Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, Erhan masih saja membayangkan wajah Nadira. Sosok gadis cantik yang memiliki tubuh indah dan ekspresi wajah jutek yang selalu terbayang di kepalanya. Ya Tuhan, hanya dengan membayangkan wajahnya saja membuat Erhan begitu ingin menyentuhnya. Sisi kelelakiannya terbangun begitu saja. Bahkan semalam, dia memimpikan hal yang indah bersama gadis cantik yang baru pertama kali dilihatnya itu.
Awalnya ia merasa tidak asing dengan wajah gadis itu. Sampai akhirnya dia sadar bahwa Nadira bekerja di bawah naungan agency yang selama ini dimiliki tantenya.
Sebuah senyum terkembang di wajahnya kala membayangkan bagaimana jika nanti gadis itu melihatnya dengan statusnya yang lain. Pastinya sangat menyenangkan.
Namun saat ini, Erhan kebingungan sendiri dengan langkah awal yang harus dia ambil. Dia sedang berjalan mondar-mandir di ruangannya kala ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. “Anda sedang apa, Sir?” Ganjar, asisten pribadi sepupunya yang kini menjadi mentornya itu memandanginya dengan dahi berkerut.
“Coba katakan padaku.” Erhan balik mendekatinya dengan langkah cepat dan antusias. “Bagaimana caranya menggoda seorang wanita?” tanyanya dengan wajah menghadap Ganjar sepenuhnya. “Tidak.” Ralatnya cepat. “Bukan menggoda, tapi memikat.” Lanjutnya.
Ganjar, si pria hitam manis itu balik memandang Erhan dengan dahi yang berkerut semakin dalam. "Kenapa kau bertanya padaku?" Tanya Ganjar bingung. Ia memandangi rekannya yang malah balas menatapnya dengan wajah memelas.
Kepalanya sudah mau pecah karena pekerjaannya yang bertumpuk, dan kini Erhan memanggilnya hanya untuk meminta tips bagaimana caranya mengencani seorang wanita? Demi Tuhan. Dia sendiri kesulitan untuk menaklukan Meta, bagaimana bisa dia menasehati orang lain?
"Setidaknya kau telah menjatuhkan salah satu dari trio itu.” Jawab Erhan dengan lantang. “Melihat bagaimana dia menyebutmu kemarin malam, aku pastikan kalau kau juga mengenal baik Nadira. Jadi kumohon, berikan aku informasi tentangnya dan juga tips and trick untuk menaklukannya." Kedua tangan Erhan kini meremas lengan Ganjar. Dan lagi, masih menunjukkan wajah memelas seperti anak anjing yang minta diadopsi.
Ganjar menggelengkan kepala. "Sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal Nadira, sama seperti aku tidak mengenal Gisna." Jawab Ganjar lirih. Ganjar dan Erhan memang sudah sepakat untuk menggunakan bahasa informal karena usia mereka yang tak terlalu jauh dan karena Erhan ingin mereka berteman. Lebih dari itu, kesan Erhan memang tak semenyeramkan Lucas saat mereka bekerja bersama. "Aku bahkan mengenal Gisna lebih dekat setelah sepupumu mengajaknya menikah." Lanjut Ganjar apa adanya. Karena kesibukannya dengan Lucas, ia memang jarang menghabiskan waktu bersama orang lain diluar jam kantor. Jangankan bergaul atau menghabiskan waktu dengan teman, Dengan kekasihnya pun, Ganjar memiliki waktu yang teramat sangat sedikit. Beruntung saja Meta masih kuat bertahan dengannya dan tidak memintanya untuk putus
“Kalau begitu, jadilah mak comblangku.” Erhan membuat solusi lain.
Ganjar mengerutkan dahi. “Maksudnya?” tanyanya tak mengerti.
“Saat kau akan pergi dengan kekasihmu, ajak juga Nadira. Di waktu yang bersamaan aku bisa pergi denganmu. Tenang saja,” Erhan menyela seketika. “Aku tidak akan mengganggu kencanmu. Aku hanya ingin kau dan kekasihmu mengajaknya dan setelah itu aku yang akan membawanya pergi tanpa mengganggu kencan kalian berdua.” Tutur Erhan. “Ya ya ya..." Pintanya seperti anak kecil yang meminta permen pada ayahnya. Ganjar menatap tangan kekar pria itu yang kini memegang lengannya sambil menggoyang-goyangkannya.
Ganjar berpikir sejenak. "Bisa-bisa. Bisa diatur.” Jawabnya seraya melepas tangan Erhan di lengannya. “Nanti aku minta Meta supaya meminta waktu Nadira. Sebaliknya, kau harus siap sedia jika misalkan aku katakan kami siap pergi. Bagaimana?" Ganjar memberikan saran yang dengan atusiasnya diangguki oleh Erhan.
"Aku akan selalu siap. Kapanpun." Jawab Erhan dengan penuh semangat. "Akhirnya, aku bisa bertemu dengan jodohku juga." Gumamnya dengan mata berbinar.
Ganjar mengangkat sebelah alisnya memandang pria yang lebih muda darinya itu. jodoh? Tanyanya dalam hati. kapan pria itu akan benar-benar sadar dan berhenti mengucap kata suka dan jodoh pada sembarang wanita? Namun Ganjar tidak mengatakan itu dari mulutnya. Ia lebih memilih bungkam dan menggeser berkas yang tadi ia bawa ke hadapan Erhan.
"Lupakan Nadira untuk sejenak. Sekarang, waktunya bekerja." Tegur pria itu. “Periksa laporan itu baik-baik dan nanti akan kita rapatkan.” Ujarnya seraya bangkit dari duduknya.
Jika saat pertama kali kedatangan Erhan ke Coskun Ganjar memiliki posisi sebagai asisten COO (yang kala itu COO dipegang oleh Lucas), kini posisi Ganjar sudah berganti menjadi wakil COO. Satu tingkat di bawah Erhan secara langsung, namun tetap menjadi mentor pria itu sebelum nantinya ia pindah ke perusahaan yang dirintis oleh Lucas. "Bekerjalah dengan baik, Sir. Saya tidak mau Sir Adskhan memarahi saya karena lalai bertugas hanya karena Anda meminta nasihat berkencan." Ganjar menepuk bahu Erhan sebelum meninggalkan ruangan pria itu.
Erhan memandang pria itu seraya mengedipkan sebelah matanya dengan gaya genit. Ganjar tertawa melihatnya.
Berjam-jam kemudian. Setelah membaca semua dokumen yang menumpuk, akhirnya Erhan bisa membebaskan kepalanya dari pekerjaan yang memusingkannya. Ia sudah sampai di basement apartemen yang beberapa hari ini ia tinggali. Apartemen baru yang sengaja dia sewa supaya ia tidak lagi perlu tinggal di hotel atau di kediaman paman dan bibinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan dia telah melewatkan jam makan malamnya. Dalam perjalanan menuju lift, Erhan melihat selebaran makanan yang menerima delivery order. Erhan yang merupakan penghuni baru apartemen tersebut dengan sukacita mengambil satu persatu lembaran menu sebelum memasuki lift. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang karena terlalu terfokus pada lembaran menu yang ada di tangannya.
Wangi bunga chamomile khas bayi menguar di udara. Wangi yang entah bagaimana begitu disukai Erhan. Matanya membelalak seketika ketika ia melihat pantulan seorang gadis dari dinding lift yang seluruhnya dilapisi cermin. Gadis yang berdiri tenang di sampingnya itu kini sedang asyik menunduk dan memandang ponselnya. Mengenakan kaos putih dengan hotpans jeans diatas lutut, sebagian besar tubuh langsing itu tertutupi oleh sebuah cardigan lengan panjang dengan panjang tubuh sampai ke bawah lututnya. Dan yang mengejutkannya lagi, wanita itu tidak menekan tombol lantai lain. Yang berarti mereka tinggal di lantai yang sama? Erhan terbelalak seketika dengan pertanyaan dalam kepalanya.
Demi apa? Erhan ingin bersorak dengan gembira karenanya. Namun alih-alih memekik kegirangan, ia malah mengepalkan tangannya dan menutupi mulutnya dengan itu. Erhan kembali pura-pura membaca menu di hadapannya, meskipun matanya sesekali menatap cermin berharap gadis itu mendongak dan menyadari keberadaanya. Bahkan Tuhan sudah memberikannya jalan. Ia hanya perlu merancang cara untuk mendekati gadis itu.
Pintu lift terbuka di lantai mereka. Erhan dengan sengaja memilih membuka ponselnya sebelum keluar dari lift. Dia tidak ingin gadis itu merasa diikuti. Jadi dia memunggungi gadis itu dan kembali menghadap pintu lift seraya berpura-pura menelepon.
Erhan kembali terbelalak ketika melihat gadis itu membuka pintu unit tepat di depan pintu unitnya. Waaaw,, jodoh memang tidak lari kemana. Erhan kembali berjalan menuju unitnya sembari menyanyikan sebuah lagu dangdut yang ada di kepalanya.
"Pacarku memang dekat, tiga langkah dari depan..
Tak perlu kirim surat, sms juga gak usah...Duh aduh memang asyik.. punya pacar tetangga.. Biaya apel pun irit. Gak usah, buang duit."Terus saja Erhan bersiul seraya memasuki unitnya dan bahkan sampai ia masuk ke kamar mandi dan melupakan makan malamnya yang tadinya akan ia pesan.
Erhan berbaring di atas tempat tidurnya, kembali mengatur rencana untuk mendekati tetangga seberang unitnya.
'Apa aku harus minta gula?' ia bermonolog. Lalu kemudian menggelengkan kepala. 'Nanti dipikirnya aku miskin sampai gula pun tidak punya'. Erhan menggelengkan kepala. 'Minta pinjam alat?'. Erhan lagi-lagi menggeleng. Mana mungkin seorang gadis memiliki alat pertukangan.
"Arrggghhh...!!" Erhan mengacak rambutnya dengan gemas. Perutnya kembali berbunyi. Dia benar-benar lapar sekarang. Erhan kembali ke meja bar dan melirik menu yang ada di meja. Lalu kemudian sebuah ide terbersit di kepalanya. Erhan memencet beberapa tombol dan memesan beberapa jenis makanan di tempat yang berbeda. 'baiklah, kita tunggu makanannya. Bertindak seolah tidak tahu apa-apa dan say hai pada tetangga baru'.
Setengah jam menunggu, bagian delivery datang hampir secara bersamaan. Lima kotak makanan untuk masing-masing menu sudah mengisi meja barnya. Ada empat unit yang harus ia datangi. Erhan memasukkan setiap jenis makanan untuk dikirim pada satu unit dalam satu bungkus besar. Ia akan menjadikan unit depannya sebagai tempat terakhir untuk dikunjungi.
Erhan menekan bel dengan tak sabar. Kakinya mengetuk kakinya berkali-kali. Mulutnya komat kamit menggumamkan setiap sapaan yang akan dia keluarkan jika gadis itu muncul.
Suara pintu diputar memenuhi indra pendengaran Erhan. Erhan menegakkan punggungnya, sebuah senyum terukir di wajahnya. Ia siap menyapa namun cukup terkejut saat melihat seorang lelaki dengan tubuh tambun membuka pintu dan mendongak ke arahnya dan matanya tampak berbinar. "Siapa ya?" Tanya pria itu dengan gemulai. Setidaknya Erhan merasa lega karena pria di depannya setidaknya bukan benar-benar
"Saya penghuni unit baru." Erhan menunjuk pintu unit di belakangnya dengan ibu jarinya. "Sebagai perkenalan sesama tetangga." Erhan menyodorkan kantong berisi makan malam itu pada si pria tambun. "Saya sudah bertemu dengan dua pemilik unit lainnya, dan unit ini unit terakhir yang saya datangi. Saya Errhan." Erhan mengulurkan tangannya.
"Oh, Saya Feri tapi lebih suka dipanggil Fera." Ucapnya dengan gemulai.
"Siapa Fer?" Sebuah suara di belakang pintu menyahut.
"Tetangga baru, Cin." Jawab Feri yang suka dipanggil Fera itu.
Terdengar suara sandal mendekat. Erhan melihat gadis itu masih mengenakan pakaian dan cardigan yang sama. Matanya membelalak seketika ketika melihat Erhan. "Loe?!" Tanyanya.
"Oh, Hai!" Erhan berusaha tampak terkejut. "Waah, kita ketemu lagi disini ternyata. Jodoh emang gak kemana ya." Ucapnya dengan senyum semanis mungkin.
Nadira tampak mengerutkan dahi ketika Erhan mengatakan kata 'jodoh'. "Kalian saling kenal?" Feri yang suka dipanggil Fera itu memandang Nadira dan Erhan bersamaan.
"Dia sepupu iparnya Gisna." Jawab Nadira lugas.
"Ohhh,, masih keluarga Levent ternyata. Pantas aja sedikit beda." Ucap Feri yang suka dipanggil Fera itu dengan tawa centilnya. "Mas nya mau masuk? Yuk, sekalian kita juga baru mau makan." Ajak Feri yang suka dipanggil Fera itu seraya membuka pintu lebih lebar dan memberikannya jalan.
"Kenapa loe ajak orang seenaknya ke apartemen gue?" Nadira melotot pada si Feri yang suka dipanggil Fera itu.
"Jangan jutek gitu dong, Ra. Sesama tetangga itu harus ramah, biar ke depannya kalo ada apa-apa bisa saling bantu.
"Gue milih tinggal di apretemen itu biar gak usah SKSD sama tetangga Fer..." Gerutu Nadira seraya kembali memilih masuk ke dalam apartemennya.
"Gak usah ditanggepin, Mas. Dia mah emang gitu orangnya." Ajak Feri yang suka dipanggil Fera itu. Namun tak ingin membuat wanita incarannya ilfeel, akhirnya Erhan memilih undur diri saja.
"Lain kali aja ya." Tolak Erhan. "Kebetulan saya sudah menyiapkan makanan saya sendiri di unit. Tapi kalau kurang, masi ada satu set lagi di unit saya, bagaimana?" Tawarnya dengan harap-harap cemas.
"Ah gak usah, ini juga udah cukup kok." Tolak Feri yang suka dipanggil Fera itu dengan cara yang tak kalah halusnya. "Oh iya, ini nomor ponsel saya." Pria setengah matang itu menyerahkan kartu namanya. "Kalau ada perlu apa-apa Mas bisa hubungi saya. Atau kalau Mas punya niat jadi model, saya bisa bantu. Mas nya cocok kok masuk di agency kita. Kebetulan saya ini kerja jadi manager artis. Kali aja Mas nya minat."
Erhan ingin bersorak gembira, namun sebisa mungkin dia tahan. Satu orang dekat dengan Nadira bisa ia dekati. Maka ia selangkah lebih dekat untuk memiliki gadis itu. Erhan menerimanya dan setelahnya pamit. Ia melirik ke dalam apartemen, gadis pujaannya itu sedang duduk bersila di depan meja dengan mata menatap layar datar di hadapannya.
Kembali mendendangkan lagu pacar lima langkah, Erhan sesekali menciumi kartu nama yang diberikan si Feri yang suka dipanggil Fera itu. "Nadira ohhh Nadira..." Erhan sudah kembali ke unitnya dan bersiap menghabiskan makan malamnya.
"Tuh cowok kece nya pake banget ya, Cin." Komentar Fera bin Feri seraya meletakkan makanannya di atas meja di hadapan Nadira. Wajahnya yang bulat tampak merona malu. "Beneran ya keluar Levent itu cowoknya pada cuco semua.” Lanjutnya lagi. “Mestinya gue cepat-cepat operasi ganti kelamin kali ya supaya bisa dapat cowok ganteng kayak dia. Menurut loe, gimana?”
Pemotretan itu terhenti saat menjelang makan siang. Satu lagi yang Nadira ketahui bahwa ternyata di pabrik itu terdapat layanan makan siang gratis bagi para karyawan. Dan saat ini, Nadira beserta tim pemotretan tengah berada di sebuah area kantin yang luas dan nyaman dengan makanan yang tampak menggiurkan di hadapan mereka.
Beberapa jam telah berlalu sejak pemotretan berakhir. Nadira sudah kembali ke kediamannya dan kini, dengan gusar dia berjalan bolak balik di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu apartemennya.
Nadira duduk terdiam dengan minuman dingin di hadapannya yang sudah sepenuhnya mengembun. Meta yang duduk di hadapannya turut memandangi sahabatnya yang sejak tadi hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya dengan keras. Sementara tatapan gadis itu berkelana entah kemana.“Loe oke?” tanya Meta pada akhirnya. Mau tak mau dia juga merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya yang satu ini. Apa Nadira kini kehilangan kewarasannya hanya karena tahu Gisna menghilang?Meskipun Meta sama khawatir. Tapi dia tahu kalau Gisna saat ini berada di tempat yang aman. Kenapa demikian, karena Ganjar juga mengatakan demikian.“Ra!” Meta akhirnya memukul lengan Nadira karena gadis itu sama sekali tidak juga memberikan respon apapun padanya. “Loe kenapa sih?” tanyanya kesal.
Erhan mengusap paha gadis itu dengan perlahan. Bibirnya masih memagut bibir ranum Nadira yang terasa begitu manis di bibirnya. Lidahnya menari bersamaan dengan lidah gadis itu. Perlahan, tangan Erhan masuk ke balik sweater rajut gadis itu, terus menyusup ke balik tanktop putih yang ada di balik sweaternya.
"Oke, done! Thank you all." Suara fotografer mengakhiri sesi pemotretan kali ini. Nadira menggumamkan terima kasih dan berjalan menuju managernya. Fera bin Feri. Pria bertubuh gempal yang selalunya tampak gemulai. “Nih.” Fera menyerahkan sebuah amplop silver kepadanya. Nadira menerimanya dan menyadari bahwa itu sebuah undangan. “Designer pujaan loe ngadain acara seminar. Kali aja loe mau ikutan, gue cek sama jadwal loe emang kebetulan lagi kosong.” Ucapnya dengan nada ketus saat tahu ekspresi wajah Nadira berbinar senang. &ldq
Nadira keluar dari toilet dengan celingukan. Memandang ke kiri dan ke kanan berharap tidak bertemu seseorang yang mengenalinya. Ia menghembuskan napas lega ketika melihat meja yang tadi Erhan gunakan kini sudah kosong. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju meja dimana Fera dan Feri menunggunya dengan satu tangan yang sibuk dengan ponselnya dan tangan lainnya sibuk dengan tablet. Pria setengah matang itu memandangnya dengan mata menyipit setelah panggilan telepon berakhirn. "Ciin...lo ngapain sih di toilet lama-lama?" Tanyanya heran.
Erhan memandangi wajah yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Dahinya yang datar, hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lentik, pipinya yang kemerahan, bibirnya yang tipis di bagian atas namun penuh di bagian bawah, dan dagunya yang tampak enak untuk digigit.Semalam, entah bagaimana Erhan membawa gadis itu ke unitnya. Setelah melihat keterkejutan dan ketakutan gadis itu saat melihat sebuah buket bunga berada di depan pintu unitnya, Erhan mer
Pesta pernikahan digelar keesokan hari setelah henna night. Bukan pesta yang mewah seperti yang dibuat Nadira tempo lalu. Melainkan sebuah pesta sederhana yang hanya mengundang beberapa kerabat dan rekan penting keluarga Erhan. Orang-orang yang dikenal yang datang dari Indonesia hanyalah Meta, Ibunya, adiknya dan juga sahabat-sahabatnya yang sudah menikah lebih dulu dengan para sepupu Erhan.Tidak ada kebaya, tidak ada siger, dan tidak ada musik tradisional Indonesia. Saat ini, keseluruhan pesta didominasi dengan acara internasional. Bahkan Nadira sendiri tidak mengenakan pakaian pengantin tradisional Turki, melainkan gaun mewah yang dipesan khusus untuknya dari designer langganan Dilara.“Uwoowwww, pengantin kita benar-benar cantik sekali.” Meta yang berjalan masuk mengenakan gaun berwarna navy tampak memandang Nadira dengan sorot terpukau.Nadira balik memandang sahabatnya itu dengan senyum di wajahnya. Set
TurkiKediaman Erhan tampak lebih sepi daripada biasanya. Karena apa? Karena ini adalahHenna Night.Malam Henna, yang diadakan bukan untuk orang lain, tapi untuk kekasih hatinya, Nadira.Ya, keluarga Erhan kini seluruhnya, para wanitanya, tengah berkumpul di kediaman orangtua Adskhan yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Menyisakan para pria yang tinggal di rumah dengan hanya menggigit jari saja karena tidak diperkenankan untuk hadir.Bukan diharamkan, hanya saja mengingat tradisi orang Indonesia akan pingitan, maka untuk henna night malam ini, para pria tidak diperkenankan hadir. Dan itu termasuk Erhan, Adskhan dan juga Lucas. Ketiga sepupu itu kini diam di kediaman Erhan, menjaga sepupu termuda mereka supaya tidak lari dan pergi ke tempat dimana pesta berlangsung dan melanggar perjanjian dengan calon ibu mertuanya.Erhan kembali melirik ponselnya. lantas mencebik
Bulan-bulan kemudian berlalu dengan cepat. Seperti yang sudah Erhan sarankan sebelumnya, Nadira mengambil kelas bahasa. Erhan memintanya untuk fokus belajar bahasa Italia dan Prancis. Sementara untuk bahasa Turki, pria itu mengatakan bahwa dia akan menjadi mentor Nadira secara gratis. Bahkan jika ada sesuatu yang bisa di praktekkan, pria itu mengatakan bahwa dia akan dengan senang hati memberikan contoh gratis yang seketika ditolak oleh Nadira.Dan memang waktu berlalu menyenangkan. Meskipun sebagian orang menduga bahwa hari-hari yang dilalui Nadira itu berat, tapi faktanya tidak demikian. Dia menikmati semua itu. karena Erhan selalu memanjakannya setelahnya.Bukan dengan acaramake-outseperti saat Nadira masih sehat. Pria itu bahkan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menyentuhnya selain memberikan kecupan di dahi dan pipi atau ciuman pendek saat Nadira memintanya. Tapi dengan memberikan apapun dan melakukan apapun y
Hari-hari Nadira dan Erhan mungkin terasa datar saja bagi yang memperhatikannya. Erhan bekerja, dan disela waktunya pria itu mengantarkan Nadira untuk pergi terapi. Ya, sebisa mungkin pria itu tidak pernah absen mengantarkan Nadira untuk melakukan fisioterapi. Bagi pria itu, melihat perkembangan Nadira setiap harinya merupakan kebanggan tersendiri. Setelahnya Erhan akan melakukan apapun yang Nadira inginkan. Entah itu berjalan-jalan, makan-makan, atau hanya duduk diam saja di rumah dan menonton acara di televisi. Entah itu tayangan film atau sekedar gosip. Yang jelas bagi Erhan, menghabiskan waktu bersama dengan Nadira adalah bentuk kebahagiaan.Hubungan Erhan dengan Fera bin Feri pun sudah mulai membaik. Erhan sudah bersedia membiarkan Nadira menerima video call dari Feri meskipun seringkali pria itu mencebik dan memalingkan muka dan bahkan meninggalkan Nadira untuk berbicara sendiri tanpa gangguannya.Fera yang takut akan berubah labih sep
Ya, tentu saja dia menginginkannya. Itulah jawaban dari pertanyaan dalam kepalanya. Nadira memandang pria itu dan tersenyum. “Untuk saat ini, aku mengingnkanmu.” Jawabnya lirih. Wajah Erhan kembali dibingkai senyum bahagia yang tentu saja menular pada Nadira. “Sekarang, apa kau mau memelukku?” pinta Nadira yang dijawab Erhan dengan anggukan dan kemudian lengan besarnya merengkuh tubuh Nadira lembut dan mendekap kepala Nadira di dadanya.“Seni seviyorum, Askim.” Ucap pria itu di atas kepala Nadira. “Aku mencintaimu, cintaku.” Ulang pria itu dalam bahasa yang lebih dimengerti Nadira. “Sudah malam, kembalilah tidur.” ucap Erhan tak lama kemudian seraya melepas pelukannya di tubuh Nadira.Nadira memandang pria itu dan mengedipkan mata sebagai tanda setuju. Erhan kemudian menekan tombol yang ada di sisi tempat tidur dan mengembalikan posisi ranjang pada kondisi berbaring datar.
Maap kalo banyak typo, Mimin belum sempet revisi karena pengen cepet-cepet update._____________________________________________Pria itu menarik napasnya dengan perlahan. “Jika ini membuatmu membenciku, tak masalah. Aku hanya perlu usaha lagi untuk membuatmu suka padaku.” Ucapnya dengan percaya diri yang dijawab kekehan Nadira. “Baiklah, darimana aku harus mulai?” tanyanya pada Nadira.“Dari awal?” Nadira balik bertanya.Erhan menganggukkan kepala. “Awal, ya?” ucapnya lirih. Ia kembali menarik napas panjang dan mulai bercerita. “Awal pertama pertemuan kita setelah insiden yang dialami Gisna. Apa kau ingat?” Nadira mengerutkan dahinya. Insiden? Insiden apa yang dimaksud pria itu? hal terakhir yang diingatnya tentang Gisna adalah ketidaksetujuannya atas pernikahan palsu sahabatnya itu. namun sekarang, saat melihat sahabatnya ber
"Memelukmu?" Tanya Erhan ragu. Entah kenapa mendengar permintaan gadis itu ia tiba-tiba merasa malu. Tanpa ia sadari, wajahnya memanas dan memerah seketika.Nadira memandang pria itu dengan heran. "Iya, memelukku. Kenapa? Kamu gak mau lakuin itu?" Tanyanya heran.Erhan bertingkah seperti gadis perawan yang hendak dipinang oleh pria pujaannya. Pria itu mengusap tengkuknya karena merasa kikuk. "Bukan begitu." Ujarnya lirih. "Hanya saja…""Hanya saja apa?" Tanya Nadira dengan nada menuntut."Aku takut tidak bisa menahan diri." Rengek pria itu, seperti bocah yang meminta mainan pada orangtuanya.Nadira terkekeh. Mau tak mau gadis itu memandang Erhan karena tingkah lucunya. "Jangan menertawakanku." Sergah pria itu dengan mimik cemberut. "Aku sudah menahan diri untuk tidak menyentuhmu saat kita dipingit. Dan aku juga sangat merindukanmu saat bajinga
Nadira menunggu. Di kamar inapnya yang sudah kembali sepi karena lagi-lagi, ia meminta ibunya, adiknya, Gisna dan juga sahabatnya Meta untuk pulang saja dan tak menemaninya tinggal.Mereka menolak, tentu saja. Karena mereka takut Nadira kesusahan jika membutuhkan sesuatu, terlebih jika ia memiliki kebutuhan untuk pergi ke kamar mandi. Tapi lantas ia menghingatkan mereka bahwa ia menggunakan kateter urin yang meskipun terasa tak nyaman tapi harus digunakan untuk sementara waktu sampai minimal dia bisa duduk sendiri.Jam berlalu terasa lama baginya. Menunggu itu memang tidak nyaman. Dan setelah obat yang dikonsumsinya, menahan kantuk itu rasanya sangatlah susah. Tapi ia masih mencoba bertahan karena dia ingin bertemu dengan orang itu. Siapa lagi kalau bukan Erhan. Pria yang hanya akan datang padanya saat dia tidak sadar.Jam berlalu, dan tanpa sadar Nadira terbuai oleh kantuknya. Hingga kemudian dia bisa merasakan tangan s
Hari ini benar-benar melelahkan bagi Nadira. Fisik dan juga batinnya.Bagaimana tidak. setelah pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter umum yang menanganinya. Nadira kemudian dialihkan untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Dia ‘dipaksa’ untuk mengingat dan menceritakan kejadian terakhir yang ada dalam kepalanya. Dan itu bukan hal yang mudah, mengingat banyaknya hal yang tidak bisa ingat dan bisa dia ingat dalam waktu bersamaan. Dan hal itu membuatnya merasakan sakit di kepala.Setelahnya ia melakukan pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dengan tujuan untuk melihat keseluruhan organ dalam Nadira dengan lebih seksama untuk nantinya mereka melakukan penanganan yang tepat. Hal ini berkaitan dengan amnesia yang Nadira miliki dan juga kelemahan otot yang membuatnya tidak bisa bergerak.“Secara keseluruhan, kondisi fisik Bu Nadira itu ada dalam keadaan prima.” Ucap dokter ahli sara