Share

"Drew"

Penulis: May H
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-14 11:57:55

Aku masih bertahan di kelas bersama dengan kak Adam, si ketua Osis, yang akan berperan sebagai Raja Sisingamangaraja, saat semua orang sudah pulang termasuk si Lesung Pipi yang ternyata ikut dalam drama ini juga.

Dia berperan sebagai tentara Belanda. Ketika perkenalan naskah tadi, aku menyimpulkan ternyata dia itu cukup populer. Siswi-siswi dari kelas lain acapkali mengeluarkan suara-suara dan kalimat menggoda saat si Lesung Pipi memperkenalkan diri.

"Nama saya David Leonardo, berperan sebagia tentara Belanda" ucapnya biasa saja tapi membuat sebagian besar siswi-siswi wanita berteriak genit. Aku sampai muak melihat para geniters itu.

Ibu Gempal menyuruh aku dan kak Adam untuk membahas naskah kami berdua, karena naskah kami termasuk yang paling panjang dan rumit.

Kami banyak berbincang mengenai kegiatan kami di sekolah selain membahas naskah. Aku juga banyak bertanya tentang kegiatan dia yang termasuk padat untuk ukuran seorang anak SMA. Apalagi dia sudah kelas tiga yang harusnya fokus untuk UN. Akan tetapi posisinya yang juga sebagai ketua OSIS, yang mana ini juga catatan sejarah bagi sekolah, sepertinya tidak akan membiarkan dia beristirahat tenang di sekolah walau hanya satu menit.

Setelah melakukan pembahasan dan berdebat beberapa kali, kami memutuskan untuk pulang dan melanjutkan pembicaraan besok karena hari sudah sore dan dia juga masih ada pertemuan anggota OSIS. Kami berpisah di teras kelas saling mengucapkan kalimat menyemangati. Aku mulai merasa sangat beruntung karena ikut dalam drama ini walau di awali dengan insiden yang memalukan tadi. Aku tidak menyangka bisa berdekatan dengan ketua OSIS setampan dia. Ini harus segera aku ceritakan pada Shaniar! Dia pasti sangat iri.

Kakiku ringan berjalan melewati jalan setapak di tengah-tengah taman kelas, saat di ujung jalan aku melihat “si Lesung Pipi” sedang berdiri menyenderkan badannya di tiang pagar taman sambil menggerak-gerakkan handphone ke kanan dan ke kiri. Sepertinya dia sedang asyik bermain game. Kenapa dia belum pulang? Bukannya pemain lain sudah pulang dari satu jam lalu?, pikirku.

Aku kikuk, entah kenapa, malu atau entah kata apa yang tepat untuk menggambarkan. Sebenarnya aku sudah beberapa kali melihat dia. Saat MOS, saat dia sedang bermain basket di lapangan (waktu itu aku dan Shaniar permisi ke kamar mandi karena sudah sangat bosan di kelas), saat membeli pulpen ke kantin walau hanya berpapasan dan mungkin masih ada moment lain, tapi aku sudah lupa. Tidak ada yang spesial karena hanya melihat sekilas dan ya, melihat seperti biasanya saja. Tapi kali ini kenapa harus kikuk?. Aku mulai ragu apakah aku harus melanjutkan langkahku melewatinya atau memutuskan untuk berbalik arah.

Sebelum sempat memilih apa yang aku rasakan dan apa yang akan aku lakukan, dia menoleh padaku dan tersenyum. Saat itulah untuk pertama kalinya aku merasakan ada seseuatu yang bergerak tiba-tiba di hatiku. Aneh. Nafasku seketika berubah menjadi sedikit berat.

“Hei” sapanya sambil memasukkan handphone ke kantong celana, menegakkan tubuhnya.

Aku semakin kikuk dan kaku. Apa aku harus menjawabnya? Apa itu sapaan untukku? Apa mungkin dia ingin menyapa bunga-bunga di sekitar kami ini? Tidak Mungkin, Drew!

“Ya...hei juga kak” jawabku ragu dan oh ekspresi wajahku, pasti sudah tidak terkontrol. Entah ekspresi apa yang aku tampakkan. Aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu.

“Semangat ya, Drew” ucapnya sambil tersenyum.

Alisku terangkat. Well, kenapa tiba-tiba dia mengucapkan itu? Apa dia sengaja berdiri di situ hanya untuk mengatakan itu? Dan kenapa dia tau nama panggilanku? Tadi saat perkenalan jelas-jelas aku mengucapkan nama lengkap tanpa embel-embel nama panggilan. Bahkan kak Adam sempat memanggil nama depanku sebelum aku memintanya memanggil "Drewi" saja.

“Kenapa?” tanyanya memotong kesalahfokusanku.

“Ah...nggak” aku menggelengkan kepalaku cepat “nggak kenapa-kenapa, kak hehehe...” aku menyengir. Iya menyengir!.

“Mm...kalau gitu...”

“Kak Davi” seseorang memanggil namanya dan memotong kalimatnya.

 Seorang siswa perempuan berlari dari arah lapangan menuju tempat kami berdiri. Bisa aku terka si Lesung Pipi terlihat sedikit kesal dari raut wajahnya. Semakin dekat posisi orang yang memanggil namanya itu, semakin aku mengenali siapa perempuan itu. Aghita Aristia. Si nenek tapir moncong biru.

***

Sekilas saja, sejak peristiwa di olimpiade Biologi antar sekolah tahun lalu, saat kami masih kelas 10, dia berubah menjadi musuh bebuyutanku. Kami berdua yang juga sekelas, termasuk dalam tim olimpiade Biologi yang beranggotakan 5 orang dan akan diberangkatkan mengikuti olimpiade tingkat sekolah sekecamatan Sidikalang. Olimpiade diadakan berbentuk tim dan akan ada praktek juga.

Kami anggota tim dipilih berdasarkan hasil seleksi yang diadakan 3 tahap. Yang mengikuti seleksi itu juga terbuka untuk semua siswa sekolah SMA Darma Bangsa tanpa melihat nilai rapor dan lain-lain. Bisa dibayangkan betapa berjuangnya aku menyingkirkan puluhan siswa lainnnya. Aku masih ingat betapa sangat terobsesinya aku dengan olimpiade itu sampai-sampai di rumah pun aku hanya memegang buku Biologi dan yang bersangkutan dengan itu. Ditambah lagi Biologi memang pelajaran kesukaannku. Ada kenyamanan tersendiri di dalam pelajaran itu yang tidak kutemukan dalam pelajaran lain.

Sebenarnya saat latihan pun aku sudah merasakan hawa tidak menyenangkan dari si Nenek Tapir itu. Seringkali aku menangkap basah tatapan tidak mengenakkan darinya. Terkadang juga aku merasa dia seperti ingin menendangku keluar dari tim. Beberapa hal dari tingkahnya sangat menggangguku. Tapi selalu kutepis prasangka itu dengan alasan mungkin dia takut tersaingi. Walau itu tidak masuk akal karna kami adalah tim. Terlebih lagi dia anak yang populer di sekolah. Semua itu kusimpulkan karna semua anggota selalu memuji dia karna tidak hanya cantik tapi juga pintar. Aku yang tidak peduli terhadap apa-apa ini, yang baru menyadari kepopulerannya itu, hanya terdiam karna sungguh aku memang tidak peduli terhadap apapun di sekolah ini. Aku hanya ingin cepat lulus, masuk universitas favoritku, mengambil jurusan Biologi dan bekerja di bidang Biologi. Itu saja. Aku tidak ingin mencapai apapun lebih dari itu. Kegiatanku di sekolah saja hanya berulang dari kelas, perpustakaan, ke kantin bersama Shaniar -dia tidak suka menemaniku ke perpustakaan- , ruang guru (sesekali guru menyuruhku membantu pekerjaan mereka), itu saja. Jadi tidak ada celah bagi dia untuk merasa tersaingi. Tapi mungkin itu memang sudah sifat mainstream dari anak populer. Tidak perlu alasan untuk tidak menyukai orang lain. Jadi, yah, kubiarkan saja.

Waktu itu, ketika Hari-H, sebelum olimpiade dimulai, setiap tim sekolah diberi ruangan khusus untuk mempersiapkan diri masing-masing. Aku yang berangkat tergesa-gesa dan belum sempat sarapan, memutuskan untuk memakan bekal nasi goreng udang kesukaanku yang sudah dipersiapkan bunda. Dia, si nenek tapir itu, ikut memakannya padahal tidak ada yang menawari.

Dia tiba-tiba saja duduk di dekatku dan meminta nasi goreng itu. Aku mencoba berpikir positif, mungkin dia tidak sempat sarapan entah karna alasan apa dan perutnya sudah sangat melilit hingga harus terpaksa meminta bekal orang lain, orang yang sepertinya sangat dibenci oleh dia. Dengan sedikit rasa kasihan, aku mempersilahkan ia memakan bekal yang bahkan baru dibuka belum tersentuh sedikit pun. Dan dengan perasaan bangga sudah membantu orang lain juga, aku tidak tahu sama sekali kalau ternyata dia alergi udang. 

Akhirnya setelah memakan nasi goreng itu, dia tidak bisa mengikuti olimpiade dan harus dirawat di rumah sakit. Mulutnya memerah dan bengkak. Di tangan dan kaki juga muncul bercak-bercak merah. Sontak saja seruangan menjadi heboh. Aku pun dimintai keterangan oleh guru pendamping dan harus meluangkan waktu sepulang dari olimpiade nanti untuk menceritakan semua kronologi yang terjadi. Itu sempat membuatku terganggu dan hampir saja memutuskan untuk pulang saja. Tapi guru pendamping tim berhasil membuatku tetap ikut. Beliau menyemangatiku, memintaku tetap fokus karena nama sekolah bergantung pada kami.

Walau aku sudah meminta maaf tapi sampai saat ini dia seperti masih menyimpan dendam. Padahal aku yakin, sebelum dia memakan nasi goreng itu, bau udang sudah pasti tercium. Tapi dia tetap memakan atas pilihan dia sendiri. Tidak masuk akal sama sekali.

Dia juga selalu iri dengan nilai-nilaiku, terutama nilai Biologi. Setiap kali ada pelajaran dan ujian Biologi, dia selalu mencoba membuatku emosi dengan tingkahnya yang berlebihan dan seakan-akan mengajakku berkelahi di tengah-tengah lapangan atau di atas ring tinju. Sangat menyebalkan. Dia selalu menyindir saat pelajaran selesai apa bila aku mendapatkan pujian dari guru dan aku selalu mencoba sabar dengan tingkahnya itu. Untung saja ada Shaniar yang selalu berhasil meredam emosiku dan mengurungkan niat untuk pindah kelas saat itu.

Ketika kenaikan kelas, aku merasa lega karena kami tidak berjumpa lagi. Dia sangat menyebalkan dan aku tidak bisa membayangkan tahun-tahun di SMAku berubah menjadi sama menyebalkannya bila satu kelas dengan dia lagi.

***

Entah terinspirasi dari mana, aku dan Shaniar sepakat memberi gelar Nenek Tapir Moncong Biru padanya. Itu panggilan di antara kami berdua saja. Tidak ada yang tahu selain kami berdua. Kami tertawa diam-diam saat dia lewat atau saat kebetulan dia muncul entah dari mana.

Ugh...seandainya si Lesung Pipi tidak ada di sini, ingin rasanya aku berlari dan menendang tepat di wajah yang sok polos itu.

Dia berhenti sebentar menatapku dengan ekspresi yang menjengkelkan ketika sudah sampai di tempat kami berdiri dan bergelenjot manja di lengan si Lesung Pipi. Keinginanku untuk menendang wajahnya semakin berkobar.

“Kak Davi, kakak udah mau pulang, kan? Bareng, yuk. Kita mampir ke kafe Dian dulu, aku lapar soalnya. Latihannya bikin capek”

“Aku belum mau pulang, Git. Masih ada urusan” jawabnya singkat dan menyingkirkan gelenjotan itu dari lengan, risih, tanpa memperdulikan kalimat panjang si nenek tapir moncong biru. Dia lalu menatapku sebentar dan tersenyum lagi “Duluan ya Drew” ucapnya lalu pergi meninggalkan kami berdua.

Aku gugup lagi. Tidak bisa membalas dan mengartikan apa arti dari senyumnya itu. Sudah dua kali dia tersenyum semanis itu. Mungkin karena sangat tiba-tiba aku jadi tidak siap. Hatiku berdesir-desir

“Iih kak Davi”

Moment desir-desir itu tiba-tiba harus berhenti karena rengekan si nenek tapir. Sangat tidak punya harga diri. Suara manja yang dibuat-buat itu membuat kupingku sakit dan berdenging.

Dia menoleh padaku tetap dengan wajah yang memuakkan sesaat sebelum berlari lagi. Ya, walau operasi plastik sekali pun wajahnya akan tetap memuakkan.

“Ckckck” aku hanya bisa mendecak jengkel atas tingkahnya. Aku pulang dengan menghentakkan kakiku kesal.

May H

Aku gugup lagi. Tidak bisa membalas dan mengartikan apa arti dari senyumnya itu. Sudah dua kali dia tersenyum semanis itu. Mungkin karena sangat tiba-tiba aku jadi tidak siap. Hatiku berdesir-desir

| Sukai

Bab terkait

  • Si Lesung Pipi   Curhatan #3

    Olokan adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan, apalagi bila olokan itu dilakukan padamu tepat di depan seseorang yang entah kenapa tiba-tiba ada dalam pikiranmu. Itu sangat memalukan bukan?. Saat kita mengolok-olok seseorang mungkin kita merasakan sensasi tersendiri, entah itu merasa hebat karna menemukan kekurangan seseorang yang kita olok, merasa senang karna mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitar kita saat mengolok-olok atau bahkan mendapatkan kepuasan tersendiri setelah melampiaskan sesuatu yang terpendam dalam hati kita. Perlu kita sadari bahwa menjadikan seseorang menjadi bahan olokan, itu tidak membuat kita otomatis menjadi seseorang yang sempurna. Bahkan kita secara langsung menampakkan warna atau nilai kita sendiri. Nilai negatif. Tapi aku tidak bisa menyebutkan itu tepat di hadapan orang yang mengolok-olokku, aku hanya berharap bisa membalikkan keadaan agar olokan itu berubah menjadi pujian nantinya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • Si Lesung Pipi   Di Olok-Olok (Lagi)

    “Ketua apaan kamu. Kemarin kenapa kami nggak diwarning kalau ada ibu Silaban" bentakku pada Wirja Sitepu, sang ketua kelas. Wirja yang gossip-gossipnya telah menaruh harapan pada Shaniar sejak kelas 1 itu, hanya bisa tersenyum malu-malu yang membuat aku dan Shaniar semakin panas. “Maaf Drew aku nggak bisa berbuat apa-apa. Ibu Silaban sudah kasih kode duluan. Maaf, yah” “Ck! Ah, udah Drew. Kita keluar aja, yuk. Makin emosi yang ada kalau di sini” ucap Shaniar menarik tanganku keluar dari kelas diiringi tatapan tajam siswa perempuan lain yang sedang berkumpul. Mereka adalah fansnya Wirja. Setiap istirahat mereka memang selalu membuntuti Wirja kemana pun dia pergi. Bahkan menunggui di depan toilet sekali pun. Ngeri! Pantas saja Shaniar selalu menghindari Wirja. Siapa yang mau berurusan dengan fans fanatik yang menyeramkan seperti mereka itu. Dulu saat kami masih kelas satu, Wirja pernah menulis nama Shaniar di sampul belakang buku tulisnya dengan namanya di bawah nama Shaniar dan ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • Si Lesung Pipi   Shaniar

    Drew, maaf ya yg tadi siang Aku gk bermaksud ikut ngetawain kok Read. Pesan Shaniar sudah 5 menit ini kubiarkan. Aku masih asyik menikmati pop mie, cemilan malam, sambil mempertimbangkan apakah aku akan memaafkannya atau tidak. Jika aku memaafkannya, apakah dengan gratis atau dengan trakiran bakso kantin selama sebulan penuh. Hahahahaha... Apa aku terlalu kejam terhadap sahabatku itu ya?. Kalau diingat-ingat bagaimana kami bisa bertemu dulu, sepertinya ini memang sedikit terlalu kejam. Kami pertama kali bertemu di acara MOS sekolah. Kami berdua sama-sama terlambat datang di hari pembukaan MOS. Hanya kami berdua. Lalu kami disuruh maju ke depan dan sebagai hukuman, kami harus menirukan bermacam-macam hewan di hadapan dua ratusan siswa baru lainnya sambil diiringi musik. Ternyata dari peristiwa itulah kami menyadari bahwa kami memiliki satu persamaan, sifat “bodo amat” kami. Bedanya aku sedikit lebih tertutup dan dia sangat welcome terhadap siapapun. Sedari awal aku merasa sangat co

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • Si Lesung Pipi   Curhatan #4

    Cinta. Bagaimanapun tetaplah cinta. Mau bingung, tidak menduga, tidak terasa, tidak menyadari atau tidak tahu sedikit pun, dia tetaplah cinta. Mau apa kau bila cinta sudah menyentuhmu bahkan berbicara secara langsung tepat ditelinga hatimu yang paling dalam? Tidak ada yang bisa kau dan aku perbuat bukan? Selain menerima rasa itu. Kau ingin menolaknya atau menangkisnya? Hmm....aku rasa itu bukan jalan keluar yang baik. Jadi apa yang harus kita lakukan? Entahlah."Aku jatuh cinta kepada dirinyaSungguh-sungguh cintaOh apa adanyaTak pernah kuraguNamun tetap selalu menungguSung

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • Si Lesung Pipi   Marah

    “Ciee ada yang antusias banget nih mau ketemu ibu Gempal. Aw!” Kujitak kepala Shaniar yang berani-beraninya memfitnah. Aku tidak mau menjadi bahan olok-olokannya ibu Gempal lagi, makanya aku memasukkan buku kedalam tas dengan buru-buru agar waktu tidak terlalu lama berlalu dan tidak akan terlambat. “Sakit Drew...” “Mau ditambah lagi?” aku mengangkat tangan berusaha menjitak kepala Shaniar lagi. Dengan cepat kilat dia menghindar. “Eitt, gak kena hahahha..” “Udah ah, aku buru-buru nih, nanti dimarahi sama ibu Gempal lagi kalau telat. Bye bye Shan Shan” aku melambaikan tanganku padanya sambil berlari keluar kelas menuju ruang ekskul teater. Kemarin ibu Gempal memutuskan latihan drama kali ini dilakukan di ruangan teater saja, agar tidak perlu repot-repot membereskan meja dan kursi kelas. “Semoga hari ini tidak ada olok-olokan lagi. Amin” ucapku pada diri sendiri ketika berada dilorong kelas. “Drewi” sebuah suara dari belakang mema

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • Si Lesung Pipi   Maaf

    “Drewi” suara yang tidak asing menyebutkan namaku, ketika sedang menunggu kak Adam digerbang sekolah. Dia meninggalkan ponselnya yang sedang di charger di ruang OSIS. Kak Adam mengajakku pulang bersama setelah dia bertanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja pulang sendiri karna Shaniar sudah pulang duluan. Suara yang tidak asing itu kak Dani Megantara. Si tukang olok. Wajahku menoleh kearah lain dengan kesal. “Drew, masih marah ya?” tanyanya. Tak ada jawaban dariku. Dia menggaruk kepalanya sendiri menunggu jawaban. “aku minta maaf ya Drew, untuk yang kemarin dikantin” dia menyodorkan sebuah kotak merah peach berpita biru. Aku menatapnya tidak mengerti. “Ini sebagai permintaan maaf....” aku tidak memperdulikan perkataannya selanjutnya, karena perhatianku langsung terfokus pada si Lesung Pipi yang sedang berdiri jauh diseberang jalan sana, melihat kepada kami tanpa ekspresi lalu membalikkan badannya dan berjalan menjauh. “D

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-14
  • Si Lesung Pipi   Curhatan #5

    Ini sangat klise. Tentang senja saat kami jalan berdua.Terkadang aku berpikir, apakah sebenarnya senja itu mendukung tawa bahagia kita? Atau hanya sekedar menambah keindahan angan-angan?. Aku selalu berhenti pada satu titik dimana kau selalu hadir setiap kali aku melihat senja dan tertawa. Aku menyukai moment itu. Aku juga menyukaimu, tawa, lesung pipi dan wajah merah meronamu. Satu lagi, ternyata kau sangat pemalu.Pembicaraan kita hanya hal-hal yang tidak perlu membuat kita berpikir. Tapi itu sangat mampu membuat hatiku semakin nyata mengarah padamu. Cinta Pertama ini sudah pasti telah terjadi. Cinta pertama ini tidak bisa aku sangkal lagi. Ini memang cinta.

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-15
  • Si Lesung Pipi   "Nanti Pulang Sama Siapa?"

    Hari ini mood ku hampir saja berubah menjadi buruk. Bayangkan saja, secara tiba-tiba 3 guru dari 3 mata pelajaran berbeda mengadakan kuis dalam satu hari. Aku dan Shaniar belum sempat curhat tentang kak Dani dan Silesung pipi, karena harus belajar dengan kilat untuk kuis tadi. Apalagi kami kembali berpisah karena tempat latihan yang berbeda. “Udah baikan sama Dani belum?” bagiku, pertanyaan kak Adam itu lebih seperti pertanyaan menggoda dari pada pertanyaan yang menunjukkan kepedulian. Ditengah-tengah ruangan yang luas ini ingin sekali aku menjitakkan kepalan tanganku ini kekepalanya. Kami sedang istirahat dan menunggu sesi evaluasi dari kak Ameila. Hari ini ibu Gempal tidak masuk lagi karena mengi

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-15

Bab terbaru

  • Si Lesung Pipi   The End

    Menangis itu perlu entah kau perempuan atau laki-laki, karena luka bisa saja menghampiri setiap orang, tidak mengenal apa gender, status dan keadaan. Karena di dalam air mata dan usaha mengeluarkan air mata itu ada beban yang keluar secara tidak langsung. Ketakutan menjadi hilang, keraguan menjadi hilang, sesak hati sirna. Cinta harus diungkapkan, baik engkau perempuan maupun laki-laki. Baik ketika masih kecil maupun sudah dewasa. Karena cinta menghampiri setiap orang. Sekali lagi, tanpa mengenal siapapun itu dia. Karena saat cinta diucapkan, bukan hanya untuk menunjukkan hatimu, tapi untuk mengambil bagian hati yang mencinta, agar tidak menimbulkan sesuatu yang tidak kita duga. Sekalipun kau di tolak, sekalipun hati dipatahkan, setidaknya tidak ada luka yang terpendam. Kau bisa mengambil langkah selanjutnya. Kau bisa bangkit lagi. Berjalan lagi tanpa apaun yang mengendap dalam hatimu. Terluka dengan lega, terluka dengan ringan ,terluka dengan pasti. Kita

  • Si Lesung Pipi   Menangis

    Nafasnya memburu. Naik turun tanpa jeda tanpa irama. Kerah kemeja dia longgarkan. Keluar dari apartemen Drewi, Dani tidak sabar ingin sampai ke kafe milik Sano. Di sana ada seseorang yang sangat ingin sekali dia minta konfirmasi. Git. Adam sudah di sana?Send Kirimnya pada Agitha sebelum memasuki lift. Sudah kak. Semuanya sudah ada disini.Tinggal Dancer sama dekorasi yang belum siap.Drewi tahan sebentar ya di sana.Read Di dalam mobil, Pesan balasan masuk. Begitu mesin meyala, Dani tanpa membalas pesan, menginjakkan kaki sekuat tenaga di pedal Gas, menimbulkan suara cericit memekakkan telinga di basement apartemen. Darahnya sudah naik keubun-ubun. “Sialan!!! Sialan!!” bentaknya pada setir. Dipukulnya sekuat tenaga untuk meredam emosi. 30 menit berlalu setelah meelwewati kemacetan dibeberapa jalan besar kota, akhirnya kafe milik Issano telrihat di uj

  • Si Lesung Pipi   Detik Penentu

    Sesaat hati bisa merasa yakin, sangat yakin ketika berada pada “Detik Penentu” lalu bisa juga sesaat kemudian keyakinan itu berubah bagai langit sore yang menjadi hitam saat matahri sudah kembali pulang ke ujung samudera. Banyak “seandainya-seandainya tercipta ketika detik-detik penentu sudah terlewat, ada banyak harapan-harapan lama muncul ketika detik-detik penentu teringat kembali. Mengingat kembali kenangan-kenangan, mengingat kembali moment-moment kadang terpikir unutk memutar semuanya itu. Walau, pada akhirnya, tidak akan kembali lagi detik itu, tidka akan muncul lagi atau tidak akan sama lagi semua yang ada di dalam moment-moment itu. Akan tetapi, ada satu keputusan hebat tercipta saat sudah sampai di detik-detik penentu itu. Apapun hasil dari keputusan itu, pada akhirnya, hanya orang-orang hebat yang berhasil mengambil keputusan di saat genting seperti itu dan orang-orang bermental kuat yang bisa berhasil menajalani kehidupan setelahnya. Berjalan, bertahan sam

  • Si Lesung Pipi   Granula-Granula yang Beterbangan

    “Kak aku bisa temenin kakak tidur, ga?” David kaget saat hendak masuk ke dalam selimut tiba-tiba Agitha sudah ada di pintu kamarnya. “Bukannya dari tadi kamu sudah pulang?” “Udah, tapi dateng lagi. Tadi nganterin tante dulu sekalian makan malam. Tadi laparr banget” “Dasar” “Hehe...” “Ya udah boleh. Tapi jangan macam-macam, ya?” “Iiihh harusnya aku kali yang ngomong gitu” Agitha mengambil selimut dari lemari David dan tidur di sebelah David. David terkekeh di seberang bantal guling. “Bantal gulingnya ga usahlah ya...” David mengangkat bantal guling bersiap membuang ke bawah. “Kakaaak...” teriak Agitha merebut bantal guling . David tertawa lagi lebih kencang. Agitha meletakkan lagi bantal guling dan menepuk-nepuk menandakan area itu adalah area terlarang. David usil menyentuh dan dibayar dnegan tamparan keras mendarat ditangan membuatnya mengaduh. Beberapa saat setelah mereka nyaman di posisi tidur mereka

  • Si Lesung Pipi   Klarifikesyen guyss....

    Mungkin ini nggak penting-penting amat tapi mungkin juga nggak penting sama sekali (Hapaseehhh....) Jadi, sebenarnya selama 2 bulan lebih ini saya sedang menenangkan badai-badai yang silih datang berganti eh silih berganti datang....ihh....yang mana sih yang bener? Tau ah... jadi begitulah. Badai-badai itu datang menenggelamkan jiwaku dan akhirnya menyeret ke palung gelap bernama "Aku Sedang Tidak Baik-baik Saja". Akhirnya hanya bisa rebahan....rebahan...dan rebahan dengan tatapan kosong, jiwa yang kosong juga. Pas buka Goodnovel lagi tadi, ada banyak yang jadi pelanggan. Angka yang membaca juga bertambah dan yang bikin seneng lagi sudah ada yang ngasih kontribusi dan voted. I'm just like...Woooooow. Semangatnya bertambah lagi. Thank you untuk kalian semuanya.:* :* :* . Tuh...triple kiss buat kalian semua. Cukup kan? Cukup? Cukup? Ya cukuplah ye kaaan. Tungguin update-an selanjutnya yaaaa.... See you next bab. Bab yah saudara-saudara. Bab novel yah. Bukan Bab yang itu. Dahlah. U

  • Si Lesung Pipi   Tembok Untuk Menyembunyikan Luka

    .........From : Epilogue (Gadis Bermata Coklat) Bagian 3 " "Kak Adam, bantuin Drewi dong. Dia sampai ga semangat gitu, coba. Mata Bu Gempal tadi benar-benar kaya elang buas tahu nggak sih, kak. Ya, namanya gladi resik ya tempatnya yang salah-salah di perbaiki. Aku kalau jadi Andrewi udah pasti nangis tuh digituin" "Iya, aku juga liat kok, Shan. Tadi juga dia udah hampir nangis" "Makanya, mumpung dia masih latihan sama Bu Gempal, ayo kita Bujuk kak David, ya, kak. Kasih tahu kalau itu bukan salah dia. Kasih tahu kalau Andrewi butuh di semangatin" "Udah, Shan. Masalahnya, dia ngeliat langsung Dani di bentak-bentak waktu itu" "Ya, namanya juga orang tua, kak. Ayolaah...kasihan Andrewi" "Ya, kita coba bujuk lagi aja deh" "Halo, Dave dimana?" "Kesini sebentar. Di depan Aula. Ada Shaniar mau ngomong sesuatu" "Iya, mau ngomong penting"

  • Si Lesung Pipi   Gladi Resik

    Beberapa jam sebelum Gladi Resik....Pagi yang cerah, pikir Dani melihat langit pagi menjelang siang. Dia baru saja keluar dari ruang kepala sekolah setelah diberitahu bahwa dia satu-satunya siswa yang akan diajukan menerima beasiswa ke salah satu universitas di Inggris. Berkat koneksi ayahnya, dia mendapatkan tempat di daftar beasiswa itu. Kebetulan jurusan yang dia inginkan termasuk salah satu jurusan yang di perbolehkan dalam beasiswa, jadi dia merasa tidak keberatan. Selain itu, selebihnya, dia tidak berbuat curang karena dia juga tetap ikut tes, wawancara dan lain-lain nantinya.Jam pelajaran ke 3 akan segera berakhir, itu artinnya bel isttirahat pertama akan berbunyi. Dani melipir ke kantin menghabiskan waktu sekalian mengambil tempat duduk untuk teman-temannya.Di kantin, Dani membatalkan rencana, membanting setir berpura-pura membeli pulpen saat seorang guru masuk tepat ketika dia hendak duduk. Dani keluar tergesa-gesa setelah pulpen dibayar agar guru tersebut tidak curiga.

  • Si Lesung Pipi   Janji?

    “Dave, jangan lama-lama ngasih tahu Andrewi kalau kau mau pindah. Habis UN dia sudah harus tahu” Adam dan David berjalan agak jauh dibelakang teman-tamannya. Jam istirahat sudah selesai, mereka sudah harus kembali ke kelas masing-masing. Adam sengaja memberi kode kepada David saat mereka keluar dari Kantin. “David mendengus geli dan remeh “ Sok tahu!' Adam menarik tangan David agar berjalan lebih lamamembiarkan Bownie dan yang lainnya berjalan duluan. “kita jangan berdebat disini, Dave” “Enggak usah urusi urusanku, Dam. Urus aja hubungan kalian itu. Apalagi kemarin kalian kayanya sudah makin akrab” penuh penekanan David menyindir Adam. “Indeed” “Baguslah” “Kalau sampai UN selesai dan Drewi belum tahu. Jangan salahkan aku, kalau aku yang ngasih tahu langsung” Adam berjalan mendahului David, bergabung bersama teman-temannya yang lain. David menghela nafas berat lagi, masih tidak mengerti mengapa semua

  • Si Lesung Pipi   Ketulusan dan Akting yang Sesungguhnya

    Di balik panasnya pertengkaran David dan Adam, Dani di rumah Andrewi di temani oleh orang tuanya datang meminta maaf. Bownie yang mengantarkan Dani pulang menceritakan semuanya. Tanpa basa basi ayah Dani memaksa untuk ke rumah Andrewi, meminta maaf, setelah sebelumnya menasihati Dani. Dia tidak ingin anak-anaknya terlibat masalah. Secepatnya harus di selesaikan. Ibu Dani setuju dan membelikan beberapa makanan sebagai buah tangan. Di pintu pagar rumah Andrewi, ayah Andrewi menyambut dengan wajah sedikit masam. Walau pun sudah di jelaskan bahwa Andrewi pergi beramai-ramai dengan yang lainnya ke TWI, dia tetap belum terima bahwa ada yang berani mengajak Putrinya pergi tanpa izinnya. Meski begitu mereka tetap di sambut masuk. Sore itu di depan keluarga Andrewi dan keluarganya sendiri, Dani meminta maaf lalu di beri wejangan-wejangan oleh orang tuan Andrewi dan orang tuanya sendiri. Dani hanya bisa menunduk dan mengangguk-angguk pasrah. Walau ini bukan murn

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status