Ya Allah. Malang nian nasib keluargaku setelah berpisah dengan Andarini. Cobaan terus saja datang bertubi-tubi tanpa henti, membuat diri ini menyadari bahwa apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.
Kurang apa Andarini kepada keluargaku. Uang, tempat tinggal, semuanya dia fasilitaskan. Tapi, Ibu malah tidak pernah menganggap dia ada, bahkan menyuruhku untuk mengkhianati pernikahan yang sudah kami bangun sejak lama.Memang kuakui, semuanya terjadi gara-gara kesalahanku juga. Andai saja sejak dulu aku jujur dan tidak mengaku-ngaku sukses juga kaya karena uang hasil keringatku, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Jika saja dulu tidak meminta Andarini bersandiwara bahwa dia berasal dari keluarga kurang mampu serta jujur kalau harta kekayaan yang ada itu milik Andarini, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini.Hidupku masih bahagia bersama wanita yang mau menerimaku apa adanya.Tapi, semuanya sudah terlambat. Nasi sudah menjadi b"Kemana uang yang selama ini Mbak Rini kasih ke kamu, Seila? Sebab teman kamu bilang, katanya sudah enam bulan kamu nggak kuliah?" aku terus saja membombardir Seila dengan pertanyaan ketika kami sudah berada di dalam mobil.Lagi, Seila hanya diam membisu. Bibirnya terkatup dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya."Jawab, Seila!!"Semua orang yang ada di dalam mobil terkesiap, tidak terkecuali Ibu yang sejak tadi terus saja memeluk tubuh anak kesayangannya."U--uangnya aku kasih ke Irwan, Mas. Buat ngirimin istrinya, soalnya Irwan belum mendapatkan pekerjaan. Aku kasihan melihat dia kebingungan saat istrinya minta dikirimi uang, jadi uang yang Mas transfer tiap bulan aku kasih ke dia." Astaga!Entah apa yang merasuki pikiran adikku sehingga bisa berbuat sebodoh itu. Dia rela memberikan segalanya kepada laki-laki bren*sek itu, bahkan sampai menghancurkan masa depannya."Di mana rumah laki-laki itu. Dia ha
Aku terkesiap ketika tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dan menggebrak-gebrak kaca mobil ketika aku mulai mengungkung tubuh Andarini. Tanpa dikomando dia langsung memecahkan kaca, menarik tuas kemudian menarikku secara paksa serta bringas ketika pintu telah terbuka."Apa yang sedang anda lakukan di dalam, hah?!" tanya si laki-laki asing sambil menatap sinis wajahku."Apa pun yang sedang saya lakukan, terserah saya dong. Dia itu istri saya. Anda tidak berhak mencampuri urusan saya!" bentakku.Buk!Buk!Dua kali tinju mendarat di rahang kanan serta kiri. Aku meringis kesakitan, berusaha untuk membalas namun,Buk!!Sekali lagi dia mendaratkan bogem mentah di hidung, hingga terasa berdenyut nyeri serta mengeluarkan cairan merah."Tidak mungkin seorang suami membawa istrinya ke kebun kosong seperti ini dan berbuat tidak senonoh. Kamu pasti laki-laki me*um yang ingin melecehkan perempuan itu!!" teriaknya lagi. Rahang pria berkaos hitam itu terlihat mengeras dengan tangan terkepal siap
"Iya, terima kasih nasihatnya." Padahal dalam hati, jujur aku kesal sekali mendapat kritikan pedas seperti itu. Kalau aku tidak berhutang budi, sudah kutarik rambut panjangnya dan kupangkas sampai botak."Jangan menatap saya seperti itu. Bukan mahram. Jangan zina mata!" Ya Tuhan. Ternyata begitu menyebalkan si Arjuna ini. Nama dan perangainya tidak sesuai.Ih, amit-amit. Kasihan sekali yang menjadi istrinya nanti jika punya suami kaya batu semacam dia."Sudah, kita makan malam dulu. Ibu sudah lapar. Omongan Juna jangan dimasukkan ke hati ya, Nak Rini." Timpal Tante Dewi.Sepertinya bertolak belakang sekali Dia dengan ibunya. "Iya, Tante."Mengambil secentong nasi juga sepotong ikan serta sayur bening bayam yang terlihat begitu menggoda.Masakan ibunya Arjuna memang luar biasa. Begitu enak serta nikmat walaupun hanya hidangan sederhana saja.Setelah selesai makan aku membantu mencuci piring,
Sampai pergi pun dia tidak membunyikan klakson sebagai tanda pamit, atau sekedar basa-basi. Aku mendengkus kesal karena pagi-pagi seperti ini harus berhadapan dengan manusia dari planet Merkurius seperti dia.Merogoh dalam-dalam kantong tas, mengambil kunci garasi lalu membuka dan menggesernya. Mbak Neti yang sedang menyapu halaman mengernyitkan dahi melihat aku masuk dengan dandanan tidak seperti biasanya."Mbak Andar dari mana? Maa syaa Allah, cantik sekali, Mbak?" puji asisten rumah tanggaku seraya menelisik tampilanku dari ujung kaki sampai ujung kepala.Aku tersenyum mendengar pujiannya kemudian segera masuk ke dalam rumah.Memantas diri di depan cermin, memutar-mutar badan dan memidai wajahku sendiri yang terbalut hijab milik Saquina. Ada desiran aneh di dalam dada ketika melihat pantulan wajah yang terlihat bersinar serta memesona. Ada perasaan nyaman juga tenteram di dalam sanubari.Tuhan, apakah ini
Setelah membuat laporan dan menceritakan rincian kejadian, aku segera menghubungi Om Risman untuk mengambil mobil di rumah Tante Dewi, sebab dalam mobil terdapat barang bukti berupa ponsel Mas Hakam serta botol bekas air mineral yang dibeli beberapa menit sebelum kejadian itu. Kali ini aku tidak akan melepaskan lelaki itu, sebab sudah banyak sekali kesalahan yang telah dia perbuat. Mungkin hanya jeruji besi yang bisa membuat dia jera serta mau mengubah sifat jeleknya itu.[Assalamualaikum, Mas Juna. Saya Rini yang kemarin Mas tolong. Saya tadi sudah melaporkan tindak pelecehan yang dilakukan mantan suami saya dan mungkin besok Mas Juna akan dipanggil sebagai saksi. Saya minta tolong banget sama Mas supaya mau membantu saya besok. Terima kasih sebelumnya] Send, Arjuna.Untung saja kemarin sempat meminta nomer ponsel Arjuna kepada Saquina. Jadi, ketika ada perlu seperti ini, aku bisa langsung menghubunginya tanpa lewat perantara.Sudah hampir setengah hari aku mengirim pesan kepada Arju
Melenggang masuk ke dalam, menghubungi pengacaraku dan duduk santai sambil menikmati drama Turki di sebuah aplikasi berbayar.Tiga puluh menit kemudian kami dipanggil masuk, diinterogasi dan alhamdulilah ternyata Arjuna membelaku, walaupun aku mendapatkan hukuman juga karena sempat ribut dan berbuat kasar kepada Seila tadi."Kamu dan Seila silahkan membersihkan halaman kantor polisi sampai bersih. Jangan sampai ada sampah yang tertinggal, atau hukuman kalian akan saya tambah!" perintah Arjuna yang ternyata seorang anggota polisi juga."Kenapa saya mesti ikut dihukum, Pak. Harusnya janda bolong ini yang Bapak hukum, bukan saya!" protes Seila tidak terima."Diam!! Tolong dijaga bahasa anda, Mbak!!" sentak Arjuna.Emang enak. Kalau aku disuruh nyapu halaman doang mah sudah biasa. ***Mengambil sapu yang disodorkan oleh petugas, mulai membersihkan sampah-sampah yang ada di halaman sambil bersenandung. Sementara Se
#Hakam."Silahkan Ibu dan Mbak pulang, tapi Bapak Hakam tetap di sini sambil menunggu sidang!" ucap pria berambut gondrong yang pernah menghajar wajahku di kebun kosong, ketika aku hendak melakukan itu kepada Andarini."Tapi, Pak. Saya tidak bersalah!""Iya, Pak. Anak saya tidak bersalah." "Pasti Bapak sudah dibayar sama janda ga*el itu ya. Jadi Bapak tiba-tiba mau memenjarakan kakak saya, padahal sudah jelas-jelas dia tidak bersalah. Mana ada seorang suami yang mempe*kosa istrinya. Kan aneh!" celetuk Seila ikut membelaku.Brak!!"Diam, kalian!"Pria dengan wajah sangar tersebut menggebrak meja dengan begitu keras, membuat nyali kami bertiga seketika menciut."Apa kalian berdua juga mau ikut ditahan?!" dia menatap tajam serta memasang wajah congkak ke arah kami."Ya sudah, Kam. Kamu tenang saja. Nanti Ibu bakalan nyuruh si Rini supaya mencabut tuntunannya. Dia pasti bakalan nurutin permintaa
Tidak lama kemudian Tante Dewi datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan langsung menyuguhkannya kepadaku."Silakan diminum, Rin." "Terima kasih, Tante. Jadi ngerepotin," menerbitkan senyuman sambil mengangkat cangkir berisi teh beraroma vanilla tersebut dan menyesapnya perlahan."Emm...maaf, Tante. Kalau boleh tahu, siapa laki-laki di dalam foto ini ya?" aku pura-pura tidak mengenalnya, padahal aku paham betul siapa pria dalam potret yang terselip di buku sebab dia mantan kakak iparku."Oh, dia itu buronan polisi, Rin. Dia terlibat kasus pemer*osaan dan perampokkan. Dan yang lebih sadisnya lagi, yang jadi korban justru istrinya sendiri. Dia mengajak teman-temannya untuk merampok dan setelah berhasil menjarah barang-barang milik kakak iparnya dia membiarkan temannya menikmati tubuh istrinya sampai si istri depresi lalu bunuh diri. Itu menurut cerita Arjuna kemarin sama Tante." Astaghfirullahal'adzim...Aku hampir
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan