Namun belum sempat Eric bertanya pada suster yang ia kenal, ada seorang suster menghampiri kami."Pasien sudah dipindah ke ruang rawat inap lagi, Pak, Bu," ungkap suster.Akhirnya kami bernapas lega ternyata tidak ada hal buruk yang terjadi. Namun yang masih mengkhawatirkan adalah keberadaan Tante Soraya dan Adnan.Kami berusaha menghubungi mereka sambil berjalan menuju ruangan rawat inap Airin dan Mas Firman. Kata suster mereka tadi keluar dan menitipkan pasien pada suster."Mungkin lagi beli makan kali," kata Mbak Giska."Tapi kenapa handphone keduanya nggak aktif ya? Aku khawatir," jawabku."Positive thinking aja, kali handphonenya lowbat." Yunna turut menenangkanku.Tidak lama kemudian suara dering telepon berbunyi. Handphone Mbak Giska yang masih di dalam tasku berdering, panggilan masuk dari Tante Soraya. Ada sedikit tenang sebab panggilan telepon itu dari Tante Soraya. Itu artinya teleponnya sudah aktif.Mbak Giska pun mengangkat sambungan telepon dari tantenya. Kemudian dia b
Yunna menghela napas panjang setelah menerima panggilan masuk dari yayasan. Kemudian meraih tasnya dan mengajak Eric pergi."Kami ke yayasan dulu. Mbak Sella minta pulang ke Jakarta," ucap Yunna. "Sepertinya aku tidak ke sini lagi, ingin mengabarkan ke mamanya Helen, bahwa anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana, kita ketemu di Jakarta aja ya," tambahnya.Eric pun berpamitan. Ia akan mendampingi Yunna dan sepupunya yang memiliki gangguan jiwa. Kami mengucapkan banyak terima kasih pada Yunna dan Eric sebelum mereka bergegas meninggalkan rumah sakit ini. Terutama Mbak Giska, ia sangat berterima kasih pada keduanya.Setelah mereka pamit, keduanya bergegas ke yayasan untuk menjemput sepupunya.Sekarang tersisa kami di sini. Kalau bukan aku dan Mbak Giska, siapa yang menemani mereka, tentu tidak ada. Jadi, satu-satunya jalan. Aku menyarankan untuk pindah rumah sakit."Kalau kalian sudah merasa baikan, kita minta pindah rumah sakit aja," usulku.Mas Firman sudah tentu lebih baik, namun
"Adnan berjanji pada Mama bahwa ia akan menjaga kamu," terang Mama. Aku terkekeh dibuatnya. Bisa-bisanya mamaku percaya dengan omongan Adnan. Sementara dia di Jakarta sedangkan aku di Jogjakarta, Adnan baru datang kemarin, itu pun karena disuruh Tante Soraya."Ya udah, aku ke rumah sakit dulu, Mah. Mbak Giska sudah nungguin." Aku pamit pada mama yang berada di ujung telepon. Kemudian telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Aku kembali ke ruang makan di sana sudah ada mbak iska dan tanda seorang ayah menunggu, ia sengaja tidak menghampiriku. Sebab ingin memberikan aku waktu untuk bicara dengan Mama meskipun melalui sambungan telepon.Kemudian setelah melihat kedatanganku bagi kamu aja turun ke parkiran. Kami bergegas ke rumah sakit bersama-sama.Sepanjang jalan bagi sekarang menanyakan tidurnya Adnan. Sebab semalam kami ketiduran jadi tidak tahu Adnan bermalam di hotel yang sama atau tidak. Ia menjawab bahwa semalam tidur di kamar sebelah.Kemudian aku mendapatkan
Airin mengucapkan kata demi kata, aku mengerti sedikit demi sedikit."Aku mau maafin dia, aku ingin tenang nggak punya musuh kalau nanti nggak ada umur," ucap Airin membuatku dan Mbak Giska saling menoleh.Seketika ia mengeluarkan air matanya. Airin bahkan terengah-engah mengatur napasnya."Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Apa yang kamu katakan tersebut sama saja mendahului takdir itu tidak boleh," pesan Mbak Giska.Derai air mata Airin sontak semakin deras. Bagis kapan memeluknya dengan cara menyergap."Kamu jangan bicara seperti itu lagi ya, umur itu rahasia Allah. Jangan kamu dahulukan," ucap Mbak Giska.Airin hanya menangis itulah yang iya tumpahkan saat bicara dengan kami. Begitu juga dengan mas Firman semua jadi tampak mengharukan."Airin dari semalam mengucapkan seperti itu," ucap Mas Firman."Aku di sini pura-pura nggak ngerti. Padahal aku paham apa yang dia katakan," ucap Mas Firman."Sudah, kalau memang Airin ingin membebaskan Helen, itu haknya, tapi alangkah lebih baikny
"Adnan, sini!" Mbak Giska memanggil Adnan ke tempat ia duduk. Kemudian, ia membisikkan sesuatu di telinganya.Aku semakin penasaran, sebab Mbak Giska tidak mengatakan langsung pada mereka. Adnan pun langsung ke luar, ia tidak bicara apa-apa, hanya mengangguk seraya paham."Kok main bisik-bisik, kan nggak boleh," celetuk Tante Soraya.Namun, Mbak Giska hanya tersenyum. Kemudian mengusap punggung tangan Airin pelan."Tunggu aja Adnan kembali ke sini, paling hanya butuh waktu setengah jam," ucap Mbak Giska pada Tante Soraya.Ini sesuatu yang membuat penasaran. Ia tidak mau memberikan informasi pada kami. Seakan semua harus menunggu Adnan.Sekitar setengah jam kemudian, Adnan kembali dengan seorang laki-laki berpakaian rapi dan memakai peci hitam, ada sorban melingkar di lehernya."Bu, ini sudah saya bawa ustadz nya," ucap Adnan.Aku mengernyitkan dahi, sebab keheranan dengan apa yang Adnan katakan."Kok ustadz? Apa mereka mau dinikahkan?" Lagi sekarang langsung memberikan jempol untukku.
Airin meminta buku dan pulpen. Kemudian ia memberikan isyarat pada kami untuk merekam segala apa yang ia ucapkan dan tuangkan di dalam buku itu.Adnan yang kami perintahkan untuk melakukan hal tersebut. Iya mulai merekam dari Airin memegang buku. Kemudian Airin pun mulai menuliskan semuanya yang ia ingin katakan.Sekitar dua menit kemudian ia menyerahkan kembali buku itu."Saya, Airin, dengan ini menyatakan ingin mencabut laporan terhadap Helen. Saya ikhlas dan menyatakan kasus ini sudah selesai. Tertanda, Airin, menandatangani dalam kondisi sadar."Seketika kami semua yang membacanya turut mengembuskan napas berbarengan. Antara salut dan sayang tapi mau gimana lagi, ini semua sudah keputusan dari Airin. Semoga ini adalah keputusan terbaik.Adnan mematikan videonya, lalu ia simpan untuk diserahkan pada pihak yang berwajib. Sebenarnya sangat disayangkan karena polisi sudah mencari bukti dan menangkap para pelaku. Namun, Airin meminta dilepaskan begitu saja. Ini tindakan kriminal, yang
Airin merasa ketakutan dengan sikap Sheila yang menakutkan. Namun siapa sangka ternyata Sella menyergap tubuh Airin."Jaga Mas Firman baik-baik, kamu wanita yang dipilihnya, aku ikhlas. Terima kasih telah menyambut laporan adikku."Seketika seisi ruangan pun turut menghela nafas lega. Masalah terhadap Sella dan Helen pun selesai. Ini semua karena Allah yang membolak-balikkan hati manusia.Setidaknya kami semua lega mendengar pernyataan Sella barusan. Terutama Mas Firman dan Airin. Mereka langsung tersenyum ketika wanita itu mengutarakan isi hatinya.Sebegitu indahnya kata maaf, dan begitu leganya memaafkan. Hidup akan terasa lebih tentram jika kita saling memaafkan. Sebab semua manusia pasti tidak luput dari kesalahan.Kemudian mereka bergegas ke kantor polisi. Ditemani oleh Adnan yang membawa rekaman tadi.Aku rasa semua sudah selesai, selanjutnya tinggal menata hati masing-masing."Adnan, nanti selepas dari kantor polisi, jangan lupa cari makan," pesanku sebelum mereka pergi. Namun,
Aku coba mendekati Eric. Lalu bertanya apa yang telah terjadi. Iya hanya menggelengkan kepala dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nanti Soraya yang tengah berpelukan dengan mbak Giska pun menoleh dan menghampiri kami."Ada apa lagi?" Mereka kompak bertanya pada Eric.Sementara laki-laki itu malah terus menggelengkan kepalanya. Lalu berteriak sekeras-kerasnya. "Yunna. Jangan tinggalin aku!" Seketika aku bisa menangkap apa yang ia katakan. "Maksudnya Yunna pergi meninggalkan kamu?" tanyaku."Ambulance yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan tunggal, Nurma, Giska!" Seketika aku terbelalak mendengarnya. Aku pun menggelengkan kepala seraya tak percaya."Nggak mungkin!" Mbak Giska pun tidak percaya dengan apa yang Eric katakan.Adnan sebagai lelaki turut menguatkan Eric. Ia menyuruhnya untuk tenang.Aku sendiri masih tidak percaya.Namun tiba-tiba televisi yang ada di bandara menyiarkan berita kecelakaan. Ya, kecelakaan ambulance yang ditumpangi mereka mengalami rem blong.Dalam
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya