Ibaratnya, hampir semua orang di kantor gue sebenarnya tahu hubungan antara Pak Marjan dan Bu Cla. Tapi hampir semuanya bungkam. Paling banter ngegosip di pojokan lounge, toilet, kantin atau saat istirahat siang. Itu pun nggak ada yang terbuka. Bener-bener berbisik satu sama lain. Bahkan saat gue makan bareng-bareng kemarin, selepasnya nggak ada yang berani angkat bicara satupun. Mungkin ada, kan Hanna punya grup WA sendiri bareng Veve cs.
Yah, gue tahu sih, Pak Marjan masuk ke C level. Penghuni anggota di level BOD (Board of Director) yang mana, gue masih nggak paham, kenapa dia seterang-terangan kaya gitu. Ya bukannya gue membenarkan hal untuk sembunyi-sembunyi juga, tapi apakah dia nggak takut posisinya terancam?
Memang banyak alibi yang bisa dipakai. Apalagi Bu Cla kan team leader gitu lho. Sudah pasti keputusan terbesar project-project besar masih membutuhkan jasa Pak Marjan di sana-sini. Meskipun memang ada Pak Vino, tapi Pak Vino sendiri gue lihat juga sama sibu
Pagi harinya di kantor, heboh. Kebetulan aja Bu Cla nggak terlihat batang hidungnya. Entahlah, dia juga emang jarang ngantor sih sama kaya bos gue. Jadi gue juga nggak tahu, ketidakhadirannya di kantor apakah karena memang menghindar atau sedang meeting di luar seperti biasanya.Kehebohan tentu saja karena kejadian semalam. Dan bukan dari gue tentu saja, karena semalam, gue cuma sama Beno, dan Beno bukan karyawan kantor ini. Terus, gue nggak ngerasa udah ngebocorin soal kejadian semalam sama siapapun.Tapi, ternyata, semalam, di food park itu, ada anak FA yang juga sedang makan di sana. Namanya Mba Ibel. Dia semacam staff admin FA yang kontraknya udah lama banget di sini. Dia, udah mengalami pemutihan 2 kali. Gue sebenarnya cukup salut sama dia. Kalau gue, dengan status nggak jelas kaya gitu, mendingan gue cabut aja cari pekerjaan lain. Meskipun ya gue cukup sadar sih, Mba Ibel emang usianya udah nggak muda lagi. Masih dipertahankan perusahaan aja luar biasa cukup buat
“Haduuuh, maap ya minggu lalu batal ketemu, biasa ada meeting dadakan! Nggak papa kan shopping diganti hari ini?” sapa Bu Ana sambil menghampiri gue yang masih asyik melihat-lihat aksesoris di stand-stand temporary yang berada di selasar mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat itu. “Eh, Ibu, santai aja Bu! Saya juga masih lihat-lihat aksesoris,” kata gue sambil mengambil salah satu giwang simpel bermahkotakan berlian imitasi. “Gimana, ada yang suka? Sini saya bayarin, saya mau bayar bros ini sekalian, cakep banget kalau buat hijab ke kantor, ya Mba ya?” timpal Bu Ana sambil mengajak si penjaga stand ngobrol. “Yaelah, Bu, cuma 60,000 rupiah aja, masa saya minta bayarin?” sahut gue sambil menyerahkan giwang itu ke penjaga stand. “Nggak papa, kamu kan masih single, ngekos pula, duitnya ditabung aja!” kata Bu Ana kekeh untuk membayarkan giwang gue ke si mbak. Setelah berargumen cukup panjang, gue pun menyerah dan membiarkan Bu Ana membayarkan aksesori
Gue mengaduk teh dan madu yang barusan gue buat saat tanpa gue sadari, Pak Vino sudah berdiri di belakang gue sambil tersenyum-senyum. Wajahnya luar biasa cerah hari itu.“Pagi, Matari! Sehat banget bikinnya teh sama madu? Lagi nggak enak badan?” tanya beliau perhatian.“Nggak, kok, Pak. Biasanya emang kalau lagi pengen anget-anget saya bikin kaya gini. Hehehe. Silahkan, Pak, kalau mau pake pantrynya,” ujarku sambil mundur menjauh sedikit.“Oh, gitu, kirain emang sengaja karena lagi sakit. Saya inget, kamu baru kerja beberapa bulan kan sakit lama banget itu ya?”Tentu gue nggak akan melupakan itu. Karena saat itu gue juga baru pertama kalinya dimarahin oleh orang paling baik di kantor ini.“Ya, emang lagi drop aja, Pak! Maaf ya.”“Udah lewat itu. Yang penting sekarang kamu tahu kan, badan kamu sendiri kaya gimana batasan-batasannya? Kasihan juga ortu kamu kalau kamu sakit sampai kaya kema
Menebeng Pak Vino buat gue itu terasa luar biasa canggung. Kita memang cukup akrab di kantor layaknya atasan yang baik dan bawahan yang penurut. Beberapa menit duduk di samping Pak Vino di mobil SUV eropa klasiknya yang besar, kebanyakan banyak membuat gue diam. Pak Vino pun sibuk membalas chat WA beberapa orang, mungkin orang-orang kantor atau keluarganya. Dia bahkan nggak ngajak gue ngobrol sama sekali.“Kenapa ngekos di Setiabudi kalau rumah lo aja di Jakarta Timur? Nggak sampai sejam itu mah. Rumah saya dong di Cibubur, pulang pergi tiap hari,” kata Pak Vino membuka percakapan.Gue yang tadinya sibuk memperhatikan gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang indah dengan semburat senja, menoleh menatap Pak Vino sambil tersenyum.“Biar mandiri aja sih, Pak. Lagian kan kalo pas lembur suka pada nungguin. Kasihan aja gitu,” sahut gue.“Iya sih, bener. Biar bebas juga ya sama cowok lo?” tanya Pak Vino melede
Melihat kegamangan gue akhirnya Pak Vino kasih waktu gue dua hari buat berpikir. Gila! 2 hari dan status karyawan gue langsung jadi dua! Berasa punya pekerjaan utama sekaligus kerja shift di waktu yang sama. Sayangnya di perusahaan yang sama pula.Nggak mau munafik, gue tergoda dengan jumlah Dollar yang dibilang sama Pak Vino secara tersirat. Nggak mungkin kan gue cuma dapet 10 USD gitu? Akhirnya pada suatu kesempatan, gue WA Pak Vino.Gue: Malam, Pak. Ada waktu? Mau ngobrol bentar.Pak Vino: Malem, Ri. Gimana?Gue: Kalo boleh tahu, gaji saya dari Singapore Officer berapa ya?Pak Vino: Hahahaha, kirain apaan. Eh emang gue belom kasih tahu?Gue: Belom, Pak. Bapak cuma bilang beberapa USD. Kalau cuma 10 USD sih saya nggak bisa, Pak, terlalu berat gitu, tanggung jawabnya.Pak Vino: Bercanda kamu?! Nggak mungkin 10 USD lah, rate kerja di luar nggak segitu juga, bahkan buat freelance sekalipun! Jangan nyamain sama di sini, Ri. Kontrak kamu
Dua berhari berlalu begitu cepat buat gue. Rasanya baru kemarin gue minta saran sama Rindu, tapi sekarang, gue udah duduk di ruangan Pak Vino, menatap layar laptop gue yang berisi kontrak digital yang sudah dikirim oleh Singapore officer. Gue sendiri kaya nggak percaya sama apa yang gue lihat tentang upah gue sekadar cuma jadi “freelancer” itu. Gue diupah mingguan, berdasarkan report gue, sebesar 150 SGD. Tanpa report, upah gue nggak akan turun sama sekali. Upah tersebut akan ditransfer di bank lain, selain payroll gue biasanya. Mereka menunjuk beberapa bank swasta asing yang kerja sama dengan mereka. Untungnya gue punya salah satunya walaupun cuma buat nabung aja.Report gue direct ke Pak Vino. Semua tugas-tugas gue akan diberikan langsung sama Pak Vino. Report gue nggak boleh diberitahukan sama siapapun. Diketahui siapapun kecuali Pak Vino. Bahkan sekelas Pak Adnan, nggak ngebolehin tahu. Kalau ada yang sampai tahu dan bocor, gue akan diberhentikan sekaligus ole
Kalo lo ngomong pelakor itu nggak punya malu, mungkin emang beneran seperti itu. Waktu gue malam-malam mampir makan lagi bareng Beno, gue lihat Bu Cla lagi ada di sana. Kali ini dengan Pak Marjan pula. Sepertinya food park ini udah jadi tempat favorit mereka. Mereka berdua tentu saja tetap nggak peduli dan tetap datang ke situ. Walaupun memang gue juga nggak sepenuhnya yakin, apakah para penjual dan pengunjung tetap di sini mengenali Bu Cla sebagai cewek yang ditampar karena pelakor saat itu.Gue merasa, mungkin hanya gue yang tahu kejadian itu dan mengenali mereka. Ya soalnya emang kan Bu Cla juga gue kenal.Dari tempat gue duduk, gue bisa melihat keakraban mereka berdua. Akrab bangetnya emang mirip sama orang yang punya hubungan lebih. Gue sama Beno juga akrab, tapi gue nggak pernah pegang-pegang tangan dia atau kasih gesture keakraban yang berlebihan sama Beno. Dan sebaliknya, Beno juga cukup sopan sama gue. Cara bercanda Beno emang kadang nyebelin tapi dia nggak pe
Malam Senin, sebuah email masuk. Tapi email ini sengaja dikirimkan ke akun gmail gue, email pribadi yang nggak berhubungan sama kerjaan kantor. Si pengirim, yang ternyata Pak Vino memberikan tugas pertamanya sebagai Sidekick, seperti yang pernah disebutkannya.Tugas pertama gue hanya satu kalimat namun susahnya luar biasa. Gue diharuskan membuat alur permintaan budget entertainment di kantor gue. Secara real. Bukan yang ada di SOP kantor. Bingung nggak gue? secara budget entertainment ke LA yang habis ratusan juta itu aja pakai budget entertainment beberapa PID (Project ID) yang dijadikan satu, plus jatah entertainment Bu Angel. Iya, di kantor gue semua team leader dan atasan-atasannya lagi, punya budget entertainment masing-masing. Bu Angel gue denger sekitar 100 juta. Untuk Pak Vino bisa lebih, apalagi Pak Marjan. Budget itu nggak perlu pakai PID, jadi bisa dipakai kapan aja mereka mau asal ada nota atau invoice asli dan copy.Kalau semua itu masih nggak cukup, akan