"Jangan pernah menghina Ibu saya atau kamu akan saya habisi, Hakam!!" cengkraman Arjuna terlihat semakin kuat. Mata dengan iris hitamnya menatap tajam wajah mantan suami, dan aku lihat rahangnya kian mengeras serta berkedut-kedut menandakan kalau dia sudah berada di level kemarahan tertinggi.
Sungguh. Aku merasa ngeri melihat Arjuna kian terpancing emosi, takut dia tidak bisa mengendalikan diri. Kasihan Tante Dewi kalau sang putra sampai berbuat nekat dan terjerat hukum."Aduh!!" pekikku seraya memegangi kepala, berpura-pura pingsan untuk mengalihkan perhatian mereka.Tanpa diduga, Arjuna berjalan mendekat, mengangkat tubuhku dan membawanya entah kemana.Ya Tuhan...Aku pikir dia akan pergi meninggalkan aku yang tergeletak di lantai. Tapi ternyata dia masih punya hati dan perasaan juga.Suara detak jantung Arjuna terdengar bertalu-talu bagai alunan lagu. Aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya membuat diri ini merasa aneh. Ada yang berdePerlahan meneguk air tersebut, meletakkan gelas kosong di atas meja kemudian bangun dan duduk dengan kaki menjuntai di sofa."Ya sudah kalau begitu. Saya permisi dulu. Sudah siang, mau pulang." "Kamu itu baru siuman? Memangnya kuat jalan sampai ke depan?!" Ya kuatlah. Orang pingsan bohongan."Insya Allah, Mas. Saya itu bukan wanita lemah.""Saya tau!"Dahiku mengeryit menatapnya dengan mimik heran. "Ekspresinya biasa saja!!" celetuknya lagi.Ih... Rasanya pengen banget nyubit bibirnya pake tang, biar dia tidak bisa berbicara lagi.Beranjak dari sofa, menyambar tasku yang tergeletak di atas meja kemudian berjalan keluar dari ruangan tersebut. "Rini, tunggu!" Aku nenyentak napas dan menghentikan langkah."Ada apa?""Saya minta maaf.""Maaf untuk apa, Mas? Kamu nggak pernah salah sama saya. Kamu 'kan nggak pernah punya dosa!" "Karena saya sudah me
Pagi-pagi sekali, semua orang yang ada di rumah Bunda terlihat sibuk mempersiapkan diri. Pun dengan diriku yang bertugas menemani Saquina, mendampingi pengantin perempuan menuju aula masjid tempat dimana dia akan melangsungkan pernikahannya dengan Raihan, putra seorang Gus menurut cerita yang aku dengar.Wajah Saquina terlihat begitu cantik walaupun hanya mengenakan riasan sederhana. Dia memang sosok perempuan bersahaja yang tidak pernah berlebihan dalam berpakaian maupun kehidupannya sehari-hari, mungkin itu sifat turunan dari Bunda."Kenapa, mupeng liat penganten?" ekor mataku melirik ke arah sumber suara, memindai sekilas lelaki berkoko putih dengan rambut diikat rapi.Sumpah, kalau berdandan seperti itu, Arjuna sudah persis seperti orang beneran, karena penampilannya setiap hari justru membuat dia terlihat seperti seorang preman. Bukan polisi."Saya sudah pernah menjadi pengantin. Yah... walaupun tidak pernah mencicipi yang namanya duduk di pelaminan." Jawabku tanpa menoleh."Oh,
Segera menundukkan wajah, aku membuang pandang ke arah lain merasa risi karena terus diperhatikan seperti itu. Semoga saja setelah acara sungkeman, Tante Dewi dan Bunda Efita memberi izin untuk pulang, karena mulai kurang kerasaan berada di tengah-tengah mereka jika ada Arjuna."Rin, ayo kita foto-foto dulu buat kenang-kenangan." Ajak ibunya Arjuna seraya menarik pelan tangan ini."I--iya, Tan." Mengikuti langkah perempuan tersebut seperti anak kecil yang sedang diiming-imingi permen. Aku tidak bisa menolak permintaan Tante Dewi karena merasa tidak enak.Selesai sesi foto-foto aku pamit pulang kepada mereka semua dengan alasan ada pekerjaan yang belum terselesaikan."Terima kasih ya, Nak Rini. Sudah mau direpotkan. Nanti kalau kamu dan Juna menikah, insya Allah Bunda bantuin keteringnya. Bunda diskon lima puluh persen deh." Seloroh Bunda diikuti gelak tawa semua orang yang ada."Masa lima puluh persen, Wa. Gratislah sama keponakan satu-sa
"Terus aku harus bagaimana, Mas?" tanyaku mulai sedikit takut."Mungkin sementara kamu bisa tinggal di rumahku saya. Sekalian nemenin Ibu!" dahiku mengeryit mendengar jawaban dari Arjuna.Ah, kayaknya ini akal-akalan dia saja. Untuk apa menyuruhku untuk tinggal di rumah dia? Ih, dasar omes. Pasti ada sesuatu yang malah justru sedang dia rencanakan."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Insya Allah aku aman di sini, kok. Lagian, di rumah ini juga ada dua orang penjaga!" tolakku secara halus." Ya Sudah. Tapi kalau ada apa-apa langsung hubungi saya. Saya akan siaga dua puluh empat jam untuk kamu!" "Iya, Mas." Aku lekas turun dari mobil Arjuna, melambaikan tangan sembari melengkungkan bibir lalu segera masuk dan mangunci pintu.Entah mengapa, setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Arjuna, tiba-tiba rasa takut mulai menghantui hati. Sedikit ngeri jika Mas Erwin benar-benar muncul dan berbuat macam-macam terhadap diriku.Astaghfiru
"Terima kasih, Rin. Boleh pinjem hairdryer dan sisir? Saya lupa bawa!" aku berjingkat kaget karena tiba-tiba dia sudah berada di depanku dengan pakaian yang sudah terlihat rapi namun rambut masih acak-acakan.Tampan, mempesona, menggoda, itu yang aku lihat dalam diri Arjuna ketika selesai membersihkan diri. Sayang dia galak dan nyebelin. "Bengong lagi?" dia menjentikkan jari tepat di depan wajah.Dasar nggak sopan."Ada, Mas. Aku ambil dulu di kamar. Tapi kamu jangan ikut masuk."Arjuna terkekeh mendengar jawabanku. Ini kali pertamanya melihat si Beruang Kutub tertawa selama kami saling mengenal.Membuka laci, mengambil benda-benda yang dia minta lalu segera menyerahkannya."Makanya jadi cowok rambutnya jangan panjang-panjang. Jadi nggak usah sisiran dan pake hairdrayer juga udah rapi!""Saya suka rambut panjang!" jawabnya singkat."Ya sudah. Aku mau berangkat ke butik. Mas Juna sebaiknya pergi karena
"Argh...!!"Dengan sekuat tenaga menggigit telapak tangannya hingga dia berteriak kesakitan lalu melepas dekapannya. Aku segera berlari masuk ke dalam butik, akan tetapi dia malah mengejarku masuk. Devi menjerit ketakutan mengikutiku masuk ke dalam ruangan dan menguncinya dari dalam, dan segera menghubungi Arjuna meminta dia untuk datang."Pokoknya kamu ke butik aku sekarang juga!" perintahku kepada Arjuna, karena sudah takut luar biasa. Prang!!Prang!!Terdengar suara kegaduhan di toko, membuat semua orang yang bersembunyi bertambah ketakutan. Pun dengan diriku yang sudah gemetaran saking takutnya."Ya Allah, Mas Juna. Mudah-mudahan kamu dan teman-teman kamu segera datang dan membantu kami.""Rini, buka pintunya!!" brak! Brak! Brak!Terdengar suara Mas Erwin menggendor-gedor pintu ruanganku. Aku dan anak-anak tetap diam, ingin melompat dari jendela tapi ruang kerjaku berada di lantai dua. Kini, kami semua hany
"Dada aku sakit, Mas. Sesek banget," kataku seraya menekan dada menahan sakit yang sebenarnya sudah mulai berkurang."Aku panggil dokter dulu. Kamu sabar ya, Rin." Dia berjalan menjauh dariku, membuka pintu kamar rawat inap dan tidak lama kemudian kembali bersama seorang perempuan beralmamater putih."Saya periksa dulu, ya, Mbak?" Dokter mulai memeriksa keadaanku, mengecek tekanan darah serta detak jantung. "Insya Allah Mbak Rini baik-baik saja, hanya perlu banyak-banyak istirahat dan tidak boleh stres," terangnya kemudian.Arjuna terlihat menghela napas lega. Mata elang lelaki bertubuh tinggi besar itu tidak pernah lepas dari wajahku, terus memindai dengan mimik aneh, membuat diri ini sedikit takut kalau dia mencurigai aku sedang bersandiwara."kamu kenapa, Mas? Kok ekspresinya aneh begitu?" tanyaku seraya balik menatap wajah Arjuna."Enggak, Rin. Apa kamu benar-benar baik-baik saja?" dia balik bertanya."Iya, Mas. Aku
Hari ini, pihak rumah sakit sudah mengizinkan aku pulang ke rumah karena keadaanku sudah semakin membaik dan sesak di dada sudah tidak lagi aku rasakan.Arjuna dan Tante Dewi sudah datang pagi-pagi sekali ingin menjemputku sebab Om Risman dan Mbak Neti sedang ada urusan sendiri.Aku juga bingung. Entah mengapa kedua orang kepercayaanku malah tidak mau datang menjemput disaat aku berada di rumah sakit.Tapi sudahlah. Jangan pernah berharap lebih kepada manusia, karena manusia itu tempatnya khilaf juga dosa. Berharaplah selalu kepada Allah, seban hanya Dia Dzat yang tidak akan pernah membuat hamba-Nya kecewa.Mobil yang Arjuna kemudikan menepi di halaman rumah. Aku lihat Mbak Neti sedang sibuk di dalam rumah, dan perempuan berusia empat puluh tahun itu segera menghambur memelukku ketika melihat diri ini keluar dari dalam mobil."Ya Allah, Mbak Andar. Saya sudah khawatir banget sama keadaan Mbak Andar. Tadinya mau ke rumah sakit tapi kata Ma
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan