"Dasar bocah," kataku seraya menyimpan ponsel. Dia pikir aku akan cemburu dengan foto yang Nabila kirim padaku? Foto yang menunjukkan jika dia tengah di bonceng Soni. Menurutku, itu tidak berarti apa-apa. Bisa saja mereka ketemu di jalan, lalu Soni membawa Nabila karena satu tempat kerja. Bisa juga, wanita itu memang sengaja memanas-manasiku dengan gambar itu? Sayangnya aku tidak merasa terbakar. Gambar, bahkan adegan yang lebih panas dari itu, pernah aku alami dalam hubungan sebelum ini. Jadi, itu tidak berpengaruh apa-apa buatku. Denting ponsel kembali mengalihkan pandanganku. Masih dari orang yang sama. Nabila kembali mengirimkan pesan dengan disertai gambar dia yang sudah berada di kedai kopi. Tangan suamiku itu merangkul pundaknya dengan tertawa lebar. "Mau ini anak apa, sih? Kok, ngirimin gambar beginian?" kataku merutuki kebodohan wanita bernama Nabila. Niatnya untuk membuatku cemburu, tapi malah terkesan memaksakan diri. Aku tahu, jika foto itu diedit. Ada bayangan
"Nenek, bukannya kita akan pergi ke tempatnya Om Soni?" ucap Shanum seraya berdiri di tengah-tengah aku dan Mama. "Oh, iya tadi Nenek sudah janji, ya mau pergi ke kedainya Om Soni? Mau ke sana sekarang?" Shanum mengangguk pasti. Dia menyimpan ponselku di meja, kemudian mengganti pakaian meskipun aku tidak menyuruhnya. Katanya, dia ingin berfoto di taman yang ada di dekat kedai kopi Soni. "Yuk, Num, kita ke sana. Kayaknya, toko kamu ini, sedang sepi juga. Mendingan kita jalan-jalan aja, yuk." Mama mengajakku ikut serta. Iya, tokoku sedang sepi, tapi sayang juga jika harus ditinggal pergi. Kalau tutup terus, nanti pendapatanku malah kian berkurang. Sedangkan utangku masih lumayan besar pada Ibu dan Bapak. "Num, mau pergi bareng kita? Mama kasih sejuta, biar kamu gak rugi ninggalin toko. Hari ini, kamu jadi supir Mama. Temenin Mama dan Shanum healing. Gimana?" Aku bengong seraya menimbang antara menolak dan menerima.Uang satu juta hanya menjadi supir sehari? Diajak jalan, jajan,
"Ekhem!" Aku berdehem membuat tangan Nabila yang tengah mengelap kening Soni terhenti. Dua orang berlainan jenis kelamin itu menoleh ke arahku dengan ekspresi yang berbeda. Soni dengan raut kagetnya, dan Nabila dengan seringai menyebalkan. Dia senang, aku memergoki mereka yang seperti sepasang kekasih. Saling membantu, saling memberikan perhatian. Namun, sayangnya aku sama sekali tidak cemburu. Otakku berpikir berusaha berpikiran jernih meskipun hati sedikit emosi. Soni yang tengah kerepotan memegang wadah bubuk kopi yang hampir penuh, menyulitkan dia untuk mengelap keringat yang bercucuran. Pikiran baikku, mungkin Soni meminta Nabila mengusap keringatnya agar tidak berjatuhan pada bubuk kopi mentah. Namun, diartikan lain oleh wanita itu. Dia justru keganjenan dengan memanfaatkan situasi ini untuk membuatku semakin cemburu. "Mbak, aku bisa jelasin. Ini, tidak seperti yang kamu lihat, kok," ujar Soni langsung mematikan mesin penggiling kopi. Dia keluar dari tempatnya, lalu mengh
"Bukan masalah cemburu atau tidak, Son. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja. Kadang, apa yang dilihat orang tidak sesuai dengan faktanya. Takutnya, nanti ada orang yang iri dengki pada kita, terus dengan sengaja mengabadikan momen tadi, kemudian membagikannya dengan judul yang tidak sesuai kenyataan. Mengatakan kamu selingkuh, padaku, misalnya. Kita, kan tidak tahu mana orang yang benar-benar peduli, dan mana orang yang pura-pura peduli padahal dengki," ujarku memberikan pemahaman. Soni tersenyum begitu manis, lalu dia menganggukkan kepala ke arahku. Setelah beberapa saat mengobrol dengan Soni, Mama datang bersama putriku. Aku mempertanyakan mereka yang masuk belakangan. Ternyata, mereka ke taman dulu untuk berfoto ria. Dan putriku terlihat kesenangan dengan kepergian kami kali ini. "Om, kok sepi?" tanya Shanum pada Soni. "Iya, nih sepi. Sengaja Om tutup, kan tahu kalau Shanum mau datang ke sini. Om, hebat, bukan?" "Kalau begitu, buatkan Shanum minuman, dong. Kan, haus!"Kami tert
"Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketika Nabila menolak panggilan dari mantan suamiku itu. Ponsel yang sudah mati, kini dia masukan ke dalam saku celemek yang masih dia kenakan. Nabila juga tidak menjawab pertanyaanku. Dia mengalihkan pandangan ke sembarang arah tidak sama sekali menatap wajahku lagi. "Kamu bekerja untuk Mas Sandi?" Aku kembali bertanya. Wanita yang selalu menguncir rambutnya itu masih membisu. Namun, kegugupan masih terlihat jelas dari wajah manisnya. Aku masih tetap memperhatikan dia hingga gadis itu berdiri hendak pergi. Aku langsung mencekal lengannya, ikut berdiri di dekat pintu yang hampir dibuka oleh Nabila. "Kita belum selesai, Bila." "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Mbak. Tolong lepaskan tanganku, aku harus kembali bekerja.""Kamu belum menjawab pertanyaanku. Benar, kamu bekerja untuk Mas Sandi? Dibayar berapa kamu sama dia hingga rela mengkhianati temanmu sendiri?" "Aku tidak mengkhianati Soni! Apa yang aku lakukan, bukan karena materi, tapi
Soni masih tidak pergi dari sisi mobil yang belum kunyalakan mesinnya. Aku masih menunggu Mama yang tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Entah siapa yang menghubungi Mama, hingga wanita itu terlihat sangat serius. Sedangkan Shanum, putriku sudah duduk manis di jok belakang seraya menonton video di YouTube. "Oh, iya, Son. Gimana kalau aku cari orang buat kerja bantu-bantu di toko? Soalnya, 'kan aku sering pergi mengantar jemput Shanum, rasanya sayang banget kalau ditutup. Yang ada, nanti pelanggan malah kabur karena keseringan tidak buka. Menurut kamu, gimana?" Soni manggut-manggut. Sebelah tangannya berada pintu mobil yang belum ditutup, dan sebelahnya lagi memegang pinggiran jok yang aku duduki. Dia menyetujui usulanku, karena memang paham akan kondisi Shanum yang masih trauma naik motor. "Tapi ... jangan cowoklah, Mbak. Aku gak tenang kalau di rumah ada laki-laki lain, sedangkan aku kerja di sini. Cewe aja, biar aman," celetuk Soni dengan kedua alis yang na
"Tumben datang, Pak?" kataku menutupi rasa malu.Aku sedikit menggeser tubuh, memberikan tempat untuk Bapak duduk di sampingku. Di depan kami, ada Shanum yang masih terlelap. "Iya, ada perlu sama kamu," ujar Bapak seraya menghenyakkan bokong di lantai beralaskan karpet. Tangan Bapak terulur mengusap kepala putriku yang tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Kemudian dia menatap lurus ke depan seraya membuang napas. "Gini, Num, Bapak mau menawarkan seseorang padamu."Keningku langsung berkerut mendengar maksud kedatangan Bapak. Menawarkan seseorang? Terdengar sangat aneh hingga membuatku semakin menajamkan pendengaran untuk menampung kata yang akan diucapkan Bapak selanjutnya. "Sepupu si Adit yang dari kampung, katanya sedang mencari pekerjaan. Maksud kedatangan Bapak ke sini, untuk menawarkan dia pada kamu. Kira-kira, kamu butuh orang buat bantu-bantu di sini, gak?" ujar Bapak membuatku mengerti. Aku manggut-manggut, tapi belum menjawab pertanyaan Bapak. Aku memang butuh or
Shanum mengangguk lemah. Dia mulai menghadap ke arah makanannya, lalu mencicipi masakan yang aku suguhkan. Namun, bukannya ikut makan bersama putriku, aku malah sudah tidak memiliki selera untuk menikmati hidangan yang tersaji. Pikiranku berkelana jauh pada pria yang pernah begitu berarti dalam hidup ini. Pria yang mengenalkan rasa cinta, bahagia, sekaligus nestapa. Jika saat ini Mas Sandi ada di sini, mungkin aku sudah merobek mulut busuknya itu. Tidak punya pikiran, laki-laki itu sudah mati rasa, hingga tega menyuruh putrinya untuk menuruti nafsu dan egonya. "Bunda, kok tidak makan?" Aku melihat pada Shanum, lalu mengangguk kecil. Tangan ini mulai menyedokkan makanan, lalu memasukkannya ke dalam mulut meskipun sedikit. Perutku harus terisi agar otak bisa berpikir jernih menghadapi kenyataan hidup yang penuh drama. Entah harus dengan cara apa lagi agar Mas Sandi berhenti mengusik hidupku. Aku benar-benar sudah lelah terus berurusan dengan dia juga masalah yang diciptakannya.
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism