Angkin Maut tersenyum kecut. Memang betul mereka mempunyai obat penawar racun ular-ular emas itu. Tapi apa mereka akan sanggup menghadapi gigitan ribuan ular-ular emas itu? Benar, kalau cuma beberapa ekor saja, mungkin tidak perlu khawatir. Tapi kalau jumlahnya ribuan? Apa mereka tahan? Biarpun tidak terkena racun, tetap saja tubuh mereka habis digerogoti ular-ular emas ganas itu.
Sedang Manggala tampaknya tidak mau berpikir panjang lebar seperti Angkin Maut. Pemuda itu kini malah mulai bersiap-siap menghadapi ular-ular emas itu sambil melambai-lambaikan tangan kanannya.
"Sini maju kalau ingin kuremukkan batok kepalamu!" tantang Manggala.
Ratusan ular emas rupanya seperti terpengaruh panggilan Manggala. Maka dengan saling susul menyusul, binatang-binatang menjijikkan itu cepat menggeleser mendekati tubuh Manggala dan Angkin Maut.
"Hip!"
Begitu melihat ular-ular emas itu mulai mendekatinya, Manggala cepat menggerakkan tangan kanannya. Dan tahu-tahu,
RIBUAN ular emas di dalam kubangan lorong bawah tanah Istana Ular Emas semakin mendekati Si Buta dari Sungai Ular dan Angkin Maut. Malah ada beberapa ekor ular emas yang kembali menggigit kaki. Maka tanpa ampun lagi darah segar kembali mengucur, membuat kaki terasa nyeri bukan main. “Ah! Kenapa aku sampai lupa?!” kata Manggala seraya menepok jidadnya sendiri. “Bukankah Raja Siluman Ular Putih telah memberikan sebuah ajian untuk menundukkan segala macam jenis ular di dunia ini” Manggala benar-benar mengutuk kebodohannya sendiri karena lupa akan hal itu. Kini perlahan-lahan pemuda buta dari sungai ular itu mulai menangkupkan kedua telapak tangannya dan mendekatkannya ke mulut. Dan mulai ia meniupnya. Tulit... tut... tut.... Tulit...! Ternyata, ular-ular emas itu kontan diam terpaku di tempatnya, tak lagi menyerang dua calon korbannya. Malah mereka menggoyang-goyangkan kepala sambil melelet-leletkan lidahnya, mengikuti suara lembut dari alunan si
"Bunda! Buat apa menghadang kami? Toh, di antara kita sudah tidak ada hubungan guru dan murid!" seru Angkin Maut, bernada khawatir.Sehabis berkata begitu Angkin Maut pun segera mendekatkan kepalanya ke telinga Manggala."Cepat tinggalkan tempat ini, Manggala! Jangan hiraukan aku!" ujar si gadis.Manggala tersenyum nakal seraya menggaruk-garuk kepala."Mendengar gertak sambal cecurut tua itu, mengapa mesti takut, Angkin? Justru seharusnya kau bersyukur dapat keluar dari kubangan manusia berhati ular macam nenek-nenek cantik itu, Angkin!"Merah padam wajah Bunda Kurawa mendengar ejekan si pemuda. Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda wanita cantik pemilik Istana Ular Emas itu tak dapat lagi mengendalikan amarahnya."Kematian sudah di depan mata masih bisa jual lagak di depanku!" dengus Bunda Kurawa sarat ancaman.Tangan kanan wanita ini segera memberi isyarat pada beberapa orang muridnya untuk segera menyerang Manggala dan Angkin Ma
Manggala menggerutkan gerahamnya kuat-kuat. Se sepasang mata putihnya terus mencorong memandangi Bunda Kurawa penuh kemarahan."Jangan hiraukan aku, Manggala! Lekas tinggalkan tempat ini! Aku..., aku pasti akan me...menyertaimu. Mungkin di hari penitisan kita nanti. Lekas tinggalkan tempat ini, Manggala! Aku..., aku me... menyayangi mu...."Manggala menggeleng-gelengkan kepala lemah. Hatinya trenyuh mendengar ucapan gadis cantik itu. Maka diam-diam pun mulai dikerahkannya kekuatan batin!"Bunda Kurawa! Apa kau masih membandel tidak mau melepaskan Angkin Maut? Apa kau lupa kalau murid yang tengah kau ancam adalah murid kesayangan mu?" bentak Manggala dengan suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan pikiran Bunda Kurawa.Wanita setengah baya ini terkesiap kaget dengan mata terbelalak liar. Sebentar dipandanginya pemuda dari sungai ular di hadapannya. Sebentar kemudian pandangannya beralih pada Angkin Maut dalam cengkeraman tangannya.Pegangan tangan
LANGIT angkasa raya masih kelam. Cahaya bulan dan kerlip berjuta bintang tampak tertutup awan tebal, membuat suasana makin dikuasai kegelapan. Dari balik kegelapan malam Si Buta dari Sungai Ular terus berlari cepat keluar dari halaman Istana Ular Emas. Hanya dalam beberapa jejakan kaki, pemuda dari sungai ular itu pun telah sampai di pinggir parit lebar berisi ribuan ular emas. Sejenak kepalanya digaruk-garuk. Matanya jelalatan mencari-cari akal bagaimana cara melompat keluar dari parit di hadapannya. Dan mendadak, pandang matanya tertumbuk pada serumpun pohon bambu tak jauh dari tempatnya berdiri."Ah...! Mengapa aku tidak menggunakan pohon bambu itu untuk menyeberang seperti yang telah dilakukan orang tua pendek berkulit hitam legam tempo hari?" desah Manggala seraya menepuk jidatnya sendiri.Orang tua pendek berkulit hitam legam yang dimaksudkan pemuda dari sungai ular itu tidak lain dari Ki Sorogompo yang telah diselamatkan dari tiang gantungan kemarin siang. Maka
"Kau selalu begitu! Setiap bertemu aku pasti marah-marah! Hayo, sekarang bantu aku mencincang Tiga Setan Ruyung Baja ini dulu! Awas, jangan sampai lolos! Nanti baru ku jelaskan, mengapa aku bentrok dengan ketiga kecoak tua ini," kata Gayatri bersungut-sungut."Baik! Tapi harus ada imbalannya!""Apa?""Kau harus mau mencarikan kutu rambutku!" seloroh Manggala."Ah...! Kau ini...! Dalam keadaan seperti ini saja masih sempat bercanda! Hayo, lekas bantu aku menghajar tiga kecoak tua ini!""Baik"Gayatri langsung mengempos tenaganya. Tubuhnya berkelebat cepat begitu melihat tiga lawannya yang berjuluk Tiga Setan Ruyung Baja telah bangkit berdiri. Sepasang Pedang Elang Putih warisan Bagaskara telah pula diputar-putar sedemikian rupa, seolah menciptakan pertahanan yang kokoh.Sementara Manggala telah pula berkelebat, membantu serangan."Hm...! Jadi, kalian tiga monyet tua yang bergelar Tiga Setan Ruyung Baja? Ah.... Tapi aku melihat k
"Aku heran, mengapa sedikit pun kau tidak mempunyai rasa welas asih, Gayatri?! Kalau saja ayahmu tahu apa yang telah kau perbuat di sini, tentu akan marah," cetus Si Buta dari Sungai Ular.Gayatri tidak mempedulikan ocehan Manggala, kecuali hanya membesut darah yang membasahi sepasang pedangnya pada baju hitam salah seorang musuhnya. Lalu dimasukkannya sepasang Pedang Elang Putih kembali ke sarungnya."Sebenarnya kenapa kau jadi demikian keji?" tegur Si Buta dari Sungai Ular lagi."Aku jengkel. Jengkel sekali! Juga padamu yang cerewet! Kalau saja kau bukan temanku, sudah pasti kuremukkan batok kepalamu!" jawab Gayatri ketus.Sekali lagi Manggala berdecak-decak heran. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala."Bagaimanapun juga kau tidak bol...""Jangan cerewet!" potong Gayatri, "Justru di samping aku mengejar musuh-musuh Perguruan Elang Putih, aku ada sedikit kabar buruk untukmu! Tapi, kau malah cerewet seperti nenek-nenek kehilangan sirih!"
"Ha ha ha...! Kau pikir aku takut menghadapi ular-ular merahmu, he?!" dengus Raja Toya tak kalah sengit. "Tapi, mengapa kau hanya sendirian? Mana teman-teman lainnya?"Iblis Kelabang Merah mendengus."Hm.... Rupanya telingamu sudah budek. Sehingga kedatangan Julung Pucut dan Julung Kencono tidak terdengar?"Mata Raja Toya melotot gusar. Namun ketika mendengar langkah-langkah halus di belakangnya, kepalanya segera berpaling ke belakang. Pada saat yang sama, di hadapan Raja Toya dan Iblis Kelabang Merah telah berdiri dua sosok laki-laki berjubah kuning. Baik bentuk tubuh, paras maupun rambut mereka yang gondrong dikuncir ke belakang benar-benar sulit dibedakan. Hanya nama sajalah yang membedakan orang kembar ini. Mereka masing-masing bernama Ki Julung Pucut dan Julung Kencono. Tapi mereka lebih terkenal sebagai Sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Srandil!"Apa kalian sudah lama di sini?" tanya yang bernama Ki Julung Pucut, kalem saja."Pakai tanya sega
Kelima orang tokoh sesat itu terkesiap. Mereka tidak menyangka kalau kasak-kusuk barusan terdengar pemuda dari sungai ular di hadapannya. Lebih dari itu, mereka itu merasa tersindir dengan apa yang diucapkan si pemuda."Bocah sinting! Hentikan langkahmu!" bentak Iblis Kelabang Merah gusar."Eh eh eh...! Ada apa ini? Mengapa kau menyuruhku berhenti, Orang Tua?" sahut pemuda yang tidak lain Manggala alias Si Buta dari Sungai Ular, pura-pura terkejut. Dan begitu langkahnya terhenti, sepasang matanya terus memperhatikan kelima orang tokoh sesat di hadapannya heran."Jangan berlagak pilon! Apa maksud ucapanmu barusan, he?!" bentak Iblis Kelabang Merah garang."Lho...? Kenapa kalian jadi uring-uringan begini? Tadi samar-samar kudengar pada kasak-kusuk beberapa ekor nyamuk hutan? Apakah salah kalau aku menanggapinya?" tukas Manggala seenak dengkul.Bukan main marahnya kelima orang tokoh sesat itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa tersindir dikatakan sebag
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana