Jadi ini jawaban dari pertanyaanku tentang uang recehan itu? "Soni ...." Kembali aku mengucapkan nama itu. Mataku fokus tertuju pada pria yang mengucapkan alhamdulillah setelah diberikan upah. Tidak berhenti di satu mobil, Soni pun menghampiri mobil lainnya dan melakukan hal yang sama. Memang tidak hanya ada Soni di sana. Ada pria lainnya yang menjadi kuli panggul untuk mendapatkan upah bagi keluarganya. "Eh." Aku hampir berteriak ketika melihat Soni tersandung dengan beban berat di pundaknya. Namun, tidak dengan pria itu. Dia malah tertawa lebar bersama pria lain merutuki diri yang hampir jatuh tersungkur ke tanah. Tidak tahan menyaksikan dia yang bekerja keras untuk suatu pembuktian, aku kembali pulang dengan perasaan bersalah. Bersalah karena telah berpikiran buruk pada dia tentang uang yang didapatkannya. Rasa kasihan juga hadir ketika membayangkan beban yang begitu berat, dia pikul sendiri. Sesampainya di rumah, aku duduk merenung di kursi belakang meja. Menyangga dagu d
Soni langsung berdiri, lalu pergi tanpa ada niat untuk berkata jujur padaku. Aku gemas sendiri dibuatnya, ingin menarik bajunya dan memintanya berkata jujur. Namun, itu hanya ada dalam khayalan. Meskipun sudah tahu pekerjaan dia, rasanya belum puas jika tidak mendengarnya langsung. Dan aku belum berhasil membuatnya berkata jujur. Hari semakin siang, aku sudah kembali melakukan aktivitas rutin di setiap harinya. Shanum dan Soni sudah tidak ada di rumah, mereka pergi ke sekolahnya masing-masing. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Eh, Ibu? Sini, masuk, Bu." Wanita yang telah melahirkanku itu masuk. Aku menyuruhnya duduk di kursi plastik yang ada di sampingku. "Gimana dengan tokomu, Num?" tanya Ibu."Alhamdulillah, Bu. Semakin hari semakin rame.""Soni masih kuliah?" tanya Ibu lagi. Ada yang tidak biasa dari Ibu. Tidak kulihat wajah masam dan kata-kata pedas yang kudengar dari bibirnya saat mengatakan nama suamiku. Apa sekarang hati Ibu sudah luluh? "Kuliah, Bu. Setiap pagi dia
"Kenapa tidak kuliah?" "Maaf, Mbak.""Aku nanya, Son. Bukan menyuruhmu minta maaf."Terdengar helaan napas dari pria yang saat ini sedang duduk di depanku. Masih di tempat yang sama, aku meminta penjelasan dari dia yang rela meninggalkan kuliahnya demi untuk bekerja. Shanum aku titipkan terlebih dahulu pada Safira, yang kini tengah bermain di taman, tepat di seberang kedai kopi ini. "Soni."Pria itu melihatku, lalu menunduk kembali. "Kenapa harus bolos?" tanyaku untuk kesekian kalinya. "Maaf, jika aku sudah membuatmu kecewa, Mbak. Tapi, ini pilihanku. Aku ... aku, berhenti kuliah."Aku memundurkan tubuh ke belakang, menatap dia dengan perasaan kecewa. Berhenti dia bilang. Itu artinya, dia tidak menyelesaikan kuliahnya? Hanya untuk bekerja? "Apa, Son?" tanyaku lagi. Dia menganggukkan kepala, lalu kembali bicara seperti tadi. "Kenapa?" "Aku ingin bekerja, Mbak.""Bukannya dari kemarin pun kamu sudah bekerja? Apa kuli panggul di pasar, itu bukan pekerjaan?"Kini giliran Soni
"Sebenarnya, kedai ini sudah kami buat beberapa bulan ke belakang. Tapi, baru bisa buka satu bulan ini, karena ada berbagai hal yang menjadi faktor penghambatnya. Salah satunya dana. Aku, dan teman-teman yang lain, bekerja mengumpulkan uang, hingga akhirnya Mama memberikan modal. Tidak banyak memang, tapi jika digabung dengan modal dari teman-teman yang lain, sudah cukup, dan ... inilah hasilnya. Kedai kopi ini bisa buka dan disukai banyak orang," ujar Soni panjang lebar. Wajahnya terlihat senang ketika memperkenalkan tempat ini sebagai usaha dia yang dibuat bersama kawannya. Soni kembali bicara. Dia menjelaskan kenapa pergi pagi dan pulang larut malam. Tidak lain karena memang harus menjaga kedai ini yang semakin malam malah semakin ramai. Apalagi, tempat yang begitu estetik dan instagramable, membuat tempat ini sering dijadikan tempat membuat konten oleh para anak muda penggila sosial media. Hasilnya pun tidak sia-sia. Soni bilang, semakin hari, semakin malam, kedai semakin rama
"Dasar bocah." Aku tersenyum seorang diri mengingat kejadian tadi di kedai kopi. Bagaimana aku akan lupa, jika tadi Soni sangat kesenangan luar biasa. Bahkan dia sampai berjingkrak riang, lalu dengan refleks mengangkat tubuhku. Pemicunya tidak lain karena aku yang menyuruh dia melegalkan pernikahan kami agar tercatat di negara. Jangan tanyakan wajahku tadi, sudah sangat merah bak kepiting rebus, kata Safira. Sorak pengunjung kedai membuatku merasakan malu setengah mati. Apalagi, setelahnya aku harus menjelaskan kepada Shanum, atas pertanyaan yang dia lontarkan. "Kenapa Om Soni gendong-gendong, Bunda?" Dan aku berpikir keras untuk mencari jawaban yang pas dan pantas.Sekarang, aku sudah kembali ke rumah. Duduk di kursi plastik dengan pandangan lurus ke depan. Melihat jalanan yang ramai oleh kendaraan, juga beberapa orang yang keluar masuk toko elektronik Haji Darmin. "Bunda .... Ayah telepon, nih!"Aku mengalihkan pandangan pada putriku yang berjalan seraya membawa ponsel. Shanu
"Merajuk. Tali tasnya mau putus, tadi minta sama ayahnya, gak dikasih. Aku janji mau memperbaiki, tapi tadi keburu banyak pembeli. Akhirnya, begitulah. Nangis, ngunci diri di kamar," ujarku menjelaskan pada Soni. Soni mengetuk pintu kamar Shanum. Dia membujuk keponakannya itu agar mau keluar. Namun, tidak berhasil. Hingga akhirnya, Soni menjanjikan untuk membelikan tas baru pada Shanum, hingga pintu pun terbuka menampilkan wajah sembab penuh air mata. "Uh ... jelek banget ini muka. Apus air matanya, ah. Om, gak mau beliin kalau masih ada air mata kayak gitu. Malu, udah gede masih nangis. Anak sekolah mah gak boleh nangisan," ujar Soni seraya mengusap sisa air mata di wajah putriku. Setelah dipastikan Shanum tidak menangis lagi, Soni mengajak putriku untuk pergi. Katanya jalan-jalan sore sambil mencari tas baru. Aku mengikuti langkah kaki mereka dan berhenti di depan ruko. Aku menarik folding gate, untuk menyudahi mencari rezeki di hari ini."Sudah, Mbak? Ayo, kita berangkat!" "Ka
"Kamu, kok di sini?" "Karena kamu di sini, Mbak," jawabnya dengan seulas senyum. Aku berdiri, berjalan berdampingan dengan Soni yang masih setia memayungi kami menggunakan jaketnya. "Deketan dikit, Mbak, bahumu kehujanan.""Gak apa-apa," kataku. Namun, Soni tidak mengizinkan tubuhku terkena air hujan. Dia menarik bahuku, hingga refleks tanganku melingkar di pinggangnya. Aku mendongak, melirik ke sebelah kiri di mana pria yang usianya lebih muda lima tahun dariku tengah tersenyum senang dengan pandangan lurus ke depan. Tatapan kualihkan pada kaki kami yang berjalan bersamaan. Rintik air hujan mengiring detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih kencang. Apakah arti dari semua ini? Aku tidak tahu. "Kita neduh dulu, Mbak." Soni berujar ketika kami sampai di pos kecil di pinggir TPU. Aku menarik napas dalam-dalam, seraya melepaskan tangan yang sedari tadi melingkar pada pinggangnya. "Kamu tahu dari mana aku di sini?" tanyaku kemudian. "Feeling aja, Mbak. Ternyata, benar ada di
Aku kembali ke tempat pengambil kopi, lalu membawa minuman hangat yang sama ke meja yang berbeda. "Mbak, karyawan baru?" tanya seorang pria pemesan kopi."Iya," ujarku singkat, lalu kembali. Hampir dua jam aku menjadi pelayan di kedai kopi ini. Sesekali aku melirik Soni yang tengah meracik kopi bersama satu temannya. Dan dua teman lainnya bertugas sebagai pengantar pesanan. Kakiku sudah lumayan pegal, tanganku pun demikian. Pengunjung yang sudah mulai berkurang, membuatku kembali disuruh duduk oleh Soni. Namun, aku tidak mendengarkan apa kata dia. Aku tetap bekerja, dan akan berhenti ketika benar-benar sudah lelah. "Mbak, Mbak ini istrinya atau kakaknya si Soni, sih? Perasaan tiap manggil, pake kata 'Mbak' terus?" tanya seorang wanita berjilbab itu padaku. Aku tersenyum seraya menundukkan pandangan. Kemudian mata ini melirik Soni yang terlihat malu-malu dengan pertanyaan kawannya itu. "Panggilan sayang, Mirandah!" tutur pria di samping Soni. Wanita yang dipanggil Miranda itu m
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism