Pagi harinya di kantor, heboh. Kebetulan aja Bu Cla nggak terlihat batang hidungnya. Entahlah, dia juga emang jarang ngantor sih sama kaya bos gue. Jadi gue juga nggak tahu, ketidakhadirannya di kantor apakah karena memang menghindar atau sedang meeting di luar seperti biasanya.
Kehebohan tentu saja karena kejadian semalam. Dan bukan dari gue tentu saja, karena semalam, gue cuma sama Beno, dan Beno bukan karyawan kantor ini. Terus, gue nggak ngerasa udah ngebocorin soal kejadian semalam sama siapapun.
Tapi, ternyata, semalam, di food park itu, ada anak FA yang juga sedang makan di sana. Namanya Mba Ibel. Dia semacam staff admin FA yang kontraknya udah lama banget di sini. Dia, udah mengalami pemutihan 2 kali. Gue sebenarnya cukup salut sama dia. Kalau gue, dengan status nggak jelas kaya gitu, mendingan gue cabut aja cari pekerjaan lain. Meskipun ya gue cukup sadar sih, Mba Ibel emang usianya udah nggak muda lagi. Masih dipertahankan perusahaan aja luar biasa cukup buat
“Haduuuh, maap ya minggu lalu batal ketemu, biasa ada meeting dadakan! Nggak papa kan shopping diganti hari ini?” sapa Bu Ana sambil menghampiri gue yang masih asyik melihat-lihat aksesoris di stand-stand temporary yang berada di selasar mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat itu. “Eh, Ibu, santai aja Bu! Saya juga masih lihat-lihat aksesoris,” kata gue sambil mengambil salah satu giwang simpel bermahkotakan berlian imitasi. “Gimana, ada yang suka? Sini saya bayarin, saya mau bayar bros ini sekalian, cakep banget kalau buat hijab ke kantor, ya Mba ya?” timpal Bu Ana sambil mengajak si penjaga stand ngobrol. “Yaelah, Bu, cuma 60,000 rupiah aja, masa saya minta bayarin?” sahut gue sambil menyerahkan giwang itu ke penjaga stand. “Nggak papa, kamu kan masih single, ngekos pula, duitnya ditabung aja!” kata Bu Ana kekeh untuk membayarkan giwang gue ke si mbak. Setelah berargumen cukup panjang, gue pun menyerah dan membiarkan Bu Ana membayarkan aksesori
Gue mengaduk teh dan madu yang barusan gue buat saat tanpa gue sadari, Pak Vino sudah berdiri di belakang gue sambil tersenyum-senyum. Wajahnya luar biasa cerah hari itu.“Pagi, Matari! Sehat banget bikinnya teh sama madu? Lagi nggak enak badan?” tanya beliau perhatian.“Nggak, kok, Pak. Biasanya emang kalau lagi pengen anget-anget saya bikin kaya gini. Hehehe. Silahkan, Pak, kalau mau pake pantrynya,” ujarku sambil mundur menjauh sedikit.“Oh, gitu, kirain emang sengaja karena lagi sakit. Saya inget, kamu baru kerja beberapa bulan kan sakit lama banget itu ya?”Tentu gue nggak akan melupakan itu. Karena saat itu gue juga baru pertama kalinya dimarahin oleh orang paling baik di kantor ini.“Ya, emang lagi drop aja, Pak! Maaf ya.”“Udah lewat itu. Yang penting sekarang kamu tahu kan, badan kamu sendiri kaya gimana batasan-batasannya? Kasihan juga ortu kamu kalau kamu sakit sampai kaya kema
Menebeng Pak Vino buat gue itu terasa luar biasa canggung. Kita memang cukup akrab di kantor layaknya atasan yang baik dan bawahan yang penurut. Beberapa menit duduk di samping Pak Vino di mobil SUV eropa klasiknya yang besar, kebanyakan banyak membuat gue diam. Pak Vino pun sibuk membalas chat WA beberapa orang, mungkin orang-orang kantor atau keluarganya. Dia bahkan nggak ngajak gue ngobrol sama sekali.“Kenapa ngekos di Setiabudi kalau rumah lo aja di Jakarta Timur? Nggak sampai sejam itu mah. Rumah saya dong di Cibubur, pulang pergi tiap hari,” kata Pak Vino membuka percakapan.Gue yang tadinya sibuk memperhatikan gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang indah dengan semburat senja, menoleh menatap Pak Vino sambil tersenyum.“Biar mandiri aja sih, Pak. Lagian kan kalo pas lembur suka pada nungguin. Kasihan aja gitu,” sahut gue.“Iya sih, bener. Biar bebas juga ya sama cowok lo?” tanya Pak Vino melede
Melihat kegamangan gue akhirnya Pak Vino kasih waktu gue dua hari buat berpikir. Gila! 2 hari dan status karyawan gue langsung jadi dua! Berasa punya pekerjaan utama sekaligus kerja shift di waktu yang sama. Sayangnya di perusahaan yang sama pula.Nggak mau munafik, gue tergoda dengan jumlah Dollar yang dibilang sama Pak Vino secara tersirat. Nggak mungkin kan gue cuma dapet 10 USD gitu? Akhirnya pada suatu kesempatan, gue WA Pak Vino.Gue: Malam, Pak. Ada waktu? Mau ngobrol bentar.Pak Vino: Malem, Ri. Gimana?Gue: Kalo boleh tahu, gaji saya dari Singapore Officer berapa ya?Pak Vino: Hahahaha, kirain apaan. Eh emang gue belom kasih tahu?Gue: Belom, Pak. Bapak cuma bilang beberapa USD. Kalau cuma 10 USD sih saya nggak bisa, Pak, terlalu berat gitu, tanggung jawabnya.Pak Vino: Bercanda kamu?! Nggak mungkin 10 USD lah, rate kerja di luar nggak segitu juga, bahkan buat freelance sekalipun! Jangan nyamain sama di sini, Ri. Kontrak kamu
Dua berhari berlalu begitu cepat buat gue. Rasanya baru kemarin gue minta saran sama Rindu, tapi sekarang, gue udah duduk di ruangan Pak Vino, menatap layar laptop gue yang berisi kontrak digital yang sudah dikirim oleh Singapore officer. Gue sendiri kaya nggak percaya sama apa yang gue lihat tentang upah gue sekadar cuma jadi “freelancer” itu. Gue diupah mingguan, berdasarkan report gue, sebesar 150 SGD. Tanpa report, upah gue nggak akan turun sama sekali. Upah tersebut akan ditransfer di bank lain, selain payroll gue biasanya. Mereka menunjuk beberapa bank swasta asing yang kerja sama dengan mereka. Untungnya gue punya salah satunya walaupun cuma buat nabung aja.Report gue direct ke Pak Vino. Semua tugas-tugas gue akan diberikan langsung sama Pak Vino. Report gue nggak boleh diberitahukan sama siapapun. Diketahui siapapun kecuali Pak Vino. Bahkan sekelas Pak Adnan, nggak ngebolehin tahu. Kalau ada yang sampai tahu dan bocor, gue akan diberhentikan sekaligus ole
Kalo lo ngomong pelakor itu nggak punya malu, mungkin emang beneran seperti itu. Waktu gue malam-malam mampir makan lagi bareng Beno, gue lihat Bu Cla lagi ada di sana. Kali ini dengan Pak Marjan pula. Sepertinya food park ini udah jadi tempat favorit mereka. Mereka berdua tentu saja tetap nggak peduli dan tetap datang ke situ. Walaupun memang gue juga nggak sepenuhnya yakin, apakah para penjual dan pengunjung tetap di sini mengenali Bu Cla sebagai cewek yang ditampar karena pelakor saat itu.Gue merasa, mungkin hanya gue yang tahu kejadian itu dan mengenali mereka. Ya soalnya emang kan Bu Cla juga gue kenal.Dari tempat gue duduk, gue bisa melihat keakraban mereka berdua. Akrab bangetnya emang mirip sama orang yang punya hubungan lebih. Gue sama Beno juga akrab, tapi gue nggak pernah pegang-pegang tangan dia atau kasih gesture keakraban yang berlebihan sama Beno. Dan sebaliknya, Beno juga cukup sopan sama gue. Cara bercanda Beno emang kadang nyebelin tapi dia nggak pe
Malam Senin, sebuah email masuk. Tapi email ini sengaja dikirimkan ke akun gmail gue, email pribadi yang nggak berhubungan sama kerjaan kantor. Si pengirim, yang ternyata Pak Vino memberikan tugas pertamanya sebagai Sidekick, seperti yang pernah disebutkannya.Tugas pertama gue hanya satu kalimat namun susahnya luar biasa. Gue diharuskan membuat alur permintaan budget entertainment di kantor gue. Secara real. Bukan yang ada di SOP kantor. Bingung nggak gue? secara budget entertainment ke LA yang habis ratusan juta itu aja pakai budget entertainment beberapa PID (Project ID) yang dijadikan satu, plus jatah entertainment Bu Angel. Iya, di kantor gue semua team leader dan atasan-atasannya lagi, punya budget entertainment masing-masing. Bu Angel gue denger sekitar 100 juta. Untuk Pak Vino bisa lebih, apalagi Pak Marjan. Budget itu nggak perlu pakai PID, jadi bisa dipakai kapan aja mereka mau asal ada nota atau invoice asli dan copy.Kalau semua itu masih nggak cukup, akan
Sehari sebelum keberangkatan, baik Bu Angel maupun Pak Adi, nggak tampak batang hidungnya sama sekali di kantor. Project-project Sania yang tadinya gue pegang sudah kembali ke pemiliknya. Tanpa adanya tanda terimakasih, Sania banyak mencecar kekurangan gue yang tampaknya meski pembayaran invoice tidak terlambat, dia merasa customernya kurang diperhatikan. Ya gimana sih, gue kan cuma bantuin. Dan gue sendiri punya beban untuk lebih care sama customer di project-project gue sendiri.“Lo tuh harusnya terimakasih dibantuin!” timpal Okan yang ternyata dari tadi memperhatikan perdebatan kami.“Eh, diem lo! Lo kan nggak tahu historynya,” timpal Sania yang langsung membuat Okan angkat tangan dan menjauh.“Jadi gimana ini, ada yang komplein BAST-nya belum balik lagi?” cecar Sania sambil ngeliatin gue tajam.“Gue udah tanya sama Pak Adi, dia nggak ke kantor hari ini. Tapi balik dari LA dia akan cek ulang. Sementara sih anak
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t