Suasana hiruk pikuk di tempat pemotretan sengaja ia acuhkan. Nadira lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menikmati sesi curhat via telepon bersama sahabat baiknya, Gisna. Gadis lugu yang sudah menjadi sahabat karibnya sejak jaman putih abu-abu itu kini tengah berbahagia dengan kondisinya yang sedang mengandung.
Cukup mengejutkan sebenarnya. Khususnya bagi Nadira. Sahabatnya yang pemalu tiba-tiba saja membuat keputusan impulsif untuk menjadi seorang ibu pengganti bagi sosok pria yang sama sekali tidak dikenalnya demi menyelamatkan ibunya. Dan hal itu juga menjadi penyesalan terbesar dalam hidup Nadira karena dirinya sebagai sosok sahabat tak bisa membantu Gisna kala wanita itu berada dalam posisi terpuruk. Semua ini karena kata ‘profesional’ sialan yang sering diagung-agungkan oleh asistennya si Fera bin Feri. Manusia setengah jadi. Sehingga ia bahkan tidak bisa menggunakan ponselnya sendiri.
Sejak saat itu, Nadira tidak lagi menuruti ucapan sang manager dan meminta hak nya sebagai seorang manusia untuk mengontrol hal pribadinya dengan caranya sendiri.
"Ra, bentar lagi lo take.” Orang yang baru saja diumpatnya kini tengah berdiri menjulang di hadapannya dan memandangnya tajam. “Buang tuh permen. Kelakuan lo dah kayak anak lima tahun aja." Gerutunya sambil berlalu pergi. Nadira mencebik namun kemudian memilih bangkit.
“Udah dulu ya, Na. Aku mesti take lagi. Nanti kalo pulang aku mampir. Jaga ponakan aku baik-baik.” Pintanya sebelum menutup sambungan telepon.
Nadira meletakkan ponselnya kembali ke dalam tasnya sebelum kemudian memandang Feri yang kini ingin dipanggil Fera karena sifat kemayunya yang semakin menjadi. "Lo mau? Ngomong kalo mau. Gue ada banyak di tas." Ucapnya menjawab teguran Fera bin Feri sebelumnya.
Pria bertubuh tambun itu memutar bola mata. "Ya ampun, Dira. Gigi loe tuh lama-lama bisa ompong tahu gak sih." Pekik Fera lagi.
Bukannya menurut, Nadira malah nyengir dan menunjukkan gigi putihnya yang terawat. "Permen karet itu bagus buat kesehatan tau. Salah satu cara menghilangkan stres." Ucapnya dengan santai dan lalu memasukkan sisa permen karet kembali pada bungkus awalnya dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan senyum manisnya, Nadira berjalan menuju depan kamera dan siap dengan posenya.
Pemotretan selesai pada pukul sepuluh malam. Tidak terlalu larut sebenarnya, karena seringkali Nadira menghabiskan waktu lebih daripada itu. Semua tergantung dari situasi dan kondisi pemotretan itu sendiri. Dan juga tema. Jangan lupakan itu.
Nadira dan kawan-kawannya yang tergabung dalam proyek ini sudah diberikan kunci untuk kamar tempat menginap mereka. Pemotretan yang diadakan di Bali ini adalah lokasi terakhir pemotretan mereka setelah sebelumnya mereka melakukan pemotretan di Makassar dan Lombok. Besok atau lusa, mereka baru akan kembali ke Jakarta. Ya Tuhan, Nadira sangat rindu pada apartemen mungilnya.
Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur single sesaat setelah membuka pintu. "Cape gue." Desahnya.
Kamar yang ditempatinya ini bukanlah kamar presiden suite karena Nadira juga bukan model kelas atas dengan bayaran fantastis. Tapi dia juga bukan model pemula. Sehingga bayarannya tidak terlalu murah juga. Fasilitas seperti ini baginya sudah cukup.
“Mandi dulu, baru rebahan.” Perintah Fera bin Feri.
Sesaat Nadira mendelik pada managernya itu, tapi kemudian mengiyakan saja dan bangkit menuju kamar mandi.
Nadira memandangi wajahnya di cermin. Menghapus sisa make up yang masih tersisa dengan pembersih wajah sebelum memulai mandi. Ia bersyukur, memiliki paras cantik yang diturunkan dari gen kedua orangtuanya. setidaknya itu salah satu andalannya hingga sukses di dunia modeling saat ini. Karena sejujurnya memilih dunia model memang bukan cita-citanya.
Awalnya Nadira begitu ingin menjadi seorang fashion designer. Minatnya pada dunia itu jauh lebih besar daripada keinginannya untuk berjalan di atas catwalk. Namun karena untuk kuliah di jurusan itu tidaklah murah, maka ketika ada orang yang memberinya kesempatan untuk menjadi model, ia menerimanya begitu saja. Anggaplah ini sebagai batu loncatan. Jika suatu saat nanti dia memiliki peluang untuk mencapai cita-citanya, setidaknya dia tidak perlu lagi memulai semuanya dari awal karena dia sudah membangun koneksi.
Selain wajahnya, ia juga beruntung karena dianugerahi bentuk tubuh yang ideal yang bisa menunjang karirnya. Ketika diluaran sana orang-orang bersusah payah untuk diet, Nadira tidak perlu melakukan hal tersebut karena tubuhnya entah kenapa begitu untuk sulit gemuk. Poin plusnya adalah dia bisa mengejek sahabatnya Meta yang begitu ingin menjadi model namun tidak kesampaian.
Tapi meskipun memiliki tubuh proporsional, bukan berarti Nadira tidak bekerja keras. Tahun awal ia memulai karirnya, Fera bin Feri mendidiknya dengan begitu keras. Olahraga, latihan catwalk, diet pola makan. Dan blah-blah-blah urusan lainnya. Belum lagi masalah pendidikan attittude. Benar-benar menyiksa Nadira pada awalnya. Karena ia merasa terkekang dan tak bisa menjadi dirinya sendiri.
Hanya di depan Meta, Gisna dan Fera bin Feri lah dia bisa menjadi dirinya sendiri.
"Cin, lo dapet paket lagi." Fera bin Feri mengedikkan kepalanya ke arah meja rias yang ada di depan tempat tidurnya. Carina yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk di atas kepalanya berjalan mendekat dan melihat buket bunga yang ada disana. "Dari orang yang sama." Lanjut saat Nadira mengambil kartu yang terselip diantaranya.
To. My Beautiful Nadira
Kamu tampak cantik sekali dengan gaun pemotretan hari ini. Lain kali, gunakan gaun itu saat berdua denganku.
From. Your Admirer. J.D
Nadira menggeram. Meremas kertas itu dan melemparkannya ke dalam tempat sampah. Seketika ia memandang Fera dengan matanya yang tajam. Buket bunga itu, beserta kartu ucapannya adalah hal yang Nadira takuti belakangan ini. Bukan karena bunganya yang tidak cantik. Atau ucapan di kartu yang tidak manis. Tapi sosok si pengirim yang tak diketahui lah yang membuat Nadira merasa takut. Bagaimana tidak, bunga beserta ucapan itu selalu saja dikirim dimanapun Nadira melakukan pemotretan.
“Loe masih belum tahu siapa yang ngirim ini semua?” tanyanya dengan marah. Kartu ucapan itu sudah diremasnya dan dilemparnya ke tempat sampah. Fera, yang ditanya hanya bisa menggelengkan kepala dengan mimik bersalah. “Gue udah bilang kalo gue gak suka sama ini semua. Ini nakutin tau gak sih loe? Minimal loe cari tahu dong. Jangan sampe gue ketar-ketir takut sendiri. Dia tuh kayaknya selalu ada dimana-mana. Lama-lama gue jadi takut kalo jalan sendirian trus tiba-tiba dia nyerang gue gitu."
"Lo kebanyakan nonton drama, Cin. Orang tuh suka kalo ada fans, ini malah takut."
"Ya kali gue se terkenal Jovita sampe diburu fans." Sejenak amarah melingkupinya ketika mengingat nama wanita yang membuat sahabatnya menderita itu. "Gue kan masih model ecek-ecek Fer. Lagian kalo fans nya normal sih gue juga oke-oke aja. Tapi ini, gue bahkan gak tahu dia siapa, dia orang mana, umurnya berapa, tapi dia kok kayak tahu segalanya tentang gue. Dia bahkan selalu aja ngirim buket begituan dimanapun gue pemotretan. Kan nakutin Fer." Nadira bahkan bergidik setelahnya.
"Udah lah, Posthink aja. Siapa tahu dia emang tahu dia emang punya orang dalem jadi dia dapet info tentang loe."
"Ya tetep aja nyeremin Fer. Kalo suka berubah jadi obsesi, itu bukan lagi hal yang bisa dianggap wajar. Loe gak pernah nonton apa di film-film. Adanya penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, itu semua karena obsesi Fer."
"Yaelah, film lagi, drama lagi. Loe kayak anak micin tahu. Lama-lama loe nyangkut-nyangkutin hidup loe macem novel. Ya udahlah, Cin. Kalo pun semuanya serba film, drama sama novel. Loe mimpinya hidup loe macem Cinderella gitu. Yang berakhir ketemu pangeran. Atau gak kayak si Belle yang akhirnya merubah monster jadi pangeran." Nadira menepuk dahi.
"Ya kali lo samain hidup gue sama dongeng buat anak-anak." Decihnya. “Udah, balik sana ke kamar loe. Gue mau tidur." Usir Nadira kasar. Fera bangkit dari duduknya dengan enggan. “Oh ya, sebelum pulang ke Jakarta, beliin Pai Susu sama Pia ya." Nadira berteriak di antara sela-sela pintu.
"Hmm... Berapa banyak?"
"Yang banyak aja. Buat bumil." Teriaknya lagi.
Keesokan harinya Nadira berjalan dengan cepat menuju pintu keluar bandara. Mengabaikan semua barang bawaannya kecuali kantong kertas berisi oleh-oleh di tangannya dan sling bagnya yang setia menggantung di bahunya. Selebihnya ia meminta Fera bin Feri untuk mengurus sisa barang bawaannya.
Ia dengan segera berjalan keluar menuju parkiran dan langsung memasuki taksi yang kosong yang pertama kali ditemuinya.
Panik, itulah yang dirasakannya saat mendengar sahabatnya, Gisna pingsan dan dirawat di rumah sakit.
Supir taksi dimintanya untuk mengantarkannya dengan cepat ke rumah sakit yang sahabatnya Meta sebutkan. Setelah tahu dimana kamar Gisna dari perawat, dia berjalan dengan cepat menuju ruangannya. Setelah tiba di depan pintu, ia berusaha menetralkan napasnya dan merapikan penampilannya. Nadira mengetuk pintu dan mengucap salam lalu masuk ke dalamnya. Ia menatap sekeliling dengan cepat. Di bagian kanan ruangan rawat Gisna terdapat dua sofa panjang yang tampak terisi penuh dengan keluarga sahabatnya itu yang didominasi para pria bertubuh tinggi besar yang Nadira tahu merupakan keturunan Turki. ia menyapa mereka dengan anggukan kepala sebelum berjalan mendekat ke arah tempat tidur sahabatnya.
"Nih, abisin. Jangan sampai ponakan aku nanti ileran." Nadira menyerahkan bingkisannya pada Gisna yang tersenyum menerimanya.
"Gue gak dikasih, Ra?" Meta memandangnya dengan wajah merajuk.
Nadira membuka sebuah kemasan dan memberikan satu potong pai susu itu pada Meta. "Nih, biar lo gak ileran. Makanya minta sama laki lo buat dibeliin. Gak malu apa punya laki kaya tapi kerjaan ngemis oleh-oleh mulu?" Sindir Nadira pada kekasih Meta, Ganjar. Ganjar yang juga ada di ruang itu memberengut namun yang lainnya malah tertawa.
"Ekhm.. gak dikenalin kita Na?" Nadira mendengar suara dehaman seorang pria yang membuatnya refleks berbalik. Disana, ada seorang pria yang malah mengedipkan matanya dengan genit.
"What the..." Nadira terbelalak sebelum kembali menoleh ke arah Gisna yang balas sedang tersenyum ke arahnya.
"Dia sahabat aku, Nadira." Ucap Gisna dengan suaranya yang lemah lembut seperti biasa. Sementara pria yang tadi mengedipkan sebelah mata padanya kini berjalan mendekat.
Sebenarnya pria itu tidak bisa dikatakan jelek. Dia tampan, dan sebenarnya merupakan pria tipe Nadira. Namun sikap genitnya itu sudah membuat Nadira memberikan nilai minus di pertemuan pertama mereka ini.
Pria itu mengulurkan tangan dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Dengan tinggi tubuhnya yang mencapai 170cm, Nadira masih harus mendongak saat pria itu berada di depannya. Tinggi juga pria itu ternyata.
"Erhan. Sepupu Lucas." Salam pria itu. Lucas sendiri adalah suami sahabatnya Gisna. Pria berdarah Indonesia-Turki yang sudah dengan kurang ajarnya meminta Gisna menjadi ibu pengganti dengan imbalan uang untuk membantu biaya operasi ibu Gisna.
Memang tidak baik jika kita menyamaratakan orang hanya karena dengan siapa dia bergaul. Tapi mau tak mau, Nadira pada akhirnya menyamakan Erhan dengan Lucas. Dan karena dia tidak terlalu suka pada suami sahabatnya, jadi dia memilih untuk tidak menyukai sepupunya juga.
"Nadira." Balasnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Emm.. aku jomblo." Ucap Erhan salah tingkah. "Kamu single juga kan, ya?"
Bukannya menjawab, Nadira malah balik memandang Gisna. "Na, sepupu ipar kamu masih sehat?" sindirnya, sengaja dengan nada yang ia ucap lantang.
"Aku sehat kok. Lahir batin. Kalo perlu kita bisa cek di lab sekarang. Kamu mau tes apa? Paru-paru? Jantung? Otak? Atau mau teh vitalitas? Aku sih oke!" Erhan menjawab dengan bangga.
Meta terkikik geli. Begitu juga dengan Gisna. Namun Nadira malah memutar bola matanya jengkel.
"Sepupu, jangan mengemis seperti itu. Nadira bisa kabur nanti." Adskhan—pria yang Nadira tahu merupakan sepupu tertua Lucas—memperingatkan. Dialah satu-satunya pria di keluarga Levent yang Nadira anggap normal saat ini. Karena meskipun tidak mengenal baik, setidaknya pria itu tidak pernah memberikan kesan buruk pada Nadira.
"Kamu bisa ngomong begitu karena kamu udah laku, Sepupu." Jawab Erhan lagi. Erhan menatap Meta dengan tajam. "Jangan tertawa. Aku ini sekarang atasan kamu, loh. Kamu mau saya cut?" Ancamnya yang membuat Meta seketika terdiam dan menutup mulutnya. Pandangan Erhan kembali ke tertuju pada Nadira. "Gimana? Kamu mau jadi cewek aku? Aku muda, tampan, dan aku juga kaya. Setidaknya di negara asalku, aku itu kaya." Ucapnya lagi dengan penuh kebanggan.
Nadira mengangkat sudut mulutnya dengan sengaja memberikan ekspresi mengejek. "Maaf, aku gak minat." Jawabnya datar. Suara tawa dari Adskhan terdengar membahana di ruangan yang tak seberapa besar itu.
Pria bernama Erhan itu kembali berbalik dan mendelik pada sepupunya. "Kamu itu terlalu banyak ngumbar kata 'suka', Sepupu." Tegur Adskhan. "Gak bisa lihat yang cantik, maunya main sosor aja. Jangan mau Nadira, dia itu bujang lapuk. Garansinya belum terjamin." Ucap Adskhan lagi yang malah mendapat pukulan dari istrinya.
"Mas, Ih." Desis Caliana.
Namun Erhan tampaknya tak patah arah. Ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar kertas berbentuk persegi dan menyerahkannya dengan paksa pada tangan kanan Nadira. "Ini kartu nama aku. Kalau kamu berubah pikiran, just call me maybe." Ucapnya diakhiri dengan senandung lagu.
Nadira hanya menjawabnya dengan gidikan pelan. ‘Dasar pria aneh.’ Gumamnya dalam hati. Sementara kartu nama di tangannya ia remas begitu saja. Untuk apa juga dia menyimpannya.
Mereka menghabiskan waktu di rumah sakit sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan malam dan semua keluarga Gisna memilih bubar.
Nadira dan Meta memilih tinggal di sana untuk menemani Gisna dan memberi alasan pada keluarga Gisna kalau mereka ingin bernostalgia. Namun baik Meta dan juga Nadira tahu, bukan itu alasan sebenarnya mereka ada disana.
"Kamu baik-baik aja kan, Na?" Dengan lembut Meta memandang sahabatnya yang tengah duduk dengan wajah pucat dan tampak tak bertenanga.
Gisna balik memandang Meta dan menunjukkan senyumnya. Senyum yang bahkan tak sampai ke matanya. "InsyaAllah. Kalo kamu nanya aku baik-baik aja, jawaban aku enggak, Ta. Aku gak baik-baik aja. Tapi kalo kamu nanya apa aku kuat, aku bakalan jawab, iya. Aku kuat." Jawabnya. Nadira melihat mata sahabatnya itu mulai berkaca-kaca.
"Na.." ucapnya bersamaan dengan Meta. Nadira menaiki sisi tempat tidur sahabatnya yang terbebas dari selang infusan, sementara Meta memilih untuk duduk di bagian kakinya.
Gisna menggelengkan kepalanya pelan. "Kalian gak usah merasa kasihan. Sejak awal aku memang sudah memprediksi semua ini akan terjadi. Salahku karena jatuh cinta pada orang yang tidak tepat." Ucapnya lirih. Nadira masih saja memandang sahabatnya.
"Gak ada yang salah, Na. Semua orang berhak jatuh cinta. Dan patah hati adalah salah satu resiko yang mesti ditanggung." Jawab Meta bijak, Gisna mengangguk.
"Tidak semua kisah cinta berakhir bahagia. Meskipun aku selalu berdoa supaya kita berakhir dengan kisah bahagia." Doa Nadira. Lagi-lagi Gisna mengangguk.
Meskipun mengatakan hal seperti itu, Nadira sendiri sebenarnya bukan orang yang percaya pada kisah cinta. Ia adalah orang yang menghindari perasaan semacam itu. Kisah cinta yang berakhir bahagia itu memang ada, tapi ia rasa kemewahan itu bukan untuknya. Tidak ia semakin tidak percaya pada kisah cinta abadi atau bahagia setelah ia melihat bukti nyata dari kisah Gisna dan juga apa yang terjadi pada ibunya.
Melihat penderitaan yang dirasakan keduanya, Nadira merasa enggan untuk menjatuhkan hatinya pada siapapun. Semua makhluk berjenis kelamin pria adalah hal yang seharusnya hindari. Ya, kecuali mereka yang memiliki kelainan seksual atau memiliki kesalahan dalam pola pikir, seperti Fera bin Feri.
"Mungkin belum saatnya saja baginya. Dan ini memang belum berakhir. Kamu masih bisa berjuang, Na." Ucapan Meta mengalihkan Nadira dari lamunannya. Nadira mengangguk. Meta tidak salah dengan harapannya, Gisna juga tidak salah dengan cintanya. Tidak ada yang salah diantara mereka. Semuanya karena pilihan masing-masing.
Nadira melihat Gisna tersenyum. "Aku belum mengaku kalah, Ra, Ta." Ada binar keoptimisan di wajahnya. "Tidak sebelum bayi-bayi ini lahir. Bukankah aku sudah mengatakannya pada kalian, dan pada wanita itu?"
Nadira tahu siapa yang Gisna maksud dengan 'wanita itu'.
‘Wanita itu’ adalah sosok wanita cantik berhati iblis. Dan disini dia merasa bersalah karena dialah yang mengenalkan mereka berdua. Dia lah yang menjadi jembatan atas penderitaan yang dialami sahabatnya ini. Seandainya saja dia tahu bahwa wanita itu mendekatinya karena sebuah rencana. Ia tidak akan mau membanggakan wanita itu sebagai temannya. Cukup ia menjadi fans nya saja tanpa harus tahu seperti apa pribadi wanita itu yang sebenarnya.
"Aku mencintainya.” Ucapan Gisna membuat Nadira kembali pada dunia nyata. “Aku jatuh hati padanya. Dan saat ini aku memang merelakannya menemani wanita itu. Tapi aku belum menyerah. Masih ada waktu sampai bayi-bayi ini lahir. Aku masih meminta kepada si pemilik hati untuk membalikkan hati suamiku padaku. Namun jika sampai waktunya bayi-bayi ini lahir dan dia masih tidak menjatuhkan pilihannya. Saat itulah aku akan menyerah."
Mendengar ke optimisan dalam suaranya, Nadira tersenyum. Ia senang melihat sisi lain sahabatnya kembali muncul. Meskipun kemudian wanita itu tergugu dalam tangisannya, Nadira bahagia karena sahabatnya itu belum mengaku kalah. (Cerita ini merupakan cuplikan dari Bukan Ibu Pengganti, bagi yang belum baca silahkan mampir).
*****
Pagi datang begitu saja. Tidurnya di rumah sakit tidaklah nyenyak dan jusru membuat tubuhnya berteriak tak nyaman. Ia dan Meta pada akhirnya berpamitan saat keluarga Gisna datang dan membawakan sarapan.
Nadira benar-benar lelah, sangat lelah. Dia belum benar-benar mendapatkan istirahat yang cukup karena kemarin dia langsung melakukan penerbangan ke Jakarta berselang satu jam setelah pemotretan selesai. Dan itu pun dia langsung menuju ke rumah sakit karena khawatir.
Nadira bukan Meta, yang bisa tidur dengan nyaman kapanpun dimanapun selama ia menemukan bantal. Tidak. Nadira adalah tipe pecinta bantal dan tempat tidurnya sendiri. Dan dia adalah orang yang suka tidur dalam keheningan. Meskipun ia sering melakukan aktivitas diluar rumah dan terkadang terpaksa harus tidur bersama orang lain dan seringkali begadang, dia tidak merasa masalah.
Karena setelah semua aktivitasnya selesai, ia akan mengurung diri di kamar. Mengisolasi dirinya sendiri di atas tempat tidur dan benar-benar tidur tanpa gangguan. Tidak peduli jika itu menghabiskan waktu berjam-jam dan bahkan sampai belasan jam. Nadira akan menyebutnya sebagai penebusan dosa.
Nadira melirik pergerakan bayangan pergerakan kaki dari pintu seberang unitnya. Setahunya, unit itu kosong dan hendak disewakan saat ia akan pergi, dan sekarang sepertinya selama kepergiannya unit itu telah terisi.
Baiklah, ramah tamah kepada tetangga akan ia lakukan nanti setelah ia puas beristirahat. Nadira masuk ke dalam unitnya bertepatan dengan suara pintu seberang unitnya terbuka. Ia meletakkan tas dan kunci mobilnya di atas meja bar dan langsung menuju kamar. Melepas pakaiannya dan melemparnya ke dalam keranjang cucian. Mandi cepat dengan air hangat adalah pilihannya. Dan tak sampai lima menit kemudian Nadira sudah memakai tangtop berwana hitam tanpa dalaman dan celana dalam katun. Memasukkan tubuhknya ke dalam selimut tebal dan bergelung sambil memeluk guling yang sudah lama ditinggalkannya.
Hibernasi, I'm coming....
________________________________________________
Jangan lupa review dan komennya ya... Mimin tunggu
Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, Erhan masih saja membayangkan wajah Nadira. Sosok gadis cantik yang memiliki tubuh indah dan ekspresi wajah jutek yang selalu terbayang di kepalanya. Ya Tuhan, hanya dengan membayangkan wajahnya saja membuat Erhan begitu ingin menyentuhnya. Sisi kelelakiannya terbangun begitu saja. Bahkan semalam, dia memimpikan hal yang indah bersama gadis cantik yang baru pertama kali dilihatnya itu.
"Tuh cowok kece nya pake banget ya, Cin." Komentar Fera bin Feri seraya meletakkan makanannya di atas meja di hadapan Nadira. Wajahnya yang bulat tampak merona malu. "Beneran ya keluar Levent itu cowoknya pada cuco semua.” Lanjutnya lagi. “Mestinya gue cepat-cepat operasi ganti kelamin kali ya supaya bisa dapat cowok ganteng kayak dia. Menurut loe, gimana?”
Pemotretan itu terhenti saat menjelang makan siang. Satu lagi yang Nadira ketahui bahwa ternyata di pabrik itu terdapat layanan makan siang gratis bagi para karyawan. Dan saat ini, Nadira beserta tim pemotretan tengah berada di sebuah area kantin yang luas dan nyaman dengan makanan yang tampak menggiurkan di hadapan mereka.
Beberapa jam telah berlalu sejak pemotretan berakhir. Nadira sudah kembali ke kediamannya dan kini, dengan gusar dia berjalan bolak balik di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu apartemennya.
Nadira duduk terdiam dengan minuman dingin di hadapannya yang sudah sepenuhnya mengembun. Meta yang duduk di hadapannya turut memandangi sahabatnya yang sejak tadi hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya dengan keras. Sementara tatapan gadis itu berkelana entah kemana.“Loe oke?” tanya Meta pada akhirnya. Mau tak mau dia juga merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya yang satu ini. Apa Nadira kini kehilangan kewarasannya hanya karena tahu Gisna menghilang?Meskipun Meta sama khawatir. Tapi dia tahu kalau Gisna saat ini berada di tempat yang aman. Kenapa demikian, karena Ganjar juga mengatakan demikian.“Ra!” Meta akhirnya memukul lengan Nadira karena gadis itu sama sekali tidak juga memberikan respon apapun padanya. “Loe kenapa sih?” tanyanya kesal.
Erhan mengusap paha gadis itu dengan perlahan. Bibirnya masih memagut bibir ranum Nadira yang terasa begitu manis di bibirnya. Lidahnya menari bersamaan dengan lidah gadis itu. Perlahan, tangan Erhan masuk ke balik sweater rajut gadis itu, terus menyusup ke balik tanktop putih yang ada di balik sweaternya.
"Oke, done! Thank you all." Suara fotografer mengakhiri sesi pemotretan kali ini. Nadira menggumamkan terima kasih dan berjalan menuju managernya. Fera bin Feri. Pria bertubuh gempal yang selalunya tampak gemulai. “Nih.” Fera menyerahkan sebuah amplop silver kepadanya. Nadira menerimanya dan menyadari bahwa itu sebuah undangan. “Designer pujaan loe ngadain acara seminar. Kali aja loe mau ikutan, gue cek sama jadwal loe emang kebetulan lagi kosong.” Ucapnya dengan nada ketus saat tahu ekspresi wajah Nadira berbinar senang. &ldq
Nadira keluar dari toilet dengan celingukan. Memandang ke kiri dan ke kanan berharap tidak bertemu seseorang yang mengenalinya. Ia menghembuskan napas lega ketika melihat meja yang tadi Erhan gunakan kini sudah kosong. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju meja dimana Fera dan Feri menunggunya dengan satu tangan yang sibuk dengan ponselnya dan tangan lainnya sibuk dengan tablet. Pria setengah matang itu memandangnya dengan mata menyipit setelah panggilan telepon berakhirn. "Ciin...lo ngapain sih di toilet lama-lama?" Tanyanya heran.
Pesta pernikahan digelar keesokan hari setelah henna night. Bukan pesta yang mewah seperti yang dibuat Nadira tempo lalu. Melainkan sebuah pesta sederhana yang hanya mengundang beberapa kerabat dan rekan penting keluarga Erhan. Orang-orang yang dikenal yang datang dari Indonesia hanyalah Meta, Ibunya, adiknya dan juga sahabat-sahabatnya yang sudah menikah lebih dulu dengan para sepupu Erhan.Tidak ada kebaya, tidak ada siger, dan tidak ada musik tradisional Indonesia. Saat ini, keseluruhan pesta didominasi dengan acara internasional. Bahkan Nadira sendiri tidak mengenakan pakaian pengantin tradisional Turki, melainkan gaun mewah yang dipesan khusus untuknya dari designer langganan Dilara.“Uwoowwww, pengantin kita benar-benar cantik sekali.” Meta yang berjalan masuk mengenakan gaun berwarna navy tampak memandang Nadira dengan sorot terpukau.Nadira balik memandang sahabatnya itu dengan senyum di wajahnya. Set
TurkiKediaman Erhan tampak lebih sepi daripada biasanya. Karena apa? Karena ini adalahHenna Night.Malam Henna, yang diadakan bukan untuk orang lain, tapi untuk kekasih hatinya, Nadira.Ya, keluarga Erhan kini seluruhnya, para wanitanya, tengah berkumpul di kediaman orangtua Adskhan yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Menyisakan para pria yang tinggal di rumah dengan hanya menggigit jari saja karena tidak diperkenankan untuk hadir.Bukan diharamkan, hanya saja mengingat tradisi orang Indonesia akan pingitan, maka untuk henna night malam ini, para pria tidak diperkenankan hadir. Dan itu termasuk Erhan, Adskhan dan juga Lucas. Ketiga sepupu itu kini diam di kediaman Erhan, menjaga sepupu termuda mereka supaya tidak lari dan pergi ke tempat dimana pesta berlangsung dan melanggar perjanjian dengan calon ibu mertuanya.Erhan kembali melirik ponselnya. lantas mencebik
Bulan-bulan kemudian berlalu dengan cepat. Seperti yang sudah Erhan sarankan sebelumnya, Nadira mengambil kelas bahasa. Erhan memintanya untuk fokus belajar bahasa Italia dan Prancis. Sementara untuk bahasa Turki, pria itu mengatakan bahwa dia akan menjadi mentor Nadira secara gratis. Bahkan jika ada sesuatu yang bisa di praktekkan, pria itu mengatakan bahwa dia akan dengan senang hati memberikan contoh gratis yang seketika ditolak oleh Nadira.Dan memang waktu berlalu menyenangkan. Meskipun sebagian orang menduga bahwa hari-hari yang dilalui Nadira itu berat, tapi faktanya tidak demikian. Dia menikmati semua itu. karena Erhan selalu memanjakannya setelahnya.Bukan dengan acaramake-outseperti saat Nadira masih sehat. Pria itu bahkan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menyentuhnya selain memberikan kecupan di dahi dan pipi atau ciuman pendek saat Nadira memintanya. Tapi dengan memberikan apapun dan melakukan apapun y
Hari-hari Nadira dan Erhan mungkin terasa datar saja bagi yang memperhatikannya. Erhan bekerja, dan disela waktunya pria itu mengantarkan Nadira untuk pergi terapi. Ya, sebisa mungkin pria itu tidak pernah absen mengantarkan Nadira untuk melakukan fisioterapi. Bagi pria itu, melihat perkembangan Nadira setiap harinya merupakan kebanggan tersendiri. Setelahnya Erhan akan melakukan apapun yang Nadira inginkan. Entah itu berjalan-jalan, makan-makan, atau hanya duduk diam saja di rumah dan menonton acara di televisi. Entah itu tayangan film atau sekedar gosip. Yang jelas bagi Erhan, menghabiskan waktu bersama dengan Nadira adalah bentuk kebahagiaan.Hubungan Erhan dengan Fera bin Feri pun sudah mulai membaik. Erhan sudah bersedia membiarkan Nadira menerima video call dari Feri meskipun seringkali pria itu mencebik dan memalingkan muka dan bahkan meninggalkan Nadira untuk berbicara sendiri tanpa gangguannya.Fera yang takut akan berubah labih sep
Ya, tentu saja dia menginginkannya. Itulah jawaban dari pertanyaan dalam kepalanya. Nadira memandang pria itu dan tersenyum. “Untuk saat ini, aku mengingnkanmu.” Jawabnya lirih. Wajah Erhan kembali dibingkai senyum bahagia yang tentu saja menular pada Nadira. “Sekarang, apa kau mau memelukku?” pinta Nadira yang dijawab Erhan dengan anggukan dan kemudian lengan besarnya merengkuh tubuh Nadira lembut dan mendekap kepala Nadira di dadanya.“Seni seviyorum, Askim.” Ucap pria itu di atas kepala Nadira. “Aku mencintaimu, cintaku.” Ulang pria itu dalam bahasa yang lebih dimengerti Nadira. “Sudah malam, kembalilah tidur.” ucap Erhan tak lama kemudian seraya melepas pelukannya di tubuh Nadira.Nadira memandang pria itu dan mengedipkan mata sebagai tanda setuju. Erhan kemudian menekan tombol yang ada di sisi tempat tidur dan mengembalikan posisi ranjang pada kondisi berbaring datar.
Maap kalo banyak typo, Mimin belum sempet revisi karena pengen cepet-cepet update._____________________________________________Pria itu menarik napasnya dengan perlahan. “Jika ini membuatmu membenciku, tak masalah. Aku hanya perlu usaha lagi untuk membuatmu suka padaku.” Ucapnya dengan percaya diri yang dijawab kekehan Nadira. “Baiklah, darimana aku harus mulai?” tanyanya pada Nadira.“Dari awal?” Nadira balik bertanya.Erhan menganggukkan kepala. “Awal, ya?” ucapnya lirih. Ia kembali menarik napas panjang dan mulai bercerita. “Awal pertama pertemuan kita setelah insiden yang dialami Gisna. Apa kau ingat?” Nadira mengerutkan dahinya. Insiden? Insiden apa yang dimaksud pria itu? hal terakhir yang diingatnya tentang Gisna adalah ketidaksetujuannya atas pernikahan palsu sahabatnya itu. namun sekarang, saat melihat sahabatnya ber
"Memelukmu?" Tanya Erhan ragu. Entah kenapa mendengar permintaan gadis itu ia tiba-tiba merasa malu. Tanpa ia sadari, wajahnya memanas dan memerah seketika.Nadira memandang pria itu dengan heran. "Iya, memelukku. Kenapa? Kamu gak mau lakuin itu?" Tanyanya heran.Erhan bertingkah seperti gadis perawan yang hendak dipinang oleh pria pujaannya. Pria itu mengusap tengkuknya karena merasa kikuk. "Bukan begitu." Ujarnya lirih. "Hanya saja…""Hanya saja apa?" Tanya Nadira dengan nada menuntut."Aku takut tidak bisa menahan diri." Rengek pria itu, seperti bocah yang meminta mainan pada orangtuanya.Nadira terkekeh. Mau tak mau gadis itu memandang Erhan karena tingkah lucunya. "Jangan menertawakanku." Sergah pria itu dengan mimik cemberut. "Aku sudah menahan diri untuk tidak menyentuhmu saat kita dipingit. Dan aku juga sangat merindukanmu saat bajinga
Nadira menunggu. Di kamar inapnya yang sudah kembali sepi karena lagi-lagi, ia meminta ibunya, adiknya, Gisna dan juga sahabatnya Meta untuk pulang saja dan tak menemaninya tinggal.Mereka menolak, tentu saja. Karena mereka takut Nadira kesusahan jika membutuhkan sesuatu, terlebih jika ia memiliki kebutuhan untuk pergi ke kamar mandi. Tapi lantas ia menghingatkan mereka bahwa ia menggunakan kateter urin yang meskipun terasa tak nyaman tapi harus digunakan untuk sementara waktu sampai minimal dia bisa duduk sendiri.Jam berlalu terasa lama baginya. Menunggu itu memang tidak nyaman. Dan setelah obat yang dikonsumsinya, menahan kantuk itu rasanya sangatlah susah. Tapi ia masih mencoba bertahan karena dia ingin bertemu dengan orang itu. Siapa lagi kalau bukan Erhan. Pria yang hanya akan datang padanya saat dia tidak sadar.Jam berlalu, dan tanpa sadar Nadira terbuai oleh kantuknya. Hingga kemudian dia bisa merasakan tangan s
Hari ini benar-benar melelahkan bagi Nadira. Fisik dan juga batinnya.Bagaimana tidak. setelah pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter umum yang menanganinya. Nadira kemudian dialihkan untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Dia ‘dipaksa’ untuk mengingat dan menceritakan kejadian terakhir yang ada dalam kepalanya. Dan itu bukan hal yang mudah, mengingat banyaknya hal yang tidak bisa ingat dan bisa dia ingat dalam waktu bersamaan. Dan hal itu membuatnya merasakan sakit di kepala.Setelahnya ia melakukan pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dengan tujuan untuk melihat keseluruhan organ dalam Nadira dengan lebih seksama untuk nantinya mereka melakukan penanganan yang tepat. Hal ini berkaitan dengan amnesia yang Nadira miliki dan juga kelemahan otot yang membuatnya tidak bisa bergerak.“Secara keseluruhan, kondisi fisik Bu Nadira itu ada dalam keadaan prima.” Ucap dokter ahli sara