Bab 145Mulai percaya diri********"Perempuan seperti itu harus ditenggelamkan!" Cinta menyunggingkan senyumnya dan menatap Yana dengan sorot mata yang sulit diartikan."Maksud kamu gimana, Cinta?" tanya Yana bingung.Cinta tersenyum dan mengetuk-ngetuk bibirnya seraya menatap Yana dengan senyum licik. Mendapat tatapan yang berbeda dari biasanya ,Cinta membuat Yana mulai risih. Berikutnya, Cinta tertawa kecil dan mengajak Yana masuk ke dalam kamarnya.Yana memindai kamar Cinta yang begitu mewah dengan desain elegan dan mewah. Ranjang king size dan sprei mewah berwarna putih senada dengan warna gorden dan dinding kamar yang mendominasi. Ada sebuah lemari besar dan mewah dan sebuah televisi berukuran jumbo.Cinta membuka sebuah lemari dan mengeluarkan sebuah kotak, lalu meletakkan kotak tersebut di hadapan Yana.Cinta meminta Yana untuk duduk di sebuah sofa yang unik. Sofa itu terlihat melengkung dan ketika Yana mendudukinya, punggungnya merasa rileks."Oke, aku akan mulai dengan menat
Bab 146 *****Fikri menatap Reka dengan datar. "Maaf, semua urusan rumah aku serahkan pada istriku. Jadi kalau dia nggak menyiapkan sarapan untukmu. Itu hak dia. Lagi pula, istriku benar. Kamu siapa di rumah ini?" "Bang. Aku ini ibunya Farhan. Dan Farhan adalah anakmu. Jadi tentu saja aku harus dilayani." Reka bersidekap dada."Melayani? Siapa yang kamu minta melayani? Aku? Maaf, aku sibuk." Yana melanjutkan sarapannya dan tidak menggubris ocehan Reka."Kalau gitu, aku minta uang buat beli susu dan diapers Farhan. Nggak banyak, cuma lima juta aja." Reka menadahkan tangannya pada Fikri."Kamu minta aja sama Yana. Uangku sama dia semua." Fikri mengangkat dagu dan menunjuk ke arah Yana."Mana uangnya?" Reka menadah tangan pada Yana."Aku udah pesan susu dan diapers buat Farhan. Sebentar lagi juga kurirnya datang," ujar Yana santai."Apa? Kamu beli susu dan diapers apa buat anakku? Nggak usah sok tahu, deh." Reka menatap Yana dengan tajam.Yana membalas tatapan tajam Reka dan bersidekap
Bab 147Tipu Daya Bu Wongso******Pagi dengan sinar matahari yang begitu terang. Embun masih terasa sejuk di kulit. Burung-burung sudah keluar dari sarangnya hendak mencari makan untuk anak-anaknya yang baru menetas. Pohon yang baru saja berbunga menebarkan aroma wangi. Semerbak bersama semilir angin pagi. Bu Wongso keluar dari rumahnya. Dia berniat untuk menemui orang kepercayaan Arif di desa. Bu Wongso meminta klarifikasi tentang kiriman hasil panen yang menurun semenjak kematian Arif. Bu Wongso menghentikan sebuah mobil yang biasa membawanya berangkat ke desa. Segera Bu Wongso meminta sopir mobil untuk melajukan kendaraannya.Sesampai di desa, Bu Wongso langsung menemui orang yang telah dipercaya oleh almarhum Arif untuk mengelola sawah yang berada di desa Bulian Jaya. Bu Wongso mengetuk pintu berkali-kali rumah yang terbuat dari dinding papan dan atap rumbia Itu tampak sepi. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon pinang dan juga pohon buah-buahan seperti jambu air dan mangga.Bu
Bab 148*****Pak Suwarno menerima surat dari tangan istrinya tersebut dengan senyum, lalu menyerahkannya kepada Bu Wongso. Bu Wongso mengernyitkan keningnya, lalu membuka map tersebut dengan buru-buru. Matanya membulat sempurna saat melihat isi surat dari map tersebut. Surat yang telah mengesahkan bahwa Pak Suwarno dan istrinya sudah diberikan kepercayaan oleh Arif dalam kurun waktu seumur hidup. Surat tersebut telah disahkan secara hukum yang berarti tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu gugat keputusan tersebut. Terlebih di dalam surat tersebut juga tertulis bahwa kontrak tersebut tetap berlaku jika Arif meninggal dunia.Wajah Bu Wongso berubah merah padam. Tampak kemarahan yang teramat sangat dari raut wajahnya. Bu Wongso meremas salinan surat tersebut Lalu mengambil tas jinjingnya dan pergi meninggalkan rumah Pak Suwarno tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Pak Suwarno dan istrinya hanya mampu mengelus dada. Mereka merasa lega karena Arif mengambil keputusan yang tepat sebelu
Bab 149Kedatangan Bu Wongso******Bu Wongso segera memesan tiket pesawat untuk berangkat ke kota Jambi. Dengan alamat yang diberikan oleh Burhan, Bu Wongso bertekad untuk mengambil kembali surat tanah yang telah dihibahkan oleh Arif kepada Dila. Bu Wongso tidak rela jika sebagian dari harta mereka diberikan kepada Dila karena dia merasa kalau Dila dan Yana tidak pantas mendapatkan harta warisan tersebut.Sesampai di kota Jambi, Bu Wongso langsung menuju kediaman Yana dan Fikri. Rumah tersebut tampak sepi. Pintu pagar yang tinggi terkunci dengan rapat. Bu Wongso tersenyum miring memperhatikan rumah tersebut. Dia menekan tombol bel berkali-kali. Hingga seorang perempuan tergopoh-gopoh membukakan pintu."Mau bertemu siapa?" tanya perempuan itu yang tidak lain adalah asisten rumah tangga di rumah Fikri. Bu Wongso mencibirkan bibirnya."Saya mau bertemu dengan Yana, sahutnya.Perempuan itu mempersilahkan Bu Wongso masuk dan meminta beliau untuk menunggu di ruang tamu.Bu Wongso memperhat
Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t
Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya
Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter