begitu melihat dengan jelas jam yang menggantung di dinding.Tidak ingin terlambat, Naya langsung pulang dan tidak lupa mampir untuk membeli dua kilogram beras dan setengah kilo ikan tongkol kesukaan sang ibu.Meskipun upah mengangkat barang dan membantu pedagang menggelar dagangannya tidak banyak, tapi cukup untuk makan sang ibu. Jika sang ibu sudah terjamin, maka Naya pun akan tenang menjalani hidupnya yang berat.Selama perjalanan pulang Naya tidak berhenti bersenandung. Sesekali mengangkat dua kantong plastik hasil kerja kerasnya dan semua itu akan dipersembahkan untuk sang ibu. Hanya untuk ibu, karena hanya ibunya yang menjadi alasan bagi Naya untuk hidup dan bertahan hingga detik ini.Tidak peduli dengan ma
Naya tidak diizinkan untuk ikut duduk di ruang tamu. Ia diminta Rendi untuk langsung pergi ke gudang, sedangkan pria itu duduk di ruang tamu. Menunggu kedatangan anggota keluarganya yang tak tahu kini entah di mana.Senja sudah menjelang seharusnya mereka semua sudah berkumpul di rumah seperti biasa. Tapi, nyatanya Rendi tak menemukan keberadaan mereka. Kecuali Lisa, ya, ia berdiam diri di kamar untuk belajar. Meskipun otaknya rada geser sedikit, tapi ia tetap mengutamakan nilai demi kelulusannya.“Akhirnya kalian datang juga. Darimana?” tanya Rendi, tanpa menoleh ke arah Aira dan Kendra yang baru saja datang. Disusul Herni yang wajahnya tampak semakin masam saja.“Baru tutup,Yah.” Aira menyahut. Dan demi terlihat seperti menantu idaman, ia duduk di sofa yang ada di depan Rendi. “Ayah sudah makan belum? Aku ambilkan makan atau minum, ya?”Rendi menggeleng. “Tidak perlu.” Bangkit dari tempatnya duduk. “Katakan pada suamimu, ceraikan Naya sekarang juga.”“A-apa!” Aira tersentak. Tidak t
"Naya ….! Keluar sebentar!" ajak Kendra, langsung saja meminta Naya keluar dari gudang tanpa berbasa-basi. Padahal Naya sedang meringkuk, menangis di atas kasur tipis yang digelar di lantai.Mata Naya terpejam kuat. Menyesali dirinya yang mau saja percaya dengan ucapan Rendi, yang memintanya agar tak mengunci pintu.Tadi kata Rendi sih, begini, "Naya, nanti saya akan mengajakmu ke luar seperti waktu itu. Jadi pintunya jangan dikunci agar saya bisa membangunkanmu tanpa mengetuk pintu dan malah mengusik tidur yang lain."Namun, nyatanya apa? Rendi tidak datang, yang datang justru Kendra yang tiba-tiba saja memintanya untuk keluar. Apa salahnya pria itu sedikit berempati padanya? Setelah semua luka dan duka yang didapatkannya. Tidakkah Kendra merasa iba dengan kisah hidup yang ia jalani?Naya tersenyum tipis. Berusaha membawa tubuhnya yang telah mati rasa untuk bangkit. Duduk dan menatap Kendra yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan pongahnya menatap Naya yang kini tak
"Mau menikahi Naya, kenapa nggak cerai dulu kalau memang begitu ceritanya," tutur pak kades begitu Rendi selesai dengan segala keluh kesah dan menyampaikan niat kedatangannya ke kantor balai desa. Dengan membawa beberapa foto copy, syarat untuk pengajuan pernikahan secara resmi."Lagipula, Naya itu anak yang sangat baik. Tapi sayangnya takdir yang tertulis untuknya sangatlah buruk. Dan kata orang, jika seorang anak gadis gagal dengan ayahnya, maka dia akan mendapatkan lebih dari sosok suami. Saya rasa pernikahanmu dengannya bisa membawa kebaikan," sambung pria paruh baya tersebut seraya memilah dokumen yang diberikan Rendi.Rendi menghela nafas panjang. "Saya pernah mendengar kalimat seperti itu. Tapi, saya tidak yakin menjadi orang yang dimaksud untuk Naya. Karena umur kami yang terpaut jauh dan saya pun tidak mau mengambil langkah yang membuatnya masuk ke dalam masalah yang lebih pelik daripada ini.""Maksudmu? Pernikahan ini hanyalah sebuah status?"Rendi mengangguk. "Saya ingin me