Bismillahirrahmanirrahim.
“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu. Benarkan dugaanku," seru Bang Jun menuduhku tanpa bukti. Whats? Sisihkan untuk ibu? Mana pernah aku memberi uang pada ibu, justru ibu yang sering memberi Nisa dan Dio secara diam-diam. Aku malu pada ibu, tidak pernah menyelipkan uang ke tangannya. Setiap kali ibu datang, selalu tangan keriputnya itu menyelipkan uang ke tangan cucunya. Alih-alih untuk jajan cucu katanya, padahal ibu tahu aku sering kekurangan. Sering aku tolak, ibu malah sedih. Sejak saat itu aku tidak pernah menolak lagi bantuan dari ibu.Sekarang, dengan seenak perutnya, Bang Jun menuduhku menyisihkan sebagian uang itu untuk ibuku. Sungguh kejam dan terlalu kamu Bang. Pikiranmu sungguh sempit Bang!“Jangan menuduh sembarangan Bang, kapan aku kasih uang ke ibu? Untuk memenuhi kebutuhan kita saja masih kurang, Terus bagaimana caraku kasih ibu! Jangan menuduhku sembarangan."“Bisa saja-kan, setelah aku pergi, kamu buru-buru temui ibumu lalu kasih uang? Makanya kamu selalu bilang uang itu kurang. Kamu tidak bersyukur, sudah hidup enak masih saja mengeluh.”Hidup enak? Enak dari Hongkong. Bisa-bisanya Bang Jun bilang selama ini aku tidak pernah bersyukur.Aku diam mematung mendengar ucapan Bang Jun, percuma berdebat. Dengan berat hati kuterima saja uang 500 ribu itu dengan perasaan kecewa dan marah dalam dada. Rasanya mau kubalikin saja uang itu padanya. Uang 1 juta saja aku sudah kerepotan mengaturnya, apa tah sekarang dikurangi. Entah bagaimana caraku mengatur uang itu untuk sebulan.“Abang berangkat! Hati-hati di rumah!” Ucapan Bang Jun tak lagi kuhiraukan. Geram rasanya bila diperlakukan begini, aku seperti seorang pengemis di hadapannya. Dulu bang Jun adalah lelaki penuh tanggung jawab, sejak kami berjauhan, Bang Jun terlihat berbeda. Apa mungkin ada perempuan lain yang menarik hatinya. Ah! Pikiran buruk ini kenapa muncul di saat yang tidak tepat. Rasanya tak mungkin Bang Jun berpaling ke lain hati. Melihat sikap dan kasih sayangnya selama ini.Pernikahan kami bukan pernikahan seumur jagung. Kami telah mengarungi riak gelombang rumah tangga hampir mendekati angka 10 tahun. Selama itu Bang Jun adalah suami yang penyayang. Ya, aku ingat betul, setahun terakhir ini saja, Bang Jun mulai perhitungan dengan uang.Aku segera berlalu ke kamar, menyimpannya di lemari. Dua bulir air mata lolos begitu saja, membayangkan uang 500 ribu untuk biaya kami bertiga selama 1 bulan ke depan. Sungguh tega kamu Bang! Aku kira aku akan mendapatkan tambahan 200 ribu seperti yang telah ia janjikan bulan lalu. Bukannya dapat tambahan malah berkurang. Menyesal aku minta tambah, jika tahu begini jadinya.Aku duduk mendesah di pinggiran tempat tidur. Apa yang bisa kulakukan agar uang 500 ribu itu beranak pinak. Kujadikan modal usaha, tapi usaha apa dengan modal minim.Aku pandangi Dio yang tengah tidur, anak sekecil ini hanya taunya minta jajan. Kalau tidak diberi, maka Dio akan menangis sepanjang hari. Nasehatku berlalu bagaikan diterbang angin. Aku selalu berusaha menjelaskan padanya, agar tidak minta jajan terus menerus. Tapi namanya anak kecil mana mengerti. Mana mau tahu. yang penting jajannya terpenuhi.Ya, aku tidak bisa begini terus. Aku harus bekerja sambil mengurus rumah dan tetap bisa menjaga Dio. Aku harus siap dengan kemungkinan terburuk nantinya. Apa lagi setelah melihat perubahan Bang Jun, yang mulai memprihatinkan. Tengah pikiran melalang buana kian kemari, muncul putri sulungku Nisa yang baru pulang dari bermain. Nisa, usianya 8 tahun. gadis kecil kebanggaan dan kesayanganku. anak sekecil ini sudah dituntut untuk mengerti kondisi keuangan mamanya. tidak banyak menuntut ini dan itu.“Ma, kata Wak Depi mama jualan gorengan saja. Tadi katanya gorengan yang Nisa makan enak.”“Emang tadi Wak Depi makan bakwan buatan Mama?”“Iya Ma, tadi sebelum main aku bawa 2 biji. Satunya aku kasih Ica. Nah Ica membaginya dengan Wak Depi." Nisa cerita dengan penuh semangat, itulah kelebihan Nisa dia paham dan tahu apa yang dialami mamanya.Aku sering memberi pengertian pada Nisa, kenapa tidak boleh jajan banyak-banyak, karena uang mamanya ini sedikit.Aku lebih sering membuat makanan ringan, supaya mereka tidak terus minta uang jajan. Alhamdulillah Nisa cukup mengerti, karena usianya sudah cukup besar. Tapi Dio masih terlalu kecil, mana mengerti nasehatku.Seketika muncul ide di kepalaku, dengan jual gorengan memang tidak butuh modal besar. Aku bisa jualan di depan rumah saja. Lagian banyak orang yang berlalu lalang. Tarok meja di teras. Dengan begini, aku tidak kesulitan lagi untuk membiayai hidupku, Nisa dan adeknya Dio yang berusia sekitar 3 tahun. Mereka bisa jajan sepuasnya. Mudah-mudahan saja daganganku laku keras. Semoga bisa aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk ibu. Itulah keingian terbesarku saat ini.“Baiklah, mulai besok mama mau jual gorengan. Nisa mau bantuin mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang jingkrak-jingkrak kegirangan, rambut Nisa yang dikuncir kuda ikut bergoyang karenanya. aku hanya tersenyum bahagia melihat Nisa tertawa.Kuelus pucuk kepala Nisa dengan sayang, kuciumi pipinya tiada henti, anak yang kusayangi sepenuh hati dengan harapan besar tersemat dalam dada. Semoga putriku menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua. Menjadi Dokter seperti keinginannya. Semoga saja suatu saat impiannya tercapai.Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.“Jangan lupa klik tombol berlangganan ya.“Baiklah mulai besok Mama mau jual gorengan. Nisa mau bantu Mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang. Gadis kecil itu loncat-loncat kegirangan. Aku tersenyum lebar, kebahagiaannya pelipur lara bagiku. Hilang rasanya semua beban berat yang kupikul. Bagiku, kehadiran Nisa itu ibarat oase di gurun pasir. Menyejukkan dan menentramkan hati yang sedang gundah gulana.“Emang Nisa tidak malu punya Mama penjual gorengan?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau nanti Nisa rendah diri, lalu mengurung diri di kamar akibat rasa malu. Apalagi bila ada temannya yang melihat pekerjaanku.Nisa menggeleng cepat. “Untuk apa malu, temanku ada yang jualan di sekolah.”“Hah! Benarkah, jualan apa?” tanyaku tidak percaya.“Itu, pembatas buku,” sahutnya menatapku, seraya mengedipkan mata.“Pembatas buku-kan beda sama gorengan, lebih bersih gak ada noda minyak.”“Kan yang jualan Mama, bukan aku, kenapa pusing, kenapa harus malu. Kalau mama menc
Bismillahirrahmanirrahim.Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis bahkan cenderung kurang. Aku harus tambah dagangan, supaya tidak mengecewakan pelanggan. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain. Aku tidak menyangka daganganku laris manis. Mungkin inilah rezeki Nisa dan Dio, yang tidak bisa dipenuhi oleh ayahnya. Asal mau usaha, pasti ada hasilnya. Senyumku merekah seketika.Nantilah aku pikirkan sambil jalan. Cari pegawai yang jujur juga tidak mudah. Perlu kehati-hatian, supaya usahaku tidak gulung tikar. Meskipun jualan remeh, bagi pandangan sebagian orang. Tapi bagiku sangat menyenangkan. Tapi tidak perlu berkecil hati, yang penting halal.Besok adalah waktunya Bang Jun pulang. Aku segera memasukkan meja ke dalam, biar Bang Jun tidak curiga. Kalau Bang Jun tahu, ia bisa marah besar. Tak lupa aku tarok pengumuman, bahwa hari Sabtu dan Minggu libur. Supaya tidak ada pelanggan yang datang keesokan harinya. Jadi jualannya 5 hari saja, dari
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah jarak. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahny
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri. Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku
Bismillahirrahmanirrahim.“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jeng
Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras
Bismillahirrahmanirrahim.Ucapan terakhir Bu Mita menyentil hatiku. Apa mungkin Bang Jun juga punya wanita lain di kota. Bukan tidak mungkin bukan? Karena sifatnya jauh berbeda. Mana ada lelaki yang tahan hasratnya tidak tersalurkan. Mendadak hatiku sakit dan hancur, bila kenyataan itu benar. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.“Bu Arini kok melamun? Apa perkataan saya menyinggung ibu.”Aku segera tersadar dari lamunan. “Oh, eh tidak Bu Mita. Maaf tadi saya sempat kaget dengar perkataan ibu, kalau suami ibu selingkuh. Benarkah itu? Atau hanya gosip miring belaka,” ucapku menyangsikan. Aku ragu dengan perkataan bu Mita.Rasanya kok tidak percaya, orang yang sudah mengikat janji suci berani menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan. Apakah mereka tidak berpikir dua kali apa dampak terhadap keluarga kedua belah pihak, apalagi bagi mereka yang memiliki keturunan. Semudah itukah menikah kemudian cerai lalu menikah lagi. Tak bisakah memiliki pasangan seumur hidup. Walla
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ouh pantes saja pelangganku lari ke sini semua, pelet apa yang kamu gunakan Arini, sehingga semua orang berkerumun kayak semut begini.” Tanpa kuduga, seorang wanita berteriak dan mengeluarkan tuduhan tidak masuk akal padaku. Aku jelas terpana dan terperanjat kaget.Aku yang tengah membungkus pesanan Bu Ratna mengernyitkan kening. Sesaat pergerakan tanganku terhenti, netraku mengarah pada perempuan yang sedang berkacak pinggang itu.Kulihat napasnya menderu kencang, rambut awut-awutan diterbangkan angin. Matanya melotot tajam padaku. Rasanya ingin kuberlari menghindar, bila perlu sembunyi ke lubang semut, dari pada dapat amukan tidak jelas begini.“Apa maksud Bu Nuri,” tanyaku dengan wajah bingung. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku dongakkan kepala menatapnya.“Kamu masih nanya apa maksudku?” balas perempuan itu sengit. Sekarang matanya melotot tajam, seakan hendak melahapku hidup-hidup.Beberapa pembeli yang masih antri, sebagian tengah memakan bakwan
Bismillahirrahmanirrahim.“Kenapa ya Mit, Bang Juna melakukan ini padaku.”“Tentu saja ia ingin hidup enak denganmu. Sejarah, sekarang ini kamu wanita karier berpenghasilan besar. Tentu rugi bagi Juna itu berpisah denganmu."“Tapi, apa harus dengan cara mengambil paksa Nisa dariku, sehingga membuatku urung bercerai darinya. Itu membuatku semakin ilfil dan benci padanya.”“Jangan heran, uang bisa mengubah perilaku orang Rin, termasuk suamimu itu.”Aku mengangguk menanggapi perkataan Mita, ada benarnya juga sih. Aku tak heran, sejak ibu tahu aku memiliki usaha kafe itu, sifatnya mulai berubah. Percuma ibu mengambil hatiku sekarang, karena sudah tidak ada gunanya. Ibarat kata orang, sudah terlambat. Hatiku terlanjur sakit dan mati rasa.Suasana hening sejenak, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.“Eh Arini, aku ada ide. Bagaimana kalau sementara ini, kita biarkan saja Nisa tinggal sama ayahnya. Paling juga tidak bertahan lama, sejarah lelaki itu pasti akan terbebani dengan mengurus N
Bismillahirrahmanirrahim.Hampir setengah jam aku berdiri terpaku di depan mobil, namun Nisa tidak kelihatan juga batang hidungnya. Kenapa lama sekali anak itu muncul, apa ia sedang menangis lagi di kelas? Kayak waktu itu, batinku dalam hati. Sementara anak-anak yang lain sudah pulang dari tadi. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku jadi khawatir dibuatnya. Salahku juga sih tadi, datang terlambat. Bukan disengaja, tapi saat akan berangkat, Dio ingin pipis lebih dulu. Aku hanya telat 10 menit, kok bisa-bisanya Nisa tidak ada di sekolah. Aku semakin gelisah tak karuan.Apa Bang Juna yang menjemputnya lalu membawanya kabur. Kepanikan melandaku sesaat. ‘Ya Allah lindungi anakku.’ Bisikku dalam hati.Dengan langkah cepat seakan hendak berlari, aku meluncur ke gerbang sekolah. Lalu terus berjalan menuju ruang kelas, sesampainya di sana ruangan itu kosong melompong tanpa penghuni. Terus Nisa di mana? Tidak ada siapa pun tempat untuk bertanya. Aku beralih ke ruang guru dan menanyakan keberadaa
Bismillahirrahmanirrahim.Hari demi hari terus berganti, tak terasa tiba saatnya bagiku melakukan tes DNA ulang terhadap bayi Mbak Zara dan Bang Juna. Aku sendiri yang turun tangan, biar lebih yakin. Supaya tidak ada lagi kecurigaan dan keterangan yang berbeda. Jangan sampai kali ini ada kekeliruan. Itu tidak akan kubiarkan terjadi, kudu hati-hati.Setengah jam yang lalu, aku telah berada di sini. Memastikan semuanya berjalan lancar. Mbak Zara juga sudah aku beritahu, sekalian sharelok tempat tes dilaksanakan. Begitu juga dengan Bang Juna. Pasangan yang bertolak belakang itu kini seperti orang kayak musuhan saja. Padahal sebelumnya mereka telah melewati malam yang dingin untuk saling menghangatkan.Apa salahnya mereka membesarkan bayi itu dengan kasih sayang yang melimpah seperti layaknya orang tua lain pada anaknya. Bukan mengingkari keberadaan bayi itu, seperti yang dilakukan Bang Juna. Habis manis sepah dibuang, begitulah ibarat peribahasa. Aku datang lebih awal dibandingkan yan
Bismillahirrahmanirrahim.“Beberapa hari yang lalu, saat jemput Nisa di sekolah. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa aku ini, wanita yang tidak pandai berterima kasih, sudah ditolong malah sok jual mahal. Kalau boleh tahu, apa maksud perkataanmu waktu itu ya.” Arini memandang tak sabaran perempuan di depannya dengan rasa kepo tingkat tinggi. Wanita itu terdiam. Tak menyangka mungkin akan bertemu denganku di sini. Apalagi dengan pertanyaan to the poin yang aku lontarkan. Waktu itu jelas sekali mukanya tampak marah dan kesal. Apa ia tidak salah orang? Bagaimana bisa perkataannya itu dialamatkan padaku. Apa salahku? Jadi wajar bukan? Kalau aku bertanya. “Bisa jelaskan! Biar aku tidak kepikiran.” Sambungku lagi karena wanita ini tetap bungkam tanpa berkomentar apa pun. Sedangkan aku, sudah tak sabaran ingin mendengar langsung penjelasannya.Dret, dret.Tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu langsu
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Kita lakukan tes ulang, di mana tempatnya?" ucap ibu yakin. Tidak terlihat gentar dan takut, bila hasilnya tidak memihak padanya. Ibu sangat percaya diri nampaknya. Gantian aku yang gelisah, akibat terlanjur berjanji akan menerima Bang Juna seutuhnya bila hasil tes itu negatif. Sedangkan aku sangat berharap kali ini hasilnya positif. “Oh iya mengenai tempat tesnya biar ibu yang cari, kamu sangat sibuk, tentu tidak mungkin sempat—“ perkataan ibu langsung aku potong begitu saja. “Tidak Bu, tempat tes sudah aku tentuin. Pagi hari sebelum ke sana, aku info in tempatnya.”“A-apa,” tanya ibu terbata-bata.“Iya Bu, mengenai tempatnya ibu tidak perlu repot, aku sudah ada tempat untuk itu.”“Di mana?”“Pada hari H, aku akan sharelok ke ibu atau Bang Juna,” kataku datar.“Apa tidak bisa sekarang?”Aku menatap sejenak perempuan yang ada di hadapanku. Apa katanya tadi, minta share tempatnya sekarang? Yang benar saja, mana mungkin aku kasih tahu saat ini. Bisa-b
Bismillahirrahmanirrahim.Dengan kedua bukti di tangan, aku pergi sendiri ke rumah sakit, membuktikan keabsahan kedua surat itu. Untung Pak Andra memberitahuku tempat yang bisa dipercaya dan tidak mudah termakan sogokan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku. Katanya kedua surat keterangan itu sah tanpa ada pemalsuan. Kok bisa anak yang dilahirkan itu memiliki dua hasil tes yang berbeda. Rasanya kok aneh, siapa yang bisa aku percaya sekarang? Mbak Zara atau Bang Juna. Mereka berdua menunjukkan bukti yang benar.“Tidak salah apa yang dokter sampaikan, jadi kedua surat keterangan itu sah, bukan hasil rekayasa.”“Tentu saja kedua surat keterangan itu sah. Saya bisa pastikan tidak ada kekeliruan dari hasil tes itu.” Jelas Dokter seraya tersenyum ramah.“Itu tidak mungkin Dok? Satu anak memiliki dua hasil tes yang berbeda.” Ucapku menyangsikan keterangan yang dokter berikan.Dokter itu nampak mengernyit bingung, seraya berpikir.“Begini saja, tolong ceritakan lebih detail mengenai du
Bismillahirrahmanirrahim."Kabar ibu baik Nak, kabar kamu sendiri gimana? kabar cucu ibu--" ibu berhenti bicara, air matanya menetes tanpa dapat dicegah.“Alhadulillah kabarku baik, Kenapa Ibu menangis?”“Ibu kangen dengan cucu ibu, sejak kamu pergi waktu itu, ibu tidak bertemu dengan Nisa dan Dio lagi. Kamu juga tidak datang mengunjungi Ibu. Kenapa? Kamu masih marah pada Ibu dan Juna."Aku tersenyum seraya menggeleng, "Tidak bu, yang lalu biarlah berlalu. Lagian Nisa dan Dio baik-baik saja kok Bu, jangan khawatir.”“Alhamdulillah! Syukurlah! Ibu percaya kok sama kamu. Kamu pasti bisa mengurus mereka dengan baik."“Ada apa ibu datang ke sini?”“Maafkan ibu Arini, ibu tahu ibu banyak salah padamu. Ibu berharap, hubungan kalian bisa diperbaiki. Kini Zara telah melahirkan anaknya. Seperti yang kamu bilang dulu, jika Juna bisa membuktikan kalau anak yang dikandungnya bukan anak Juna, kamu bersedia menerimanya kembali. Sekarang Juna juga telah berubah menjadi lebih baik. Apa ada kemungkin
Bismillahirrahmanirrahim.“Baiklah! Kamu boleh pergi, tapi pergi sendiri. Abang tidak izinkan kamu bawa Dio dan Nisa.”Apa? Apa katanya?Aku pergi sendiri? Tidak boleh bawa Nisa dan Dio, yang benar saja.Mana bisa aku hidup tanpa mereka, merekalah penyemangatku. Demi merekalah aku rela membanting tulang selama ini. Kalau bukan demi mereka, tidak akan kulakukan pekerjaan itu. Seenaknya saja Bang Juna melarangku membawa anak-anak. Dasar lelaki tak punya hati, seenak perutnya saja bicara.Sekarang apa yang harus kulakukan, aku terduduk diam di tepian ranjang. Tinggal terpisah dengan kedua buah hatiku, membuatku tidak sanggup membayangkannya. Apa aku batalkan saja pergi dari rumah ini? Langkah apa yang harus aku tempuh. Aku bingung ya Allah, beri aku petunjuk dan jalan keluarnya.Aku tidak pernah membayangkan Bang Juna akan bersikap kekanak-kanakan begini. Tau begini akhirnya, menyesal aku terima dia kembali. Aku hanya bisa menarik napas panjang menahan kekesalan di hati.Sejenak aku berp
Bismillahirrahmanirrahiim.Sore itu, sepulang dari melihat apartemen bersama mas Syafiq, aku disambut Bang Juna dengan kecemburuan tiada habisnya. Bahkan dia menuduhku yang tidak-tidak. Apakah begitu gaya orang yang selingkuh, untuk menutupi belangnya, sekarang malah berbalik menuduhku selingkuh. Jadi tak ubah selingkuh, teriak selingkuh. Entahlah, aku malas memikirkannya, mumet kepalaku jadinya.Masalahku saja sudah cukup rumit, yang perlu ditangani segera. Mana ada waktu memikirian tuduhannya. Biarkan saja dia mau bilang apa, yang penting aku tidak melakukan seperti yang ia tuduh. Mita belum lama ini mengadu, kalau uang pendapatan terus merosot tajam. Siapa yang berani melakukan tindakan penggelapan uang pendapatan kafe. Ini harus aku selidiki lebih jauh, tak bisa dibiarkan begitu saja. Bisa jadi usaha yang baru aku rintis merugi, bila tidak diselidiki dengan cepat.Bang Juna terus saja minta penjelasan.“Apa maksud perkataan Abang? Abang menuduhku selingkuh dengan pria tadi, benar