“Ibu. Aku lapar.” Suara tangis Mawar terus bergema di dalam rumah ini. Aku menggendong anakku yang baru berumur dua tahun agar bisa tenang.
Tidak hanya Mawar yang menangis karena kelaparan. Aku juga menangis meratapi nasibku. Di umur Mawar yang sudah menginjak usia dua tahun, bobotnya hanya tujuh kilogram saja. Banyak para tetangga yang mengatakan jika Mawar terlalu kurus untuk anak seusianya.
“Sabar ya sayang. Sebentar lagi Ayah pulang. Mudah-mudahan Ayah belikan makanan matang untuk kita.” Kataku dengan suara serak. Mencoba menghibur Mawar yang masih terus menangis.
Maklum saja. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu sejak makan siang yang menunya hanya nasi campur garam. Bahan makanan yang di sediakan Mas Ragil, suamiku, sudah habis untuk sarapan tadi pagi.
Beras di ember juga sudah habis. Jadilan aku dan Mawar belum bisa makan malam. Jika keadaannya seperti ini, maka aku harus menunggu Mas Ragil pulang. Dia sudah janji akan membawa beras dan bahan makanan untuk makan kami tiga hari ke depan.Karena sudah kelelahan menangis, Mawar akhirnya tidur. Aku membaringkan putriku di atas tempat tidur yang cukup besar. Tanganku memang menepuk tubuh Mawar agar tidak terbangun, tapi pikiranku terus berkelana.
Kenapa aku harus terjebak pernikahan dengan Mas Ragil? Bagaimana caranya untuk pisah dari suamiku jika aku sama sekali tidak memegang uang sepeserpun? Lalu, jika aku memutuskan berpisah dengan cara apa aku dan Mawar akan makan?
Itulah pertanyaan yang bergelayut dalam benakku setiap hari. Meskipun hanya lara yang kudapat dalam pernikahan ini, tapi aku belum punya keberanian untuk berpisah dari Mas Ragil.
Tok… tok.. tok…
Suara ketukan di pintu depan membuatku segera bangun. Itu pasti Mas Ragil.
“Bunga. Cepat buka pintunya.”
“Iya. Tunggu sebentar mas.”
Cklek
Mas Ragil langsung masuk ke dalam rumah tanpa menyapaku. Aku kembali mengunci pintu depan lalu mengikuti langkahnya ke dapur. Suamiku itu meletakan dua kantung plastik berisi beras dan bahan makanan.
Dengan semangat aku membuka kantung plastik berisi bahan makanan. Rasa sedih dan kecewa segera bergelayut dalam hatiku. Apa yang aku harapkan? Mas Ragil akan membelikan ikan, ayam atau daging? Itu semua hanya mimpi.
“Kamu hemat bahan makanan itu untuk seminggu ke depan. Uang jatahmu harus aku potong untuk jajan Arum di kota.”
Arum adalah anak dari kakak iparku yang baru menempuh pendidikan sarjana di kota ini. Namun, gadis itu memilih untuk tinggal di rumah kos agar bisa bertemu dengan teman-temannya. Mas Ragil di wajibkan oleh Bapak dan Ibu mertua untuk memberikan tambahan uang jajan Arum. Padahal posisinya hanya sebagai keponakan saja.
“Aku sudah banyak mengalah untuk keluarga kamu selama ini mas. Tapi, tolong jangan abaikan anak kita untuk Arum. Kamu harus lebih mengutamakan kebutuhan Mawar daripada Arum.” Tanpa sadar suaraku mulai meninggi. Mengungkapkan rasa kesal yang sudah lama aku pendam.
Kalau untuk keluarganya saja. Mas Ragil langsung akan memberi tanpa batas. Tapi, untuk kebutuhanku dan Mawar, Mas Ragil selalu membatasi. Hanya karena alasan semua kebutuhan rumah seperti bayar listrik, air, iuran RT sudah di bayar semua olehnya.
Setiap minggu, Mas Ragil akan membelikan bahan masakan dua kali saja. Itu pun hanya berisi sayur kangkung, sayur bayam, tomat dan wortel yang harganya terbilang murah. Sedangkan persediaan beras, gula, garam,teh, kopi dan rempah-rempah yang lain juga sudah di beli oleh Mas Ragil.
“Kamu berani mengaturku hah?” Hardik Mas Ragil tidak terima karena aku sudah meninggikan suara padanya.
“Kenapa kamu harus marah jika aku mengatakan yang sebenarnya. Kamu itu guru agama di SMA. Tapi, untuk masalah nafkah pada anak dan istri saja tidak tahu.”
PLAK
Tubuhku terhuyung ke belakang hingga punggungku membentur kursi. Kugigit bibir untuk menahan rintihan yang akan keluar. Mata Mas Ragil sudah menatapku dengan nyalang.
“Jangan coba-coba untuk bicara masalah nafkah. Karena aku adalah kepala rumah tangga yang harus kau taati.” Entah kenapa kali ini aku berani membalas tatapan mata Mas Ragil.
Jika sudah menyangkut masalah Arum. Emosiku langsung naik ke ubun-ubun. Mas Ragil yang sangat royal pada keponakannya membuat sakit hati mengingat bahan masakan yang selalu ia belikan untuk kebutuhan makan Mawar.
Air mata sudah tidak bisa aku tahan lagi. Hingga mengalir di pipi. Dengan cepat kuusap air mata di pipi. “Kalau kamu membelikan makanan yang layak untuk Mawar, aku tidak akan pernah protes seperti ini. Tapi, kenyataannya bu bidan mengatakan jika Mawar kurang gizi. Usia anak kita sudah dua tahun lebih mas. Kamu tahu berapa bobot tubuh Mawar hah?”
Tangan Mas Ragil yang tadinya mengepal karena marah akhirnya mengendur. Matanya yang semula menatap nyalang ke arahku kini ia alihkan ke lantai.
“Bobot tubuh Mawar itu cuma tujuh kilogram mas. Untuk anak usia dua tahun itu sangat kurang. Hiks.” Isakan tangis sudah meluncur dari bibirku.
“Sudahlah jangan cengeng seperti itu. Nanti Mawar juga bisa tinggi kok. Nggak masalah bobot tubuhnya rendah. Besok aku tanya pada Ibu apa bisa membelikan lebih banyak makanan untuk kalian. Aku lelah. Mau mandi dulu.”
Selalu seperti itu. Masalah apapun akan di tanyakan Mas Ragil pada Ibunya. Padahal ia selalu bilang suami adalah kepala rumah tangga dan imam yang harus selalu di taati. Namun, ia sendiri tidak pernah menganggapku sebagai makmum.
Tubuhku masih bergetar saat aku membuka bungkusan berisi beras. Segera kucuci seperempatnya saja untuk makan malam ini dan besok pagi. Setidaknya perutku dan Mawar harus terisi malam ini.
***
“Bunga.”
Aku baru saja memasukan sayur ke dalam panci saat suara teriakan Mas Ragil bersamaan dengan suara tangis Mawar terdengar dari dalam kamar. Aku mematikan kompor lalu berjalan menuju kamar. Tampak Mas Ragil menutup telinga dengan bantal di atas tempat tidur.
“Cepat ambil anak kamu. Berisik banget sih.”
“Mawar anak kamu juga mas.” Jawabku lalu membawa Mawar dalam gendongan. Sedangkan Mas Ragil hanya mendengus tidak peduli.
Kalau yang merengek keponakan-keponakannya saja, Mas Ragil akan dengan sigap menggendong. Apalagi kalau yang menangis itu Arum. Sudah seperti pria yang menenangkan kekasihnya. Mengingat jarak umur Arum dan Mas Ragil hanya enam tahun saja.
Aku mengambil kain jarik untuk menggendong Mawar. Langkahku sudah menuju dapur untuk kembali memasak. Sayur bening sudah matang beberapa menit kemudian. Aku dan Mawar akhirnya bisa makan dengan nasi dan sayur bening.
Karena sudah tertidur tadi, tidak mudah untuk menidurkan Mawar lagi. Malam ini aku harus begadang lagi agar Mawar mau tidur. Aku hendak masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel sebagai teman begadang di luar.
“Iya Rum. Besok Om kirimkan yang banyak untuk kamu. Tenang saja. Jika saham yang Om beli naik malam ini, besok akan Om cairkan untuk kamu.”
Saham? Mas Ragil membeli saham? Tapi, dia tidak pernah mengatakan hal itu padaku.
“Tenang saja. Tidak ada yang tahu. Termasuk Kakung dan Uti.” Mas Ragil terdengar tertawa di dalam kamar.
“Apalagi si Bunga. Tidak akan pernah aku beri tahu. Lagian sudah tugas istri untuk menerima berapun nafkah yang di berikan suami. Kau serta Kakung dan Uti lebih berharga untuk Om. Lagian Bunga tidak akan pernah berani minta berpisah karena tidak punya uang.”
Tes.
Setitik air mata kembali menetes ke pipiku. Semua hal yang di katakan Mas Ragil itu memang benar. Ya Allah. Sampai kapan aku harus bertahan dalam rumah tangga ini?
Aku memilih untuk duduk di teras depan. Tidak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Apalagi perkataan Mawar yang terus bicara apapun yang sedang di lihatnya. Meskipun tubuhnya kurang gizi, namun Mawar sudah bisa bicara dengan lancar. Pikiranku berkelana dengan telpon demi telpon yang di lakukan Mas Ragil dan Arum. Bagi orang asing, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Bukan Om dan keponakan. Pernah dulu aku menegur sikap Mas Ragil yang terlalu menempel pada Arum. Hasilnya aku yang di marahi habis-habisan. Mereka berdua tidak malu untuk tampil mesra di depanku. Tapi, sikap mereka akan biasa saja saat ada mertua serta kakak Mas Ragil. Bisa di bilang di antara lima keponakan Mas Ragil, dia paling memanjakan Arum. Bahkan jika keponakannya yang baru berumur lima tahun mencubit Arum, lalu di balas Arum dengan cubitan yang lebih keras hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Maka, Mas Ragil justru akan memarahi keponakannya yang saat itu baru berumur lima tahun. “Ibu.” Tangan
"Hp yang mana mas?" Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku membawa Mawar masuk ke dalam kamar. Anehnya Mas Ragil berjalan mengikutiku di belakang. Tanpa mempedulikan keberadaan suamiku itu aku menidurkan Mawar di atas tempat tidur. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu. Kamu kan yang sudah membuka hpku." Aku seketika menoleh pada Mas Ragil. Apa tidak bisa dia mengajakku bicara di luar agar Mawar tidak mendengar. Kalau ada maunya saja semua harus di turuti. Termasuk dalam hal berdebat. Membuat capek saja. "Aku tanya hp yang mana? Kalau hp biasa selalu kamu bawa. Kalau hp yang buat ngirim uang ke Bapak dan Ibu, aku saja tidak tahu dimana letaknya. Lantas kenapa kamu justru menuduhku." Tangan Mas Ragil sudah meraup daguku dengan kasar, Ia bahkan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding. Meskipun hatiku sudah bergetar ketakutan, tapi mataku balik memandang Mas Ragil dengan tajam, "Jangan main-main sama aku Bunga. Tidak mungkin uang di rekeningku habis kalau bukan kamu yang mengirim."
Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT. Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan. Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja. "Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku. Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau
"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah. 'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati. Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku. "Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka
“Aku mau bawa ke rumah sakit juga pakai uangnya Satrio. Bukan pakai uang Mas Ragil yang selalu pelit sama keluarganya sendiri. Sampai Mawar mungkin mengalami stunting.” Balasku tidak mau kalah. “Pakai uang orang lain kok bangga. Lagian kamu sendiri yang gagal merawat Mawar. Jangan menyalahkan Ragil terus.” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi marah. “Jelas aku menyalahkan Mas Ragil. Buat makan empat sehat lima sempurna saja Mawar tidak bisa. Karena apa, karena semua uang Mas Ragil di berikan pada orang tuanya.” “Aku ini Ibunya Ragil. Selamanya Ragil wajib menafkahiku dan Bapaknya. Sedangkan kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi istrinya. Mentang-mentang sudah di bantu sama adik kamu, jadi berani melawan sekarang.” Rasanya sangat sakit mendengar balasan Ibu mertua. Namun, aku tetap berusaha tetap tegar. Tidak akan aku biarkan Ibu mertua merasa menang karena melihatku menangis lagi. “Lalu, kenapa Ibu mengijinkan Mas Ragil menikah denganku? Seharusnya sejak awal Ibu
Dengan langkah perlahan aku mundur dari balik pintu. Sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata mesra yang di lontarkan oleh Mas Ragil pada keponakannya sendiri. Air mataku kembali turun tanpa tertahankan. Ku usap air mata dengan cepat lalu nenggendong Mawar masuk ke dalam kamar. Untunglah Mawar bisa cepat tertidur setelah aku baringkan di atas tempat tidur. Air mata terus meleleh di pipi. Padahal aku sudah berjanji pada Satrio untuk tidak menangisi Mas Ragil lagi. Rasanya aku ingin berpisah sekarang juga. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin menambah beban Ibu dengan kehadiranku dan Mawar. “Ya Allah. Kuatkanlah hamba. Mudah-mudahan Mas Ragil bisa berubah agar rumah tangga kami bisa bertahan selamanya. Tapi, jika tidak bisa mudah-mudahan suatu saat nanti hamba bisa sukses saat berpisah dari Mas Ragil.” Doaku sebelum memejamkan mata. Masih dapat aku dengar suara Mas Ragil yang masuk ke dalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Keesokan harinya aktivitas di mulai sepe
Mas Ragil langsung menggelengkan kepalanya. Ya ampun ternyata hanya masalah hutang pada Satrio bisa membuat Mas Ragil sangat ketakutan. Harga diri suamiku sebagai PNS memang sangat tinggi. Tidak heran jika dia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Ayo kita kesana mas. Sekalian beli baju buat Mawar. Kasihan sama anak sendiri. Masa bajunya lusuh seperti itu.” perkataan Satrio seketika membuat semua orang yang ada di sekitar kami menolehkan kepala mereka. Dari sudut mata dapat kulihat Arum yang berjalan pergi meninggalkan Omnya bersama kami. Walaupun awalnya tidak setuju, namun aku sangat puas dengan pertunjukkan yang di suguhkan oleh Satrio. “Oke. Ayo kita ke beli baju buat Mawar sayang.” Mas Ragil merangkul bahuku erat. Seolah menyalurkan kemarahannya padaku. “Ayo mas. Tapi, jangan peluk terlalu keras dong. Kasihan Mawar jadi ketakutan.” Tangan Mas Ragil seketika terlepas dari bahuku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Mas Ragil saat harus membayar semua barang belanjaan itu untu
Lima tahun kemudian waktu sudah berlalu begitu cepat. Budi tidak pernah lagi bertemu dengan Tina. Karena desakan Pak Harto Budi sudah menceraikan Tina satu tahun setelah kepergian mantan istrinya itu. Budi juga sudah menikah dua kali. Sayangnya selalu gagal karena istri kedua dan ketiga Budi sama-sama tidak tahan dengan sifat Budi yang tempramen. Di tambah dengan sikap Arga dan Pak Harto yang sangat mengesalkan.Tina mengajak Arum dan Sofia pindah keluar pulau setelah Arum bebas dari penjara. Karena Sinta kukuh ingin menghukum Arum dan Andi, maka Arum di jatuhi hukuman selama dua tahun. Di luar pulau itulah Tina memulai usaha warung tegal bersama dengan Arum dan Sofia. Membuat hubungan Tina dengan Arum dan Sofia menjadi semakin dekat. Begitu juga dengan hubungan Arum dan Sofia yang sudah sangat erat.Ragil dan Bu Jumi sudah bebas dari penjara. Tabungan emas yang sempat di buat Ragil di tambah dengan menjual mobil cukup untuk melunasi kredit rumahnya. Kini hanya ada motor second yang m
Tubuh Tina terasa lemas saat polisi yang bertugas mengatakan jika Arum memang di tangkap karena menjadi wanita penghibur. Kasusnya adalah perselingkuhan dan perzinahan. Tidak hanya Arum yang di tangkap. Tapi, juga beberapa wanita lain yang berprofesi sebagai penghibur. Siska yang merupakan bos Arum berhasil melarikan diri agar tidak di mintai uang oleh Sinta, istri Andi yang memergoki Arum dengan suaminya.Karena Tina sudah mengirim pesan pada pengirim kontrakan akan mengubah jam pertemuan menjadi nanti malam, dia bisa pergi ke rumah tahanan tempat Arum kini di tahan. Tina tahu jika anak bungsunya memang bersalah. Tapi, sebagai seorang Ibu wanita itu tidak mau Arum masuk penjara seperti yang di alami oleh Ragil dan Bu Jumi.Untung saja sopir taksi mau menemaninya terus dan masih menunggu saat Tina masuk ke dalam rumah tahanan. Wanita itu mengisi daftar pengunjung lalu masuk ke dalam ruang tunggu. Disanalah ia akhirnya bisa bertemu dengan Arum setelah sekian bulan Ibu dan anak itu tida
Dua hari kemudian Bunga benar-benar menghubungi Tina lagi. Tapi, bukan untuk memberi tahu tentang lokasi Arum. Melainkan Bunga mengirim nomor kontak Satrio karena akan lebih baik jika Tina berhubungan secara langsung dengan adik laki-laki Bunga itu. Karena ada kemungkinan Arum berpindah lokasi.Hari demi hari sudah berlalu. Tina tetap bersikap seperti biasa. Tidak ada barang yang ia masukan ke dalam koper. Karena Tina berniat untuk meninggalkan semua barangnya di rumah ini. Sama seperti yang di lakukan Bunga dulu agar bisa kabur dengan lebih mudah. Tina juga sudah memesan tiket pesawat secara online untuk keberangkatan siang hari. Karena hanya di waktu itulah Budi tidak ada di rumah.Jika ia pergi sampai sore atau malam hari, Arga dan Pak Harto juga tidak akan peduli dengannya. Mungkin saat Budi pulang ke rumah mereka baru akan mencarinya. Karena itulah kesempatan Tina sangat terbuka lebar untuk pergi. Dia hanya perlu mengambil buku tabungan yang di sembunyikan Budi di dalam toko swal
Pagi ini Tina melaksanakan niatnya untuk pergi ke rumah Bu Rati menemui Bunga. Ia pergi setelah tidak ada orang lagi di rumah. Sehingga Tina tidak perlu menjelaskan alasannya pergi menemui Bunga setelah sekian lama mereka tidak pernah berhubungan lagi. Ia juga takut jika Budi akan melarangnya pergi menemui Bunga. Mengintat pertemuan terakhir mereka yang berakhit dengan pertengkaran dengan keluarga Bunga.Motor yang di kendarai Tina sudah berhenti di halaman rumah yang kini sudah tidak seluas dulu. Karena ada warung di sisi kanan halaman dan ruko untuk bimbingan belajar di sebelah kiri. Tampak beberapa orang yang tengah membeli jajanan pasar pada Asih. Tidak terlalu ramai, tapi beberapa orang terus berdatangan. Terlihat jajanan pasar dan gorengan yang di jajakan tinggal sedikit. Anak-anak juga bermain di teras ruko atau di halaman rumah tempat beberapa permainan berada.Tina turun dari motor lalu melepaskan helm yang di pakai. Ia masih memakai masker untuk menutup wajah saat melangkah
Hp yang ada di tangan Tina terjatuh saat ia melihat semua pesan yang di kirim pada Arum sudah berubah menjadi centang biru. Kelopak matanya mengerjap tidak percaya dengan apa yang sudah ia lihat. Buru-buru Tina meraih hpnya lagi. Memang benar nomor telpon Arum sudah aktif pagi ini. Hanya saja dari banyaknya pesan yang sudah ia kirim pada sang putri, tidak ada satu pun yang di balas. Tina kembali mengirim pesan untuk anak bungsunya itu. Sayangnya nomor telpon Arum sudah mati lagi. Membuat hatinya kembali merasa sedih. Sedetik kemudian Tina sudah menggelengkan kepalanya.“Tidak masalah. Dengan aktifnya hp Arum, aku bisa meminta bantuan untuk melacak lokasi terakhirnya.” Tina lalu memasukan hp dan dompet ke dalam tas. Ada tempat yang ia ingin kunjungi hari ini.Siang ini ia hanya sendirian saja di rumah. Budi sedang pergi bekerja. Sedangkan Pak Harto pergi bersama Arga entah kemana. Menghabiskan waktu berduaan dengan Kakungnya lalu pulang dengan membawa banyak barang. Padahal Arga bukan
"Ap, apa yang sedang kamu lakukan disini? Kenapa satpam mengijinkan orang lain masuk tanpa seijin dariku dulu. Aku akan complain pada manajemen gedung ini." Arum hendak segera menutup pintu kamarnya. Tapi, sudah di tahan oleh satpam sehingga Sinta bisa masuk dengan lebih leluasa. Meninggalkan Arum yang masih berdiri di belakang pintu apartemen itu."Jawabannya gampang. Karena hotel ini milik pamanku. Apa Mas Andi tidak pernah memberi tahu tentang harta kekayaan keluargaku? Apa dia hanya menyombongkan tentang gajinya yang di gunakan untuk membayiai kebutuhanku sebagai istri sahnya?" Tanya Sinta dengan nada sombong yang bisa mengatakan dengan tepat apa yang selalu di ucapkan oleh Andi padanya selama ini.Badan langsingnya melenggang santaidengan suara sepatu hak tinggi yang terdenagr keras. Sinta lalu duduk di sofa. Sama sekali tidak terlihat jika Sinta baru melahirkan satu minggu yang lalu. Karena badannya terlihat sangat ramping. Membuat Arum merasa sedikit iri dengan bentuk tubuh pro
Perasaaan Arum menjadi semakin tidak tenang karena Andi sudah tidak bisa di hubungi lagi. Pria itu telah mengganti nomor telponnya. Entah sejak kapan karena Arum baru sempat menghubungi Andi pagi ini. Bukannya Arum merasa takut jika Andi akan meninggalkannya. Toh mereka tidak ada hubungan spesial apapun selain sebagai teman tidur. Arum hanya takut jika Sinta akan melaporkan hal ini ke polisi dengan pasal perzinahan. Dia sama sekali tidak mau di penjara.Karena merasa kalut, Arum mengambil hp lama yang ia simpan di dalam kotak dan di letakan di bagian paling bawah lemari. Hp itu berbunyi sebentar lalu akhirnya bisa hidup kembali. Jika Sinta memang akan membawa masalah ini ke jalur hukum, maka Arum harus minta bantuan pada mantan pacarnya yang kuliah di jurusan hukum. Kabar terakhir yang Arum tahu, mantan pacarny sudah menjadi pengacara di kota mereka.“Mudah-mudahan dia masih bucin sama aku. Jadi, mau nolong untuk kabur dari sini untuk sementara waktu.”Namun, bukannya langsung mencari
Ada pepatah yang mengatakan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Artinya semua hal buruk yang di tutupi pasti akan ketahuan juga. Serapat apapun kita mencoba untuk menutupinya. Mungkin hal itu juga yang di lupakan oleh Arum. Padahal hubungan terlarangnya dengan Ragil yang dulu ia kira bisa tertutup dengan rapi akhirnya ketahuan juga. Karena itulah kini Arum jadi lebih berhati-hati saat melakoni pekerjaan ini. Hanya saja ia lupa jika pekerjaan yang Arum lakoni pasti akan ketahuan oleh salah satu istri pelangganya. Seperti yang terjadi malam ini.Istri Andi yang bernama Sinta sudah mengendus sikap aneh suaminya sejak Sinta hamil. Hal itu bermula dari salah satu postingan temannya yang makan malam bersama suami di salah satu restoran terkenal. Suami temannya adalah rekan kerja Andi di kantor. Sinta terkejut karena Andi baru saja mengirim pesan jika ia dan semua rekan kerjanya di suruh lembur sampai tengah malam.Karena itulah Sinta mengirim pesan pada temannya tentan
Sinar matahari menyengat terik di Jakarta. Arum terbangun di kamar apartemennya yang mewah. Tangannya mengucek mata hingga terbuka. Terlihat jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Rambut Arum sangat berantakan karena ia baru tidur jam tujuh pagi dan bangun jam tiga sore. Ia lalu turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.“Jam berapa aku harus pergi malam ini?” Arum segera mengambil hpnya setelah selesai mandi.Bibirnya mencebik kesal saat membaca pesan masuk. Klien yang sudah membookingnya malam ini membatalkan janjial karena istrinya baru saja melahirkan. Arum melempar hpnya ke atas tempat tidur lalu duduk di kursi yang menghadap meja rias. Ia menyisir rambut lalu memakai make up natural karena Arum tidak berencana keluar malam ini.Drrtt… drrtt… drrttt….Panggilan telpon masuk membuatnya harus bangkit lagi. Rupanya teman sekaligus bosnya, Siska yang menelpon. “Halo Sis. Ada apa?”“Kita keluar yuk malam ini. Klien loh sudah ngirim pesan