Share

Bab 107

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-01 23:14:26

Beberapa saat kami saling bicara, bertukar pikiran dan menumpahkan kegundahan, aku pun pamit pulang. Semalam, aku sudah janji pada Shanum akan membawa dia ke tempat peristirahatan terakhir Cahaya, seperti janjiku waktu itu.

Jika dia sembuh, aku akan membawanya ke rumah baru kakaknya itu.

"Bunda, kok sepi, ya?" ujar Shanum saat kami memasuki kawasan pemakaman.

Aku terkekeh pelan.

"Kalau rame itu, di pasar, Sha."

"Tempat bobok kakak, di mana?" Shanum kembali bertanya seraya celingukan ke sana kemari.

Aku mengajaknya turun. Mengambil bunga segar yang tadi kami beli di jalan. Dengan menenteng plastik berisikan bunga, kami berjalan melewati banyak batu nisan untuk sampai ke tempat di mana Cahaya dikuburkan.

Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai, dan Shanum langsung berjongkok di samping peristirahatan kakaknya itu.

"Bunda, aku boleh ngomong sama kakak, gak?"

Aku mengusap pipi Shanum yang sudah mulai memerah, lalu menganggukkan kepala tanda setuju.

Gadis kecil itu mengus
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
sandi kuwalat sama anaknya mobil di ambil . gak mau biayain anak sakit . Cemburu sama Soni kemana aja bang pas waktu selingkuh nyesel kan
goodnovel comment avatar
Ati Husni
aduh ngapa tu mas sandi bisa pingsan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 108

    "Pak, ayo bantuin, Pak!" Aku berteriak pada supir taksi yang membawa Mas Sandi ke tempat ini. Aku segera menghampiri dia dengan diikuti Shanum di belakangku. Aku menggoyahkan tubuh Mas Sandi, tapi tidak ada reaksi. Pria yang memakai sweater rajut itu menutup mata dengan posisi sebelah tangan merangkul nisan Cahaya. "Ayo, Pak bantuin!" ujarku lagi. Supir taksi dan beberapa pria yang kebetulan ada di sini, membantu menggotong Mas Sandi hingga kini dia berada di mobil yang aku bawa. Sengaja aku menyuruh orang-orang untuk memasukkan Mas Sandi ke mobilku, agar memudahkan membawa dia ke rumahnya. Tanpa menunggu lagi, aku pun segera menjalankan mobil meninggalkan pemakaman. Dalam perjalanan, aku menyuruh Shanum untuk menelepon Mama. Memberitahukan dia bahwa putranya pingsan di samping kuburan."Bawa ke mana, Mah?" tanyaku dengan mata fokus ke ponsel. "Ke rumah sakit aja, Num. Mama sekarang sedang siap-siap ke sana.""Oke, tapi jangan lama-lama, ya?" ujarku yang langsung dijawab cepat

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 109

    "Loh, Shanum mana?" Aku bertanya pada Soni yang baru saja sampai. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Soni malah pulang sendirian. Dia tidak bersama Shanum, putriku yang entah ada di mana. "Shanum menolak untuk pulang. Dia ingin menemani ayahnya." "Di rumah sakit?" tanyaku lagi. "Di rumah. Mas Sandi sudah sadar, dia minta dirawat di rumah saja, menolak tinggal di rumah sakit meskipun untuk beberapa hari saja."Aku manggut-manggut. Soni menghenyakkan bokong pada kursi plastik di sebelahku, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku mengerutkan kening ketika dia menyodorkan benda pipih miliknya itu padaku. "Lihat video Shanum. Tadi, dia memintaku merekam kata-katanya, agar kamu percaya."Aku tidak menjawab. Mengambil ponsel Soni, lalu mengerucutkan bibir saat memutar video Shanum. Putriku izin menginap di rumah ayahnya, dan memintaku untuk tidak khawatir. Di samping dia, ada Mas Sandi yang mengusap-usap rambut panjang putriku. "Kakakmu itu aneh. Dia bilang

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 110

    Kulirik jam sudah pukul setengah lima pagi. Adzan subuh sudah berkumandang di setiap tempat ibadah. Aku, di sini masih bergelut dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Mata ini sudah terbuka dari beberapa waktu lalu, tapi tubuh masih membeku di atas peraduan yang sempat memanas. Ah, aku malu membayangkan apa yang terjadi malam tadi. Dalam guyuran air hujan yang membasahi bumi, di sini aku pun dihujani oleh ribuan kata cinta dari dia yang bergelar suami. Tuturnya, sentuhannya, begitu terasa nyata menaburi benih cinta di taman hati. Aku dibuat lupa jika dia adalah mantan adik iparku, hingga yang kurasakan, dirinya seorang pujangga bergelar suami. "Ekhem!"Buru-buru aku memejamkan mata saat suara deheman seorang pria mendekat. Ada gerakan darinya yang memperbaiki letak selimut hingga menutup sampai ke batas leherku. Aku bergeming. Mengatur napas setenang mungkin agar dia tidak menyadari kepura-puraanku ini. Soni. Pria itu kembali keluar dengan menutup pintu. Sedangkan aku, di sini ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 111

    Matahari masih bersembunyi, tapi aku sudah membuka toko, menyambut rezeki hari ini. Sambil menunggu pelanggan datang, aku duduk di kursi plastik dengan ditemani secangkir teh beserta gorengan yang aku beli dari penjual keliling. Soni pun sama. Di depannya ada kopi hitam yang manjadi kegemarannya. "Ekhem!" Aku meliriknya yang berdehem sebentar, lalu kembali fokus pada jalanan yang masih basah. Sisa-sisa air hujan masih membekas.Seperti di sini, di dalam dada ada yang membekas tapi bukan luka. Melainkan asmara yang kembali datang dari orang yang berbeda. Aku, telah jatuh cinta pada dia si pemilik raga. "Gak ke kedai?" tanyaku setelah beberapa saat saling diam. "Nanti, sudah agak siangan." Aku manggut-manggut. "Sekarang mau pacaran dulu," ujar Soni lagi seraya mengambil tanganku yang ada di atas meja. Dia menggenggam tanganku, lalu menariknya ke pangkuan saat ada seseorang yang datang. Pria itu pandai bersandiwara. Dia melayani pembeli, tanpa melepaskan genggaman tangannya. D

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 112

    "Dasar bocah," kataku seraya menyimpan ponsel. Dia pikir aku akan cemburu dengan foto yang Nabila kirim padaku? Foto yang menunjukkan jika dia tengah di bonceng Soni. Menurutku, itu tidak berarti apa-apa. Bisa saja mereka ketemu di jalan, lalu Soni membawa Nabila karena satu tempat kerja. Bisa juga, wanita itu memang sengaja memanas-manasiku dengan gambar itu? Sayangnya aku tidak merasa terbakar. Gambar, bahkan adegan yang lebih panas dari itu, pernah aku alami dalam hubungan sebelum ini. Jadi, itu tidak berpengaruh apa-apa buatku. Denting ponsel kembali mengalihkan pandanganku. Masih dari orang yang sama. Nabila kembali mengirimkan pesan dengan disertai gambar dia yang sudah berada di kedai kopi. Tangan suamiku itu merangkul pundaknya dengan tertawa lebar. "Mau ini anak apa, sih? Kok, ngirimin gambar beginian?" kataku merutuki kebodohan wanita bernama Nabila. Niatnya untuk membuatku cemburu, tapi malah terkesan memaksakan diri. Aku tahu, jika foto itu diedit. Ada bayangan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 113

    "Nenek, bukannya kita akan pergi ke tempatnya Om Soni?" ucap Shanum seraya berdiri di tengah-tengah aku dan Mama. "Oh, iya tadi Nenek sudah janji, ya mau pergi ke kedainya Om Soni? Mau ke sana sekarang?" Shanum mengangguk pasti. Dia menyimpan ponselku di meja, kemudian mengganti pakaian meskipun aku tidak menyuruhnya. Katanya, dia ingin berfoto di taman yang ada di dekat kedai kopi Soni. "Yuk, Num, kita ke sana. Kayaknya, toko kamu ini, sedang sepi juga. Mendingan kita jalan-jalan aja, yuk." Mama mengajakku ikut serta. Iya, tokoku sedang sepi, tapi sayang juga jika harus ditinggal pergi. Kalau tutup terus, nanti pendapatanku malah kian berkurang. Sedangkan utangku masih lumayan besar pada Ibu dan Bapak. "Num, mau pergi bareng kita? Mama kasih sejuta, biar kamu gak rugi ninggalin toko. Hari ini, kamu jadi supir Mama. Temenin Mama dan Shanum healing. Gimana?" Aku bengong seraya menimbang antara menolak dan menerima.Uang satu juta hanya menjadi supir sehari? Diajak jalan, jajan,

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 114

    "Ekhem!" Aku berdehem membuat tangan Nabila yang tengah mengelap kening Soni terhenti. Dua orang berlainan jenis kelamin itu menoleh ke arahku dengan ekspresi yang berbeda. Soni dengan raut kagetnya, dan Nabila dengan seringai menyebalkan. Dia senang, aku memergoki mereka yang seperti sepasang kekasih. Saling membantu, saling memberikan perhatian. Namun, sayangnya aku sama sekali tidak cemburu. Otakku berpikir berusaha berpikiran jernih meskipun hati sedikit emosi. Soni yang tengah kerepotan memegang wadah bubuk kopi yang hampir penuh, menyulitkan dia untuk mengelap keringat yang bercucuran. Pikiran baikku, mungkin Soni meminta Nabila mengusap keringatnya agar tidak berjatuhan pada bubuk kopi mentah. Namun, diartikan lain oleh wanita itu. Dia justru keganjenan dengan memanfaatkan situasi ini untuk membuatku semakin cemburu. "Mbak, aku bisa jelasin. Ini, tidak seperti yang kamu lihat, kok," ujar Soni langsung mematikan mesin penggiling kopi. Dia keluar dari tempatnya, lalu mengh

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 115

    "Bukan masalah cemburu atau tidak, Son. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja. Kadang, apa yang dilihat orang tidak sesuai dengan faktanya. Takutnya, nanti ada orang yang iri dengki pada kita, terus dengan sengaja mengabadikan momen tadi, kemudian membagikannya dengan judul yang tidak sesuai kenyataan. Mengatakan kamu selingkuh, padaku, misalnya. Kita, kan tidak tahu mana orang yang benar-benar peduli, dan mana orang yang pura-pura peduli padahal dengki," ujarku memberikan pemahaman. Soni tersenyum begitu manis, lalu dia menganggukkan kepala ke arahku. Setelah beberapa saat mengobrol dengan Soni, Mama datang bersama putriku. Aku mempertanyakan mereka yang masuk belakangan. Ternyata, mereka ke taman dulu untuk berfoto ria. Dan putriku terlihat kesenangan dengan kepergian kami kali ini. "Om, kok sepi?" tanya Shanum pada Soni. "Iya, nih sepi. Sengaja Om tutup, kan tahu kalau Shanum mau datang ke sini. Om, hebat, bukan?" "Kalau begitu, buatkan Shanum minuman, dong. Kan, haus!"Kami tert

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01

Bab terbaru

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status