Ketiga pria itu sama terkejut dengan mata sama membelalak lebar. Orang yang sedang mereka bicarakan tahu-tahu jatuh di hadapan mereka dengan kondisi mengenaskan.“D—Dambi?!” pria kedua yang duduk di tepi beranda tergagap.Dambi si jangkung tergeletak di hadapan mereka dengan bergelimang darah di dada dan punggungnya.Ketiganya langsung bersiaga, berdiri mengelilingi Dambi dengan membelakanginya, mencari-cari siapa yang telah melemparkan tubuh sahabat mereka tersebut.“Siapa?!” teriak pria pertama. “Keluar, tunjukkan wajahmu!”“Jangan bertindak pengecut!” teriak pria ketiga.Seseorang di balik kerimbunan dedaunan sebuah pohon menyeringai demi mendengar kata pengecut yang diteriakkan di pria kedua.Saat pria kedua berbalik, hendak memeriksa kondisi si Dambi, sesuatu melesat ke arah mereka dari beberapa arah sekaligus.“Serangan…!” teriak peria ketiga sembari melompat menghindar.Begitu juga dengan pria pertama, tapi tidak bagi pria kedua yang ketika itu sedang membungkuk. Sesuatu itu me
Setelah berjalan cukup jauh, dari satu bagian ke bagian lain dari padang rumput di dataran tinggi itu, Talago dan Puti Bungo Satangkai tiba di depan sebuah telaga kecil yang dipenuhi oleh bunga teratai.Tepian telaga itu berbatu-batu, mulai dari yang seukuran seujung kuku, hingga ke ukuran sebesar-besar buah kelapa.Talago mengedarkan pandangannya, mencoba mengawasi kondisi di sekitar.“Kita harus memastikan terlebih dahulu,” ujarnya seraya melangkah ke sisi kanan. “Mungkin saja telaga kecil ini tempat berkumpulnya hewan-hewan buas.”Itu benar, pikir Bungo. Dan ia pun melangkah ke arah kiri.Mereka memeriksa jejak atau bekas dari keberadaan satu makhluk di sekitar sana. Entah itu jejak telapak kaki, ataupun kotoran dari hewan-hewan buas seperti harimua, serigala, ataupun beruang.Setelah memastikan tidak ada jejak dan bekas keberadaan hewan buas, barulah mereka menjadikan tepi telaga kecil itu sebagai tempat mereka beristirahat.Mereka duduk berdekatan, terpisah seuluran tangan. Talag
Tapi sangat sulit bagi Puti Bungo Satangkai untuk mengungkapkan perasaannya, dengan ketidakmampuan Talago memahami bahasa isyaratnya, sepertinya ia hanya bisa menahan semuanya di dalam dada.“Kau tahu,” ujar Talago yang tidak menyadari perubahan riak muka sang gadis. “Kabar berembus bahwa Teratai Abadi akan dapat memberikanmu umur yang panjang, kehidupan abadi sebagaimana dengan para dewa dan dewi.”Bungo menghela napas dalam-dalam untuk menghilang rasa sesak yang muncul atas praduganya tadi.Hanya itu alasan yang sepertinya lebih masuk akal, pikirnya. Dengan kabar burung seperti itu, bukan tidak mungkin bahwa ibunya—atau bahkan mungkin satu keluarganya—yang memegang satu kelopak Teratai Abadi, dan kemudian menjadi incaran orang-orang yang termakan kabar burung tersebut, berujung dengan kematian ibunya di dasar lembah Ngarai Sianok.‘Ya, sepertinya semua ini akan terungkap sedikit demi sedikit!’“Aku pernah bertemu seorang yang—katakanlah, sama sepertimu.”Bungo melirik Talago, tatapa
Talago tersenyum dan mengangguk. “Itu benar,” ujarnya. “Engkau dengan membawa salah satu kelopak Teratai Abadi dan hendak menuju istana, sementara Uda Sati pula memiliki dendam disebabkan Teratai Abadi menuju istana.”Bukan tidak mungkin kami memiliki persamaan dalam kasus ini, pikir Puti Bungo Satangkai demi mendengar cerita dari Talago barusan.“Tapi akhir cerita itu cukup membahagiakan,” ujar Talago.Kembali ia menghela napas dalam-dalam, tatapannya tertuju pada salah satu kuncup bunga teratai di tengah telaga kecil di hadapan mereka.Bungo memerhatikan riak wajah pria di samping kanannya itu.“Uda Sati akhirnya menikahi Ratu Mudo,” ujarnya. “Takhta kerajaan diserahkan kepada si Kuciang Ameh yang akhirnya bergelar Rajo Bungsu, ayahku dijemput kembali oleh Ibu Suri untuk tinggal dan bekerja di istana.”Yeah, itu sepertinya memang akhir cerita yang indah, pikir Bungo. Tapi, kurasa sangat berbeda dengan kisah dan cerita hidupku sendiri.Oh, Dewata Yang Agung… kuharap aku cukup kuat un
Melihat kemunculan dua orang lainnya, dan salah satunya mengenakan pakaian panghulu sebagaimana dengan si Balam Putiah, para penjahat yang berjumlah hampir dua kali lebih banyak dari orang-orang kerajaan itu semakin menyerang dengan membabi buta.“Talago?” ucap si Balam Putiah.“Lorana!” sahut Talago membalas sapaan itu dan langsung memberikan bantuan.Akan tetapi, Puti Bungo Satangkai justru merasakan ada yang salah pada tatapan si Balam Putiah terhadap si Kumbang Janti, juga kepada dirinya.‘Juga suara dalam sapaannya itu!’Hanya saja, sang gadis tak hendak memikirkan hal tersebut terlebih dahulu. Ia berfokus meringkus para penjahat yang menyerang mereka dengan berbagai senjata tajam.Meskipun para penjahat itu berjumlah lebih banyak, menyerang dengan membabi buta, namun dengan kemunculan Talago dan Bungo yang menjadi tambahan kekuatan pihak si Balam Putiah, maka satu per satu para penjahat itu bertumbangan.“Siapa mereka?” tanya Talago di tengah kesibukannya mengelak dari beberapa
Seorang yang misterius dengan menunggang seekor kuda hitam berhenti tepat di lokasi di mana tadi si Kumbang Janti dan Puti Bungo Satangkai membantu si Balam Putiah dan rekannya dari serangannya orang-orang si Gagak Api.Seseorang yang mengenakan tudung kepala berwarna gelap itu menyeringai. Ia melirik ke kanan, dan menemukan sisa-sisa bom asap hitam yang digunakan oleh para penjahat tadi untuk melarikan diri.Lalu pandangannya tertuju ke arah seberang sungai. Sungai lebar itu cukup dalam, akan sangat berisiko memaksa kudanya untuk menyeberang.Ia melirik ke arah kanan, sisi timur. Ia tersenyum lagi. Lagi pula, ia melihat jejak roda pedati di antara pasir dan batu-batu kerikil di sepanjang tepian sungai.Terdengar helaan napasnya yang panjang dan berat, lalu ia menggebrak kudanya. Kuda meringkik halus, lalu berlari ke arah timur.***Tiga hari kemudian…Setelah melakukan perjalanan panjang yang cukup melelahkan, bahkan mereka hanya berhenti beberapa saat saja, si Kumbang Janti dan Puti
“Maaf,” ujar si Kumbang Janti dengan setengah berbisik memalingkan muka yang memerah.Lalu Etek Suna datang dengan membawakan hidangan untuk si Kumbang Janti dan Puti Bungo Satangkai, dibantu oleh seorang karyawannya.“Silakan, Datuk.”Tapi lagi-lagi si Kumbang Janti merasa bahwa Etek Suna tidak seperti biasanya.“Terima kasih,” ia menghela napas dalam-dalam, lalu melirik pada gadis di samping kirinya. “Mari, Bungo, kita makan terlebih dahulu sebelum ke Kotaraja.”Selama mereka bersantap di warung makan di siang itu, selama itu pula orang-orang sering melirik kepada keduanya. Baik mereka yang datang dan pergi dari warung itu, atau pula mereka yang melintas di jalan, sebab warung itu tepat berada di pinggir jalan, dna tidka memiliki dinding pembatas yang tinggi.Meskipun menyadari tatapan-tatapan aneh terhadap mereka, baik Bungo maupun si Kumbang Janti tidak ambil pusing. Mereka memilih untuk menyantap makanan mereka degan tenang.Karena perlakuan yang sedikit tak biasa itu, ketika si
“Benar, Datuk,” jawab si Kumbang Janti. “Ya sudah,” Jumari lantas berbelok ke arah jalan lebar yang segaris lurus dengan gerbang lainnya, gerbang yang membatasi istana itu sendiri. Enam prajurit yang membantu si Cadiak Pandai itu beriringan di belakangnya, masing-masing membawa sebuah kotak yang berisi berbagai macam arsip kerajaan. Tiga di kanan, tiga di kiri. Si Kumbang Janti mengangguk kepada Puti Bungo Satangkai, mengajaknya mengikuti langkah para prajurit di depan. * Telah cukup lama Puti Bungo Satangkai duduk menunggu di dalam balai pertemuan itu bersama si Kumbang Janti, namun sampai pada saat itu, tidak seorang pun yang muncul menghampiri mereka. Kecuali, dua dayang istana yang tadi datang menghidangkan minuman dan makanan kecil. ‘Apakah ini sesuatu yang biasa terjadi di dalam istana?’ Bungo hanya bisa menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk lebih bersabar. Si Kumbang Janti menyadari kegelisahan sang gadis, ia mencoba tersenyum ketika tatapan mereka kembali beradu pand