Sekilas Pendidik Ulung melirik dengan ekor mata. Ternyata, pertempuran di sebelah telah usai. Sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin sudah banyak yang dilumpuhkan. Namun, banyak juga yang melarikan diri. Pendidik Ulung tak mempedulikan lagi. Keinginannya saat itu hanya untuk membunuh Pelajar Agung.
"Kau akan secepatnya menyusul teman-temanmu itu, Bocah! Bersiap-siaplah menerima kematianmu!" ancam Pendidik Ulung dingin dan menggetarkan. Kedua penanya pun kembali digurat-guratkan di udara membentuk huruf gaib ciptaannya sendiri.
Pelajar Agung merasa cemas bukan main. Tak mungkin ia melanjutkan pertempuran seorang diri. Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus melarikan diri. Namun ketika hendak melarikan diri dengan ilmu 'Amblas Bumi', mendadak Pendidik Ulung telah melontarkan pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'.
"Hea...!"
Bukkk!
Pelajar Agung menjerit setinggi langit saat serangan Pendidik Ulung mengenai sasaran. Seketika tubuhnya melayang bak layangan putus.
"Heh...!"Eyang Pamekasan melongo kaget. Sungguh tak disangka kalau tubuh Si Buta dari Sungai Ular ternyata tidak mengalami luka sedikit pun akibat lecutan Cemeti Api-nya!Eyang Pamekasan tak percaya. Ia harus membuktikannya lagi. Maka sekali tubuhnya berkelebat, cemeti di tangan kanannya kembali menderu-deru di sekujur tubuh Si Buta dari Sungai Ular.Ctarrr! Ctarrrr!Berkali-kali tubuh Si Buta dari Sungai Ular terkena lecutan cemeti, namun tidak mengalami cedera sedikit pun. Memang, tubuh Si Buta dari Sungai Ular sempat menyala, tapi hanya sebentar. Selang beberapa saat, api di sekujur tubuhnya padam sendiri.Bukan main geramnya hati Eyang Pamekasan. Kali ini sepasang matanya yang kelabu harus dipaksa untuk terbelalak kembali. Bahkan beberapa kali serangan Si Buta dari Sungai Ular tadi sempat menghajar tubuhnya. Meski Eyang Pamekasan tidak mengalami luka sedikit pun, namun sudah cukup menyulut amarahnya."Jahanam! Kali ini kalau kau masih s
'Tidak mau! Aku tidak mau adu setan alas. Aku tidak punya setan. Aku tidak punya alas. Sawah apalagi!" Bukan main mengkelapnya hati Eyang Pamekasan dipermainkan seperti itu. Tanpa banyak cakap segera kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Seketika tangan tokoh sesat dari Sendang Kenjeran telah berubah jadi putih berkilauan.Penyair Sinting bukannya tidak tahu betapa hebatnya aji 'Panglarut Banyu Putih'- milik Eyang Pamekasan. Namun, sikapnya masih saja ayal-ayalan. Seenaknya sendiri. Meski begitu, diam-diam mulai disiapkannya pukulan 'Tameng Selaksa Prahara' yang sengaja diciptakan untuk menghadapi aji 'Panglarut Banyu Putih'.Kening Eyang Pamekasan sempat berkerut. Ia memang belum tahu pukulan apa yang akan dikeluarkan musuh bebuyutannya nanti. Namun begitu ia tidak mau ambil peduli. Dengan raut wajah menegang, pertanda segenap kekuatan tenaga dalamnya telah dikerahkan, tahu-tahu Eyang Pamekasan telah melontarkan aji 'Panglarut Banyu Putih'.Wesss! Wesss!
"Tahan! Lepaskan Kangmas. Sembodo!"Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memasuki tempat pertarungan."Ggggrrrr...!!'Si Buta dari Sungai Ular menggeram hebat, melihat satu sosok yang berlari ke tengah pertempuran. Ia adalah seorang lelaki gagah berusia empat puluh tahun. Pakaiannya menunjukkan kalau ia adalah Adipati Pleret."Manggala! Lepaskan Kangmas Sembodo!" teriak lelaki yang tak lain Adipati Reksopati penuh harap. Si Buta dari Sungai Ular ragu-ragu. Sejenak diperhatikannya ke sekeliling tempat pertempuran yang ternyata telah dipenuhi para pendekar yang tadi ikut bertempur di lingkungan kadipaten. Dan setelah dapat melumpuhkan tokoh-tokoh sesat sekutu Pangeran Pemimpin, mereka pun segera menuju tempat pertempuran di luar Kadipaten Pleret atas perintah Adipati Pleret sendiri."Manggala! Lepaskan Kangmas Sembodo!" pinta Adipati Pleret lagi.Mendadak sekujur tubuh Manggala kembali menciut, kembali seperti semula. Melihat kejadian langka
Pelan tanpa suara, kakinya mendarat di paha kanan sosok yang ternyata seorang lelaki tua renta. Sulit sekali menaksir usia si kakek. Yang jelas, rambut si kakek berpakaian jubah hitam ini telah memutih. Demikian pula alis dan bulu matanya. Wajahnya mengerikan. Sepasang matanya yang cekung ke dalam terpejam rapat-rapat. Kedua bibirnya berwarna hitam. Kulitnya pun berwarna hitam legam. Di kedua pergelangan tangannya melingkar dua gelang akar bahar. Sebuah kalung berbandul tengkorak manusia berukuran kecil menggelantung dileher."Kuuukkk...!!!"Burung hantu raksasa itu mematuk-matukkan patuknya yang berwarna kuning ke paha si tua yang tengah khusuk bersemadi ini."Ada apa, Meruya? Kenapa kau membangunkan semadiku?" tegur lelaki tua itu kasar, begitu membuka matanya perlahanlahan. Burung hantu raksasa yang dipanggil Meruya meloncat ke tanah. Lalu paruhnya dipatuk-patukkan ke tanah, seolah-olah sedang mengatakan sesuatu. "Kau ingin mengatakan sesuatu, Meruya?" tanya
"Bagus, bagus! Aku senang sekali memiliki anak buah seperti kalian yang harus patuh padaku. Akulah penguasa kalian. Siapa membangkang berarti siap mendapat siksa di atas seribu siksa! Kalian paham!"Tak ada sahutan kecuali suara riuh rendah makhluk-makhluk penghuni puncak Gunung Sindoro saja. Mereka saling kasak-kusuk satu sama lainnya."Diam! Apa kalian tidak patuh lagi terhadap perintahku? Apa kalian ingin merasakan hukumanku, heh!" ancam Penguasa Demit, garang.Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam mengerikan terus memperhatikan anak buahnya Seperti semula, makhluk-makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindoro pun mendadak menghentikan kasak-kusuk mereka. Malah ada sebagian lainnya yang tidak berani membalas pandang mata lelaki tua renta di hadapannya."Sekarang, dengarkan! Buka telinga kalian lebar-lebar! Bila suatu saat aku membutuhkan tenaga, kalian harus membantuku! Kalian harus menuruti perintahku. Akulah yang mengasuh kalian! Akulah yang mend
"Ibu! Lapar. Bu....Lapar..."Bocah kecil itu tak dapat meneruskan ucapannya. Mendadak perutnya dipegangi kuat-kuat. Kedua kakinya gemetaran. Sang ibu kelabakan bukan main. Buru-buru dihampirinya si bocah di pinggir pematang sawah."Ah..., Anakku! Kasihan sekali kau! Tunggu sebentar, Nak! Ibu akan mencarikan ubi untukmu," ujar ibu muda itu."Cepat, Bu. Aku lapar sekali""Iya, iya."Tergopoh-gopoh sang ibu segera meninggalkan pematang sawah. Sementara sang suami hanya dapat memandangi kepergian istrinya dengan hati trenyuh.Sampai di sini, Manggala tak tahan lagi. Tanpa sadar tangannya merogoh saku celana. Tapi sayang, ia tak punya uang sepeser pun. Manggala meringis. Hatinya ngilu sekali tak dapat menolong keluarga petani itu."Kasihan sekali mereka. Seharusnya aku dapat menolong mereka. Tapi sayang, aku tak punya uang...," gumam hati Manggala, kecut.Pemuda berjuluk Si Buta dari Sungai Ular ini menggaruk-garuk kepala. Bingung.
"Ada apa ini, he! Kenapa kau kasar sekali pada perempuan ini, Paman?" bentak pemuda berambut gondrong sebatas bahu. Pakaiannya yang terbuat dari kulit ular bersisik kehijauan. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi pemuda gagah itu kalau bukan Si Buta dari Sungai Ular."Dia selalu mengganggu kedaiku. Sebal aku. Jadi kuusir saja dia daripada tamu-tamu langgananku kabur," kilah Sukiat."Itu tidak benar, Tuan Muda. Aku tidak pernah mengganggu kedai ini. Aku hanya minta barang sepotong ubi untuk pengganjal perut anakku yang kelaparan," sergah Marni."Hm... begitu? Lalu, kenapa kau tidak memberikan barang sepotong ubi pada perempuan ini, Paman? Apa hanya sepotong ubi yang diminta perempuan ini membuat kedaimu rugi? Lekas, buatkan tiga bungkus makanan yang paling enak di kedai untuk ibu muda ini!" perintah Manggala.Lagak si pemuda persis juragan kaya mendadak. Padahal untuk mengganjal perutnya sendiri hari ini saja ia belingsatan tidak karuan. Tadi diam-diam Manggal
"Alasan! Sekarang, lekas bayar kalau tidak ingin kedaimu ini kubakar!" ancam Perbowo."Ba... baik."Sukiat jadi gugup bukan main. Seluruh tubuhnya terasa lemas saat bangkit berdiri. Ingin rasanya ia menangis, namun tak kuasa. Terpaksa diturutinya kemauan pimpinan anak buah Juragan Lanang. Langkahnya terseret saat menuju tempat penyimpanan uang. Diambilnya uang simpanannya di peti. Dihitung sebentar, lalu dimasukkan ke kantong. Dan langkahnya kembali terseret saat menghampiri para begundal itu.Perbowo dan lima orang anak buahnya tertawa bergelak saat menerima uang dari Sukiat."Kalau kau mau menurut, tentu aku dapat berlaku lembut padamu. Tapi karena kau sendiri yang cari penyakit, ya apa boleh buat!" kata Perbowo gembira.Pemilik kedai itu memberengut kesal. Saking kesalnya, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang gemetaran. Hanya pandang matanya saja yang terus memperhatikan kantong kecil di tangan Perbowo. Jelas, hatinya tak iklas.
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana