Di atas sana Matahari mulai memuncak, Langit menampakkan sinaran biru cerah, awan tampak sangat ramah, dihiasi dengan kicauan burung-burung merdu dari setiap rumah.
Setelah pesta perayaan yang menjelang pagi, di susul dengan kabar duka yang tiba-tiba mendatangi. Kini para penduduk di kerajaan Maheswara sudah kembali berkutik pada rutinitas keseharian mereka.
Ruangan Ballroom Istana juga sudah mulai di bersihkan oleh para dayang dan beberapa pekerja. Dekorasi-dekorasi yang semulanya indah terhias pada ruangan itu mulai di lepasi dan di bongkar guna menampilkan suasana aslinya.
Sementara di tepi teras di atas sebuah balkon tampak seorang pemuda tengah berbincang dengan guru pembimbingnya. "Bukankah tak terlalu gegabah mengadakan rapat dadakan seperti ini?." Tanya Wirya.
"Menurut saya, juga karena Raja telah mendapat banyak desakan dari para bawahannya." Balas Arga, sembari berdiri melihat pemandangan dari balik balkon. seperti biasa di bah
Terdengar ketukan pintu singkat, disusul dengan suara lembut yang mengalun dari balik pintu, "Kak Mahrez..." Panggil seseorang.Setelahnya Mahrez membuka pintu kamarnya, dan mendapati adik perempuannya sedang berdiri menunggunya, "Sudahku bilang berapa kali, jika kau ada perlu cukup katakan pada pelayan saja, dengan begitu aku biaa segera menemuimu, Zea."Tutur Mahrez merasa tak tega, pemuda itu tak habis pikir dengan kebiasaan sang adik yang selalu rutin menemuinya setiap hari, padahal jarak istana mereka terbilang sangatlah jauh.Zea lantas memamerkan senyuman lima jari. Gadis itu tahu, jika setiap kali dirinya berkunjung pasti akan jadi seperti ini, maka kali ini Zea sudah membawa sebuah bingkisan sebagai antisipasi, "Tak apa Kak Mahrez, Zea kesini juga sekalian membawakan kue untuk cemilan, ini bikinan Zea sendiri lo, ayo cepat di cicipi mumpung masih hangat."Lagi-lagi sang kakak pun berhasil diluluhkan, Mahrez pun membi
Dalam kamarnya, Arga tampak tengah sibuk mengemasi barang perlengkapannya. Jika semuanya sesuai, Arga akan berangkat siang ini. Suasana disana tampak sunyi hanya suara nafas teratur, juga sesekali bunyi perlengkapan yang berbenturan yang terdengar. "Apa anda benar-benar yakin akan keputusan ini guru?." Tanya Wirya yang sedari tadi termenung memandangi gerak-garik sang guru dari pojok ruangan."Jika begitu, anggap saja keberangkatan kali ini sebagai liburan khusus untuk saya." Sembari menggaruk pipinya, sang pangeran bersuara, "Bukan begitu guru, hanya saja Wirya sedikit... Khawatir." Ungkap Wirya jujur, walau agak gengsi. "Lagipula, dengan sesekali mengabulkan keinginan sederhana saya ini, pangeran takkan keberatan bukan?." Timpal Arga tanpa mengalihkan pandangannya. Arga sengaja mempercepat agenda keberangkatan nya karena alasan lain. |Flashback On| Kemarin, seusai acara penobatan... "Senang rasanya, saya tak sa
Saat mereka tiba di lantai ketiga, langkah Mahrez terhenti di depan suatu ruangan yang terletak tidak jauh dari ujung tangga. Seakan mengerti, dayang-dayang segera beranjak, lalu membukakan pintu ganda tersebut untuk tuan mereka. Arga mengikuti jejak Mahrez yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan. Di dalamnya, dinding di dominasi warna hitam pekat, begitupun dengan furnitur-furniturnya kentara dengan aksen gelap yang elegan, suasana terasa kontras dengan keadaan di luar. Setelah di persilahkan Arga pun mengambil tempat duduk di seberang Mahrez, dengan di tengahi oleh meja luas berbentuk persegi. "Permainan apa yang kau bisa, Tuan Arga?." Tanya sang pangeran sembari mempersiapkan meja untuk pertandingan mereka. "Hmm, saya belum terpikirkan." jawab Arga seadanya. Sebenarnya niat awal Arga hanya ingin mencoba permainan disini, sebab rumor yang beredar mengatakan, selain dari ekspor alamnya, pencaharian kerajaan Glaciem juga bersumber da
"...Putri Allea sangat khawatir dengan keselamatan anda." Arga telah menyampaikan semua kisah yang di ketahuinya selama ini mengenai si putri kecil. "Saya memang tak merasakan rasa sakit seperti yang anda rasakan sekarang. Oleh karenanya, jika anda memang tak mau pulang kembali, saya tak akan memaksa." Timpal Arga kemudian, berusaha menghargai keputusan apapun yang akan Rahardian ambil. Tetapi di sebelahnya Rahardian masih memasang ekspresi datar, membuat Arga tak bisa membaca emosi apa pun dalam diri sang pangeran. seketika ruangan menjadi sangat hening. Untuk sesaat hanya suara helaan napas mereka yang terdengar, "Allea pasti sangat menderita, aku telah gagal menjadi sosok kakak untuknya." Sesal Rahardian, sembari mengacak-acak rambutnya frustasi. Rahardian tahu, bahwa tak sepatutnya terlalu mempercayai orang tak di kenal, apalagi orang yang baru di jumpainya dalam keadaan lemah seperti ini. Namun kalau hal itu menyangkut tentang adi
Keesokan Harinya... Setelah malamnya, Arga merundingkan bersama dengan Mahrez mengenai niatannya dalam mencari Pusaka kerajaan Glaciem. Walau awalnya sempat mendapatkan kencaman keras dari pihak yang bersangkutan, Sebab mereka beranggapan keputusan Arga yang terlalu cepat ini sangat disayangkan, mengingat belum keringnya pusaran makan Pangeran Raynar, semenjak kerajaan Maheswara bersedih akan kepergiannya. Namun alasan-alasan tersebut tetap tak cukup, jika di hadapkan dengan tekad kuat Arga yang memang sangat susah sekali untuk digoyahkan. Dan mau tak mau, Kerajaan Glaciem hanya bisa menyetujui kesepakatan yang mungkin lagi-lagi hanya akan mendatangkan kerugian sepihak semacam ini. "jika ada suatu hal apapun itu, Jangan ragu untuk langsung mengabari kami." Tukas Mahrez. "Tenanglah pangeran Mahrez, Jangan terlalu khawatir." Balas Arga berusaha menenangkan sang pangeran sembari menepuk pundaknya pelan. Seolah alasan dari kecemasan Mahrez bukan karena dirinya, Padahal sebenarnya k
"Semuanya putar haluan, kita akan kembali ke posisi berkemah semalam." Himbau Arga, seraya memutar arah kudanya. "Ada apa tuan?, bagaimana dengan tujuan kita semula untuk memasuki hutan terlarang?." Tanya seorang Jendral yang bertugas sebagai pemandu jalan. Sayup-sayup di belakang mereka, mulai terdengar bisikan-bisikan kebingungan dari para prajurit. Namun tidak ada yang berani bertanya lebih, mereka akhirnya hanya mengikuti perintah dan segera kembali ke tempat perkemahan. ◇❖❖◇ |Skip Time| Srek srek. Tiga orang prajurit terlatih tampak Sedang aktif menyelinap, merayap, hingga berguling-guling melalui semak-semak belukar. Seolah menemukan target baru, mata mereka terus mengintai tanpa berkedip sedetikpun. Tak lama setelahnya, seseorang dari mereka baru menyadari, jika ada keuntungan lebih, memilih mengenakan seragam hijau kemeliteran, mereka seperti hantu tak kasat mata. Lantaran warna hijaunya berkamuflase dengan rerumputan di sekitar. Jleb! Karena keasikan mengagumi kek
Di pagi-pagi buta, Sebuah sosok yang tak tersorot sinaran matahari terlihat membelah arus tenang perairan, sosok hitam tersebut terus berjalan pelan mendekati pusat aliran yang semenjak dulu menarik perhatiannya, dan memang sudah menjadi tujuannya untuk datang kesana. Ketika dirinya hampir sampai, Kalung di lehernya kembali berkelap-kelip cepat, Lagi-lagi Arga merasakan sensasi tersedot, bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Seolah ada yang menghipnotis, sesuatu memaksanya masuk untuk mencari tahu lebih jauh. Dan entah sejak kapan, dasar air di bawah kakinya mulai retak dan menjatuhkannya ke dalam. Reruntuhannya membentuk lubang besar nan curam yang menjorok bagaikan Palung Mariana. Arga berusaha menggapai permukaan tapi Lagi-lagi dirinya ditahan oleh pusaran dasyat yang malah semakin membawanya jauh ke kedalaman air. Sesak. Arga merasakan nafasnya tercekat di dada. Reflek, Ia berusaha bernapas. Tapi bukan udara segar yang masuk melainkan limpahan air mengalir, mendinginkan pa
Tepat setelah Putaran memori terakhir melintasi benaknya. Tiba-tiba semua berubah, Arga bisa merasakan perlahan pernapasannya kembali membaik, seperti ada kumpulan oksigen yang masuk memenuhi paru-parunya. Tidak itu semua bukan oksigen, dirinya jelas-jelas masih berada di bawah air. Apakah semua ini adalah suatu kekuatan yang terwujud dari kekuatan tekadnya? Ataukah sebenarnya dia memang memiliki kelebihan untuk bisa bernapas di dalam air?Cahaya kedipan, kembali menyadarkan Arga akan lamunanya. Lantas pemuda itu segera menyelam lebih jauh ke kedalaman mengikuti tuntunan si kalung kepadanya. •°Kalung itu berhenti berkedip, ketika Arga sudah cukup lama menyelami air. Untungnya Arga masih bisa melihat lokasi sekitar, karena sinaran mentari masih bisa menembus kesana. Tak jauh dari tempatnya berpijak, Arga melihat ada sebuah dinding tebing tinggu dengan akses masuk melalui lubang. Sedari tadi, Arga merasakan dari depan mulut goa itu, ada bayangan hitam berwujud besar sedang mengama
"Arga Giandra Bratajaya!." "Tuan Arga!." "Tuan Guru!." Teriakan demi teriakan terus terdengar saling sahut menyahut, menciptakan kebisangan dalam suatu lembah yang letaknya agak ke pedalaman, sehingga dulunya jarang terjamah oleh kumpulan manusia awam. Walau tenggorokan sudah terasa kering, dan suara mulai terdengar serak pun. upaya mereka belum juga terlihat tanda-tanda akan membuahkan hasil. Padahal seluruh Anggota prajurit, termasuk pimpinan jendral sudah menghabiskan waktu hampir seharian penuh untuk melakukan pencarian terhadap sang pimpinan. "Anda ada dimana, tuan Arga?." Seru Jendral lirih, Tak terbilang sudah berapa banyak pikiran yang tidak-tidak terus berseliwiran mengundang kecemasannya. Hingga Pergerakan kedua kakinya mulai melemah, sang pemilik tubuh dirasa tak mampu lagi meneruskan berjalannya. Walau lemah, dengan susah payah Jendral mencoba berpegangan pada tepian batang kayu didekat aliran, berusaha menahan bobot tubuhnya supaya tidak langsung meluncur jatuh. Na
Syrenka berusaha mati-matian menahan pergerakannya saat Arga berjalan mendekati tempat persembunyiannya. Nyawa Syrenka seakan ikut mengambang. Saat Arga sudah sampai tepat di depannya, keberadaan mereka berdua hanya terhalang oleh dinding batu karang saja saat ini. Hampir selangkah lagi, Arga tiba-tiba berhenti. pemuda itu menunduk, tangannya perlahan turun, lalu jemarinya menggapai sebatang tangkai Anggrek berlian dan lantas mencabutnya. "Kurasa cuma bunga ini yang ukurannya paling besar." Gumam Arga sembari menyelipkan lagi bunga dengan bentukan spesial itu. Selanjutnya Arga lekas memutar arah, pemuda itu menelusuri lagi setiap bunga guna memastikan suoaya tak ada yang terlewat. sebelum pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan ladang Anggrek Berlian itu, dan berenang pergi ke daratan. Sedangkan syrenka hanya bisa menatapi sosok yang mulai menghilang ke permukaan itu tanpa bergeming. Dia masih tidak bisa menyangka, jika baru saja berkesempatan untuk melihat orang yang dicintainya
Selepas mendapatkan pusaka, lantas semakin menyelam menuju ke kedalaman air. Arga sudah lama berubah pikiran, Alih-alih meminta kepunyaan milik Raja. Jika di berikan kesempatan. Walau harus mengeluarkan tenaga lebih, Arga lebih memilih mengandalkan kemampuannya untuk mengambil sendiri Anggrek Berlian itu. Karena perbandingan kualitas kesegaran Anggrek Berlian yang lama jauh berbeda di bandingkan dengan yang baru di petik. Di tambah alasan lain mengenai harga diri, ia tak sudi jika harus mendapatkan rasa iba dari Sang Raja berhati busuk itu. Arga yang sekarang sudah berubah total, dia tak sepolos dulu. Pastilah ada maksud tersembunyi, jika Arga meminta Anggrek Berlian kepadanya, dan Raja mau memberikan dengan gamplang kepunyaannya itu. Jadi Tentu saja, Arga harus memanfaatkan waktunya sekarang ini sebaik mungkin agar bisa mendapatkan obat untuk sang Ibunda. "Aku harus menemukan Anggrek Berlian itu!." Gumamnya penuh tekad. Tepat setelah Arga mengakhiri kalimatnya, pemuda itu mera
Beberapa saat Lalu... |Syrenka| Dulu Ayah sering menceritakan banyak kisah mengenai legenda kaum kami. Ada satu kisah yang sangat membekas di ingatanku, yakni mengenai nasib hidup seorang putri duyung yang berakhir tragis. Karena dia berani menentang takdir, jatuh cinta dengan bangsa manusia. Setelah berkorban banyak, hingga akhirnya harus menukar suaranya yang indah dengan sepasang kaki. Ia malah harus melihat orang yang ia cintai menikah dengan orang lain. Merasa Putus asa ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke laut. Dan detik berikutnya... Ia menjadi buih. Begitulah kisah cinta melegenda para duyung yang sewaktu kecil pernah sangat aku sukai. Dulu aku sangat ingin mencoba bagaimana rasanya jatuh cinta itu. Dan kini walau dengan versi agak berbeda, berkat tak sengaja menyelamatkan seorang pemuda, diriku mulai merasakan jatuh cinta itu. Bahagia saat memikirkannya, Berdebar-debar setiap kali di dekatnya, Tersipu malu saat di perhatikannya. Perasaan seder
|Pararryon| Aku pandangi seonggok tubuh tak berdaya yang tergeletak di depanku, sudah hampir seharian kondisi Asrai belum juga ada kemajuan. Aku sudah memberikannya perawatan terbaik semampuku. "Teman terbaik... sangat susah untuk ditemukan, sukar untuk di tinggalkan, dan sulit untuk dilupakan." Aku mengedarkan pandangan berusaha mencari dari mana asal suara itu berasal. Tapi tak kutemukan siapapun, yang aku dapat hanya kehampaan. Hingga kenyataan, kembali menyadarkanku. Suara itu hanyalah bekas kenangan yang merambat keluar dari memori lamaku. Entah kenapa, dalam keadaan seperti ini. aku malah teringat akan Kata-kata polos Asrai di waktu dulu. Hatiku bergejolak, aku merasakan seperti ada sesuatu mendorong untuk keluar dari kedua mataku yang mulai memanas. Mungkin beginilah rasa kesedihan yang biasanya muncul pada diri manusia yang putus asa dan kecewa. Aku baru tahu, jika rasa kesedihan itu bisa sampai membuat perasaanku semenderita ini. Andai saja, dengan penderitaan i
Sejak dahulu kala, Tuhan sudah mengatur segalanya dengan penuh keseimbangan. Begitupun dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Tak ada yang berakhir sia-sia. Semuanya diberikan kelebihan, namun juga tak luput dari kekurangan. Itulah sebabnya, kita akan saling membutuhkan, saling berpasangan, saling bantu bahu- membahu, juga saling menguntungkan. Begitu juga dengan benda-benda yang tak bernyawa, masing-masing dari mereka yang memiliki manfaat, juga pasti memiliki kemudaratan. Itulah konsep keseimbangan. Hingga suatu masa, keseimbangan itu pernah hampir musnah. Pada zamannya, Alam semesta pernah berada di saat-saat tergelap dan tersuram.Semua hal itu semata-mata, disebabkan karena rasa keserakahan manusia. Awalnya semuanya berjalan dengan semestinya di dukung dengan ekosistem alam yang sempurna. Namun di antara sejuta keberadaan manusia berhati baik, pastilah ada satu manusia berhati licik. Perlahan Para manusia dengan kecerdasan mereka berlomba-lomba ingin mendominasi seisi dunia, bahk
"Bisa nanti saja bertanya nya?, selamatkan aku terlebih dulu." Jawabku ketus. Walau begitu, sebenarnya di dalam diri, hatiku ini tengah was-was. Sebab Ini kali pertamaku bertatapan langsung dan berani meminta tolong kepada manusia."Kau bisa bicara?!." Tukas anak itu, seraya memandangiku dengan tatapan terkejut, bercampur takjub seakan tak percaya.Aku mendengus, "Tentu saja, aku ini binatang suci tahu." Ucapku menyombong. Kau pasti tambah terkejut kan?. Ya, teruslah kagum padaku.•°Setelah berhasil melepaskan tandukku dengan jerih payah dan sedikit bantuan darinya. Anak itu tak langsung pulang, dia malah duduk di tepian sembari menyerangku dengan banyak pertanyaan."Oh, jadi tak sembarangan binatang bisa berbicara sepertimu ya?." Tanya anak itu lagi, matanya masih menatapku dengan berbinar-binar, seakan baru saja di pertemukan dengan sebuah benda langka yang jika di perhitungkan akan bernilai jutaan berlia
|Flashback On||Pararryon|Sebagai Satu-satunya hewan yang diberikan karunia untuk bisa berbicara dan memahami bahasa manusia. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh naga air seperti aku ini, hanya bisa sesekali berkeliling atau mungkin mendengarkan aktivitas ramai dari pedagang dan nelayan di atas sana. Aku yakin saat kalian membaca satu paragraf di atas. Di dalam benak, kalian pasti bertanya-tanya kemana keluarga dan koloniku?. Akan aku jawab, sebenarnya aku tak memiliki keluarga. Aku adalah satu-satunya naga air yang hidup di perairan ini, karena sejak kecil aku terpisah oleh rombongan koloniku yang bermigrasi, dan aku tertinggal disini. Hari demi hari, aku lalui seperti biasanya. Hingga di suatu hari yang cerah, "Shiela akan jaga disitu, dan kalian di bagian sana." Aku mengenali, suara cempreng itu berasal dari seorang anak manusia. "Jangan berbalik ya!." Setelah ucapan itu, aku mendengar ada suara menyerukan angka seperti sedang menghitung, juga ada yang berbicara singkat dengan
|Arga|Namun tiba-tiba instingku menyuruhku untuk berbalik melawannya, dan aku mengandalkan waktu yang tepat ini untuk mengenai titik lemah Pararryon yang tengah lengah. DRAAKK!Gerakanku itu jelas, terlalu cepat dan terlalu sekilas untuk bisa di lihat oleh mata berusia tiga juta tahun miliknya. Tangan kiriku yang bebas meninju mahkota di atas kepala Pararryon, meretakkannya dengan gampang.Si naga kembali beringsut ke belakang hingga karena terkejut, meskipun punggungnya sebenarnya sudah mepet ke dinding terowongan. Kepalanya bergetar beberapa kali seperti orang menggigil. "Boleh juga, manusia. Kekuatan yang mengerikan sekali. Aku tidak pernah jadi manusia, tapi menurut penilaianku kau terhitung manusia dengan kemampuan langka, pemuda yang sangat cerdik."Aku tak terlalu mendengarkan semua kata-kata semanis madu itu, karena pandanganku masih teralihkan. Aku kini mengamati fenomena menakjubkan yang baru pertama kali aku temui di kehidupanku ini, atau bahkan satu-satunya dan tak akan