Cinta itu sulit ditebak, apalagi wanita, ia mudah luluh dan termakan rayuan laki-laki. Aku hanya kasihan pada Mbak Giska, dimanfaatkan oleh Mas Firman. "Mbak, aku harap kamu sadar, ini salah. Tiga tahun loh, Mbak Giska dikhianati," ucapku mencoba menasihati Mbak Giska. Berharap mata hatinya terbuka dan melek mata untuk melupakan sosok lelaki yang sangat jahat itu. Mbak Giska menggigit bibirnya, ia terdiam menatap wajahku. Sesekali ia memalingkan mata ke lain tempat. "Aku ingin berikan dia pelajaran," jawabnya. Itu lagi yang ia utarakan, balas dendam dan ingin melihat Mas Firman sengsara, bukankah lumpuh sudah benar-benar membuat ia terpuruk? Meskipun awalnya aku sempat ingin menolong Mas Firman, tapi sekarang justru berpikir sebaliknya. Aku takut Mas Firman baik saat sakit saja, setelah sembuh, ia berubah lagi. "Memang gitu sih umumnya, kalau wanita sulit melupakan pria," sindir Tante Soraya. Mbak Giska menoleh, aku pun ikut menyoroti Tante Soraya. "Tadinya aku ingin membiayai
"Kenapa dibiarkan masuk?" tanya Mbak Giska seakan mengintimidasi. "Maaf, Bu. Saya pikir .... "Belum selesai satpam baru itu berbicara, Mbak Giska sudah beranjak dan meninggalkanku. Akhirnya dengan langkah setengah berlari aku pun mengikutinya dari belakang. Airin berani sekali masuk rumah tanpa permisi dan keluar lagi. Aku berharap ia tidak mencuri apa pun yang ada di dalam rumah ini.Setelah masuk, kami berdua dikejutkan pemandangan yang berantakan, sepertinya Airin mengobrak-abrik rumah dengan sengaja. Apa yang kutakutkan benar terjadi, rumah berantakan, terutama dalam kamar Mbak Giska. "Kita kecolongan lagi, berati tadi Airin pamit ingin obrak-abrik rumah." Mbak Giska bicara dengan disertai banting tangan sebelah kanan. Sesekali ia merapikan hijab yang berantakan. "Coba cari surat-surat, Mbak. Takutnya hilang," usulku."Nggak, kalau itu tidak ada padaku, sebagian masih dalam proses, sebagian lagi ada pada Adnan," jawab Mbak Giska. Tubuhnya bolak-balik ke kanan dan kiri, tangan
Aku bersyukur dengan apa yang telah terjadi. Kenapa? Dengan cepat Allah buka hati Mbak Giska untuk menyudahi balas dendamnya. Padahal awal mula ia pun sepakat untuk menyerahkan kasus ini pada pihak yang berwajib, tapi tiba-tiba saja wanita yang telah memutuskan menutup aurat itu berubah pikiran. "Tante Soraya, aku minta tolong ikuti mereka, aku akan membuat laporan ke pihak yang berwajib," pesan Mbak Giska. "Iya, Giska, kamu tenang aja. Tante juga udah hubungi Adnan kok," tambahnya membuat Mbak Giska mengernyitkan dahinya. Jari jemarinya mengusap kening, lalu menyandarkan kepala itu ke dinding. "Tante, maafin aku. Tadi sempat .... " Mbak Giska ingin bicara sesuatu tapi sudah dipotong oleh Tante Soraya. "Nggak usah bicara gitu, Tante tahu ponakanku seperti apa. Sudah, kamu tenang ya, toh Firman nggak bisa ngapa-ngapain, ia cuma bisa berbaring," jawab Tante Soraya. Kulihat senyum terukir kembali dari wajah Mbak Giska, aku ikut merasakan ada kebahagiaan terpancar saat Tante Soraya b
Seorang laki-laki yang tengah duduk membelakangi kami menoleh, lalu melambaikan tangannya ke arah Mbak Giska. "Astaga, Eric!?" Raut wajah kakak maduku tersenyum semringah ketika menyebutkan nama itu. Kemudian, pria itu bangkit dan menghampiri kami. Lalu ia berdiri di hadapan Mbak Giska dengan mengulurkan tangannya. "Apa kabar, Giska? Lama kita tidak berjumpa, sekitar lima atau enam tahun lamanya," tutur pria berambut belah tengah yang mengenakan jas hitam celana hitam. "Baik, Eric. Aku pikir siapa. Kok kenal aku meskipun sudah berhijab?" Mbak Giska keheranan karena memang biasanya pangling ketika melihat orang yang terbiasa tidak pakai hijab kini mengenakannya. "Kamu ingat nggak waktu ada acara di kampus? Kan saat itu diwajibkan pakai hijab, kamu pakai dan kita sempat foto berdua. Jadi, aku kenal betul lah," tambah Eric membuatku ingin mesam-mesem sendiri. Mbak Giska menganggukkan kepalanya, aku lihat lengan tantenya menyenggol ponakannya genit. Aku kira hanya aku yang merasa in
"Tapi polisi sudah meyakinkan ada Mas Firman, Tante?" tanyaku lebih detail. Tante Soraya menggelengkan kepala, lalu ia menunduk sebentar. "Kata polisi mobilnya udah dijual, tapi yang beli sempat kasih tahu alamat mereka jika mobil itu sewaktu-waktu bermasalah," terang Tante Soraya. Namun, penjelasan barusan, aku rasa tidak akan mungkin, Airin dan Mas Firman tidak mungkin sebodoh itu meninggalkan alamatnya yang sekarang. "Aku rasa ia sudah proses jual beli sebelum Mas Firman lumpuh, masa jual mobil secepat itu, Tante?" Aku benar-benar heran dengan apa yang terjadi saat ini. "Bisa saja dia jual murah, itu banyak kemungkinan, Nurma. Sekarang kita siap-siap aja ke lokasi." Aku menganggukkan kepala seraya menuruti apa katanya. Aku masuk kembali untuk mandi kilat supaya cepat ke lokasi. Berharap mereka tertangkap dan mulai mengikuti proses hukum. Mereka kabur karena tidak ingin ada jerat hukum, tapi justru kaburnya Mas Firman dan Airin membuat mata Mbak Giska terbuka lebar-lebar, bahw
Fiuh! Cipratan air liur ia tuangkan ke wajahku. Sungguh wanita tidak tahu diri, ia telah berani bersikap seenaknya terhadapku. Tangan ini nyaris melayang ke pipinya. Namun, air liur yang sudah menyembur membuatku jijik sendiri dan harus segera mencucinya. Mbak Giska pun melirik sambil menggelengkan kepala seraya memerintahkan untuk tidak meladeninya. Aku putar badan, lalu membelokkan tubuh ini ke arah yang membelakangi mobil. Namun, suara perempuan itu menggelegar ke telingaku. "Puas kau Nurma? Tega kamu menjebak kami, dasar wanita tidak tahu diri!" teriak wanita yang ada di seberang sana, padahal aku sengaja pergi darinya supaya tidak berlanjut luapan emosiku karena sudah diludahi olehnya. Namun, ia malah berteriak seakan aku yang salah. Aku tidak pedulikan teriakan dan celotehannya. Langkah kaki ini tetap berlalu pergi darinya. "Bawa mereka ke kantor polisi, Pak." Aku bicara pada komandan yang berdiri tegak di hadapanku. Kemudian, mereka dibawa, aku lihat Mas Firman yang sed
"Apa saya sedang bicara dengan Bu Nurma?" tanyanya lagi. Kali ini aku baru sadar dan engeh, kalau pria yang berada di ujung telepon adalah Adnan. "Adnan, apa ini kamu? Kenapa pakai nomor lain?" tanyaku padanya. Hening, seketika tidak ada suara apapun yang kedengaran. Setelah itu tiba-tiba saja suara seorang wanita menyambar di telinga ini. "Halo, Non Nurma, saya Tuti, cabut laporan untuk Pak Firman dan Airin yang melibatkan nama saya, atau nyawa Pak Adnan akan melayang dengan sia-sia berikut surat-surat berharga yang dibawanya." Aku terdiam, dada ini bergetar, mataku membulat dengan sempurna ketika ancaman seakan terdengar merobek gendang telinga. "Heh, ini Tuti? Kau ini buronan, berani ngancam saya?" timpalku membuat mata Mbak Giska kini fokus ke arahku, begitu juga dengan Tante Soraya, tiba-tiba saja ia mendekatiku dan ingin ikut mendengarkan. Mbok Tuti ini sosok wanita yang menurutku berani, sewaktu tinggal menjadi seorang asisten rumah tangga saja ia memperlakukanku seenakny
Tangan Tante Soraya menyentuh pundak Mbak Giska. Sepertinya ia ingin memberikan pendapatnya. "Semua keputusan ada di tangan kamu, Giska. Mempertaruhkan nyawa Adnan untuk menjebloskan orang-orang yang nyaris menghilangkan nyawamu atau merelakan para pengkhianat berkeliaran menghirup udara bebas tapi satu nyawa diselamatkan," papar Tante Soraya. Aku melihat wajah murung Mbak Giska. Betapa terjepitnya ia kali ini. Sebab orang kepercayaannya harus bertarung nyawa di sana. Di samping itu ada tindakan kriminal yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena sudah tiga tahun lamanya membuat kami menderita, terutama Mbak Giska sendiri. "Bagaimana aku bisa bingung? Sedangkan Adnan bertahun-tahun mengabdi terhadap keluargaku? Seharusnya tanpa berpikir lima menit aku sudah memberikan jawabannya," ucap Mbak Giska. Apa itu artinya Adnan yang dipilih Mbak Giska? "Jadi kamu mau selamatkan Adnan?" tanya Tante Soraya. Mbak Giska mengangguk. Sedangkan aku hanya mengukir senyuman. Satu sisi a
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya