Airin mengucapkan kata demi kata, aku mengerti sedikit demi sedikit."Aku mau maafin dia, aku ingin tenang nggak punya musuh kalau nanti nggak ada umur," ucap Airin membuatku dan Mbak Giska saling menoleh.Seketika ia mengeluarkan air matanya. Airin bahkan terengah-engah mengatur napasnya."Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Apa yang kamu katakan tersebut sama saja mendahului takdir itu tidak boleh," pesan Mbak Giska.Derai air mata Airin sontak semakin deras. Bagis kapan memeluknya dengan cara menyergap."Kamu jangan bicara seperti itu lagi ya, umur itu rahasia Allah. Jangan kamu dahulukan," ucap Mbak Giska.Airin hanya menangis itulah yang iya tumpahkan saat bicara dengan kami. Begitu juga dengan mas Firman semua jadi tampak mengharukan."Airin dari semalam mengucapkan seperti itu," ucap Mas Firman."Aku di sini pura-pura nggak ngerti. Padahal aku paham apa yang dia katakan," ucap Mas Firman."Sudah, kalau memang Airin ingin membebaskan Helen, itu haknya, tapi alangkah lebih baikny
"Adnan, sini!" Mbak Giska memanggil Adnan ke tempat ia duduk. Kemudian, ia membisikkan sesuatu di telinganya.Aku semakin penasaran, sebab Mbak Giska tidak mengatakan langsung pada mereka. Adnan pun langsung ke luar, ia tidak bicara apa-apa, hanya mengangguk seraya paham."Kok main bisik-bisik, kan nggak boleh," celetuk Tante Soraya.Namun, Mbak Giska hanya tersenyum. Kemudian mengusap punggung tangan Airin pelan."Tunggu aja Adnan kembali ke sini, paling hanya butuh waktu setengah jam," ucap Mbak Giska pada Tante Soraya.Ini sesuatu yang membuat penasaran. Ia tidak mau memberikan informasi pada kami. Seakan semua harus menunggu Adnan.Sekitar setengah jam kemudian, Adnan kembali dengan seorang laki-laki berpakaian rapi dan memakai peci hitam, ada sorban melingkar di lehernya."Bu, ini sudah saya bawa ustadz nya," ucap Adnan.Aku mengernyitkan dahi, sebab keheranan dengan apa yang Adnan katakan."Kok ustadz? Apa mereka mau dinikahkan?" Lagi sekarang langsung memberikan jempol untukku.
Airin meminta buku dan pulpen. Kemudian ia memberikan isyarat pada kami untuk merekam segala apa yang ia ucapkan dan tuangkan di dalam buku itu.Adnan yang kami perintahkan untuk melakukan hal tersebut. Iya mulai merekam dari Airin memegang buku. Kemudian Airin pun mulai menuliskan semuanya yang ia ingin katakan.Sekitar dua menit kemudian ia menyerahkan kembali buku itu."Saya, Airin, dengan ini menyatakan ingin mencabut laporan terhadap Helen. Saya ikhlas dan menyatakan kasus ini sudah selesai. Tertanda, Airin, menandatangani dalam kondisi sadar."Seketika kami semua yang membacanya turut mengembuskan napas berbarengan. Antara salut dan sayang tapi mau gimana lagi, ini semua sudah keputusan dari Airin. Semoga ini adalah keputusan terbaik.Adnan mematikan videonya, lalu ia simpan untuk diserahkan pada pihak yang berwajib. Sebenarnya sangat disayangkan karena polisi sudah mencari bukti dan menangkap para pelaku. Namun, Airin meminta dilepaskan begitu saja. Ini tindakan kriminal, yang
Airin merasa ketakutan dengan sikap Sheila yang menakutkan. Namun siapa sangka ternyata Sella menyergap tubuh Airin."Jaga Mas Firman baik-baik, kamu wanita yang dipilihnya, aku ikhlas. Terima kasih telah menyambut laporan adikku."Seketika seisi ruangan pun turut menghela nafas lega. Masalah terhadap Sella dan Helen pun selesai. Ini semua karena Allah yang membolak-balikkan hati manusia.Setidaknya kami semua lega mendengar pernyataan Sella barusan. Terutama Mas Firman dan Airin. Mereka langsung tersenyum ketika wanita itu mengutarakan isi hatinya.Sebegitu indahnya kata maaf, dan begitu leganya memaafkan. Hidup akan terasa lebih tentram jika kita saling memaafkan. Sebab semua manusia pasti tidak luput dari kesalahan.Kemudian mereka bergegas ke kantor polisi. Ditemani oleh Adnan yang membawa rekaman tadi.Aku rasa semua sudah selesai, selanjutnya tinggal menata hati masing-masing."Adnan, nanti selepas dari kantor polisi, jangan lupa cari makan," pesanku sebelum mereka pergi. Namun,
Aku coba mendekati Eric. Lalu bertanya apa yang telah terjadi. Iya hanya menggelengkan kepala dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nanti Soraya yang tengah berpelukan dengan mbak Giska pun menoleh dan menghampiri kami."Ada apa lagi?" Mereka kompak bertanya pada Eric.Sementara laki-laki itu malah terus menggelengkan kepalanya. Lalu berteriak sekeras-kerasnya. "Yunna. Jangan tinggalin aku!" Seketika aku bisa menangkap apa yang ia katakan. "Maksudnya Yunna pergi meninggalkan kamu?" tanyaku."Ambulance yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan tunggal, Nurma, Giska!" Seketika aku terbelalak mendengarnya. Aku pun menggelengkan kepala seraya tak percaya."Nggak mungkin!" Mbak Giska pun tidak percaya dengan apa yang Eric katakan.Adnan sebagai lelaki turut menguatkan Eric. Ia menyuruhnya untuk tenang.Aku sendiri masih tidak percaya.Namun tiba-tiba televisi yang ada di bandara menyiarkan berita kecelakaan. Ya, kecelakaan ambulance yang ditumpangi mereka mengalami rem blong.Dalam
Kami semua beranjak dari tempat peristirahatan terakhir mas Firman dan Airin. Aku khususnya menganggap ini suatu pelajaran yang sangat berharga. Semua manusia akan kembali pada sang pencipta. Maka dari itu jangan sia-siakan waktu dan hidup untuk berbuat baik."Kita pulang, Mbak," ajakku."Kita ke pemakaman temanmu, Dokter Yunna," ajak Mbak Giska.Kami memang tidak mengantarkan jenazahnya sampai ke liang lahat. Namun doa dan berziarah ke makamnya, tidak membuat semua sia-sia.Aku mengindahkan ajakan Mbak Giska. Mumpung masih pagi dan keluarganya juga pasti masih berduka. Mbak Giska merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Ternyata ia menghubungi Erik terlebih dahulu.Mbak Giska menanyakan lokasi tempat pemakaman Yunna. Namun ternyata Eric bilang Dokter Yunna dimakamkan di kampung halaman, pihak keluarga yang memintanya untuk diterbangkan ke kampungnya yang tidak lain adalah kampungku juga."Ngomongin kampung, aku nggak ngasih tahu tentang kematian Airin dan mas Firman ke Mama, aku nelpon
"Halo, selamat pagi menjelang siang," ucap pria di ujung telepon. Jantungku berdetak kencang ketika Mbak Giska mengaktifkan speaker dan mendengar suara laki-laki yang suaranya terdengar tegas."Iya, ini siapa?" Mbak Giska meladeninya meskipun sambil menyorotku. Tangan kanan pun ikut mencengkram jari jemariku."Saya dari pihak kepolisian, ingin memberikan informasi ke Bu Giska, bahwa pasien yang mengalami kecelakaan kemarin murni kecelakaan tunggal."Aku menghela napas lega. Begitu juga dengan Mbak Giska. Rasa cemas pada Tante Soraya tiba-tiba mencair."Baik, Pak. Terima kasih atas penyelidikannya," jawab Mbak Giska.Kemudian sambungan telepon pun terputus. Mbak Giska mengantongi ponselnya kembali dan kembali mencemaskan Tante Soraya."Tahu itu tadi Adnan jangan pulang dulu, biar cari Tante Soraya." Lagi sekarang menyesal karena tidak ada yang bisa diperintah lagi. Di sini tinggal kami berdua.Tidak lama kemudian aku mendengar suara Tante Soraya. "Giska, Nurma!" teriaknya. Ternyata ada
Kami langsung menghampiri dokter yang tengah melepaskan stetoskop. Lalu berbicara pada kami dengan mimik wajah serius."Gimana Tante saya, Dok?" tanya Mbak Giska sangat kelihatan cemas."Maaf, saya sudah berusaha menolong, tapi pasien sudah tidak bernyawa." Ucapan dokter membuat lututku sulit menopang kedua kaki. Aku dan Mbak Giska luruh ke lantai bersamaan."Inalillahi wa innailaihi rojiun," ucapku meskipun agak sulit. "Sabar, Bu. Seperti yang tadi ibu bilang, pasien kurang cairan, ditambah terserang gerd," jawab dokter.Aku memegang dada. Rasa bersalah mulai muncul dan merasuki hati juga pikiran. Belakangan banyak masalah, makan Tante Soraya sudah tidak teratur lagi. Ternyata ia memiliki penyakit kronis."Apa Tante Soraya sudah memiliki penyakit ini, Dok?" tanyaku penasaran. Khawatir menjadi bulan-bulanan keluarganya di Turki jika mengetahui Tante Soraya di sini meninggal dunia akibat membantu menyelesaikan masalah keponakannya."Sebuah penyakit pencernaan yang mana asam lambung at
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya