“Drewi” suara yang tidak asing menyebutkan namaku, ketika sedang menunggu kak Adam digerbang sekolah. Dia meninggalkan ponselnya yang sedang di charger di ruang OSIS. Kak Adam mengajakku pulang bersama setelah dia bertanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja pulang sendiri karna Shaniar sudah pulang duluan.
Suara yang tidak asing itu kak Dani Megantara. Si tukang olok. Wajahku menoleh kearah lain dengan kesal.
“Drew, masih marah ya?” tanyanya. Tak ada jawaban dariku. Dia menggaruk kepalanya sendiri menunggu jawaban.
“aku minta maaf ya Drew, untuk yang kemarin dikantin” dia menyodorkan sebuah kotak merah peach berpita biru. Aku menatapnya tidak mengerti.
“Ini sebagai permintaan maaf....” aku tidak memperdulikan perkataannya selanjutnya, karena perhatianku langsung terfokus pada si Lesung Pipi yang sedang berdiri jauh diseberang jalan sana, melihat kepada kami tanpa ekspresi lalu membalikkan badannya dan berjalan menjauh.
“D
Ini sangat klise. Tentang senja saat kami jalan berdua.Terkadang aku berpikir, apakah sebenarnya senja itu mendukung tawa bahagia kita? Atau hanya sekedar menambah keindahan angan-angan?. Aku selalu berhenti pada satu titik dimana kau selalu hadir setiap kali aku melihat senja dan tertawa. Aku menyukai moment itu. Aku juga menyukaimu, tawa, lesung pipi dan wajah merah meronamu. Satu lagi, ternyata kau sangat pemalu.Pembicaraan kita hanya hal-hal yang tidak perlu membuat kita berpikir. Tapi itu sangat mampu membuat hatiku semakin nyata mengarah padamu. Cinta Pertama ini sudah pasti telah terjadi. Cinta pertama ini tidak bisa aku sangkal lagi. Ini memang cinta.
Hari ini mood ku hampir saja berubah menjadi buruk. Bayangkan saja, secara tiba-tiba 3 guru dari 3 mata pelajaran berbeda mengadakan kuis dalam satu hari. Aku dan Shaniar belum sempat curhat tentang kak Dani dan Silesung pipi, karena harus belajar dengan kilat untuk kuis tadi. Apalagi kami kembali berpisah karena tempat latihan yang berbeda. “Udah baikan sama Dani belum?” bagiku, pertanyaan kak Adam itu lebih seperti pertanyaan menggoda dari pada pertanyaan yang menunjukkan kepedulian. Ditengah-tengah ruangan yang luas ini ingin sekali aku menjitakkan kepalan tanganku ini kekepalanya. Kami sedang istirahat dan menunggu sesi evaluasi dari kak Ameila. Hari ini ibu Gempal tidak masuk lagi karena mengi
“Ada apa Shan?” tanyaku segera setelah bertemu dengannya dibangku taman kelas.“Nih, mau ngasih ini” kotak berwarna merah peach dan berpita biru tersodor didepan wajahku.“Oh, ini” kataku sambil mengambil kotak itu.“Udah tahu?”“Udah”“Cie, gak nyangka ternyata sahabatku yang cuek beibeh ini bisa ditembak dua cowo sekaligus” tepukannya terasa sakit dibahuku, membuatku sedikit limbung.“Maksudnya?" Kedua alisku saling bertaut.“Astaga, kau ini. Bukannya kamu ditembak sama kak Dani kemarin? Trus kado ini kan spesial dari kak David. Bukannya tadi udah tahu? Berarti kak David juga nembak kamu dong. Iya kan?” kedua alisnya naik turun. Aku mendengus pasrah. Inilah akibatnya jika kau terlambat curhat pada sahabatmu yang sok tahu yang sudah sangat terbiasa menggosip.“Shan biar aku jelasin ya, tapi cuma sekali aja, karena aku ada j
Aku memaksa membawa semua cerita hari ini kedalam tirai gelap di dalam tidurku. Berharap tirai hitam itu bisa mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit ini. Tapi setiap kali aku berusaha menutup mata, aku tetap tidak bisa menentramkan rasa janggal ini. Seperti marah, gelisah tidak menentu. Setiap awan yang berjejer diatas sana memiliki artinya tersendiri tergantung siapa yang melihatnya. Ada makna disetiap bentuk dan posisinya. Aku pernah melihat awan yang sangat bagus dan ditemani dengan awan yang sama bagusnya juga. Terlihat serasi dan sepertinya memang waktu itu adalah waktu yang sangat tepat untuk awan-awan itu. Walau dihatiku ada perasaan yang tidak nyaman ketika melihat mereka berdua aku berharap kesempurnaan moment itu hanya sementara saja. Seperti awan-awan yang terlihat indah namun seiring berjalannya waktu awan-awan itu memencar dan tidak menyisakan apapun. Cemburu itu sebegitu anehnya.
“Shan, kayanya aku memang benar-benar jatuh cinta deh..." Senyumanku terhenti saat aku merasakan seonggok daging menempel di keningku."Waaah pantesan, keningmu panas. Kayanya kamu perlu ke rumah sakit jiwa deh""Shaniar aku serius" aku menepis tangannya dari keningku. Dan lagi, apa hubungannya kening panas dengan rumah sakit Jiwa?"Ia aku juga serius kok. Nanti aku mau mencari rumah sakit jiwa yang pas untukmu, yang sesuai dengan gangguan jiwamu saat ini"Aku menghentikan langkahku dan melotot pada Shaniar yang dengan santainya menyeruput pop icenya. Melihat ekspresiku yang memuakkan itu, dia pun berhenti menyeruput."Drew ini sudah kelima kalinya kamu bilang seperti itu” Dia menatapku balik sambil alisnya terangkat satu, mulutnya mengunyah es batu -dia sangat suka mengunyah es batu- .Aku menatapnya lagi, terdiam dan berpikir.Ia juga sih, untuk kesekian kalinya aku mencurahkan perasaanku pada Shaniar. Mungkin benar ini
Aku masuk dengan langkah pelan menunduk lesu ke dalam ruangan latihan. Ibu gempal sudah di dalam sedang memberi pengarahan kepada kelompok pemeran warga pribumi. Aku terlambat beberapa menit karena harus membantu ibu Tarigan memasukkan nilai kuis kelas ke dalam buku nilai. Untung ibu Tarigan sudah meminta izin dari ibu gempal. Kalau tidak, pasti aku sudah menjadi bulan-bulanannya lagi. Si lesung pipi sedang asik tertawa bersama teman-teman pemeran tentara lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Ada sedikit denyut nyeri saat melihatnya. Aku mempercepat langkahku, aku takut denyut ini semakin terasa bila berlama-lama menatapnya. Ini kali pertamanya lagi kami bertemu setelah minggu tidak ada latihan. Guru-guru sedang mempersiapkan pernak-pernik kepengurusan untuk pensi nanti. Sudah selama itu juga cerita Shaniar menggantung di otakku. Shaniar sangat tahu moodku dan memilih untuk tidak membicarakan atau bertanya tentang si Lesung Pipi padaku. Aku juga berusaha me
" Drew, tadi pagi digerbang sekolah, kak David eh salah Si Lesung Pipimu itu minta nomor handphonemu" Ucap Shaniar tiba-tiba saat kami sedang mengerjakan tugas Matematika. Guru matematika tidak hadir saat itu karna sakit. Tidak ada guru pengganti dan kami diberi tugas. Ditengah riuh rendah suara teman-teman sekelasku yang lainnya aku bisa mendengar sangat jelas ucapan Shaniar. Jelas sekali."Memangnya kalian belum tukar nomor handphone ya?" tanya Shaniar sedikit bingung. aku menggelengkan kepalaku."Kok bisa sih? bukannya kalian udah pulang bareng? Masa ga ada satupun dari kalian yang minta nomor handphone masing-masing? Aneh banget?" Aku mengendikkan bahuku, wajahku sedikit meringis."Itu juga, si Pangeranmu itu. Masa minta nomor handphonemu ke aku sih? Kenapa ga minta langsung ke orangnya aja coba?" dia menatapku tajam. Wajahku semakin meringis."Trus dikasih ga, Shan?" tanyaku menyelidik."Tadinya mau langsung dikasih sih. Tanp
Kali ini aku, Kak Adam dan dua orang lainnya pulang latihan sedikit lebih lama karna kami harus memebrereskan peralatan-peralatan drama. Semua peserta drama memang dibagi beberapa kelompok, secara bergiliran membereskan ruangan setelah latihan. Aku tentu saja melakukannya kali ini bersama detak jantung yang tidak seirama didalam tubuh ini. Dalam otakku kompilasi antara khotbah Shaniar kemarin dan kemungkinan si Lesung Pipi akan meminta nomor handphoneku nanti bergulat dengan sengit. Hingga hatiku pun menyimpulkan tanpa ragu bahwa di Lesung Pipi pasti memiliki rasa yang sama. Tanpa Ragu. Lalu sedetik kemudian logika menyerang semua dan memisahkan pergulatan itu."Kalau pun dia meminta nomormu. Apa memang sudah pasti dia menghubungimu untuk mengintenskan pembicaraan kalian?" Tembaknya sangat keras. Sang logika menghunuskan pedangnya tepat dijantungku."Bisa saja dia melakukannya hanya untuk hal-hal sepele atau ya, kau taulah, dia kan populer. Dia pasti melakukan itu juga
Menangis itu perlu entah kau perempuan atau laki-laki, karena luka bisa saja menghampiri setiap orang, tidak mengenal apa gender, status dan keadaan. Karena di dalam air mata dan usaha mengeluarkan air mata itu ada beban yang keluar secara tidak langsung. Ketakutan menjadi hilang, keraguan menjadi hilang, sesak hati sirna. Cinta harus diungkapkan, baik engkau perempuan maupun laki-laki. Baik ketika masih kecil maupun sudah dewasa. Karena cinta menghampiri setiap orang. Sekali lagi, tanpa mengenal siapapun itu dia. Karena saat cinta diucapkan, bukan hanya untuk menunjukkan hatimu, tapi untuk mengambil bagian hati yang mencinta, agar tidak menimbulkan sesuatu yang tidak kita duga. Sekalipun kau di tolak, sekalipun hati dipatahkan, setidaknya tidak ada luka yang terpendam. Kau bisa mengambil langkah selanjutnya. Kau bisa bangkit lagi. Berjalan lagi tanpa apaun yang mengendap dalam hatimu. Terluka dengan lega, terluka dengan ringan ,terluka dengan pasti. Kita
Nafasnya memburu. Naik turun tanpa jeda tanpa irama. Kerah kemeja dia longgarkan. Keluar dari apartemen Drewi, Dani tidak sabar ingin sampai ke kafe milik Sano. Di sana ada seseorang yang sangat ingin sekali dia minta konfirmasi. Git. Adam sudah di sana?Send Kirimnya pada Agitha sebelum memasuki lift. Sudah kak. Semuanya sudah ada disini.Tinggal Dancer sama dekorasi yang belum siap.Drewi tahan sebentar ya di sana.Read Di dalam mobil, Pesan balasan masuk. Begitu mesin meyala, Dani tanpa membalas pesan, menginjakkan kaki sekuat tenaga di pedal Gas, menimbulkan suara cericit memekakkan telinga di basement apartemen. Darahnya sudah naik keubun-ubun. “Sialan!!! Sialan!!” bentaknya pada setir. Dipukulnya sekuat tenaga untuk meredam emosi. 30 menit berlalu setelah meelwewati kemacetan dibeberapa jalan besar kota, akhirnya kafe milik Issano telrihat di uj
Sesaat hati bisa merasa yakin, sangat yakin ketika berada pada “Detik Penentu” lalu bisa juga sesaat kemudian keyakinan itu berubah bagai langit sore yang menjadi hitam saat matahri sudah kembali pulang ke ujung samudera. Banyak “seandainya-seandainya tercipta ketika detik-detik penentu sudah terlewat, ada banyak harapan-harapan lama muncul ketika detik-detik penentu teringat kembali. Mengingat kembali kenangan-kenangan, mengingat kembali moment-moment kadang terpikir unutk memutar semuanya itu. Walau, pada akhirnya, tidak akan kembali lagi detik itu, tidka akan muncul lagi atau tidak akan sama lagi semua yang ada di dalam moment-moment itu. Akan tetapi, ada satu keputusan hebat tercipta saat sudah sampai di detik-detik penentu itu. Apapun hasil dari keputusan itu, pada akhirnya, hanya orang-orang hebat yang berhasil mengambil keputusan di saat genting seperti itu dan orang-orang bermental kuat yang bisa berhasil menajalani kehidupan setelahnya. Berjalan, bertahan sam
“Kak aku bisa temenin kakak tidur, ga?” David kaget saat hendak masuk ke dalam selimut tiba-tiba Agitha sudah ada di pintu kamarnya. “Bukannya dari tadi kamu sudah pulang?” “Udah, tapi dateng lagi. Tadi nganterin tante dulu sekalian makan malam. Tadi laparr banget” “Dasar” “Hehe...” “Ya udah boleh. Tapi jangan macam-macam, ya?” “Iiihh harusnya aku kali yang ngomong gitu” Agitha mengambil selimut dari lemari David dan tidur di sebelah David. David terkekeh di seberang bantal guling. “Bantal gulingnya ga usahlah ya...” David mengangkat bantal guling bersiap membuang ke bawah. “Kakaaak...” teriak Agitha merebut bantal guling . David tertawa lagi lebih kencang. Agitha meletakkan lagi bantal guling dan menepuk-nepuk menandakan area itu adalah area terlarang. David usil menyentuh dan dibayar dnegan tamparan keras mendarat ditangan membuatnya mengaduh. Beberapa saat setelah mereka nyaman di posisi tidur mereka
Mungkin ini nggak penting-penting amat tapi mungkin juga nggak penting sama sekali (Hapaseehhh....) Jadi, sebenarnya selama 2 bulan lebih ini saya sedang menenangkan badai-badai yang silih datang berganti eh silih berganti datang....ihh....yang mana sih yang bener? Tau ah... jadi begitulah. Badai-badai itu datang menenggelamkan jiwaku dan akhirnya menyeret ke palung gelap bernama "Aku Sedang Tidak Baik-baik Saja". Akhirnya hanya bisa rebahan....rebahan...dan rebahan dengan tatapan kosong, jiwa yang kosong juga. Pas buka Goodnovel lagi tadi, ada banyak yang jadi pelanggan. Angka yang membaca juga bertambah dan yang bikin seneng lagi sudah ada yang ngasih kontribusi dan voted. I'm just like...Woooooow. Semangatnya bertambah lagi. Thank you untuk kalian semuanya.:* :* :* . Tuh...triple kiss buat kalian semua. Cukup kan? Cukup? Cukup? Ya cukuplah ye kaaan. Tungguin update-an selanjutnya yaaaa.... See you next bab. Bab yah saudara-saudara. Bab novel yah. Bukan Bab yang itu. Dahlah. U
.........From : Epilogue (Gadis Bermata Coklat) Bagian 3 " "Kak Adam, bantuin Drewi dong. Dia sampai ga semangat gitu, coba. Mata Bu Gempal tadi benar-benar kaya elang buas tahu nggak sih, kak. Ya, namanya gladi resik ya tempatnya yang salah-salah di perbaiki. Aku kalau jadi Andrewi udah pasti nangis tuh digituin" "Iya, aku juga liat kok, Shan. Tadi juga dia udah hampir nangis" "Makanya, mumpung dia masih latihan sama Bu Gempal, ayo kita Bujuk kak David, ya, kak. Kasih tahu kalau itu bukan salah dia. Kasih tahu kalau Andrewi butuh di semangatin" "Udah, Shan. Masalahnya, dia ngeliat langsung Dani di bentak-bentak waktu itu" "Ya, namanya juga orang tua, kak. Ayolaah...kasihan Andrewi" "Ya, kita coba bujuk lagi aja deh" "Halo, Dave dimana?" "Kesini sebentar. Di depan Aula. Ada Shaniar mau ngomong sesuatu" "Iya, mau ngomong penting"
Beberapa jam sebelum Gladi Resik....Pagi yang cerah, pikir Dani melihat langit pagi menjelang siang. Dia baru saja keluar dari ruang kepala sekolah setelah diberitahu bahwa dia satu-satunya siswa yang akan diajukan menerima beasiswa ke salah satu universitas di Inggris. Berkat koneksi ayahnya, dia mendapatkan tempat di daftar beasiswa itu. Kebetulan jurusan yang dia inginkan termasuk salah satu jurusan yang di perbolehkan dalam beasiswa, jadi dia merasa tidak keberatan. Selain itu, selebihnya, dia tidak berbuat curang karena dia juga tetap ikut tes, wawancara dan lain-lain nantinya.Jam pelajaran ke 3 akan segera berakhir, itu artinnya bel isttirahat pertama akan berbunyi. Dani melipir ke kantin menghabiskan waktu sekalian mengambil tempat duduk untuk teman-temannya.Di kantin, Dani membatalkan rencana, membanting setir berpura-pura membeli pulpen saat seorang guru masuk tepat ketika dia hendak duduk. Dani keluar tergesa-gesa setelah pulpen dibayar agar guru tersebut tidak curiga.
“Dave, jangan lama-lama ngasih tahu Andrewi kalau kau mau pindah. Habis UN dia sudah harus tahu” Adam dan David berjalan agak jauh dibelakang teman-tamannya. Jam istirahat sudah selesai, mereka sudah harus kembali ke kelas masing-masing. Adam sengaja memberi kode kepada David saat mereka keluar dari Kantin. “David mendengus geli dan remeh “ Sok tahu!' Adam menarik tangan David agar berjalan lebih lamamembiarkan Bownie dan yang lainnya berjalan duluan. “kita jangan berdebat disini, Dave” “Enggak usah urusi urusanku, Dam. Urus aja hubungan kalian itu. Apalagi kemarin kalian kayanya sudah makin akrab” penuh penekanan David menyindir Adam. “Indeed” “Baguslah” “Kalau sampai UN selesai dan Drewi belum tahu. Jangan salahkan aku, kalau aku yang ngasih tahu langsung” Adam berjalan mendahului David, bergabung bersama teman-temannya yang lain. David menghela nafas berat lagi, masih tidak mengerti mengapa semua
Di balik panasnya pertengkaran David dan Adam, Dani di rumah Andrewi di temani oleh orang tuanya datang meminta maaf. Bownie yang mengantarkan Dani pulang menceritakan semuanya. Tanpa basa basi ayah Dani memaksa untuk ke rumah Andrewi, meminta maaf, setelah sebelumnya menasihati Dani. Dia tidak ingin anak-anaknya terlibat masalah. Secepatnya harus di selesaikan. Ibu Dani setuju dan membelikan beberapa makanan sebagai buah tangan. Di pintu pagar rumah Andrewi, ayah Andrewi menyambut dengan wajah sedikit masam. Walau pun sudah di jelaskan bahwa Andrewi pergi beramai-ramai dengan yang lainnya ke TWI, dia tetap belum terima bahwa ada yang berani mengajak Putrinya pergi tanpa izinnya. Meski begitu mereka tetap di sambut masuk. Sore itu di depan keluarga Andrewi dan keluarganya sendiri, Dani meminta maaf lalu di beri wejangan-wejangan oleh orang tuan Andrewi dan orang tuanya sendiri. Dani hanya bisa menunduk dan mengangguk-angguk pasrah. Walau ini bukan murn