Tidak lama kemudian Tante Dewi datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan langsung menyuguhkannya kepadaku."Silakan diminum, Rin." "Terima kasih, Tante. Jadi ngerepotin," menerbitkan senyuman sambil mengangkat cangkir berisi teh beraroma vanilla tersebut dan menyesapnya perlahan."Emm...maaf, Tante. Kalau boleh tahu, siapa laki-laki di dalam foto ini ya?" aku pura-pura tidak mengenalnya, padahal aku paham betul siapa pria dalam potret yang terselip di buku sebab dia mantan kakak iparku."Oh, dia itu buronan polisi, Rin. Dia terlibat kasus pemer*osaan dan perampokkan. Dan yang lebih sadisnya lagi, yang jadi korban justru istrinya sendiri. Dia mengajak teman-temannya untuk merampok dan setelah berhasil menjarah barang-barang milik kakak iparnya dia membiarkan temannya menikmati tubuh istrinya sampai si istri depresi lalu bunuh diri. Itu menurut cerita Arjuna kemarin sama Tante." Astaghfirullahal'adzim...Aku hampir
Ah, kenapa mulut aku jadi ember begini sih. Kenapa malah menceritakan apa yang aku lihat tempo hari kepada Tante Dewi."Tante nggak apa-apa, 'kan?" sedikit khawatir dengan keadaan Tante karena wajahnya tiba-tiba berubah murung."Nggak apa-apa, Rin." Dia lalu pergi bergitu saja dan terlihat sibuk dengan gawai yang ada di tangannya. Aku lihat wajah Tante Dewi memerah dan kedua matanya sudah dipenuhi kaca-kaca."Tan," duduk di sebelah Tante Dewi, merasa menyesal karena sudah membuka rahasia Arjuna."Maafin Rini ya. Tidak seharusnya Rini menceritakannya sama Tante." "Tidak apa-apa, Sayang. Tante malah berterima kasih sama kamu. Kalau kamu tidak memberitahu, Tante tidak akan pernah tahu kelakuan anak Tante di belakang Tante. Ya, walaupun Tante begitu kecewa dan syok mendengar kabar kalau Arjuna berani berbuat seperti itu kepada perempuan yang bukan mahramnya. Tante juga merasa gagal menjadi seorang Ibu.""Tante seorang Ibu yang luar
"Rini, tunggu!" teriak Arjuna.Aku berdecak kesal karena dia malah mengikutiku. Tidak tahu apa hati ini terasa begitu sakit mendengar celotehannya tadi, apalagi pakai acara menyinggung Ibu yang katanya tidak mengajari tata krama. "Kamu dengar, nggak? Tunggu!" teriaknya lagi. Aku terus saja berjalan tanpa menghiraukan panggilannya, sebab hati ini sudah terlanjur sakit."Ikut saya ke rumah dulu baru kamu boleh pulang!" Spontan aku menghentikan langkah karena pria berambut panjang itu tiba-tiba sudah berdiri tepat di depanku. "Nggak mau!" ketusku mencoba melewati tubuh kekarnya, tapi dia terus saja menghalangi pergerakkanku, persis seperti orang sedang bermain gerobak sodor."Kamu harus jelaskan ke Ibu supaya dia tidak lagi marah sama saya!"Aku mendongak menatap wajahnya, dan ternyata dia juga sedang memindaiku hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bersirobok."Kamu itu kepala batu banget ya, Mas
"Tante sudah ke dokter?" tanyaku sembari membantu ibunya Arjuna berjalan menuju sofa."Sudah. Tapi belum ada perubahan." Jawabnya pelan."Memangnya kata dokter Tante sakit apa?" "Kelelahan dan terlalu banyak pikiran katanya. Makanya Tante langsung ngedrop seperti ini.""Rini minta maaf ya, Tan. Gara-gara Rini Tante jadi sakit seperti ini!" ucapku penuh dengan penyesalan."Kamu tidak salah apa-apa, Sayang. Arjuna yang salah, karena sudah membuat Tante kecewa." Aku menggigit bibir bawah seraya melirik wajah cantik Tante Dewi."Se--sebenarnya, Mas juna juga tidak salah, Tante. Dia kemarin datang ke butik dan meminta saya untuk mengklarifikasi masalah ini sama Tante. Soalnya kata Mas Juna, Tante marah dan langsung mendiamkan dia karena ucapan saya tempo hari. Mas Juna juga bilang ke saya kalau perempuan yang pergi bersama dia itu keponakannya. Anaknya Mas siapa ya? Rini lupa Tante!"Perempuan berambut pe
"Kamu jadi perempuan bar-bar banget, kasar!" sungutnya sambil meringis kesakitan."Ya maaf. Tadi aku pikir kamu itu pencuri dan mau berbuat jahat sama Tante Dewi. Makanya aku langsung nyerang kamu. Lagian, Mas Juna masuk ke rumah pake ngendap-ngendap segala, pake baju serba hitam, pake topi pula. Udah kaya penjahat beneran." Jawabku sedikit takut. Apalagi melihat wajah pria berambut panjang itu mulai memerah dengan rahang mengeras."Saya mau mengendap, mau pake baju seperti apa saja terserah. Lha wong masuk ke rumah sendiri, kok. Apes banget saya setiap ketemu kamu!""Makanya besok-besok dibiasakan kalau masuk buka topi, buka jaket, jadi orang tau kalau Mas Juna yang masuk!""Njawab mulu!!""Sudah-sudah! Kalian kenapa jadi ribut begini, sih?!" Tante Dewi ikut menimpali."Badan aku sakit semua, Bu. pada perih gara-gara kenapa pukul wanita galak itu!""Udah, sini, buka baju kamu biar Ibu lihat!"Arjuna menanggalka
Merogoh tas, memesan taksi online kemudian duduk di teras toko karena rintik hujan mulai mengecup tanah Bekasi. Ekor mataku melirik ke arah ujung jalan dan sepertinya mobil Arjuna masih terparkir di sana. Musibah banget rasanya bisa kenal dengan mahkluk planet menyebalkan semacam orang itu.Sebuah taksi daring menepi dan menyapa dengan ramah. Buru-buru membuka pintu mobil, masuk ke dalam dan duduk di kursi penumpang seraya memasang seat belt. Ah, bagaimana urusan motor Om Risman nanti. Pasti dia menanyakan kendaraannya, sebab itu satu-satunya harta benda milik pria yang sudah bekerja sejak komplek perumahanku baru dibangun itu."Sudah sampai, Bu." Ucap sang supir saat kami sudah berada di halaman rumah.Aku segera mengambil dompet, menarik selembar uang merah lalu menyerahkannya kepada driver taksi tersebut serta mengucap terima kasih.Suasana rumah terlihat sedikit ramai saat aku masuk, dan ternyata ada tamu spesial hari ini.
"Sint*ng kamu, Rini. Perempuan mandul, gila lagi!" umpat Seila seraya mencoba meraih ponsel yang ada di tanganku, tapi karena tubuh dia terlalu pendek, sehingga dia tidak bisa meraih apa yang sedang dia incar."Sudah puas mengumpat saya? Apa kamu mau video ini juga aku sebar?" Menatap tajam netra kelam adik mantan suami, kali ini memasang wajah menyeramkan."Silahkan saja. Aku tidak takut! Memangnya kamu punya video apa, hah?!" tantangnya.Aku mengangkat satu ujung bibir, membuka sosial media berlogo huruf F kemudian menyebar video asusila Seila bersama kekasihnya saat di Jogja menggunakan akun milik Mas Hakam.Jangan main-main sama Andarini yang selalu dianggap bo*oh ini kamu, Seil. Karena sejak kamu merengek meminta untuk mendaftar kuliah di kota Gudeg, aku sudah mengirim mata-mata sebab curiga kalau kamu itu tidak benar-benar menimba ilmu di sana. Dan ternyata, semua dugaanku benar. Seila hanya bermain-main, menghabiskan banyak sekali
"Jangan pernah menghina Ibu saya atau kamu akan saya habisi, Hakam!!" cengkraman Arjuna terlihat semakin kuat. Mata dengan iris hitamnya menatap tajam wajah mantan suami, dan aku lihat rahangnya kian mengeras serta berkedut-kedut menandakan kalau dia sudah berada di level kemarahan tertinggi.Sungguh. Aku merasa ngeri melihat Arjuna kian terpancing emosi, takut dia tidak bisa mengendalikan diri. Kasihan Tante Dewi kalau sang putra sampai berbuat nekat dan terjerat hukum."Aduh!!" pekikku seraya memegangi kepala, berpura-pura pingsan untuk mengalihkan perhatian mereka.Tanpa diduga, Arjuna berjalan mendekat, mengangkat tubuhku dan membawanya entah kemana.Ya Tuhan...Aku pikir dia akan pergi meninggalkan aku yang tergeletak di lantai. Tapi ternyata dia masih punya hati dan perasaan juga.Suara detak jantung Arjuna terdengar bertalu-talu bagai alunan lagu. Aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya membuat diri ini merasa aneh. Ada yang berde
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan