"Aaaaaaaaargh." Tedy melepaskan cengkeraman kerah Tukijo.
"Jika kamu berhasil menjatuhkan seseorang, jangan beri dia kesempatan untuk menyerang balik!" ucapan Ningsih terngiang-ngiang di kepala Tukijo.
Tukijo kembali mencambuk si gendut Tedy dengan sabuk sekolahnya tanpa henti sampai dia terjatuh.
Soib berhasil keluar dari tumpukan kayu yang menindihnya. Dia diam-diam berjalan pelan di belakang Tukijo hendak memukulnya dengan sebatang kayu.
Sayangnya Ningsih menyadari gerak gerik Soib. Dia mengambil sedal di kakinya lalu melemparkannya ke arah Soib.
Pletak!
Sedal mendarat di wajah Soib.
Soib merasa ada sesuatu yang lembek menempel di hidungnya. Sesuatu itu berwarna coklat dan memiliki bau yang sangat menyengat.
"Apa ini?" ucap Soib sambil mengkembang kempiskan hidungnya.
Kemudian dia mengambilnya dengan jari telunjuk. "Kok kayak taik ayam ya ...," ungkapnya sambil mencium sesuatu yang lembek itu.
"Uh, bener
Hap! Sayangnya sepatu itu berhasil di tangkap oleh Tedy. Tapi, itu memang yang diharapkan oleh Tukijo. Dia mengikatkan tali sepatunya di tangan Tedy, lalu berjalan ke belakang pria gendut itu sambil menarik tali sepatu yang telah diikatkan ke tangan kanannya. "Sial! Apa yang kau lakukan di sana?" Tedy berusaha meraih Tukijo di belakangnya dengan tangan kiri. Tukijo telah memperhitungkan rencananya. Kemudian anak itu meraih tangan kiri Tedy dan menumpuknya dengan tangan kanan lalu mengikat keduanya dengan tali sepatu. Setelah itu, Tukijo menutup kepala Tedy dengan baju seragamnya. "Woy! Sialan lo! Lepasin gue!" teriak Tedy. Tukijo mengambil sebuah kayu dengan ketebalan 3 cm lalu memukul Tedy dengan kayu tersebut sekuat-kuatnya sampai dia jatuh berdarah-darah. "Aaaaaaaaargh! Hentikan!" rintihnya. "Apa? Hentikan?" Tukijo terus memukuli Tedy tanpa henti. "Dulu, ketika kau memukulku, apa kau berhenti saat aku bilang be
___________"Mar, tolong belikan telur sama gula ya ... kita kehabisan stok," pinta Hartono menyuruh Markonah pergi ke toko langganannya."Ke toko biasa?" tanya Markonah."Iya," jawab Hartono."Oiya Yah, toko itu deket PMC kan. Aku sekalian mau jenguk teman boleh? Dia sudah dua hari nggak masuk sekolah, katanya dia dirawat di sana," papar Markonah."Boleh, tapi jangan kelamaan ya ... nanti Ayah kesorean bikin adonannya." Hartono memberikan uang sejumlah seratus ribu rupiah.Kemudian Markonah pergi dengan motor butut ayahnya. Setelah dia membeli telur dan gula, dia memarkirkan motornya di depan Pricilia Medical Center. Gadis itu berjalan menuju pintu masuk lalu menemui resepsionis."Saya ingin mengunjungi pasien yang bernama Tukijo. Di mana letak kamarnya?" tanya Markonah."Tunggu sebentar ya Mba, saya cek dulu," jawab seorang wanita yang berada di depan Markonah. Dia membolak balikkan buku di hadapannya berkali-kali."Pa
"Mbah ...! Mbah ...!" teriak Tukijo dan Ningsih mencari-cari keberadaan Muhiroh. Mereka memutari sekita Rumah Sakit Pricilia Medical Center selamat satu jam. Namun belum berhasil menemukannya. Tukijo melihat banyak orang berkerumun di dekat tanggul irigasi. Tiba-tiba muncul firasat buruk di hatinya. "Ada apa orang kumpul-kumpul di sana?" ujar Tukijo. "Di mana Jo?" tanya Ningsih. "Itu Kak, dekat irigasi." Tukijo mengacungkan jari telunjuknya. "Aku ada firasat nggak enak, Kak." "Ayo Jo! Kita coba lihat dulu, ada kejadian apa di sana," ajak Ningsih. Kemudian mereka mendekati tempat kerumunan tersebut. Alangkah terkejutnya Tukijo dan Ningsih, ketika mereka mendapati seorang nenek tua yang kulitnya sudah keriput dan rambutnya sudah memutih tergeletak di jalan dalam keadaan tubuhnya basah kuyup. Wajah nenek itu pucat, dan tidak ada tanda-tanda hembusan nafas di tubuhnya. "MBAAAH!" teriak Tukijo sembari memeluk erat jasad itu. Dia terisak, bibirnya bergetar, air matanya berlinang hingg
Tukijo terbangun dengan membelalakkan mata. Dia masih dalam posisi duduk dengan meletakan kepalanya di meja. Kemudian dia berdiri dan menoleh ke jendela. Di sana dia menjumpai seseorang berbicara dengan Tiyem, tiba-tiba Cecep datang. Plak! Cecep mengayunkan tangannya dan menghantam anak itu. "Diem BEGO!" teriaknya. Tukijo menatap tajam anak itu. "Dia kan ... anak IPS 1," gumamnya. Markonah yang baru saja kembali ke kelas setelah membeli buku LKS di koperasi, dia melihat Tukijo memasang wajah serius melihat luar dari jendela kaca. Padahal, sejak pagi anak itu terus berwajah murung tanpa senyum sedikitpun. Gadis itu ingin sekali menanyakan apa yang terjadi padanya. "Jo!" ucapnya, dia berbisik mendekat ke telinga Tukijo. Tukijo merasa, ada angin masuk ke telinganya. Dia menoleh dan mendapati Markonah berada di sampingnya. "Kamu memanggilku Mar?" tanya Tukijo. "Enggak, aku lagi panggil lalat," ketusnya. "Eh ...." Tu
"Dia adalah Kang Slamet, salah satu anggota Geng Bentor yang masyhur tidak kenal ampun dalam memalak siapapun," jelas Sugeng. "Ah andai saja kemaren aku merekam kejadian itu. Aku nggak kepikiran kalau dia bakal mengkambing hitamkan Si Cecep." "Walaupun Cecep orangnya kasar dan suka malak, tapi dia itu pemilih. Anak itu nggak pernah malak orang tua apalagi nenek-nenek," celetuk Tiyem. "Cih! Kamu bilang kayak gitu di depan Tukijo, sedangkan dia tiap hari jadiin Tukijo babu. Apa kamu nggak mikirin perasaannya?" sanggah Markonah. "Semoga aja setelah kejadian ini dia mendapat banyak pelajaran." "Apa rencanamu buat buktiin kalo Kang Slamet yang membunuh mbahku?" tanya Tukijo kepada Sugeng. "Tiyem yang akan menyusup ke markas Geng Bentor untuk menggali informasi dan merekam setiap perkataan mereka," timpalnya. "Apa? Kenapa harus aku?" elak Tiyem. "Karena Kang Bahar tertarik padamu. Kamu tau Kang Bahar kan?" ujar Sugeng. "Kamu me
"Eh, anu ..." Sutrisno terdiam. "Aduh, gimana nih." Dia merasa takut, jika salah berbicara bisa-bisa wanita di hadapannya ini akan membuatnya menjadi rempeyek. "Nona, semua sudah beres," ujar Marno melapor bahwa para sampah anggota Geng Bentor telah dibersihkan. Cecep sebagai praduga tidak bersalah sudah dibebaskan. "Baiklah, ayo pergi! Urusan kita sudah selesai," pinta Ningsih. Kemudian mereka pergi tanpa sepatah kata pun. "Huuuh." Sutrisno mengelus dada bernapas lega. "Tukijo! Bajumu?" seru Tiyem membuat ketiga orang itu berhenti melangkah. Tukijo menoleh. "Buat kamu aja, aku punya beberapa," jawab Tukijo. Keringat yang bercucuran keningnya menjadikan ekspresi dingin anak itu, terlihat keren membuat Tiyem terpana. "Astagaaaa ... sadar Tiyem, dia itu Tukijo," gumam Tiyem mengalihkan pandangan. Sejak saat itu, Sugeng, Trisno, Tiyem dan semua anggota Geng Becak memandang Tukijo sebagai sosok yang harus disegani karena memiliki hubungan dengan wanita misterius itu. Setelah kembal
"Kenapa Jo?" tanya Tiyem. "Oh, nggak papa Yem. Cuma, nanti aku ada ide bagus buat kesejahteraan geng kalian," tutur Tukijo. Akhirnya dia tetap mengambil mendoan yang berada di hadapannya. "Sebelum Cecep membayar, aku harus mendahuluinya," batin Tukijo. "Kesejahteraan geng? Ide apa?" tanya Tiyem memiringkan kepalanya. "Ada deh, nanti aku kasih tau," jawab Tukijo. Saat Tukijo sedang melihat-lihat karidor kelas XII, tanpa sengaja ia menjumpai dua bersaudara Jono dan Joni mengikuti Markonah di belakangnya. Tukijo bangkit menghampiri Bu Badrun. "Bu, total semua bayar berapa?" tanya Tukijo berbisik. "Tiga ratus tiga puluh tiga ribu, Mas ...," jawab Bu Badrun. Tukijo mengeluarkan uang sejumlah tiga ratus lima puluh ribu dan memberikannya kepada Bu Badrun. "Ini Bu, ambil saja kembaliannya." "Terima kasih banyak, Mas," ucap Bu Badrun tersenyum. "Sama-sama Bu," balas Tukijo. Kemudian anak itu beranjak pergi meninggalkan kantin. "Cep, aku ke kelas duluan ya ...." Tukijo menepuk punggung
"Tentu saja aku serius," ujar Tukijo melipat tangan. "Kalian cukup bilang setuju atau tidak.""Aku setuju!" seru Sutrisno."Aku juga setuju!""Setuju."Akhirnya semua anggota Geng Becak menyatakan setuju dengan tawaran Tukijo."Oke! Kalau gitu, aku akan buat surat perjanjiannya," ucap Tukijo. "Ini Cep, aku ada uang sisa bayar makan-makan tadi." Dia memberikan sekepal uang sejumlah delapan ratus ribu rupiah ke tangan Cecep."Ini ... buat apa Jo?" tanya Cecep."Itu sebagai uang muka buat buktiin bahwa aku nggak main-main," jawabnya. "Kamu bagi rata ke semua anggotamu."Sebenarnya Tukijo hanya ingin menguji Cecep, apakah dia memang pantas mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. Jika dia bukan seorang yang adil, tentu saja anak itu akan meraup keuntungan yang banyak untuk dirinya sendiri.Namun, Tukijo benar-benar melihat Cecep membagikan uang itu tanpa ragu. Masing-masing anak mendapat lima puluh ribu rupiah. Dahulu, T
"Berhenti!" teriak si botak. Seketika, Tukijo menghentikan mobilnya secara mendadak. Hal itu membuat seisi mobil menghempaskan tubuh mereka ke depan. "Be-benar, di sini tempatnya," kata si pria berjaket. "Kuburan? Apa-apaan kalian! Masa bawa kita ke tempat kek gini!" sembur Tukijo. "Maaf, kami cuma bisa nunjukin sampe sini. Bisa berabe kalo ketahuan. Di belakang kuburan, ada sebuah rumah besar. Itu adalah markas kami," terang si botak. "Aku akan mengatakan suatu rahasia yang tersembunyi, jika kalian membiarkan kami pergi sekarang!" lanjut si pria berjaket. "Rahasia? Apa yang kalian ketahui?" "Ketua kami adalah seorang direktur Perusahaan Kencotstory, Bos Mandop. Ide gilanya memproduksi snack jajanan anak-anak dengan dicampur ganja. Bahkan, dia memiliki kebun ganja tersembunyi di hutan kota. Di sana ada sebuah gudang tempat penyimpanan ganja berkarung-karung." "Apa! Itu benar-benar keterlaluan!" sahut Markona
"Kau, Ujang!" ungkap Kris. Ujang? Oh, ternyata dia si Tuan Muda dari Perusahaan Kencotstory. Batin Ningsih. Dia mendongakkan kepalanya menatap dingin pria itu. Ujang menutup wajahnya dengan jari-jari yang direnggangkan. "Haha. Ternyata kau masih mengingatku. Kalau saja dulu kakakmu memilihku menjadi suaminya, tentu saja dia tidak akan mengalami hal seperti itu, kan, Tuan Kris." "Heh! Menurutku, kakakku memilih orang yang tepat. Meskipun dia harus meninggalkan anaknya di usia yang masih sangat muda, setidaknya dia merasakan kebahagian di masa hidupannya." "Cih! Kau dan kakakmu sama saja! Paman Cokro benar, kalian pantas mati! Hahaha. Kuliti mereka hidup-hidup! Bunuh sesuka kalian!" Ujang berbalik membelakangi Ningsih. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Saat pasukannya hendak menyerang Ningsih dan Kris, dia berkata, "Tunggu!" Pria itu berbalik lagi berhadapan dengan Ningsih. Ujang menundukkan badannya dan meletakan kedua tangannya di pi
"Maaf Tuan Muda, sepertinya mereka menyadari alat pelacak yang di pasang di tubuh Nona. Alat itu berada di sekitar Anda," ujar Teguh memalui telepon.Tukijo terdiam. Lalu, dia melihat ke arah Bagas, mata anak kecil itu terlihat sembab."Astaga, kenapa anak sekecil itu harus mengalami kejadian seperti ini," gumamnya merasa iba."Apakah perlu saya melacak setiap CCTV di jalanan, Tuan Muda?""Tidak perlu, aku tau cara yang lebih efesien. Siapkan uang sejumlah 50 juta! Aku akan segera kembali!"Kemudian Tukijo menghampiri Markonah dan Bagas."Ayo pergi!" ucapnya."Ke mana?" tanya Markonah."Kita harus memaksa kedua orang itu membuka mulut. Aku yakin ini ada kaitannya dengan mereka."Mereka kembali ke pusat perusahaan untuk mengambil koper berisi uang 50 juta."Bang Teguh, nitip Bagas ya," pinta Tukijo. Lalu dia pergi bersama Markonah menemui dua tawanan yang mereka tangkap di rumah sakit.Saat membuka pintu seb
Yulie berniat menelpon Ningsih dan memberi kabar bahwa Cecep sudah sadar. Di situasi yang sama, saat itu Bagas sedang bersembunyi di tong sampah samping pos kamling. Dia menangis, berjongkok dengan tubuh yang gemetar sambil memegang pisau. Lima belas menit yang lalu, saat Bagas sedang menunggu Kris bersama gurunya yaitu Marni, datang seorang pria tak dikenal. Pria itu mengaku diperintah oleh Kris untuk menjemput Bagas. Padahal, baru saja Bagas selesai menelpon Kris dengan ponsel milik Marni. Tentu saja Marni tidak percaya dengan pria tak dikenal itu. Karena tidak berhasil membujuknya, dia mengeluarkan sebuah pisau untuk mengancam. Marni berusaha melindungi Bagas. Si pria merasa geram, sehingga menusuknya dengan pisau. Kemudian dia mencabut pisau itu, lalu menggendong Bagas pergi. Anak kecil itu berontak. Dia menggigit bahu si pria dengan kuat, hingga pria itu kesakitan. "Aaaaargh, sial!" Bagas berusaha melepaskan di
"Tunggu!" Markonah berusaha menghentikan Tukijo. Namun, daripada itu dia lebih memilih untuk menenangkan Cecep terlebih dahulu."Dok ... cepetan Dok. Pokoknya kalau terjadi apa apa sama Cecep. Anda harus bertanggung ja ..." Tukijo menghentikan perkataannya ketika melihat Cecep sadar dengan keadaan terbaring di ranjang. "Cecep! Kamu udah sadar? Gimana keadaanmu?" tanya Tukijo khawatir."Apa-apaan ekspresi lo! Lo pikir gue bakalan mati semudah itu?" Seketika itu Cecep merasakan sakit di seluruh tubuhnya. "Aaaaargh, badan gue sakit semua.""Biar saya periksa dulu," ucap Pak Dokter. "Coba julurkan lidah Anda!"Cecep menjulurkan lidah sesuai permintaan dokter."Sepertinya Anda mengalami gejala keracunan," tutur Pak Dokter."Tadi, seseorang menyumpal mulutku dengan sesuatu saat aku baru sadar. Itu yang membuatku kejang-kejang dan muntah," ujar Cecep.Kemudian dokter memberi resep obat dan menyuruh salah satu dari mereka mengambi
Markonah datang di saat Tukijo sedang tertidur. "Kalau begitu, Ayah tinggal ya ... mau isi bensin dulu," pinta Hartono. "Iya Ayah, hati-hati." Markonah duduk di samping Tukijo sambil memandangi wajahnya. "Dasar bodoh! Kamu memang selalu berbuat apa yang kamu inginkan, meskipun itu membahayakanmu," ketus Markonah mengomel, sedangkan Tukijo masih dalam keadaan mata terpejam. Tiba-tiba Tukijo membuka sebelah mata. "Maaf ya, bikin kamu khawatir," ucapnya. "Ish! Kamu pura-pura tidur ya?" sahut Markonah kesal. "Nggak kok, tadi aku beneran tidur. Aku terbangun karena omelanmu," balasnya memanyunkan bibir. Lalu dia melirik sesuatu yang di bawa Markonah. "Apaan tuh?" Matanya tertuju pada sebuah kresek yang berisi kotak makan. "Idih, tau aja aku bawa sesuatu." "Aku cuma makan roti darimu sejak pagi, tentu saja aku mengharapkan sesuatu." Tukijo cemberut. "Hah, serius?" "Ho'oh." Tukijo mengangguk. "Aku juga kok," gumam Kris ngenes melihat dua
Di Perusahaan Gaje Herbafood Jagakarsa."Berpencar! Periksa seluruh akses jalan! Jika kalian menemukan petunjuk, segera hubungi aku!" perintah Ningsih memberi komando untuk melacak jejak orang yang telah mencuri bahan baku perusahaan."Siap, lanksanakan!"Mereka pun berpencar. Sampai beberapa saat kemudian, Marno menemukan bubuk haver tercecer di sepanjang jalan H. Abdul Karim. Dia segera menghubungi Ningsih. Namun, baru saja dia mengambil posel, tiba-tiba seseorang memukulnya dari belakang.Bugh!"Ugh," rintih Marno memegang kepala.Dia masih setengah sadar berusaha menekan poselnya untuk menelpon Ningsih, lalu memasukan ponselnya ke dalam saku. Samar-samar Marno melihat, ternyata yang memukulnya adalah salah satu rekan kerjanya, Saepul."Heh! Bodyguard yang selalu mendampingi direktur cuma segini kemampuannya?"Saepul tersenyum kecut memandang rendah Marno. Kemudian datang beberapa orang yang tidak dikenal berada di belakangn
"Bahan baku?" tanya Tukijo dengan mengulangi perkataan Kris."Benar, dan tempat mereka memindahkan karung-karung itu adalah rumahku," ungkap Kris.Kris dapat memaklumi bahwa Tukijo baru baru ini diangkat menjadi direktur. Sehingga dia belum begitu memahami ciri khas dari karung steril yang dipakai perusahaan untuk menyimpan bahan baku. "Hah? Rumah Kakak? Itu berarti si pak tua Paimin adalah orang kepercayaan Pak Cokro?""Benal ini tempat kami tinggal," sela Bagas."Aku sungguh tidak tau bahwa Pak Paimin berpihak pada ayaku," ujar Kris.Tukijo berpikir, kali ini prediksinya meleset. Tujuan Pak Cokro bukanlah Perusahaan Obatofarma yang saat ini berada dalam genggaman Ferguso. Penculikan Yulie hanya sebuah pengalihan, agar dia bisa mengobrak-abrik Perusahaan Gaje."Haaaah!" Tukijo menghembuskan napas."Oh, bukankah itu Tuan Muda Kris?" celetuk salah satu dari pekerja Paimin.Tiba-tiba, Cokro keluar dari d
"Astaga, kenapa di saat terburu-buru seperti ini malah macet," gerutu Teguh mengendarai mobil bersama Ningsih.Bruuum ... bruuum.Sugeng datang dengan menaiki sebuah motor butut."Ayo Kak! Ikut aku saja," ajaknyaTanpa pikir panjang, Ningsih pun keluar dan membonceng Sugeng sembari melihat-lihat motor yang di pakainya. Ningsih merasa familiar dengan motor itu."Tancaaaaap!" Sugeng mengendarai motor dengan kecepatan super."Ngomong-ngomong, kamu dapat motor dari mana?" tanya Ningsih di tegah laju motor berkecepatan tinggi."Eh, ini ... motornya Markonah. Hehe."Tiba-tiba ...Dhoodododododododot ...Motor yang mereka pakai mogok di tengah jalan.Dalam pikiran Sugeng, seketika terngiang-ngiang perkataan Markonah. "Jangan ngebut-ngebut, nanti mogok!""Ya ampun, beneran mogok? Hadeuh." Sugeng menggerutu."Ya udah, aku lari aja." Ningsih turun dari motor. Aku pikir karena dekat, jadi aku nggak pake