🌼🌸💐🌼🌸💐🌼🌸💐🌼🌸💐🌼🌸💐 Thor ucapkan Terima Kasih kepada Readers yang telah mendukung dan meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini, jangan lupa subcribe dengan memasukkan cerita ini ke dalam pustaka dan beri tanda bintang, love serta tinggalkan komen ya. I luv you Guys 💖💖💖💖💖💖💖💖
Lidia menatap Evelyn kembali setelah Key meninggalkan ruangan tersebut. “Apa yang kamu tidak sukai dari Key? Sikapmu sangat dingin terhadapnya?” tanya Lidia dengan gusar. Lidia menatap Evelyn menuntut jawaban darinya, tetapi Evelyn hanya tertunduk dan tidak ingin berdebat dengan Lidia. Karena Evelyn tidak ingin berbohong kepada Lidia. “Katakan Eve, jangan berbohong,” tukas Lidia dengan dingin. Evelyn yang kebingungan entah mau menjawab apa, membuat Lidia semakin gusar. “Apakah kamu termasuk orang yang tidak sopan Eve? Padahal Sarah selalu mengatakan kepadaku kamu itu anak yang sopan,” tukasnya lagi. Evelyn kini menatapnya ragu, karena dia tidak ingin Lidia membenci Sarah. Lidia yang cerdik segera melihat kelemahan Evelyn, dan dia tersenyum karena mendapatkan cara untuk melunakkan Evelyn. “Rupanya bukan hanya Sarah saja yang menyayangimu. Ternyata kamu juga menyayangi Sarah. Maka dengan menggunakan nama Sarah aku pasti akan dapat melunakkan hatimu!” pikirnya dengan licik sambil
Lidia menatap Evelyn kembali dan meminta dia memanuhi janjinya sendiri. Hanya saja semua janji yang dia ucapkan kepada Lidia membuat beban tersendiri kepadanya. Dia sebenarnya tidak ingin menerima permintaan Lidia tetapi ancaman Lidia telah membuat dia menerima semua permintaan Lidia. Evelyn sekarang berada di dalam dilema yang menyesakkan hatinya sendiri. “Eve!” panggil Lidia memutuskan lamunan Evelyn. “Iya Oma,” katanya lagi. “Sekarang juga kamu ke ruang makan, Key sudah menunggumu di sana!” perintah Lidia kepadanya. Evelyn akhirnya meninggalkan Lidia dan berpamitan kepadanya. “Ingat ya Eve apa yang Oma katakana!” katanya lagi sebelum Evelyn membuka pintu ke luar ruangan ini. Evelyn hanya menganggukkan kepalanya dengan perasaan bimbang, karena mendekati Key sama saja menyakiti perasaannya sendiri. Karena sifat Key yang buruk telah membuat dia membangun benteng sendiri untuk menghindarinya. “Tetapi bagaimana kalau seandainya Key berubah? Sifatnya jauh lebih baik seperti janji
Evelyn yang memandang Key dengan perasaan campur aduk tidak memahami sebenarnya apa yang dia rasakan apakah dia kesal atau sedih mendengar pernyataan Key, karena pada dasarnya dia juga bukan orang yang suka mencari masalah. Evelyn Sanusi memiliki sifat tidak akan menarik perhatian orang lain ke arahnya karena dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Evelyn hanya bisa menatap Key dengan tatapan yang sulit dibaca karena baginya semua tingkah laku Key sekarang ini adalah sesuatu yang tidak dapat dia abaikan sekarang. Sifatnya yang lembut sangat jauh berbeda dengan sikap Key yang dia kenal. Key bahkan mencoba mengambilkan makanan dan meletakkannya di piring Evelyn, tetapi bukannya berterima kasih Evelyn malah bingung melihat perubahan sikap Key karena semua yang di tunjukkan Key semuanya bertolak belakang dengan sikapnya sekarang. “Ayo Eve, dimakan. Nanti keburu dingin,” katanya dengan lembut. Evelyn yang bingung menatapnya karena sikap Key selama ini sangat;ah sombong karena semuanya
Surti yang masih saja berdiri di samping pemuda itu memang sengaja mempertemukan mereka atas perintah Lidia, dia ingin memuluskan jalan Key untuk mendapatkan Evelyn. “Evee! Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Gio dengan tatapan jengkel. Evelyn dan Key segera membalikkan tubuh mereka dan melihat asal suara dari mana. “Kak Gio?” tanya Eve kemudian. Dia berdiri dan tiba – tiba Key menarik tangannya dan menahannya dengan tatapan memelas. “Eve jangan pergi dong, aku kan belum selesai.” Pintanya lagi. Surti yang tidak menyangka melihat reaksi Evelyn segera mengatakan kepada Gio. “Anda sedang di tunggu Oma Lidia, Tuan Gio.” Tetapi Gio tidak memperdulikannya sama sekali karena dia sadar ini semua permaianan Lidia, omanya sendiri. Evelyn tetap berdiri dan berjalan menuju Gio Taner kemudian Key yang tidak rela melepaskan akhirnya menahan lengan Evelyn sehingga dia tidak dapat bergerak kembali. Evelyn kemudian menatap Key dengan tatapan memohon. “Key kamu tahu kan apabila kita memaksa
Key terus saja menarik tangan Evelyn dan tidak membiarkan Gio membawanya. Evelyn sekarang berada di antara mereka. Dia merasa seperti sedang terombang – ambing tiada akhirnya. Mereka sama sekali tidak tahu Evelyn tidak nyaman dengan situasi ini. Key menatap Gio dengan marah. “Lepaskan Eve kak Gio, jangan pernah ada kamu mencoba merebutnya dari tanganku!” kata Key dengan marah. “Siapa yang merebut Eve dari kamu, kakak tidak pernah merebutnya tetapi kamu sendiri yang menolaknya karena apa?” tanya Gio dengan dingin. “Karena penampilan Eve bukan? Sekarang setelah Eve merubah penampilannya kamu bahkan menjilat ludahmu kembali, apakah kamu pantas disebut sebagai seorang laki- laki sejati? Kamu tidak pantas disebut sebagai lelaki sejati, karena semua yang kamu ucapkan dan katakan tidak pernah konsisten. Kamu itu selalu menyusahkan aku sejak mulai kamu kecil. Kamu selalu memandang sesuatunya dengan anggap remeh. Kamu pikir perasaan manusia itu sama seperti mainan? Bisa kamu mainkan seenak k
Hasan Taner segera menatap ibunya dengan kesal dan kini mereka saling bertatapan dan berhadapan satu sama lain. “Mama, tolong hal yang demikian tidak diungkapkan dihadapan anak – anak. Mama tahu bukan? Mereka itu tetap putra- putraku,” kata Hasan Taner. Lidia segera membuang pandangannya ke arah Sarah dan menatap Sarah dengan tajam. Hasan yang mengerti padangan Lidia segera menatap Lidia dan memohon kepadanya untuk tidak salah paham. “Mama, tolong jawab pertanyaanku. Sarah tidak ada hubungannya sama sekali,” katanya kembali. “Tidak ada hubungannya? Semua pasti ada hubungan dengan Sarah,” kata Lidia dengan tatapan yang menusuk. Sarah yang mendengarkan perkataan Lidia mengernyitkan dahinya dan menatap Lidia dengan pandangan tidak mengerti. “Apa maksud Mama?” tanya Sarah dengan heran. “Apa perlu Mama jelaskan lagi?” tanya Lidia kembali. “Mama, jangan ungkit masa lalu.” Hasan tetap membela Sarah. “Masa lalu apa Mas?” tanya Sarah dengan heran. Sarah sama sekali tidak memahami masa
Hasan penasaran apa yang sedang direncanakan Lidia, karena dia pasti sedang mengetikkan perintahnya kepada orang kepercayaannya. Lidia walaupun sudah tua tetap saja mampu mengimbangi kecerdikan putranya. Mereka adalah lawan yang sepadan. Lidia tampak puas bahkan senyuman lebar kini menghiasi wajahnya. Hasan bahkan penasaran kemana Lidia mengirimkan pesannya itu apakah kepada Prasetyo atau keapda Suseno. Hasan cemas kalau Suseno yang melakukan perintah Lidia karena kalau Suseno maka Lidia akan segera menunjukkan sisi kejamnya dan tidak ada yang dapat menghentikannya, tetapi kalau Prasetyo maka Hasan dapat bernapas lega. “Mudah – mudahan Prasetyo yang mendapatkan perintah mama karena kalau dia yang diperintahkan mama maka semuanya aka naman dan tidak ada yang perlu dicemaskan. Mudah – mudahan mama masih memakai akal sehatnya,” pikir Hasan dengan cemas. “Aku harus menyelidiki siapa yang menjalankan tugas dari mama, sebaiknya aku memerintahkan Yudhi sedakarang juga. Agar dia memata – mat
Hasan melirik Sarah dengan penuh kecemasan, karena dia tidak ingin menyakiti wanita yang dicintainya. Hasan sadar sekarang Sarah telah menatapnya dengan tajam, Sarah semakin heran dengan perkataan Lidia. “Apa maksud dari perkataan Mama. Seharusnya mereka menjelaskannya kepadaku sekarang, aku sudah tidak tahan lagi dengan keterdiaman mereka. Aku harus tahu sekarang apa yang ingin mereka sampaikan. Karena bagaimanapun aku berhak tahu atas diriku dan keluargaku. Termasuk anak dan suamiku,” pikir Sarah dengan kesal. Mereka masih saja bungkam, akhirnya Sarah yang tidak tahan lagi mulai mendengus dan menatap mereka berdua dengan tajam. “Mama jangan main teka – teki kepadaku. Aku berhak tahu apa yang ada dipikiran Mama, dan kamu juga ,Mas.” Katanya dengan tegas. “Aku mau jawabannya sekarang juga!” kata Sarah dengan tegas. Sarah semakin marah dan jengkel karena dia tidak dihargai sama sekali. Sarah juga berharap mereka segera menjelaskannya dan tidak menutup mereka lagi. “Maaf Sarah, se
Beberapa bulan kemudian, Lidia yang sudah mengetahui bahwa Gio sebenarnya adalah cucunya sendiri, merasa mau sekaligus menyesal karena dia telah menyakiti bahkan membuat permusuhan di antara kedua cucunya. Dia melihat Gio sedang duduk di gazebo yang ada di taman samping kediaman keluarga Taner. Gio bersama dengan Evelyn. “Ya, Tuhan apa yang telah kulakukan. Mengapa aku begitu bodoh dan keras kepala. Aku tidak meyadari ternyata Gio adalah cucuku sendiri. Bahkan aku membuat permusuhan di antara kedua cucuku. Aku bahkan membuat kedua cucuku bukan hanya bermusuhan tetapi saling membenci satu sama lain. Lebih parahnya lagi aku malah membuat Key bersekongkol denganku untuk menyakiti Gio. Hatiku sekarang sangat menyesal membuat keputusan seprti itu. Otakku yang keras kepala membuat keluarga ini tidak harmonis dan entah apa yang ada di otakku hingga aku membencinya,” pikir Lidia. Dia memperhatikan Gio dari kejauhan dan sama sekali tidak tahu bagaimana keadaannya mengapa menjadi seperti i
Gio memandang Lidia yang tidak bergeming sama sekali, matanya tiba-tiba membelalak membaca hasil tes DNA yang ada di tangannya. Gio melihat semua itu tanpa ekspresi sama sekali. “Aku ingin sekali melihat bagaimana detik-detik Oma mengetahui aku ini sebenarnya adalah cucunya sendiri. Oma harus tahu yang sebenarnya, tetapi setelah Oma tahu dan meminta maaf, akankah aku memaafkannya begitu saja? Aku tahu aku tidak pantas melakukannya namun rasa sakit yang ditorehkan Oma sejak aku kanak-kanak sangat besar sekali. Oma bahkan tidak menyadari bahwa dia bahkan sudah menghancurkan rasa kepercayaan diriku terhadap dirinya sendiri. Karena kebenciannya kepadaku menjadikan aku beranggapan bahwa Oma bukanlah Omaku, aku hanya memiliki orang tua saja. Papa dan Mama, minus kehadiran Oma. Aku bahkan tidak tahu apakah Oma memang membenciku karena aku dianggapnya bukan keturunan Taner atau dia menganggap Mama telah menghianati Papa. Aku sendiri tidak tahu jawabannya, karena Oma sangat pandai menutupi rah
Gio kemudian melihat ke arah mereka. “Gio, mengapa kamu keluar dari ruang perawatanmu?” tanya Sarah dengan cemas. “Sebaiknya kita semua masuk ke ruangan perawatanku! Tidak ada yang pelu lagi disembunyikan dari diriku! Aku berhak tahu karena ini menyangkut hidupku,” katanya kembali. Setelah Gio sadar dia memaksa Dokter mengijinkannya untuk berdiri dan menjumpai keluarganya, tidak dia sangka dia mendengar semua perbincangan yang membuat dia hidup di dalam kebencian Lidia. Awalnya Dokter keberatan karena Gio dibawa ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri, tetapi siapa yang bisa melawan kehendak Gio Taner? Akhirnya Dokter mengalah setelah Gio menenangkannya dan mengatakan dia tidak apa-apa. “Gio untuk apa kamu berdiri?” tanya Sarah dengan cemas. “Mama, kalau Mama ingin melihatku tidak lelah sebaiknya Mama dan yang lainnya mengikutiku ke ruang perawatannku, sekarang juga,” katanya dengan dingin. Hatinya dingin mendengar pengakuan Lidia yang meragukan dia sebagai putra keluarga Taner
Sarah yang masih marah kepada Lidia, kini menatapnya dengan tatapan permusuhan. “Kalau Mama mau menyakitiku, maka aku akan menerimanya. Tetapi kalau Mama menyakiti kedua anakku maka aku tidak akan menerimanya. Aku bahkan tidak akan bisa memaafkan Mama kalau Mama mengadu domba kedua anakku, jangan menyebarkan kabar yang tidak benar Mama, aku sangat kecewa kepada Mama,” kata Sarah dengan jengkel. Sarah kemudian menatap Lidia dengan tatapan kesal, karena Lidia telah menghancurkan keharmonisan rumah tangganya. “Untuk apa kamu marah? Seharusnya kamu bersyukur aku mau menerimamu jadi menantuku. Kalau saja dulu aku menolakmu maka tidak akan mungkin terjadi hal seperti ini. Aku bahkan tidak tahu kamu itu bisa sangat menjengkelkan seperti itu,” katanya kembali. “Mama! Cukup, aku mohon jangan lagi berdebat Ma! Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kesembuhan Gio, bukan malah sesama kita terjadi perang!” kata Hasan sambil menegur Lidia. Lidia melotot memandang Hasan. “Kalian b
Sarah yang masuk ke kamar Gio terkejut mendengar perkataan Key putranya. Setelah Sarah menelepon Gio, perasaannya tidak nyaman. Sarah akhirnya kembali pulang, karena sebenarnya jarak dari butik ke rumahnya tidak terlalu jauh. Sarah sama sekali tidak memahami perkataan key yang menyinggung perasaannya. Hatinya sangat terluka. Sarah melihat Gio yang terkulai lemas karena pingsan. Sarah kemudian menelepon ambulans. Sarah kemudian menelepon suaminya. Kini dia menatap Key dengan pandangan yang sangat terluka. “Apa maksud semua ini? Mengapa kamu mengatakan hal demikian Key? “ tanyanya dengan marah. Key kemudian menatap Sarah dengan wajah tidak dapat dibaca sama sekali, wajah datarnya sama sekali tampak tidak bersalah. “Jawab MAMA!” bentak Sarah dengan gusar. Asisten rumah tangga keluarga Taner masuk dengan membawa petugas ambulans, karena Sarah sudah meminta kepada mereka jika mobil ambulans datang maka mereka harus membawanya ke kamar Gio dari lantai dua. Mereka membawa tandu, dan bebe
Evelyn menatap Lara. Dia masih bimbang dengan keputusannya sendiri. Sementara itu Gio yang sedang berada di kamarnya di kediaman Taner bimbang, apakah dia akan menelepon Evelyn atau tidak. Sudah beberapa hari ini kesehatannya menurun karena dia tidak memiliki nafsu untuk makan. Untuk melupakan rasa rindunya kepada Evelyn bahkan Gio harus bekerja melebihi jam kerja normalnya dan melupakan makan siang bahkan makan malamnya. Setelah berhari-hari dia melakukannya akhirnya Gio tumbang. Dokter menyarankan kepada Sarah agar Gio beristirahat di rumah kalau tidak Gio harus dirawat di rumah sakit. Akhirnya Gio harus mengalah dengan keinginan Sarah agar dia segera beristirahat dirumah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, sesaat dia merasa bahagia karena dia mengira Evelynlah yang meneleponnya. Gio kecewa ternyata bukan, dia melirik notifikasi yang ada di ponsel tersebut. Ternyata Sarah ibunya yang meneleponnya. “Halo Gio apa kamu sudah makan siang? Obat dari Dokter apa kamu sudah makan?” tanya Sarah
Evelyn dan Lara yang masih saja berbaring malas mulai memakan kudapan yang di antarkan Mama ke kamar ini. Mereka menelungkup di lantai dengan karpet yang tebal, bantal besar menjadi sasaran tubuh mereka yang terus saja berganti posisi untuk mencari kenyamanan. Lara akhirnya duduk ketika dia membaca salah satu komentar yang dibuat oleh sebuah akun. “Eve coba kamu baca kolom komentar ini, di sini tertulis komentar yang sangat bagus. Coba kamu dengarkan apa yang aku baca ya,” kata Lara kemudian. “Dear, itik yang berubah jadi angsa. Hanya satu pesan dari burung bangau kamu itu harus menentukan pilihanmu dengan bijak. Utamakan kebahagiaanmu, jangan pernah kamu mengambil keputusan yang membuat kamu nestapa. Kadang kala keputusan yang terbaik untuk kita belum tentu terbaik juga untuk orang lain. Tidak bisa semua manusia kita puaskan tetapi hanya satu, carilah kebahagiaanmu sendiri. Kalau seandainya burung bangau jadi angsa maka aku akan memilih angsa yang telah menerimaku apa adanya karena
Sarah memandang ponselnya dan dia melihat postingan Itik Buruk Rupa menjadi Angsa dan dia sedikit terkejut karena dia melihat cerita itu mirip dengan cerita hidup Evelyn. Sara kemudian membaca sampai tuntas isi postingan tersebut dan dia mencari tahu nama akun yang mempostingnya. “Siapa yang memposting ini? Nama akunnya Bintang Kejora,” pikir Sarah kembali. Sarah kemudian membaca kembali postingan itu dan terkejut karena ternyata dia melihat campur tangan Lidia di sana. Dia kemudian membacanya sekali lagi. “Kalau benar ini adalah postingan Evelyn maka Mama sudah ikut campur dan bahkan membuat ancaman terhadap Evelyn dengan memakai namaku, Mama aku berharap Mama jangan mencampuri kebahagiaan anak-anakku, aku tidak rela Mama! Apalagi Mama sepertinya berat sebelah, Mama membantu Key dan menyudutkan Gio. Aku memang tidak suka kedua anakku bertengkar Mama tetapi aku harus bersikap adil. Aku juga menginginkan kebahagiaan mereka termasuk Evelyn. Biarlah Cinta yang menang dan jangan sampai
Lara melihat Evelyn penasaran dengan ide yang akan dia kemukakan. “Eve kamu masih ingat mata kuliah yang diajarkan Pak Alex?” tanya Lara. “Maksudnya bagaimana Lara? Apa hubungan mata kuliah Pak Alex dengan kedua bersaudara Taner?” tanya Evelyn dengan bingung. “Kamu ingat tidak ketika Kyra kebingungan dengan judul tugas yang akan dia kerjakan, dia mempunyai dua makalah kedua-duanya bagus. Jadi apa saran Pak Alex pada saat itu?” tanya Lara kembali. “Poling?” tanya Evelyn dengan ragu. “Yup, benar. Poling!” kata Lara kemudian. “Apa kamu sudah gila Lara? Kamu mau mengumbar identitasku dan kedua saudara Taner? Aku tidak mau mempermalukan mereka! Aku tidak akan melakukannya,” kata Evelyn dengan mantap. Evelyn kemudian menatap Lara dengan perasaan aneh. “Ya pemikiranmu salah Eve. Aku tidak menyuruhmu mengatakan siapa dirimu, dan identitasnya kamu harus tutupi dong. Kamu buat seolah-olah kita akan membuat sebuha cerita kemudian kita lemparkan kepada pembaca, bagaimana pemikiran mereka.