Bismillahirrahmanirrahiim.“Ouh pantes saja pelangganku lari ke sini semua, pelet apa yang kamu gunakan Arini, sehingga semua orang berkerumun kayak semut begini.” Tanpa kuduga, seorang wanita berteriak dan mengeluarkan tuduhan tidak masuk akal padaku. Aku jelas terpana dan terperanjat kaget.Aku yang tengah membungkus pesanan Bu Ratna mengernyitkan kening. Sesaat pergerakan tanganku terhenti, netraku mengarah pada perempuan yang sedang berkacak pinggang itu.Kulihat napasnya menderu kencang, rambut awut-awutan diterbangkan angin. Matanya melotot tajam padaku. Rasanya ingin kuberlari menghindar, bila perlu sembunyi ke lubang semut, dari pada dapat amukan tidak jelas begini.“Apa maksud Bu Nuri,” tanyaku dengan wajah bingung. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku dongakkan kepala menatapnya.“Kamu masih nanya apa maksudku?” balas perempuan itu sengit. Sekarang matanya melotot tajam, seakan hendak melahapku hidup-hidup.Beberapa pembeli yang masih antri, sebagian tengah memakan bakwan
Bismillahirrahmanirrahim.“Cukup Bu Lisa, sudah cukup ibu mempermalukanku. Sebenarnya apa kesalahanku pada ibu, sehingga ibu berani memfitnahku.” Napasku menderu cepat, seakan dadaku mau sesak, karena kehabisan pasokan oksigen.Siapa sih orang yang mau direndahkan dan dipermalukan terus. Aku manusia yang punya hati dan perasaan. Kini aku tak bisa diam saja, kali ini aku harus melawan agar tidak terus dihina dan dipermalukan. Apalagi di depan umum kayak begini, siapa yang tidak gondok dibuatnya. Aku menarik napas panjang sebelum mengeluarkan kata-kata berikutnya."Selama ini aku diam saja, tapi ibu selalu ingin membuatku tidak punya muka. Bahkan ibu sering bilang, bahwa aku ini ibu yang pelit, suka memberi asupan tempe tahu saban hari pada anak-anakku.""Ada masalah apa ibu sama aku?" Kutatap wanita di depanku ini dengan amarah yang kini tak bisa lagi aku bendung.Tampak Bu Lisa kaget dan membelalak mendengar ucapanku. Biarkan saja, sesekali orang seperti Bu Lisa harus diberi pelajaran
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu tenang saja, wanita itu tidak pernah melihat saya langsung. Biasanya yang mengambil pesanan, selalu asisten saya, tapi kali ini ia berhalangan ikut karena sakit. Jadi tidak masalah-kan.” Ucap perempuan itu mengedikkan bahu, seraya mengangkat kedua tangan ke udara."Baiklah, kalau begitu aku tenang jadinya. Aku tidak mau menambah masalah baru. Kemaren saja rasanya sungguh menyakitkan dituduh sembarangan. Maaf apa ibu tidak takut rumor yang beredar," tanyaku tak lama kemudian sekedar memastikan."Kalau saya takut, saya tidak akan memesan untuk saya makan. Ibu jangan cemas gitu dong, rezeki ibu tidak akan kemana. Percaya sama saya,” ucapnya tersenyum. Lesung Pipit tampak nyata menghiasi pipi wanita itu.Wanita di depanku ini terlihat berwibawa, tidak mudah terpengaruh rumor yang beredar. Tidak tampak raut bingung di wajahnya. Syukurlah, paling tidak masih ada orang yang mempercayaiku, bahwa daganganku halal. Tidak ada campur ilmu goib atau ilmu pelet dan pe
Bismillahirrahmanirrahim.Tengah asyik memilih barang, pundakku diraba seseorang.Aku segera menoleh, terlihatdi depanku seorang perempuan yang tengah tersenyum ramah ke arahku."Bu Anggun? Ibu di sini? Rasanya sudah lama tidak jumpa.""Ibu kemana saja, sudah lama tidak melihat ibu," sapaku ramah, seraya membalas senyum perempuan berlesung pipit itu.“Ada Bu, saya tidak kemana-mana. Cuman belakangan ini lagi banyak pekerjaan. Jadi jarang keluar rumah."“Apa kabar Bu Anggun, senang bertemu dengan ibu.”“Kabar saya baik Bu Arini, lagi ngeborong ceritanya nih,” selidik Bu Anggun kepo.“Ah! Tidak, belanja biasa saja, kebutuhan Nisa dan Dio. Ibu sendiri kayaknya juga lagi ngeborong,” kelakarku.Tak lupa kutampakkan deretan gigi putih ala Pepsodent ke hadapan Bu Anggun. Bu Anggun membalas dengan senyuman.“Sudah selesai belanjanya atau belum,” tanya Bu Anggun tak lama kemudianTumben Bu Anggun menanyakan aku sudah selesai belanja apa belum, apa ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Bisikku
Bismillahirrahmanirrahim.Tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di rumah, meskipun dengan langkah terseok-seok. Padahal dari rumah ke Indomaret hanya butuh 10 menit perjalanan. Tapi ingatan foto Bang Jun dengan perempuan itu selalu datang membayangi. Kadang aku berhenti begitu saja di jalanan. Bahkan aku hampir diserempet mobil karena jalan terlalu ke tengah. Aku seperti orang linglung tanpa kesadaran.“Hei buk, jangan melamun di jalan,” teriak sopir angkot dengan muka marah dan tampak kesal. "Nanti saya lagi yang disalahkan orang," lanjutnya terus saja bicara tak enak di dengar.Sontak wajahku mendadak pucat, menatap sekeliling. Barulah aku sadar, aku tengah di jalan raya, tanpa membuang waktu aku bergegas ke pinggir. Kuusap dada ini pelan menahan gejolak yang terasa menghantam jiwa. Sakit! Sungguh sakit terasa. Aku tidak sempat meminta maaf pada sopir angkot itu, karena setelah marah dia langsung kabur begitu saja setelah meluapkan amarahnya.Aku melanjutkan langkah dengan
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ya Allah, Astaghfirullahal Adzhiim,” segera saja aku melangkah kekamar mandi membersihkan diri. Aku tidak mau Bang Jun pulang melihatku dalam kondisi mengenaskan begini. Aku juga harus tetap jaga penampilan, meskipun akan dicampakkan.Bisa-bisa Bang Jun semakin ingin meninggalkanku. Itu tidak baik bagi psikis anak-anakku. Demi anakku bahagia, bertahan dengan perselingkuhan pria itu akan kuterima dengan ikhlas. Itulah tekadku asal anakku tetap bahagia, apa pun itu demi melihat mereka senang, akan aku lakukan. Meskipun harus berbagi suami dengan perempuan lain. Kecuali Bang Jun sendiri yang tidak menginginkanku lagi, apa yang bisa kulakukan selain menerima dan pasrah akan takdirku.Setelah mandi dan badan terasa sejuk. Rasa lapar mulai mendera. Tak membuang waktu aku segera memasak yang ringan saja untuk mengganjal perut. Masak nasi goreng special.Untung Nisa dan Dio menginap di rumah Mita, jadi sementara aku bebas dari tingkah polah anak-anak. Bukan aku ti
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu mau tahu berapa uang belanja yang dikasih Bang Jun sebelum pergi, pasti ibu tidak akan mengira dan menduganya sama sekali.”“Sebenarnya aku tidak mau membuka aib Bang Jun, tapi karena ibu terlanjur mengetahui, maka dengan berat hati aku ceritakan. Tapi aku berharap ibu tidak marah atau sedih mendengarnya, lalu tanpa henti memikirkan nasibku dan anak-anak, kemudian ibu jatuh sakit. Itu yang aku hindari berkata terus terang pada ibu.”“Ibu mengerti Nak, kamu perlu tahu satu hal, ibu bukanlah seorang perempuan yang selalu mendengarkan dan membenarkan anaknya. Ibu selalu membela yang benar.”“Terima kasih Bu.” “Jadi berapa uang belanja yang dikasih suamimu ?”“500 ribu,” ucapku dengan menekan kata hanya 500 ribu.“Apa? 500 ribu? Jadi benar dong, apa yang dikatakan tetanggamu. Selama ini ibu mengira, tetanggamu itu berbohong pada ibu.”Aku mengernyitkan kening, mungkin lipatannya sampai seribu. Bingung sudah pasti. Ingin tahu, apa yang sudah disampaikan t
Bismillahirrahmanirrahim.Aku menggeleng lesu. “Aku tidak berhasil bicara dengannya Bu. Telpon diangkat, tapi ia mendadak bisu. Hanya helaan napas yang terdengar, kupanggil berkali-kali tetap saja Bang Jun tidak bersuara.“Mendadak bisu, apa maksudmu?”“Iya, Bang Juna tidak mau bicara denganku. Mungkin yang mengangkat telpon itu, perempuan selingkuhannya.”“Hust, jangan berpikiran jelek dulu, belum tentu benar.” Sanggah ibu cepat.“Astagfirullahal adziim,” sahutku meralat ucapan. Terkadang emosi membuat pikiran jadi sempit. Padahal aku dibesarkan dengan adab dan etika oleh ibu, tidak baik berprasangka buruk pada orang. Itulah pesan yang selalu ibu tanamkan, jika aku kadang salah dalam bertindak dan bersikap, apa lagi salah dalam menilai orang."Terus kenapa Bang Jun tidak menyahut," Balasku lagi."Mungkin dia sedang sakit gigi, jangan terlalu cepat menilai.""Atau dia sedang menyetir mobil, banyak kemungkinan Arini."Ah iya, ibu benar juga. Tak seharusnya aku berpikiran buruk tentang
Bismillahirrahmanirrahim.“Kenapa ya Mit, Bang Juna melakukan ini padaku.”“Tentu saja ia ingin hidup enak denganmu. Sejarah, sekarang ini kamu wanita karier berpenghasilan besar. Tentu rugi bagi Juna itu berpisah denganmu."“Tapi, apa harus dengan cara mengambil paksa Nisa dariku, sehingga membuatku urung bercerai darinya. Itu membuatku semakin ilfil dan benci padanya.”“Jangan heran, uang bisa mengubah perilaku orang Rin, termasuk suamimu itu.”Aku mengangguk menanggapi perkataan Mita, ada benarnya juga sih. Aku tak heran, sejak ibu tahu aku memiliki usaha kafe itu, sifatnya mulai berubah. Percuma ibu mengambil hatiku sekarang, karena sudah tidak ada gunanya. Ibarat kata orang, sudah terlambat. Hatiku terlanjur sakit dan mati rasa.Suasana hening sejenak, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.“Eh Arini, aku ada ide. Bagaimana kalau sementara ini, kita biarkan saja Nisa tinggal sama ayahnya. Paling juga tidak bertahan lama, sejarah lelaki itu pasti akan terbebani dengan mengurus N
Bismillahirrahmanirrahim.Hampir setengah jam aku berdiri terpaku di depan mobil, namun Nisa tidak kelihatan juga batang hidungnya. Kenapa lama sekali anak itu muncul, apa ia sedang menangis lagi di kelas? Kayak waktu itu, batinku dalam hati. Sementara anak-anak yang lain sudah pulang dari tadi. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku jadi khawatir dibuatnya. Salahku juga sih tadi, datang terlambat. Bukan disengaja, tapi saat akan berangkat, Dio ingin pipis lebih dulu. Aku hanya telat 10 menit, kok bisa-bisanya Nisa tidak ada di sekolah. Aku semakin gelisah tak karuan.Apa Bang Juna yang menjemputnya lalu membawanya kabur. Kepanikan melandaku sesaat. ‘Ya Allah lindungi anakku.’ Bisikku dalam hati.Dengan langkah cepat seakan hendak berlari, aku meluncur ke gerbang sekolah. Lalu terus berjalan menuju ruang kelas, sesampainya di sana ruangan itu kosong melompong tanpa penghuni. Terus Nisa di mana? Tidak ada siapa pun tempat untuk bertanya. Aku beralih ke ruang guru dan menanyakan keberadaa
Bismillahirrahmanirrahim.Hari demi hari terus berganti, tak terasa tiba saatnya bagiku melakukan tes DNA ulang terhadap bayi Mbak Zara dan Bang Juna. Aku sendiri yang turun tangan, biar lebih yakin. Supaya tidak ada lagi kecurigaan dan keterangan yang berbeda. Jangan sampai kali ini ada kekeliruan. Itu tidak akan kubiarkan terjadi, kudu hati-hati.Setengah jam yang lalu, aku telah berada di sini. Memastikan semuanya berjalan lancar. Mbak Zara juga sudah aku beritahu, sekalian sharelok tempat tes dilaksanakan. Begitu juga dengan Bang Juna. Pasangan yang bertolak belakang itu kini seperti orang kayak musuhan saja. Padahal sebelumnya mereka telah melewati malam yang dingin untuk saling menghangatkan.Apa salahnya mereka membesarkan bayi itu dengan kasih sayang yang melimpah seperti layaknya orang tua lain pada anaknya. Bukan mengingkari keberadaan bayi itu, seperti yang dilakukan Bang Juna. Habis manis sepah dibuang, begitulah ibarat peribahasa. Aku datang lebih awal dibandingkan yan
Bismillahirrahmanirrahim.“Beberapa hari yang lalu, saat jemput Nisa di sekolah. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa aku ini, wanita yang tidak pandai berterima kasih, sudah ditolong malah sok jual mahal. Kalau boleh tahu, apa maksud perkataanmu waktu itu ya.” Arini memandang tak sabaran perempuan di depannya dengan rasa kepo tingkat tinggi. Wanita itu terdiam. Tak menyangka mungkin akan bertemu denganku di sini. Apalagi dengan pertanyaan to the poin yang aku lontarkan. Waktu itu jelas sekali mukanya tampak marah dan kesal. Apa ia tidak salah orang? Bagaimana bisa perkataannya itu dialamatkan padaku. Apa salahku? Jadi wajar bukan? Kalau aku bertanya. “Bisa jelaskan! Biar aku tidak kepikiran.” Sambungku lagi karena wanita ini tetap bungkam tanpa berkomentar apa pun. Sedangkan aku, sudah tak sabaran ingin mendengar langsung penjelasannya.Dret, dret.Tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu langsu
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Kita lakukan tes ulang, di mana tempatnya?" ucap ibu yakin. Tidak terlihat gentar dan takut, bila hasilnya tidak memihak padanya. Ibu sangat percaya diri nampaknya. Gantian aku yang gelisah, akibat terlanjur berjanji akan menerima Bang Juna seutuhnya bila hasil tes itu negatif. Sedangkan aku sangat berharap kali ini hasilnya positif. “Oh iya mengenai tempat tesnya biar ibu yang cari, kamu sangat sibuk, tentu tidak mungkin sempat—“ perkataan ibu langsung aku potong begitu saja. “Tidak Bu, tempat tes sudah aku tentuin. Pagi hari sebelum ke sana, aku info in tempatnya.”“A-apa,” tanya ibu terbata-bata.“Iya Bu, mengenai tempatnya ibu tidak perlu repot, aku sudah ada tempat untuk itu.”“Di mana?”“Pada hari H, aku akan sharelok ke ibu atau Bang Juna,” kataku datar.“Apa tidak bisa sekarang?”Aku menatap sejenak perempuan yang ada di hadapanku. Apa katanya tadi, minta share tempatnya sekarang? Yang benar saja, mana mungkin aku kasih tahu saat ini. Bisa-b
Bismillahirrahmanirrahim.Dengan kedua bukti di tangan, aku pergi sendiri ke rumah sakit, membuktikan keabsahan kedua surat itu. Untung Pak Andra memberitahuku tempat yang bisa dipercaya dan tidak mudah termakan sogokan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku. Katanya kedua surat keterangan itu sah tanpa ada pemalsuan. Kok bisa anak yang dilahirkan itu memiliki dua hasil tes yang berbeda. Rasanya kok aneh, siapa yang bisa aku percaya sekarang? Mbak Zara atau Bang Juna. Mereka berdua menunjukkan bukti yang benar.“Tidak salah apa yang dokter sampaikan, jadi kedua surat keterangan itu sah, bukan hasil rekayasa.”“Tentu saja kedua surat keterangan itu sah. Saya bisa pastikan tidak ada kekeliruan dari hasil tes itu.” Jelas Dokter seraya tersenyum ramah.“Itu tidak mungkin Dok? Satu anak memiliki dua hasil tes yang berbeda.” Ucapku menyangsikan keterangan yang dokter berikan.Dokter itu nampak mengernyit bingung, seraya berpikir.“Begini saja, tolong ceritakan lebih detail mengenai du
Bismillahirrahmanirrahim."Kabar ibu baik Nak, kabar kamu sendiri gimana? kabar cucu ibu--" ibu berhenti bicara, air matanya menetes tanpa dapat dicegah.“Alhadulillah kabarku baik, Kenapa Ibu menangis?”“Ibu kangen dengan cucu ibu, sejak kamu pergi waktu itu, ibu tidak bertemu dengan Nisa dan Dio lagi. Kamu juga tidak datang mengunjungi Ibu. Kenapa? Kamu masih marah pada Ibu dan Juna."Aku tersenyum seraya menggeleng, "Tidak bu, yang lalu biarlah berlalu. Lagian Nisa dan Dio baik-baik saja kok Bu, jangan khawatir.”“Alhamdulillah! Syukurlah! Ibu percaya kok sama kamu. Kamu pasti bisa mengurus mereka dengan baik."“Ada apa ibu datang ke sini?”“Maafkan ibu Arini, ibu tahu ibu banyak salah padamu. Ibu berharap, hubungan kalian bisa diperbaiki. Kini Zara telah melahirkan anaknya. Seperti yang kamu bilang dulu, jika Juna bisa membuktikan kalau anak yang dikandungnya bukan anak Juna, kamu bersedia menerimanya kembali. Sekarang Juna juga telah berubah menjadi lebih baik. Apa ada kemungkin
Bismillahirrahmanirrahim.“Baiklah! Kamu boleh pergi, tapi pergi sendiri. Abang tidak izinkan kamu bawa Dio dan Nisa.”Apa? Apa katanya?Aku pergi sendiri? Tidak boleh bawa Nisa dan Dio, yang benar saja.Mana bisa aku hidup tanpa mereka, merekalah penyemangatku. Demi merekalah aku rela membanting tulang selama ini. Kalau bukan demi mereka, tidak akan kulakukan pekerjaan itu. Seenaknya saja Bang Juna melarangku membawa anak-anak. Dasar lelaki tak punya hati, seenak perutnya saja bicara.Sekarang apa yang harus kulakukan, aku terduduk diam di tepian ranjang. Tinggal terpisah dengan kedua buah hatiku, membuatku tidak sanggup membayangkannya. Apa aku batalkan saja pergi dari rumah ini? Langkah apa yang harus aku tempuh. Aku bingung ya Allah, beri aku petunjuk dan jalan keluarnya.Aku tidak pernah membayangkan Bang Juna akan bersikap kekanak-kanakan begini. Tau begini akhirnya, menyesal aku terima dia kembali. Aku hanya bisa menarik napas panjang menahan kekesalan di hati.Sejenak aku berp
Bismillahirrahmanirrahiim.Sore itu, sepulang dari melihat apartemen bersama mas Syafiq, aku disambut Bang Juna dengan kecemburuan tiada habisnya. Bahkan dia menuduhku yang tidak-tidak. Apakah begitu gaya orang yang selingkuh, untuk menutupi belangnya, sekarang malah berbalik menuduhku selingkuh. Jadi tak ubah selingkuh, teriak selingkuh. Entahlah, aku malas memikirkannya, mumet kepalaku jadinya.Masalahku saja sudah cukup rumit, yang perlu ditangani segera. Mana ada waktu memikirian tuduhannya. Biarkan saja dia mau bilang apa, yang penting aku tidak melakukan seperti yang ia tuduh. Mita belum lama ini mengadu, kalau uang pendapatan terus merosot tajam. Siapa yang berani melakukan tindakan penggelapan uang pendapatan kafe. Ini harus aku selidiki lebih jauh, tak bisa dibiarkan begitu saja. Bisa jadi usaha yang baru aku rintis merugi, bila tidak diselidiki dengan cepat.Bang Juna terus saja minta penjelasan.“Apa maksud perkataan Abang? Abang menuduhku selingkuh dengan pria tadi, benar