Share

Bab 103

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2022-09-01 23:04:31

Sebelumnya, aku tidak pernah melakukan ini pada dia. Sekarang, aku harus menebalkan muka untuk meminjam uang pada sahabatku sendiri.

"Bantuan apa? Mau makan, makanan rumah? Siap, aku bawain! Apa lagi? Baju, celana, tas, alat makeup, atau apa?"

Aku berdecak sebal mendengar rentetan ucapan Safira yang malah terkesan menggodaku. Mengajakku becanda, padahal sekarang ini sedang serius.

"Fir."

"Apa? Ngomong aja, Num?"

"Aku butuh uang. Bisa bantu, gak?" kataku seraya memejamkan mata. Aku menggigit jari setelah berucap demikian.

"Ya ampun, Ranum .... Bukankah tadi aku sudah bilang akan bantu? Kenapa baru bilang sekarang? Kamu, tuh pura-pura ada, pura-pura bisa, padahal menyimpan luka. Berapa, Num? Kalau ada, aku kasih semuanya."

"Emh ... sepuluh, ada gak?"

"Sepuluh apa? Sepuluh rebu?"

"Safira ...."

"Oke, ada. Aku transfer sekarang, ya?"

Aku tersenyum lebar. Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas lega. Untuk biaya besok, akan aku pikirkan lagi. Yang terpenting, biaya untuk hari ini sudah t
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
nurdianis
so sweet...
goodnovel comment avatar
Isabella
wkwkwkwk. so sweet si Soni aku padamu soni
goodnovel comment avatar
meisssoegijono
ehmmmm....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 104

    "Alhamdulillah .... Shanum pulang juga ke rumah!" ujarku ketika turun dari mobil Bapak. Seperti kata dokter tadi, sore ini Shanum sudah boleh pulang. Dan di sinilah kami berada. Di ruko yang sudah menciptakan banyak kenangan di setiap harinya. Dengan digendong Soni, Shanum dibawa masuk, lalu ditidurkan di kasur lipat yang selalu dipakai Soni ketika tidur. Anakku tak banyak bicara, namun wajahnya menyiratkan rasa bahagia.Sesekali, Bapak menggoda Shanum, karena berhasil pulang setelah tadi sempat dibohongin tidak akan pulang. "Karena Shanum sudah sampai rumah, Nenek sama Kakek pulang dulu, ya?" ucap Ibu pada putriku itu. Shanum mengangguk. Aku pun mengantar kedua orang tuaku sampai mereka hendak masuk ke mobil. "Pak, Bu, maafkan Ranum, ya? Uang kalian Ranum pinjam, dan entah kapan akan dikembalikan. Tapi, Ranum janji, kok, akan segera membayarnya, jika nanti sudah ada." Aku berucap seraya menautkan jari-jemari. Ibu memeluk pundakku, dia pun mengusap-usap lenganku dengan mengataka

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 105

    Aku berhenti bicara saat Soni memelukku. Dengan gerakan cepat, Soni meninggal tempat duduknya dan menghampiriku. Di sinilah aku berada. Di dalam dekapan pria yang tak lain suamiku.Anehnya, amarah yang tadi datang tiba-tiba, kini mereda seiring dengan tangan Soni yang mengusap-usap pundakku. Dagunya, tepat berada di ubun-ubunku dengan tubuh yang tidak berjarak. Kami benar-benar sangat dekat. "Maaf, Mbak. Aku janji, tidak akan pergi ke pasar dulu sampai kaki ini sembuh. Aku janji, aku janji," ujar Soni masih tidak melepaskan pelukannya. Tanganku yang tadi berada di meja, kini melingkar pula di pinggang Soni. Entah dorongan dari mana hingga aku bisa seberani ini. Namun, ini sangat nyaman. Aku bahkan sangat menikmati momen ini. Kami berpelukan dan tidak lagi saling berteriak menyalahkan satu sama lain. Kata maaf yang Soni ucapkan pun menjadi obat pereda emosi yang tadi sempat mengudara. "Bunda, kenapa ...?" Aku dan Soni saling melepaskan diri saat Shanum datang. Wajah putriku terl

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 106

    Satu bulan telah berlalu dari kecelakaan Shanum dan Soni, kini hari-hariku kembali berjalan normal. Begitu pun dengan anak dan suamiku. Mereka sudah pada rutinitas awalnya. Meskipun, ada perbedaan yang begitu mencolok dalam aktivitas harian kami. Shanum yang trauma naik sepeda motor, mengharuskan aku bolak-balik setiap pagi meminjam kendaraan untuk mengantarkan anak itu ke sekolah. Mama, sempat menawarkan agar aku memakai mobilnya, namun aku tolak. Biarkan aku memakai barang orang tuaku, daripada nanti diledek Mas Sandi. Ah, pria itu. Semakin hari dia semakin menyebalkan. Ada saja kelakuan dia yang membuatku naik darah. "Mbak."Aku mengangkat kepala melihat pada Soni yang baru saja datang."Ini," ujarnya lagi menyodorkan dua buku kecil kepadaku. Aku tersenyum menatap buku tipis berwarna merah dan hijau itu. Akhirnya, setelah mengikuti rangkaian proses itsbat nikah, bolak-balik ke pengadilan untuk sidang, aku mendapatkan dokumen negara yang amat penting bagi pasangan suami istri.

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 107

    Beberapa saat kami saling bicara, bertukar pikiran dan menumpahkan kegundahan, aku pun pamit pulang. Semalam, aku sudah janji pada Shanum akan membawa dia ke tempat peristirahatan terakhir Cahaya, seperti janjiku waktu itu. Jika dia sembuh, aku akan membawanya ke rumah baru kakaknya itu. "Bunda, kok sepi, ya?" ujar Shanum saat kami memasuki kawasan pemakaman. Aku terkekeh pelan. "Kalau rame itu, di pasar, Sha.""Tempat bobok kakak, di mana?" Shanum kembali bertanya seraya celingukan ke sana kemari. Aku mengajaknya turun. Mengambil bunga segar yang tadi kami beli di jalan. Dengan menenteng plastik berisikan bunga, kami berjalan melewati banyak batu nisan untuk sampai ke tempat di mana Cahaya dikuburkan. Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai, dan Shanum langsung berjongkok di samping peristirahatan kakaknya itu. "Bunda, aku boleh ngomong sama kakak, gak?" Aku mengusap pipi Shanum yang sudah mulai memerah, lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Gadis kecil itu mengus

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 108

    "Pak, ayo bantuin, Pak!" Aku berteriak pada supir taksi yang membawa Mas Sandi ke tempat ini. Aku segera menghampiri dia dengan diikuti Shanum di belakangku. Aku menggoyahkan tubuh Mas Sandi, tapi tidak ada reaksi. Pria yang memakai sweater rajut itu menutup mata dengan posisi sebelah tangan merangkul nisan Cahaya. "Ayo, Pak bantuin!" ujarku lagi. Supir taksi dan beberapa pria yang kebetulan ada di sini, membantu menggotong Mas Sandi hingga kini dia berada di mobil yang aku bawa. Sengaja aku menyuruh orang-orang untuk memasukkan Mas Sandi ke mobilku, agar memudahkan membawa dia ke rumahnya. Tanpa menunggu lagi, aku pun segera menjalankan mobil meninggalkan pemakaman. Dalam perjalanan, aku menyuruh Shanum untuk menelepon Mama. Memberitahukan dia bahwa putranya pingsan di samping kuburan."Bawa ke mana, Mah?" tanyaku dengan mata fokus ke ponsel. "Ke rumah sakit aja, Num. Mama sekarang sedang siap-siap ke sana.""Oke, tapi jangan lama-lama, ya?" ujarku yang langsung dijawab cepat

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 109

    "Loh, Shanum mana?" Aku bertanya pada Soni yang baru saja sampai. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Soni malah pulang sendirian. Dia tidak bersama Shanum, putriku yang entah ada di mana. "Shanum menolak untuk pulang. Dia ingin menemani ayahnya." "Di rumah sakit?" tanyaku lagi. "Di rumah. Mas Sandi sudah sadar, dia minta dirawat di rumah saja, menolak tinggal di rumah sakit meskipun untuk beberapa hari saja."Aku manggut-manggut. Soni menghenyakkan bokong pada kursi plastik di sebelahku, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku mengerutkan kening ketika dia menyodorkan benda pipih miliknya itu padaku. "Lihat video Shanum. Tadi, dia memintaku merekam kata-katanya, agar kamu percaya."Aku tidak menjawab. Mengambil ponsel Soni, lalu mengerucutkan bibir saat memutar video Shanum. Putriku izin menginap di rumah ayahnya, dan memintaku untuk tidak khawatir. Di samping dia, ada Mas Sandi yang mengusap-usap rambut panjang putriku. "Kakakmu itu aneh. Dia bilang

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 110

    Kulirik jam sudah pukul setengah lima pagi. Adzan subuh sudah berkumandang di setiap tempat ibadah. Aku, di sini masih bergelut dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Mata ini sudah terbuka dari beberapa waktu lalu, tapi tubuh masih membeku di atas peraduan yang sempat memanas. Ah, aku malu membayangkan apa yang terjadi malam tadi. Dalam guyuran air hujan yang membasahi bumi, di sini aku pun dihujani oleh ribuan kata cinta dari dia yang bergelar suami. Tuturnya, sentuhannya, begitu terasa nyata menaburi benih cinta di taman hati. Aku dibuat lupa jika dia adalah mantan adik iparku, hingga yang kurasakan, dirinya seorang pujangga bergelar suami. "Ekhem!"Buru-buru aku memejamkan mata saat suara deheman seorang pria mendekat. Ada gerakan darinya yang memperbaiki letak selimut hingga menutup sampai ke batas leherku. Aku bergeming. Mengatur napas setenang mungkin agar dia tidak menyadari kepura-puraanku ini. Soni. Pria itu kembali keluar dengan menutup pintu. Sedangkan aku, di sini ma

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 111

    Matahari masih bersembunyi, tapi aku sudah membuka toko, menyambut rezeki hari ini. Sambil menunggu pelanggan datang, aku duduk di kursi plastik dengan ditemani secangkir teh beserta gorengan yang aku beli dari penjual keliling. Soni pun sama. Di depannya ada kopi hitam yang manjadi kegemarannya. "Ekhem!" Aku meliriknya yang berdehem sebentar, lalu kembali fokus pada jalanan yang masih basah. Sisa-sisa air hujan masih membekas.Seperti di sini, di dalam dada ada yang membekas tapi bukan luka. Melainkan asmara yang kembali datang dari orang yang berbeda. Aku, telah jatuh cinta pada dia si pemilik raga. "Gak ke kedai?" tanyaku setelah beberapa saat saling diam. "Nanti, sudah agak siangan." Aku manggut-manggut. "Sekarang mau pacaran dulu," ujar Soni lagi seraya mengambil tanganku yang ada di atas meja. Dia menggenggam tanganku, lalu menariknya ke pangkuan saat ada seseorang yang datang. Pria itu pandai bersandiwara. Dia melayani pembeli, tanpa melepaskan genggaman tangannya. D

    Last Updated : 2022-09-01

Latest chapter

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status