Sakawuni bertengger pada sebuah cabang pohon, seraya matanya mengawasi bagian hulu sungai. Bibirnya tersenyum ketika sebuah perahu besar dengan layar lebar mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar selembar bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai. Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau kapal layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten Balungan. Sebuah Kadipaten kecil yang berpenduduk cukup makmur.
"Suiiit...!" Sakawuni bersiul nyaring yang disertai tenaga dalam. Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat buah perahu berukuran sedang, dikayuh oleh beberapa orang. Sakawuni segera terjun diiringi gerakan salto beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.
Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu memacu ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat. Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah menepi, Sakawuni menarik tali kekang kuda, dan tanpa berpi
"Hem, siapa dia?" tanya Sakawuni mengerutkan kening.Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Cantik dan berkulit kuning langsat. Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya semua dari emas. Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.Sakawuni memberi isyarat agar anak buahnya keluar. Codet menutup pintunya lagi. Sakawuni kembali mengamati wanita muda itu. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar."Siapa kau?" tanya Sakawuni.Wanita muda itu tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Ketika matanya tertumbuk pada Sakawuni, tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya kian sangat."Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?" dengus Sakawuni mulai kesal karena wanita itu diam saja."Aku..., aku Rara Kemuning," jawab wanita muda itu tergagap, "Aku putri patih kerajaan Galung.""Oh, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya putri seorang p
"Masuk!" teriak Sakawuni.Codet muncul. "Ada apa?" tanya Sakawuni."Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri," lapor Codet."Hm, biar saja. Aku dan Rara tetap di sini Kalian bereskan semua barang-barang.""Hamba laksanakan, Tuan Putri.""Tunggu!" cegah Sakawuni melihat Codet akan berbalik. Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada semua anggota, kalau ada yang berani mengganggu Rara Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik angkatku!" ujar Sakawuni keras."Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat. Hatinya sedikit diliputi keraguan."Pergilah! Laksanakan tugasmu!"Codet membungkuk lagi, kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat. Sakawuni memandang Rara Kemuning yang masih duduk di tepi pembaringan."Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar. Nyalinya kecil," Sakawuni menjentikkan jarinya.Rara Kemuning hanya menelan ludah saja. Dia selalu ngeri jika lihat tampang laki
Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya. Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam. Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi."Kang Mas...."Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya, Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya."Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada suaranya bergetar penuh kecemasan."Aku akan mencari Rara Kemuning," sahut Patih Giling Wesi."Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?""Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang membawa Rara Kemuning dirampok oleh Gerombolan Kembang Lembah Hantu.""Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya."Berdoalah pada Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara Patih Giling Wesi."Rara,
Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini keadaan kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal Manggala sendirian masih duduk menghadapi mejanya. Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri."Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan."Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut Manggala. Pak Tua itu duduk di depan Manggala.-o0o-Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur. Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang dari gerombolan Kembang Lembah Hantu. Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu. Inilah markas gerombolan Kembang Lembah Hantu. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka, kedua tangan Sakaw
Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda. Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya."Mandrawata," desis Badil mengenali penunggang kuda itu. Badil menunggu beberapa saat sampai Mandrawata mendekat. Kemudian dia meloncat turun ketika Mandrawata tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Mandrawata dengan tangkas melompat dari kudanya ketika merasakan ada penyerang gelap dari atas. Pedang Badil segera membabat namun luput. Dia kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar pedang. Yang didapati hanya tempat kosong saja."Licik!" dengus Mandrawata ketika kakinya menjejak di tanah."Kau juga lebih licik dariku, Mandrawata," balas Badil."Siapa kau?' tanya Mandrawata yang heran melihat penyerang gelapnya tahu
MATAHARI baru saja menampakkan diri. Sinarnya membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya dengan lesu. Semalaman dia mencari di sekitar sungai naga, tapi tidak sedikit pun jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan."Rapaksa!""Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera mendekat."Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata Patih Giling Wesi."Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras. Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing. Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai yang berliku.Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya. Didekatinya Patih Giling Wesi."Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda keprajuritan di pinggir su
Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya. Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah.Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka. Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang singkat.Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya. Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Sakawuni jadi geram. Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak."Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!"
"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih Giling Wesi.Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan Sakawuni begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin berkobar-kobar."hey! Uts!"Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga tepukan tangan Sakawuni berhasil dihindari. Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya. Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas menyebar. Seketika dia tersentak kaget."Racun...!" desisnya. Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat dirasa. Mendadak kepala
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana