Aku tidak mendengar apa yang Mbok Tuti katakan pada Mbak Giska, yang kuperhatikan dari raut wajah kakak maduku itu menandakan tengah mendengarkan sesuatu. Kaki ini maju sedikit, supaya lebih dekat dan barangkali bisa mendengar suara Mbok Tuti bicara. "Saya bukan orang bodoh, kita sama-sama ketemu di kantor polisi, di sana akan saya cabut laporannya, dan akan menerima Adnan dengan utuh."Mbak Giska diam sebentar, tapi setelah itu ia mematikan ponsel genggamnya. Kurasa sudah ada kesepakatan antara keduanya. Semoga saja ini suatu keputusan yang benar. "Sudah, kita ke kantor polisi sekarang," ajak Mbak Giska setelah mematikan sambungan telepon dan menaruh benda pipih tersebut ke dalam tas. "Fix nih, Firman bebas?" Tante Soraya meyakinkan sekali lagi. "Ya, Tante. Salah kita juga saat melaporkan ke kantor polisi tanpa pendampingan pengacara, semua kita handle sendiri, dan tidak ada yang tahu juga bakal seperti ini," tutur Mbak Giska. Betul yang dikatakan olehnya. Kami mengira musuh su
"Nggak mungkin mereka dibawa. Saya sudah berikan perintah untuk diam di sini!" Mbok Tuti menyanggah tuduhan yang aku lontarkan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu bicara dengan seseorang. Mbak Giska terlihat kalut, jarinya digigit bagaikan wanita yang tengah mencemaskan suaminya. Padahal Adnan hanya orang kepercayaan, tapi ia kelihatan sekali khawatir terhadapnya. Aku menghela napas sambil meluapkan emosi karena bisa-bisanya aku percaya dengan Mbok Tuti. Namun, ketika hendak memutuskan masuk ke kantor polisi lagi, Mbok Tuti melambaikan tangannya. "Toro!" teriaknya memanggil seseorang. Ternyata orang kepercayaan yang berpenampilan preman itu muncul dari arah timur. Aku menyeruak memandang ke tempat sumber suara yang menyahuti Mbok Tuti, dan bahu turun seketika saat melihat sosok Tante Soraya dan Adnan muncul juga. Mereka mendekati kami termasuk Adnan dan Tante Soraya, "Maaf, Bu, tadi wanita ini kebelet katanya, jadi saya antar ke pom bensin di seberang sana. Mobil juga saya
"Yunna?" Aku menyapa wanita itu. Seorang dokter berseragam putih yang ternyata temanku sewaktu SMP di kampung dulu. "Nurma, kamu di Jakarta?" Yunna mengulurkan tangannya kemudian kami berjabat tangan. "Ya, kamu sendiri, Yunna, ada di sini sejak kapan?" tanyaku sedikit takjub melihat sosok wanita yang dulu cupu kini sangat terlihat cantik dan terurus. "Aku di Jakarta baru dua bulan, diminta praktek di sini oleh pemilik klinik, kebetulan papanya adalah teman karib papaku," jawabnya. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala seraya kagum. Wanita dari kampung yang sangat ulet dalam menggapai cita-citanya. Ya, aku ingat betul, sewaktu SMP memang ia menginginkan menjadi seorang dokter, dan kesampaian, aku acungkan jari jempol untuknya. "Eh, aku periksa dulu ya, siapa kamu? Suami?" Pertanyaan Yunna membuat mata kedua orang yang ada di dekatku terbelalak. "Bukan, silakan periksa, obati ya," seruku. Kemudian, Adnan dibawa olehnya ke ruangan tindakan. Sedangkan kami menunggu di depan rua
Aku menyoroti laki-laki itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu juga dengan Mbak Giska, ia tampak terkejut sama sepertiku. Namun, tidak dengan pria berhidung bangir itu, ia sontak tersenyum sambil menepuk keningnya. "Astaga, ternyata kalian di sini? Dan barusan Yunna minta antar berkas itu ke rumah kamu, Giska? Aku pikir temannya siapa," celetuk Eric membuat kedua alisku menyatu. Ia pikir yang dimaksud Yunna adalah Mbak Giska, padahal aku orangnya. "Kalian saling kenal, Mas?" tanya Yunna dengan wajah bingung. "Tapi temanku itu bukan Giska, Mas, Nurma namanya." Yunna menunjuk ke arahku. Tiba-tiba saja Eric terdiam, ia melirik ke arah Mbak Giska, sesekali melempar pandangan ke arahku. Ia mengangguk sambil mengusap leher bagian belakang. "Kami kenal, tadi juga Eric ini mau ketemu Mas Firman, iya kan?" Mbak Giska yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga. "I-iya, astaga, dunia sempit ya," cetus Eric. "Tapi aku masih belum paham loh, Nurma ini siapanya kamu, Giska?" Pert
Perlahan kaki ini menghampiri, dan baru selangkah ia pun menjawab, ternyata Tante Soraya yang tengah ambil minum."Tante, aku pikir siapa? Kirain Mbak Giska, kapan datang, Tante?" Aku mengulurkan tangan dan mengecup punggung tangan Tante Soraya. Ia yang tadi tengah meneguk air putih pun sontak melakukan hal yang sama, menyodorkan tangan untuk dikecup oleh orang yang sebenarnya adalah orang lain."Baru saja tiba, maaf kemaleman dan nggak ngabarin lagi. Jujur aja tadi sempat ketiduran di apartemen," jawab Tante Soraya. Mungkin ia lelah sampai ketiduran, kalau boleh mengeluh, aku pun sama, cukup lelah menjalani hidup ini yang penuh liku-liku. Namun, kalau teringat pengorbanan Mbak Giska, seharusnya yang pantas mengeluh itu beliau."Ya udah, Tante sekarang istirahat gih, aku juga mau tidur lagi setelah minum," jawabku sambil tersenyum.Tante Soraya menganggukkan kepalanya, ia melangkah meninggalkan dapur, sekarang tersisa aku sendirian di dapur ini.Aku tidak langsung istirahat, entah ken
"Hm, permisi Eric, kamu harus pergi," ucap Mbak Giska sambil menarik pergelangan tangan ini. Ia seperti menghindar dari Eric."Oh ya, silakan, Giska, aku juga buru-buru," sahut Eric.Kemudian, kami pun kembali masuk ke mobil. Begitu juga dengan Eric, soal tabrakan tadi dilupakan begitu saja oleh keduanya.Sepanjang perjalanan Mbak Giska kebanyakan diam. Begitu juga dengan Tante Soraya, ia hanya melirik sesekali, tapi kepalanya digelengkan sambil tersenyum.Kulihat mata Mbak Giska sedari tadi menyoroti kaca spion tengah. Ia begitu fokus melihat ke belakang, membuatku sesekali menoleh ke arah mobil yang ternyata Eric."Dia ngikutin, Mbak," ucapku."Iya, ngapain sih, aku kesel deh kalau ada laki-laki seperti Eric ini. Kan jelas-jelas sudah memiliki tunangan, temanmu pula, Nurma," tutur Mbak Giska.Aku mengangguk sambil mengatupkan gigi. "Iya tadi kan dia bilang lagi ingat masa lalu, emang Mbak dan dia itu ...."Aku ragu bertanya detail padanya. Sebab, tidak mungkin menyecar Mbak Giska."
Wanita itu Airin dan Mbok Tuti, mereka ada di Jogjakarta, di mana tempat kami hendak berlibur."Apa Mas Firman lagi dioperasi tulang ekornya, Mbak?" Aku mengajukan pertanyaan. Mbak Giska hanya menggelengkan kepalanya."Iya, siapa yang sangka kalau mereka juga ada di sini, suatu kebetulan yang berurutan," jawab Tante Soraya.Aku melirik ke arah Eric yang tampak kebingungan dengan obrolan kami. Tangannya mengusap rambut sambil menyorot ke arah depan ruang operasi juga."Nggak usah mau tahu urusan orang," celetuk Mbak Giska tiba-tiba membuat aku dan Tante Soraya saling beradu pandang."Astaga, Giska, salah terus kayaknya aku ini, segitu bencinya kamu padaku?" Eric mengembuskan napas sambil membelokkan badannya ke arahku. "Nurma, boleh tahu tanggal biasanya Giska haid?" Pertanyaan yang Eric lontarkan sungguh mengocok perut, ia membuatku tak tahan menahan tawa. Begitu juga dengan Tante Soraya, ia langsung menutup mulut dengan telapak tangan."Sudah kamu pergi dari sini, Eric. Nanti tunanga
Wanita itu meletakkan ponselnya ke telinga, lalu ia diam beberapa detik."Nggak ada jawaban," kata Airin sambil berdecak kesal. "Pelakor itu sengaja nggak angkat telepon dariku, biarin aja, aku akan balas nanti jika Mas Firman udah sembuh," celetuk Airin membuatku gemas. Rasanya ingin menghampiri orang itu, wanita yang menyebut Mbak Giska pelakor, padahal jelas-jelas ia sendiri orangnya.Namun, karena kami tengah bersembunyi, jadi emosi memuncak pun harus ditahan. Aku menoleh sebentar, melihat Mbak Giska yang tengah memegang handphone. Baru ingat kalau tadi tidak ada nada dering yang terdengar saat Airin menghubungi. Mbak Giska menunjuk ke arah layar dengan jari telunjuknya, ternyata sudah disilent. Pantas saja tidak ada nada dering yang masuk saat kedua wanita itu berniat meminta uang."Ya udah yuk! Aku mau jual emas yang Mas Firman berikan tiga tahun lalu, sebagai pelangkah," ucap Airin lagi membuatku bertambah panas. Ia bilang sebagai pelangkah? Memang dia siapa sampai minta jatah
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya