"Akhirnya kamu datang, Nurma, jujur saja, aku mencemaskan Giska," ungkap Mas Firman. Iya sangat antusias melihat kedatangan kami."Kalian rebahan aja ya, jangan bangkit dari sandaran kalian itu masih perlu istirahat yang banyak," pesanku padanya.Manusia itu kadang mudah berubah. Yang baik bisa jadi jahat dan sebaliknya, yang jahat bisa berubah jadi baik. Beruntunglah orang yang masih diberi kesempatan untuk berubah, apalagi orang yang tadinya jahat kini menjadi baik karena satu hal yang ia temui.Kaki ini melangkah ke arah Mas Firman dan Airin. Aku dan Tante Soraya serempak dan kompak menuju ke tengah-tengah mereka.Pertama aku menyoroti Mas Firman. Kemudian berpindah memandang Airin."Penuh perjuangan berada di sini. Alhamdulillah kita dipertemukan. Jujur aku ingin berterima kasih pada kalian, walaupun Mbak Siska belum keluar dari tahanan, tapi setidaknya dengan kami temukannya kalian di sini, aku sudah cukup tenang, karena tadi kami berdua sempat putus asa, mikirnya kalian tuh dise
Ketukan pintu itu pun terdengar aku segera berteriak memberikan izin untuk masuk. Ada dua orang petugas yang datang keduanya menghampiri kami.Mereka menyodorkan tangannya dan bersalaman pada kami semua. Termasuk pada Mas Firman dan Airin.Sebelumnya aku memberikan informasi bahwa Airin hanya bisa menjawab dengan anggukan atau dengan menulis apa yang ingin dia jawab."Baik karena saya sudah mengetahui kondisi saudari korban. Yang memang harus saya interogasi sebagai saksi juga. Kami memulai pertanyaan pertama. Saudari Airin, apa perampok itu langsung mengincar Anda dan teman Anda yang satunya?"Pertanyaan pertama sudah terlontarkan oleh polisi. Airin pun menganggukan kepalanya. Kemudian ia menggerakkan mulutnya seperti orang yang bisa mengeluarkan suara saja. Padahal kami tidak mendengar dan mengerti apa yang ia bicarakan.Kasihan Airin tidak bisa mengutarakan apa yang ingin ia katakan."Pak, sepertinya Airin ingin menceritakan sesuatu lebih baik memakai buku dan pulpen saja," saranku
"Oh ya, Mas. Perkenalkan saya Nurma, ini rekan saya Eric dan Yunna."Aku menyodorkan tangan dan kami semua berjabat tangan sebagai salam perkenalan."Boleh saya bicara sesuatu dengan kalian? Jujur saya sangat prihatin sebelumnya, atas kejadian yang menimpa saudara Anda, turut berduka cita juga atas meninggalnya salah satu korban. Saya ke sini karena berinisiatif untuk membantu korban, sebagai bentuk kepedulian saya terhadap sesama manusia. Kecelakaan yang menimpa kedua korban sangat menguras simpatik saya, sebab menurut saksi yang saya tanya ini bukan kecelakaan tidak disengaja, tapi merupakan rekayasa," ungkapnya membuatku berdiri dengan serius.Inikah yang dinamakan doa terkabul pada waktu yang tepat? Tiba-tiba datang seseorang saat kami tengah buntu, dan orang itu pun berinisiatif membantu."Kita bicara serius bagaimana di kantin atau di mana gitu?" tanyaku padanya."Boleh, kita bicarakan ini di kantin, biar lebih nyaman," jawabnya."Sebentar, saya meminta izin pada Tante saya dulu
Kemudian, Eric menyingkirkan tong sampah tersebut. Ternyata ada pria yang tempo hari kami pergoki memantau segala kegiatan kami. Ya, laki-laki tersebut adalah orang suruhan Helen."Bawa aja sekalian ke kantor polisi, dia laki-laki yang waktu itu dilepaskan Mbak Giska, siapa tahu bisa membantu menemukan titik terang tentang Helen juga," usulku pada Eric.Kemudian wartawan itu membantu Erik menyekap lelaki yang tadi bersembunyi di balik tong sampah. Kami membawanya ke mobil untuk diserahkan ke kantor polisi.Dikarenakan kami membawa pria itu. Akhirnya aku dan Yunna terpisah mobilnya. Kami berdua menggunakan mobil yang dikendarai oleh Pak Heru, sopir kami. Sementara Erik Heri dan pria yang kami tangkap tadi berada dalam satu mobil.Sepanjang perjalanan aku dan Yunna turut cemas. Khawatir pria tadi berlaku nekat pada Eric dan wartawan yang kami bawa.Namun penuh dengan rasa syukur, ternyata kekhawatiran kami hanya berlebihan saja. Mereka tiba di lokasi dengan aman.Kemudian kami turun dan
Namun belum sempat Eric bertanya pada suster yang ia kenal, ada seorang suster menghampiri kami."Pasien sudah dipindah ke ruang rawat inap lagi, Pak, Bu," ungkap suster.Akhirnya kami bernapas lega ternyata tidak ada hal buruk yang terjadi. Namun yang masih mengkhawatirkan adalah keberadaan Tante Soraya dan Adnan.Kami berusaha menghubungi mereka sambil berjalan menuju ruangan rawat inap Airin dan Mas Firman. Kata suster mereka tadi keluar dan menitipkan pasien pada suster."Mungkin lagi beli makan kali," kata Mbak Giska."Tapi kenapa handphone keduanya nggak aktif ya? Aku khawatir," jawabku."Positive thinking aja, kali handphonenya lowbat." Yunna turut menenangkanku.Tidak lama kemudian suara dering telepon berbunyi. Handphone Mbak Giska yang masih di dalam tasku berdering, panggilan masuk dari Tante Soraya. Ada sedikit tenang sebab panggilan telepon itu dari Tante Soraya. Itu artinya teleponnya sudah aktif.Mbak Giska pun mengangkat sambungan telepon dari tantenya. Kemudian dia b
Yunna menghela napas panjang setelah menerima panggilan masuk dari yayasan. Kemudian meraih tasnya dan mengajak Eric pergi."Kami ke yayasan dulu. Mbak Sella minta pulang ke Jakarta," ucap Yunna. "Sepertinya aku tidak ke sini lagi, ingin mengabarkan ke mamanya Helen, bahwa anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana, kita ketemu di Jakarta aja ya," tambahnya.Eric pun berpamitan. Ia akan mendampingi Yunna dan sepupunya yang memiliki gangguan jiwa. Kami mengucapkan banyak terima kasih pada Yunna dan Eric sebelum mereka bergegas meninggalkan rumah sakit ini. Terutama Mbak Giska, ia sangat berterima kasih pada keduanya.Setelah mereka pamit, keduanya bergegas ke yayasan untuk menjemput sepupunya.Sekarang tersisa kami di sini. Kalau bukan aku dan Mbak Giska, siapa yang menemani mereka, tentu tidak ada. Jadi, satu-satunya jalan. Aku menyarankan untuk pindah rumah sakit."Kalau kalian sudah merasa baikan, kita minta pindah rumah sakit aja," usulku.Mas Firman sudah tentu lebih baik, namun
"Adnan berjanji pada Mama bahwa ia akan menjaga kamu," terang Mama. Aku terkekeh dibuatnya. Bisa-bisanya mamaku percaya dengan omongan Adnan. Sementara dia di Jakarta sedangkan aku di Jogjakarta, Adnan baru datang kemarin, itu pun karena disuruh Tante Soraya."Ya udah, aku ke rumah sakit dulu, Mah. Mbak Giska sudah nungguin." Aku pamit pada mama yang berada di ujung telepon. Kemudian telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Aku kembali ke ruang makan di sana sudah ada mbak iska dan tanda seorang ayah menunggu, ia sengaja tidak menghampiriku. Sebab ingin memberikan aku waktu untuk bicara dengan Mama meskipun melalui sambungan telepon.Kemudian setelah melihat kedatanganku bagi kamu aja turun ke parkiran. Kami bergegas ke rumah sakit bersama-sama.Sepanjang jalan bagi sekarang menanyakan tidurnya Adnan. Sebab semalam kami ketiduran jadi tidak tahu Adnan bermalam di hotel yang sama atau tidak. Ia menjawab bahwa semalam tidur di kamar sebelah.Kemudian aku mendapatkan
Airin mengucapkan kata demi kata, aku mengerti sedikit demi sedikit."Aku mau maafin dia, aku ingin tenang nggak punya musuh kalau nanti nggak ada umur," ucap Airin membuatku dan Mbak Giska saling menoleh.Seketika ia mengeluarkan air matanya. Airin bahkan terengah-engah mengatur napasnya."Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Apa yang kamu katakan tersebut sama saja mendahului takdir itu tidak boleh," pesan Mbak Giska.Derai air mata Airin sontak semakin deras. Bagis kapan memeluknya dengan cara menyergap."Kamu jangan bicara seperti itu lagi ya, umur itu rahasia Allah. Jangan kamu dahulukan," ucap Mbak Giska.Airin hanya menangis itulah yang iya tumpahkan saat bicara dengan kami. Begitu juga dengan mas Firman semua jadi tampak mengharukan."Airin dari semalam mengucapkan seperti itu," ucap Mas Firman."Aku di sini pura-pura nggak ngerti. Padahal aku paham apa yang dia katakan," ucap Mas Firman."Sudah, kalau memang Airin ingin membebaskan Helen, itu haknya, tapi alangkah lebih baikny
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya