Dengan langkah berat Laura melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit dan menyusuri jalan berbaur bersama pejalan kaki lainnya. Dia meminta Lucy untuk mengabarinya saat Jason sadar karena melihat Mario di sana emosinya tidak terkendali.
Tujuan Laura adalah apartemen Gino, entah kenapa dia membutuhkan laki-laki itu berada di sampingnya. Mendengar omong kosong tentang Orion atau Edelweiss di puncak Rinjani rasanya lebih menyenangkan daripada terjebak bersama Mario.
Setengah jam kemudian Laura sudah berdiri di depan unit apartemen milik Gino. Namun, tatapannya justru mengarah pada unit apartemen milik Mika, perasaan bersalah itu menyusup memenuhi rongga dadanya. Perempuan cantik nyaris tanpa kekurangan itu memiliki kehidupan yang tidak kalah menyedihkan dari Laura. Semua itu karena kesalahan yang mengatasnamakan perasaan, kebodohan manusia melebihi apa pun.
"La?"
Jarak yang dekat itu menyadarkan Laur
Mencengkram sendok erat-erat sambil menatap David yang berada di seberang mejanya. Gino tidak ingin laki-laki itu terus mengganggu waktunya bersama Laura. Setan pengganggu itu seharusnya dimusnahkan sejak pertama kali membawa Laura ke apartemennya. Dan sekarang sudah terlambat karena David terlanjur menjadi penghuni tetap apartemennya. Alasan tidak mendapatkan perhatian keluarga menyebabkan Gino tidak memiliki pilihan selain membiarkan David tinggal di apartemennya.Sesuka hati dan tentu saja gratis!Perlu digaris bawahi kata gratis itu karena Gino sudah membeli apartemen itu sejak lima tahun lalu. Investasi masa depan dan tidak menyangka jika Laura bekerja di apartemennya setahun yang lalu. Jodoh yang diberikan Tuhan semoga saja tidak meleset karena Gino sudah menyiapkan segalanya agar Laura menjadi miliknya. Tinggal menyiapkan beberapa rencana pendekatan termasuk merebut Laura dari Mario. Senyuman jahat itu terukir di bibirnya hingga tanpa sadar, dia terkekeh pelan.
Kafe menjadi pilihan Laura untuk membicarakan masalah itu. Dia duduk di samping Mika sementara Mario hanya berdiri di sisi meja. Terlihat enggan berada di dekat Mika, tatapan itu Laura bisa melihatnya dengan jelas.Kebencian yang mengakar kuat.Laura berdehem untuk mengambil perhatian mereka dan tindakan itu menyebabkan keduanya menatapnya serius."Apa kalian sudah menikah?" tanya Laura memastikan dengan nada bicara yang dibuat setenang mungkin."Tidak," ucap Mario tegas."Kami sudah bertunangan dan menurut para tetua, kami sudah menikah hanya belum diresmikan secara hukum," ucap Mika."Sesama perempuan aku memahami perasaan Mika, aku tanya satu hal padamu Mario." Laura menatap laki-laki itu sepenuhnya. "Apa kau tidak peduli dengan perasaannya?""Dia sendiri yang membuatku kehilangan rasa peduli, duniaku hancur karena perempuan ini."
"Bagaimana keadaan Lucy?"Gino melempar jasnya ke sofa dengan kasar, dia tidak menanggapi pertanyaan David karena pikirannya tertuju pada Laura. Seminggu setelah pemakaman, gadis itu memilih bersama Mario, menyebabkan Gino mengerti akan satu hal. Laura sungguh tidak ingin berpisah dengan Mario dan perasaan gadis itu bukan miliknya lagi. Meskipun tahu kebenarannya, Gino tetap tidak senang dengan membiarkan Laura bersama orang lain.Sial."Gino, apakah Lucy baik-baik saja?" tanya David belum menyerah."Lihat saja sendiri, aku bukan bodyguard ibunya!" ucap Gino kesal."Emosimu ini tidak seperti orang yang sedang berkabung, aku keluar sebentar melihat Lucy."David tampak kesal dan Gino tidak pernah melihat ekspresi laki-laki itu sebelumnya, kehilangan Jason tidak ada hubungannya dengan David selain peduli pada Lucy. Kebodohan seseorang memang sudah sampai pada le
Malam itu, Laura tidak menyangka Mario kembali menemuinya. Lucy tidak kembali, artinya Mario tidak mengizinkan Lucy tinggal di apartemennya. Dengan canggung, Laura duduk di kursi seberang Mario sambil menekan telapak tangannya gugup. Tidak nyaman dengan situasi itu, terlebih Mario bersikap dingin sejak melihatnya bersama David."Aku akan meninggalkan New York," ucap Mario sontak menarik perhatian Laura sepenuhnya."Kenapa?" tanya Laura layaknya orang bodoh."Aku ingin melupakan kenangan tentang Jason, dan Lucy membutuhkan seseorang di sampingnya. Dia ingin aku menemaninya hingga perasaannya membaik. Sebenarnya bukan hanya Lucy, tapi aku juga membutuhkan ketenangan itu. Memikirkan semua hal yang telah terjadi, aku hampir gila dan memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku. Berhenti menjadi seorang penulis."Laura tidak percaya dengan ucapan Mario, berhenti dari pekerjaan yang disukainya pasti karena la
Ragu itu kembali merasuki pikiran Gino ketika harus menginjakkan kaki di unit apartemen Laura. Dia tidak menerobos masuk seperti kejadian semalam dan memilih menunggu hingga pintu itu terbuka. Dan cukup lama menunggu, Laura tidak kunjung membukanya. Merasa gadis itu tidak berada di apartemen. Gino mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Laura. Namun, panggilan dari Ajeng mengurungkan niatnya. Dengan cepat, dia menerima panggilan itu sambil bersandar pada dinding, melihat lorong apartemen yang sepi.“Kenapa Jeng?” tanya Gino.“Awas kalau kamu nggak nongol di acaraku. Aku nggak mau nikahanku buyar gara-gara tante Mira panik anak semata wayangnya nggak balik. Acara sekali seumur hidup harus lancar, awas aja kamu No.”“Yakin banget kamu bakal nikah sekali seumur hidup,” ejek Gino.“Parah banget kamu No!”Gino tertawa mendengar Ajeng mencak-mencak dari seberang sana. Omong kosong mengatakan perempuan jawa
Laura melupakan satu hal tentang Miranda. Dia belum mendengar kabar apa pun dari rumah sakit mengenai perempuan itu. Sehingga Laura memutuskan mengunjungi Miranda. Tiba di sana, dia segera melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan Miranda. Laura berpapasan dengan dokter dan bertanya mengenai kondisi perempuan itu yang dijawab oleh dokter itu jika Miranda baik-baik saja. Laura bernapas lega kemudian menghampiri Miranda yang menyambutnya dengan senyum mengembang."Miss Laura, lama tidak bertemu," ucap Miranda."Maaf, aku sibuk mengurus beberapa hal," ucap Laura jujur."Aku terkejut kau datang kemari, tapi terimakasih karena kau satu-satunya orang yang mengunjungiku selain dokter.""Apa kau sungguh tidak memiliki kerabat?" tanya Laura terkejut.Miranda menggeleng. "Aku tidak pernah menikah dan aku anak satu-satunya di keluargaku. Lebih tepatnya anak ibuku karena aku tidak tahu sia
Restoran bintang lima di pinggiran kota Manhattan menjadi tempat pilihan Gino untuk merayakan hubungannya dan Laura. Awalnya dia menolak ketika Gino menawarkan restoran itu sebagai tempat kencan mereka yang pertama. Tempat mewah itu tidak cocok dengan seleranya yang sederhana. Namun, Gino bersikeras agar Laura memilih tempat itu. Alasannya agar Laura menikmati hidupnya seperti kebanyakan orang pada umumnya. Sedangkan Gino tidak tahu, Laura pernah menjalani kehidupan keras di New York sebelum mereka bertemu. Dan berada di restoran mewah, bukan lagi kesenangan Laura untuk menikmati hidup. Dia lebih senang berada di warung sederhana dengan makanan murah, tapi membuatnya nyaman. Dibandingkan tempat mewah dengan hidangan ala Perancis yang tidak sesuai lidahnya.Laura menatap escargot di atas piring itu tanpa selera. Dia membayangkan hewan itu sering merayap di batang padi lalu memakan daun padi yang masih muda. Meskipun tidak sama persis, tapi tampilan kulit dan cang
Terlambat untuk menyesal.Laura menyisir rambutnya dengan gerakan lambat, dia menatap pantulan wajahnya di cermin. Gino berdiri di belakangnya dengan ekspresi sulit diartikan. Kejadian malam itu, di luar perkiraannya. Sesuatu yang dijaganya dengan baik akhirnya hilang begitu saja. Entah siapa yang patut disalahkan. Dia atau Gino, sementara cinta tidak akan merusak harga dirinya."Maaf La.""Kenapa kamu lakuin hal itu No?" tanya Laura kecewa."Aku cinta kamu La. Dan aku mau nikah sama kamu.""Aku pikir, kamu memang tulus cinta sama aku. Ternyata aku salah." Laura meletakkan sisirnya di meja, dia menatap Gino melalui cermin dengan ekspresi kecewa. "Kamu brengsek No," ucapnya."La, aku tahu kamu kecewa, tapi aku bukan orang brengsek. Dibandingkan Mario, aku memang bukan apa-apa."Laura berbalik kemudian menatap Gino dengan kemarahan mencapai puncaknya."Jangan bawa-bawa Mario, ini tentang aku sama kamu. Bukan orang lain No!" ucap